Total Pageviews

Translate

Thursday, September 14, 2017

The ASEAN Tour: Laos

Everybody has a wish list of countries that they'd like to visit. For me, Laos is always part of that list. I was curious about it because it seemed to be a quiet country that made almost no international news, especially when it was compared with its neighbours such as Myanmar or Cambodia. The fact that it is the only landlocked country in Southeast Asia only enhanced its charm. I had to visit the Laos and it eventually happened in 2010.

At Wattay International Airport, Vientiane.

It wasn't easy for us to get there back then. My Indonesian colleague Benny (who rushed to airport immediately after work) and I actually had to fly to Kuala Lumpur to catch the next flight to Vientiane. Upon arrival, I became aware for the first time that Indonesian passport was less powerful than Malaysian passport. A Malaysian in front of us could immediately get his passport stamped while we were redirected to do a visa on arrival. It was also at Wattay International Airport that I heard about the existence of Luang Prabang, another city in Laos that was known for its historical site. One would have to take a domestic flight to get there and, as it wasn't part of the plan, we didn't make it. Perhaps I'll return to Laos for Luang Prabang one day.

We took a cab from airport to the city center. It wasn't that far, actually, as it took only around 10 to 15 minutes to reach our hotel. Through the taxi ride, we had the first glimpse of Vientiane. It was unlike any capital city I had seen before. The roads were so quiet that even my hometown, Pontianak, looked more crowded than Vientiane. After exploring around on foot, we noticed that Swensen's was the only international food chain there. We didn't try that and we had the local food instead. Some of the cuisines were very French and they also used a lot of herbs. The pork knuckles were brilliant and Beerlao did help to wash the heavy meal down!

Benny taking his bike, as we were leaving Pha That Luang (the golden temple at the back).

On the second day we were there, we decided to rent a bike, so after putting the deposit of 20K kip (around SGD 3), we were cycling from one temple to another. It had been years since I rode one and it was fun to be on a bike again, but there were times when I was caught off guard by the sudden appearance of another vehicles in front of me. This was because they drove on the opposite direction while we were used to left-hand traffic.

We first visited Pha That Luang. The gilded temple was the biggest in Vientiane. It was nothing like the grand Angkor Wat, but it was quite alright. From there, we rode to Patuxai. This was something like the mini Arc de Triomphe or the Southeast Asian version of it. Wat Sisaket was the next destination and after that I lost track of other temples we visited, because they were plenty! Anyway, Benny and I had a walk along the great Mekong river after we returned the bikes. Just like everywhere else in Vientiane, it was also a bit quiet. There was this statue at riverside, seemed to be out of nowhere, perhaps it was part of the ongoing development plan of the waterfront.

Browsing at Talat Sao Mall

The last day we were there, we visited the one and only shopping centre (I can't remember if it was really Talat Sao Mall), a three storey and modest plaza in the capital city of Laos, just to buy some souvenirs. After that, on our way to Tha Naleng train station, we detoured a bit to Buddha Park. It was a very strange park that combined both Buddhism and Hinduism sculptures. From there, we headed to the train station and crossed to Nongkhai, Thailand, officially ending our visit to Laos. Sabaidee! Until we meet again, Laos!

The Reclining Buddha at Buddha Park. 

Tur ASEAN: Laos

Setiap orang memiliki daftar negara yang ingin dikunjunginya. Bagi saya, Laos adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang berada di daftar kunjungan ini. Saya selalu penasaran tentang Laos, sebab negara ini hampir tidak pernah terdengar beritanya di kancah internasional, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangganya, misalnya Myanmar atau Kamboja. Fakta bahwa Laos adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak memiliki laut semakin membuat saya tertarik. Di tahun 2010, akhirnya saya berkelana ke Laos.

Di kala itu, tidak mudah bagi kami untuk berangkat ke Laos. Benny, kolega saya yang juga orang Indonesia, dan saya harus terbang dulu dari Singapura ke Kuala Lumpur, setelah itu baru naik pesawat berikutnya menuju Vientiane. Saat tiba di sana, untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa paspor Indonesia ternyata kalah saing dengan paspor Malaysia. Seorang warga Malaysia di depan kita bisa langsung dicap paspornya sedangkan kita diarahkan ke loket visa kedatangan. Sewaktu kita di bandara internasional Wattay, saya mendengar tentang keberadaan Luang Prabang, kota lain di Laos yang merupakan situs UNESCO. Untuk pergi ke sana, kita masih perlu naik penerbangan domestik. Karena kendala waktu dan bukan merupakan bagian dari rencana awal, kita tidak ke sana. Mungkin saya akan kembali lagi suatu hari nanti ke Laos untuk mengunjungi Luang Prabang.

Jalan di Vientiane yang luar biasa sepi untuk ukuran ibukota negara. 

Dari bandara ke pusat kota, kita menggunakan jasa taksi dengan durasi kurang lebih 15 menit untuk mencapai hotel. Sepanjang perjalanan, kita melihat Vientiane untuk pertama kalinya: benar-benar berbeda dengan ibukota negara-negara lain yang pernah saya kunjungi. Jalanan di sana sangat sepi, bahkan Pontianak terlihat lebih ramai. Setelah berjalan kaki di pusat kota, kami menyadari bahwa Swensen's adalah satu-satunya restoran internasional yang ada di kota ini. Selama berada di sana, kita mencoba makanan lokal. Citra rasa kuliner di Laos boleh dikatakan bergaya Perancis dan juga banyak memakai bumbu dari dedaunan. Pork knuckles-nya enak dan berbeda dengan yang biasa disajikan di restoran Jerman, cocok dimakan bersama Beerlao.

Di hari kedua, kita memutuskan untuk menyewa sepeda. Vientiane adalah kota kecil dengan kondisi jalan yang lengang, oleh karena itu tentunya enak dijelajahi dengan sepeda. Setelah memberikan jaminan sebesar 20.000 kip (atau sekitar 30.000 rupiah), kita akhirnya bersepeda dari satu tujuan ke tujuan lain. Sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak mengendarai sepeda, jadi rasanya seru juga. Akan tetapi, dikarenakan arah lalu-lintas mereka yang terbalik dengan Indonesia, saya sering kali dikagetkan oleh kendaraan yang muncul di depan.

Mengamati Patuxai dari atas sepeda, hehe. 

Pertama-tama kita mengunjungi Pha That Luang. Kuil Buddha bersepuh emas ini adalah kuil terbesar di Vientiane. Walau tidak semegah Angkor Wat di Kamboja, kuil ini tetap memiliki daya tarik tersendiri. Dari sana, kita berpindah Patuxai, semacam gerbang yang mirip dengan Arc de Triomphe di Paris. Wat Sisaket adalah kuil yang kita kunjungi selanjutnya, setelah itu saya tidak ingat lagi nama-nama kuilnya karena terlalu banyak kuil di sana, haha. Setelah kita selesai dengan kuil dan mengembalikan sepeda, kita menyusuri pesisir sungai Mekong. Ada sebuah patung yang terkesan dibangun begitu saja di tepi sungai, tapi mungkin itu bagian dari rencana pembangunan tepi sungai. Seperti jalanannya, daerah ini pun sepi nian, hehe.

Pemandangan dari atas Patuxai.

Hari terakhir kita di Laos diisi dengan kunjungan ke satu-satunya pusat perbelanjaan berlantai tiga di Vientiane (saya tidak ingat apakah itu Talat Sao Mall atau bukan) untuk membeli cinderamata. Setelah itu, sewaktu kita menuju stasiun kereta api Tha Naleng, kita mampir sebentar ke Buddha Park. Taman yang agak aneh dan bernuansa mistis ini dipenuhi oleh patung-patung Buddha dan Hindu. Sejam kemudian, kita berangkat ke stasiun dan menyeberang dari sungai Mekong ke Nongkhai, Thailand, mengakhiri petualangan kita di Laos. Sabaidee, Laos! Sampai bertemu lagi!

Di stasiun kereta api Tha Naleng.


No comments:

Post a Comment