I remember the first time I ever travelled on my own. In mid 1996, My friend Agus Yanto and I boarded KM Sirimau, the seven-storey and biggest ship I ever saw at that time. It was actually a horrible trip, but for some strange reasons, I always cherish the memories. Yes, the meals were awful and served on metal trays as if we were in prison. Yes, there were many people sleeping on the floor and competing with us for the limited clean water that often stopped flowing while we were brushing teeth or showering. And yes, there were always small cockroaches creeping nearby, adding this constant fear that we'd be infiltrated as we tried to sleep on the already uncomfortable hard sleeper cabin (and true enough, Agus got this little bug invading his ear during one of the trips he had after this one).
But I smile every time I reminisce. I fondly recall the moment when I came rushing down to the pier in Lampung so I could claim that I'd been to that province in Sumatera. I remember the joy of feeling the nonstop sea wind breeze that got rougher during the rain. Thanks to that experience, I could also relate with how grand Titanic was when the movie was showing. I was feeling nostalgic when I watched the film (but of course the voyages I had didn't end up with the ship sinking into the ocean).
Inside the ferry from Singapore to Batam. Photo by Franky Ng. |
While I never tried any cruises before, the point I'd like to make is, I love traveling by a big, steady ship. It had been fun so far. Same can't be said for boats, though. Even a short ride such as Singapore-Batam route could be bumpy. I remember when the ferry rode the waves and came crushing down. I extremely disliked that feeling!
My preferred mode of traveling from one city to another destination is road trip, be it by car, by coach or by train. Yes, it is slower, but it feels safer and we get more things to see. This is particularly true when we were visiting Europe. The scenery was more beautiful and colourful down there.
When we detoured to Taman Safari Prigen during our way back from Malang to Surabaya. Photo by Endrico Richard. |
Road trip by car, especially when it's a private car and you are sharing the ride with family or friends, is enjoyable. However, the lack of space can be a problem if it's a very long ride. You'll feel confined and restricted. The longest trip I ever did was from Jakarta to Bali that took us two days and one night. I was lucky that I had the back seats all by myself so I could lie down and doze off as I wished, haha. The fact that we had a stop every time we had been on the road for three or four hours also made it bearable.
A two-three hour car ride is just nice. I'll prefer taking a coach for any journey longer than that. A coach is spacious and the vehicle has more rooms for us to stretch our legs. It also helps when the coach is not speeding like mad. Best ride so far? From London to Stonehenge and Bath. It was very scenic. The trip from Singapore to Malacca was fine as well, mainly because the coach was nice and comfortable. The most unforgettable ride? That must be the Vietnam-Cambodia trip! Even the big bus had to be ferried to the other side of the river! Interesting!
Dragging the luggage into the train as we headed back from Hakone to Tokyo. Photo by Evelyn Nuryani. |
Then of course we have to talk about the train rides. This is definitely my favorite. I had tried the five-minute ride from Singapore to Johor Bahru with Wawa, the old train from Nanning to Guilin where the street vendors would get up and sell the little red book of Chairman Mao, the overnight ride of Thanaleng-Bangkok rail route (for your information, Thanaleng is a station not very far from Vientiane, Laos), the bullet trains in China, the punctual shinkansen in Japan, the Eurostar train from London to Paris and Virgins train from Liverpool to London. Whatever the train is, I just love the experience. It's a very relaxing way of traveling, except when you had big luggage to carry, haha.
So if train ride is the most ideal way of traveling for me, what is the least preferred transportation, then? Well, I have this fear of flying and it scares the shit out of me when it gets bumpy, so naturally aeroplane is the worst. My first encounter with the horrifying turbulence was when I took Sriwijaya Air from Jakarta back to Pontianak. It was so shaky that I kept staring at the ceiling, wondering if it would break apart. The last night flight from Tokyo to Hong Kong was also equally frightening. It was Dragonair, a much smaller plane if compared with the two-level Cathay Pacific that flew me from Hong Kong to Tokyo at the beginning of the trip. The plane felt like shaking violently. When the stewardess offered me the in-flight meal, I could only stare at her in disbelief. The thought of that very meal would be my last supper made me lose my appetite. In the end, I just shook my head and said no.
With Swee Hin, as we landed in Kota Kinabalu. |
Talk about night flight, I tend to think that it's a better choice for long-haul flights because you'll fall a sleep for at least a few hours. My benchmark these days is the seven-hour flight from Singapore to Tokyo. It was doable, so when I flew from Singapore to London, I was more than happy to transit in Dubai. By doing so, the 14-hour trip was split into two and it wouldn't be too taxing. It's worth noting that big aircraft does make a difference. It is steadier. I'd say the Emirates flights did give me a peace of mind, but I still stayed awake for most of the flight duration and ended up watching almost the whole first season of the Flash, haha.
So there you go, the ups and downs of traveling by the sea, by land and by air. Like I mentioned earlier, train is the best. I have a dream that I'll be taking the Trans-Mongolian Railway from Ulaanbaatar to Beijing. Let's see which one will happen at the age of 40: that or the Armenia-Georgia train adventure!
Evelyn Nuryani and I, when we took Eurostar from London to Paris. |
Metode Perjalanan
Saya ingat ketika saya pertama kalinya berlibur tanpa didampingi oleh orang tua. Di pertengahan tahun 1996, teman SMA saya Agus Yanto dan saya menumpang KM Sirimau, kapal tujuh lantai dan juga kapal terbesar yang pernah saya lihat langsung pada saat itu. Perjalanan tersebut sebetulnya sangat tidak menyenangkan, namun saya selalu merasa bahwa pengalaman tersebut layak untuk dikenang. Ya, makanannya luar biasa parah dan disajikan di atas baki logam, seakan-akan kita adalah narapidana. Ya, banyak orang yang tidur di lantai dan berebut menggunakan persediaan air bersih yang kadang berhenti mengalir begitu saja di saat kita sedang sikat gigi atau mandi. Dan, ya, kecoak-kecoak kecil senantiasa terlihat, menambah perasaan cemas di kala kita mencoba untuk tidur di atas dipan yang keras di kabin (dan di salah satu perjalanan serupa yang dilakukan Agus Yanto setelah pelayaran perdana ini, serangga kecil ini masuk ke telinganya).
Akan tetapi saya selalu tersenyum ketika saya bercerita tentang pengalaman ini. Saya ingat betapa saya bersuka-cita saat berlari turun untuk menginjakkan kaki di pelabuhan Lampung hanya karena saya iseng ingin bercerita dengan jujur pada suatu hari nanti bahwa saya sudah pernah ke Lampung. Saya juga suka dengan hembusan angin laut yang bertambah kencang ketika hujan datang. Berkat pengalaman melaut ini, saya juga bisa membayangkan bagaimana serunya kapal Titanic. Sedikit banyak saya jadi bernostalgia saat melihat filmnya (tapi saya bersyukur bahwa kapal yang saya tumpangi tidak tenggelam).
Soedjoko, beberapa saat setelah feri yang kita tumpangi meninggalkan Batam. |
Walau saya belum pernah mencoba kapal pesiar seperti Royal Caribbean, saya rasa saya cukup menikmati perjalanan lewat laut, terutama saat menaiki kapal yang besar dan kokoh dalam mengarungi lautan. Kalau naik kapal kecil, feri dari Singapura ke Batam misalnya, bahkan perjalanan singkat pun terasa tidak nyaman saat laut bergelora. Saya paling tidak suka perasaan saat feri terangkat dan dihempaskan oleh ombak.
Kalau saya diminta untuk memilih, sarana transportasi yang saya sukai adalah perjalanan darat, baik dengan menggunakan mobil, bis atau kereta api. Cara ini memang lebih lambat, tapi juga lebih aman dan banyak yang bisa dilihat, terutama saat kita menjelajahi benua Eropa. Pemandangannya lebih indah dan berwarna-warni di sana.
Markus dan Hady, saat kita menaiki bis dan bertolak dari Phnom Penh ke Siem Reap. Foto oleh Endrico Richard. |
Perjalanan darat menggunakan mobil, terlebih lagi mobil pribadi yang ditumpangi bersama teman atau keluarga, pastilah terasa lebih menyenangkan. Kendati begitu, terbatasnya ruang gerak bisa menjadi masalah bila perjalanannya memakan waktu berjam-jam. Perjalanan darat terpanjang yang pernah saya tempuh adalah Jakarta-Bali yang membutuhkan waktu dua hari satu malam. Selama perjalanan tersebut, untunglah saya duduk sendiri di belakang sehingga saya bisa berbaring dan tidur kapan pun saya mau, haha. Perjalanan tersebut juga terasa lebih manusiawi karena kita berhenti dari kota ke kota setelah kita berada di mobil selama tiga sampai empat jam lamanya.
Saya rasa perjalanan darat menggunakan mobil selama dua atau tiga jam tidaklah begitu terasa melelahkan. Kalau lebih dari itu, saya lebih memilih menaiki bis karena lebih enak tempat duduknya dan lega ruang geraknya sehingga kita bisa meluruskan kaki. Tentu saja pengemudi bis yang tidak ugal-ugalan akan membuat perjalanan terasa lebih santai. Berdasarkan pengalaman sejauh ini, tur antar kota dari London ke Stonehenge dan Bath adalah yang paling berkesan dan indah pemandangannya. Di urutan kedua mungkin perjalanan dari Singapura ke Melaka. Bisnya bagus dan nyaman. Kalau bicara tentang perjalanan bis yang paling tidak terlupakan, saya rasa yang menduduki posisi puncak adalah rute dari Vietnam ke Kamboja. Bisnya yang besar bahkan harus masuk ke feri supaya kita bisa menyeberangi sungai!
Bersama Parno, Junaidi dan Sudarman di kereta kelas ekonomi dari Jakarta ke Bandung. |
Setelah mobil dan bis, yang paling seru dan menjadi favorit saya adalah kereta. Saya sudah mencoba kereta berdurasi limat menit dari Singapura ke Johor Bahru, kereta tua dari Nanning ke Guilin yang senantiasa dihampiri para pedagang yang menawarkan buku merah Mao Zedong, kereta malam yang membutuhkan waktu 12 jam dari Laos ke Thailand, kereta cepat Cina, shinkansen Jepang yang tepat waktu, Eurostar dari London ke Paris, kereta Virgins dari Liverpool ke London dan masih banyak lagi. Apa pun keretanya, saya menyukai perjalanannya. Kereta adalah cara berkelana yang paling rileks, kecuali saat kita harus membawa koper-koper yang besar, haha.
Jadi kalau kereta adalah transportasi yang paling ideal bagi saya, lantas sarana apa yang paling tidak saya sukai? Saya takut terbang dan selalu gelisah ketika pesawat berguncang, jadi jawabannya adalah pesawat terbang. Pengalaman pertama saya saat terbang di cuaca buruk adalah sewaktu saya menaiki Sriwijaya Air dari Jakarta ke Pontianak. Pesawatnya bergoyang hebat, sampai-sampai penumpang berdoa dalam agama masing-masing. Saya juga sempat menatap langit-langit pesawat karena getarannya meyakinkan saya bahwa sebentar lagi pesawat ini akan terbelah. Penerbangan malam dari Tokyo ke Hong Kong juga sama menakutkannya. Saat itu saya menaiki Dragonair, pesawat yang lebih kecil ukurannya bila dibandingkan dengan Cathay Pacific berlantai dua yang saya tumpangi di awal liburan ke Tokyo. Pesawat Dragonair ini juga bergetar-getar ketika pramugarinya muncul menyajikan makanan. Saya terpana menatapnya dan ketika saya membayangkan bahwa makanan ini mungkin saja menjadi perjamuan malam terakhir bagi saya, selera saya langsung hilang. Saya akhirnya menggeleng dan menolak tawarannya.
Transit di Dubai, meluruskan kaki dan menginjak bumi lagi setelah mengudara selama tujuh jam. Foto oleh Evelyn Nuryani. |
Berbicara tentang penerbangan malam, saya cenderung berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk penerbangan jarak jauh. Kalau kita terbang di malam hari, peluang kita untuk terlelap minimal beberapa jam pastilah lebih besar. Patokan saya sekarang ini adalah durasi tujuh jam dari Singapura ke Tokyo. Tujuh jam di udara tidaklah selama yang saya bayangkan sebelumnya, jadi saya dengan senang hati singgah di Dubai saat pergi ke Inggris. Dengan demikian, durasi 14 jam ini bisa dibagi dua dan tidak begitu terasa melelahkan. Perlu diingat bahwa pesawat berukuran besar juga membuat penerbangan terasa lebih stabil. Penerbangan yang saya tempuh dengan Emirates terasa mulus, walau pun saya hampir selalu terjaga di sepanjang perjalanan dan akhirnya menghabiskan waktu saya dengan menonton the Flash, serial TV yang kebetulan bisa saya saksikan di pesawat, haha.
Jadi demikianlah suka-duka berlibur menggunakan sarana transportasi laut, darat dan udara. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kereta adalah sarana yang paling nyaman. Saya mempunyai impian bahwa suatu hari nanti saya akan menaiki Trans-Mongolian Railway dari Ulaanbaatar ke Beijing. Mari kita saksikan bersama-sama, apa yang akan terwujud di usia 40: apakah Trans-Mongolian atau perjalanan kereta dari Armenia ke Georgia!
Evelyn Nuryani, sesaat sebelum kereta meninggalkan Paris dan menuju Versailles. |
No comments:
Post a Comment