Total Pageviews

Translate

Saturday, July 29, 2017

The ASEAN Tour: Cambodia

Our journey to Cambodia began when our coach departed from Ho Chi Minh City. We exited Vietnam via Mộc Bài and entered Cambodia via Bavet. It was one interesting entrance. Instead of queuing at the border, we were actually ushered to a noodles shop and expected to have our lunch there while waiting for our passports to be stamped. The same shop also sold the Cambodia Riel on its display counter, as if it was selling souvenirs (and the notes, which looked like Monopoly money, certainly made it all the more convincing). The surreal experience was further enhanced by the casino nearby. I mean, the area was quite deserted and suddenly there was this big casino in the middle of nowhere (but perhaps that's the whole idea. The casino was built there to attract people from the other side of the border to come and spend their money).

It took us roughly around 4 hours to reach Phnom Penh from Bavet. Throughout the ride, we could see that Cambodia had a very dry weather. Even the cows on the roadside looked skinny, so life must be hard down there. I remember crossing the river. The ferry was huge and vehicles as big as our coach could fit in there. Prior to that, some of us went to pee, only to be astounded by the fee: it was one USD for each person! We should have bought the Cambodia Riel earlier (it was fixed rate then, where one USD was equal to 4000 KHR) as they didn't give any change once we paid them in USD.

Setia and Endrico (peeping through the hole) on the ferry.

Phnom Penh in 2009 was a city liked no other. It was big, but barely had the charm of a capital city. The poverty that we saw throughout our journey to Phnom Penh certainly didn't help. It was so bad to the extent that it was depressing for those who weren't used to seeing it. I remember wondering how the bread and whatever that were sold on the roadside could be eaten, especially when the cyclone of dust kept engulfing them.

We stayed nearby the riverside (still a work in progress then), a walking distance to the Royal Palace. Once we checked in, we began searching for happy pizza, a delicacy that Endrico read about, something that was supposed to make us really happy. After asking around, we managed to get a tuktuk driver who seemed to know what we were talking about. Despite his confidence, we ended up at a wrong place. He brought us to some pizzeria that sold regular pizzas instead. Judging from the normal families who ate there, the pizzas certainly didn't have any special ingredients that made them unusually happy! We eventually got what we wanted later on. It was sold around the riverside, nearby our guesthouse. The happy pizza tasted bitter and it didn't seem to make us any happier.

Markus and the confident tuktuk driver on our quest for the happy pizza.

When the night came, I went to have a dinner with my girlfriend. Yani stayed at Le President Hotel as she was on business trip. We ordered salted egg crab there, the very first time we ever tried any dishes cooked with salted egg. It was brilliant, simply the best. Perhaps we should go back one day, eh? After that, I went back to meet the boys, but only Markus and Darto that were still awake. The three of us then went out to explore the night life. We had a beer or two at the Pussycat Club, then we explored the surroundings. What we saw was amusing. The Cambodians would gather in front of their houses to do either the slow dancing (two steps forward, one step backward) or rope skipping. They surely knew how to enjoy and cheer themselves up!

The next day, we made our way to Siem Reap, where the famous temple Angkor Wat is located. It was a six hours ride, with a scenery that had become all too familiar for us: dry, dusty and dirty view along the way, and poverty that was so rampant. We stopped for lunch, but the food presentation wasn't exactly tempting thanks to the flies that were aplenty.

Setia, shortly before we began our journey to the floating market via the river behind him. 

We visited the floating market not long after we reached Siem Reap. We took a boat cruising on a brown colored river which eventually led us to some sort of lake. While we were on our way, there were underage vendors that would leap to our boat with stunning accuracy and agility. I mean, the boat was moving fast and these kids just jumped onto it as if it! Anyway, the floating market was apparently a couple of boats that floated nearby each other. Our destination was a restaurant, but I don't recall what we ate there. The memory I had was the crocodiles that they kept on the boat. That was like the weirdest attraction ever! Totally unexpected! We went back to the mainland afterwards, just in time to visit the night market. If I remember correctly, we went to Pub Street afterwards, the lively and touristy area, but Endrico lost his way, so there wasn't any picture taken.

The next day, we went to Angkor Wat to see the sunrise. The temple was... colossal. I went to Borobudur before, but when I pictured it mentally, it was much smaller if compared with Angkor Wat. It took us half a day to walk around before we decided that we had seen enough of it. We went to the next one, the Bayon, the temple of faces and then ended the whole day activity with the visit to the tree temple of Ta Prohm (this was where the movie Tomb Raider was partly filmed). They were great, but it was Markus who made our day. In his valiant effort to pose for good photos, he crossed to a forbidden area where the landmines might still be active and was immediately shouted at by an angry officer, haha.

Posing in front of the Bayon temple.

Overall, Cambodia was alright, a real eye-opener. After what we saw there, I couldn't help thinking Indonesia was actually in a much better shape and we should be thankful instead of complaining endlessly. While it was meant to be a Vietnam-Cambodia trip, there wasn't any doubt that Siem Reap was the highlight of it, thanks to majestic Angkor Wat. From Siem Reap, we flew back to Ho Chi Minh City...


Tur ASEAN: Kamboja

Perjalanan kita ke Kamboja dimulai ketika bis yang kita tumpangi berangkat dari Ho Chi Minh City. Kita keluar dari Vietnam melalui Mộc Bài dan masuk Kamboja lewat Bavet, perbatasan yang cukup menarik untuk dikenang. Di tempat ini kita tidak antri seperti perbatasan lainnya, melainkan disuruh menunggu di toko mie. Kita disarankan untuk makan siang sambil menunggu paspor kita dicap. Toko ini juga menjual riel, mata uang Kamboja, dengan cara ditampilkan di etalase seperti lazimnya orang menjual suvenir. Uang kertasnya yang mirip seperti uang Monopoli membuatnya semakin terlihat seperti oleh-oleh. Yang lebih menakjubkan lagi, tidak jauh dari perbatasan, berdiri sebuah kasino. Ini aneh sekali, sebab Bavet adalah kota kecil yang gersang dan tidak ada apa-apa. Keberadaan kasino ini sangat mencengangkan, tapi mungkin ini disengaja untuk menarik perhatian orang dari Vietnam sehingga mereka datang dan berjudi. 

Dari kiri: Setia, Akiun dan Darto di toko mie di Bavet.

Dari Bavet, kita kembali menempuh perjalanan darat sekitar 4 jam lamanya untuk mencapai Phnom Penh. Sepanjang perjalanan, kita bisa melihat betapa keringnya cuaca di Kamboja. Bahkan sapi di jalan pun terlihat kurus, jadi hidup di sana pastilah susah. Di tengah jalan, kita menyeberangi sungai. Ferinya sangat lapang, bahkan kendaraan sebesar bis kita pun bisa muat di atasnya. Selagi menunggu bongkar-muat kendaraan, beberapa di antara kita pergi ke toilet dan kembali dengan wajah kaget: ongkosnya satu USD per orang! Seharusnya kita membeli riel tadi (waktu kita berada di Kamboja, patokan nilai tukarnya adalah satu USD sama dengan 4000 KHR) karena penjaga toilet tidak memberikan uang kembalian setelah kita bayar dengan USD!

Phnom Penh di tahun 2009 adalah pengalaman yang sungguh berbeda. Kotanya cukup besar, tapi tidak memiliki kharisma ibu kota. Kemiskinan yang kita lihat di sepanjang jalan menuju Phnom Penh jelas memperburuk kesan yang ada. Begitu buruknya kehidupan di sana sehingga terasa menyedihkan bagi yang tidak terbiasa melihatnya. Saya ingat bahwa saya sempat membayangkan, bagaimana caranya memakan roti atau apapun yang dijual di tepi jalan, sebab debu jalanan senantiasa menerpa dagangan mereka. 

Dari kiri: Markus, Hady, Darto, Akiun, Anthony, Setia dan Yani di depan penginapan kita.

Kita tinggal di kawasan tepi sungai yang sedang dibangun ketika itu. Lokasinya tidak jauh dari Royal Palace. Setelah menaruh barang di hotel, kita mulai mencari pizza gembira, sebuah menu lokal yang Endrico baca dan minati. Makanan ini konon bisa membuat kita gembira. Setelah bertanya sana-sini, kita berhasil mendapatkan pengemudi tuktuk yang sepertinya mengerti tentang apa yang kita mau. Kendati begitu, kita justru dibawa ke tempat seperti Pizza Hut. Ini jelas bukan pizza yang kita cari, sebab sejumlah pengunjung restoran di sana adalah keluarga yang membawa anak-anaknya. Mereka jelas tidak mencari pizza dengan bahan istimewa yang membuat mereka gembira! Singkat cerita, kita akhirnya menemukan apa yang kita cari. Tempatnya ternyata tidak jauh dari penginapan kita. Setelah dicicipi, pizza gembira ternyata agak pahit dan tidak membuat kita gembira

Ketika malam tiba, saya menjumpai teman wanita saya untuk bersantap malam. Yani tinggal di Le President Hotel karena dia di Kamboja dalam rangka bisnis. Kita memesan kepiting telur asin di sana, pertama kalinya saya mencoba makanan yang dimasak dengan telur asin. Rasanya enak sekali! Mungkin kita harus kembali ke sana lagi suatu hari nanti, haha. Setelah itu, saya kembali ke penginapan. Hanya Markus dan Darto yang belum tidur, jadi kita bertiga pun keluar untuk melihat kehidupan di Phnom Penh setelah malam. Kita minum bir Angkor di Pussycat Club, setelah itu kita berjalan mengelilingi sekitar penginapan. Orang Kamboja ternyata memiliki kebiasaan berkumpul di depan rumah untuk permainan lompat tali atau dansa pelan (dua langkah ke depan, satu langkah ke belakang). Mereka tahu cara sederhana untuk menikmati hidup! 

Hady mencoba cemilan laba-laba sewaktu kita beristirahat sejenak dalam perjalanan kita ke Siem Reap.

Di hari berikutnya, kita pun menuju Siem Reap, tempat kuil terkenal Angkor Wat berada. Perjalanan darat itu ditempuh dalam waktu enam jam dan pemandangannya juga kurang lebih sama dengan yang sudah dilihat sebelumnya: tempat yang gersang, berdebu dan kering serta kemiskinan yang parah. Kita sempat berhenti untuk makan siang, namun tempat makannya tidak mengundang selera karena banyaknya lalat yang beterbangan mengitari makanan. 

Kita juga mengunjungi pasar terapung tidak lama setelah kita tiba di Siem Reap. Kapal yang kita tumpangi menyusuri sungai berair coklat yang mengalir ke sebuah danau. Ketika kita berada dalam kapal yang melaju, ada beberapa bocah yang melompat ke kapal kita sambil menggendong dagangan mereka. Mereka luar biasa lincah dan terampil, bisa melompat begitu saja dan tidak kehilangan keseimbangan! Setelah tiba, yang mereka maksudkan dengan pasar terapung adalah beberapa kapal yang mengapung bersama. Saya tidak ingat apa yang kita makan di sana, tapi yang lebih membekas dalam ingatan saya adalah buaya-buaya yang berkeliaran di dalam kapal. Benar-benar aneh dan tidak terduga. Sesudah makan, kita kembali untuk mengunjungi pasar malam dan lanjut lagi ke Pub Street, tempat yang aktif dan dipadati oleh turis. Akan tetapi Endrico terpisah dari rombongan sehingga tidak ada foto yang sempat diambil selagi kita berada di sana.

Markus tersenyum ketika matahari terbit di Angkor Wat.

Di pagi berikutnya, kita pergi ke Angkor Wat untuk melihat matahari terbit. Kuil ini luar biasa kolosal dan lebih besar Borobudur. Kita membutuhkan setengah hari untuk berkeliling sampai kita merasa puas melihat-lihat. Perjalanan pun berlanjut ke Bayon, kuil beraneka wajah. Kuil terakhir dalam rangkaian acara kita adalah Ta Prohm, kuil yang muncul dalam adegan film Tomb Raider. Kuil-kuil ini mengagumkan, tetapi yang membuat kita lebih kagum lagi adalah Markus. Dalam upayanya untuk berpose, dia menyeberang ke daerah yang masih memiliki ranjau aktif. Alhasil, dia segera diteriaki oleh petugas yang marah, haha.

Secara keseluruhan, saya rasa Kamboja cukup menarik. Setelah apa yang kita lihat di sana, saya jadi berpikir bahwa Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk. Sebagai bagian dari perjalanan ke Vietnam dan Kamboja, tidak diragukan lagi bahwa Siem Reap adalah tujuan yang paling berkesan karena Angkor Wat yang megah. Dari Siem Reap, kita terbang kembali ke Ho Chi Minh City...

Di kuil Ta Prohm.



No comments:

Post a Comment