Total Pageviews

Translate

Tuesday, March 2, 2021

Funny People

When I wrote about the colleagues, I was reminded again about how friendship was made. I even came up with a paragraph about it, but I eventually edited it out from the story as it didn't really fit in. But the idea lingered and waited to be told, therefore we had this one.

The previous article made me realize that there was a certain pattern or criteria for me to befriend someone. While this might sound odd to you, I had this peculiar understanding that days of making friends were over the moment I graduated from high school (back in school, other students were called school friends, not school colleagues). I had no close friends in college, except HM and Ardian, but even they were technically high school friends.

With Sudarto (second row, first one from the left) and Sugi (the one in shirt, next to birthday girl).

When I was in Jakarta, I inadvertently learnt that a new friendship could be forged. There was this guy called Sugi and he was actually my vendor. He was a nice fellow, quite funny and also seemed genuine. The fact that he was also skillful in what he did was definitely a plus, haha. After those burnt weekends and long hours we went through in solving network issues, I knew him well enough to call him a friend. By the time he needed help when he first moved to Singapore, I welcomed him into our midst. 

Then there was Soedjoko, also a vendor of mine in Jakarta then. In my term of hierarchy, vendor was the third tier and they came after colleagues, so they were even more unlikely to be friends. But yet after almost 20 years later, we still kept in touch and visited each other. Just like Sugi, he was also funny and sincere. He knew his stuff well, too. That's how we became lifelong friends. 

With Soedjoko (center) in Bangkok.

Third one, should we need more examples, was Sudarto. Unlike the first two, I never worked with him before. He was my housemate in Kembangan when I first came to Singapore. He was hilarious, a great friend with a keen sense of humor. We had great times during his stay in Singapore and I cherished the moments when we traveled to Vietnam and Cambodia

Based on these three, it's safe to say that I had a tendency to befriend people who were funny and decent. It wasn't difficult to recognize someone funny, but how to measure decency? I guess one could just sense it. I mean, you could tell if people were being too friendly, eager to please or they were simply comfortable to be who they were. You'd just feel it when they were on the same frequency. 

With HM in Pontianak, two years ago.

And that explained why my close friends were generally funny people. However, it turned out that exception did happen from time to time. HM, a friend I mentioned earlier, was not someone you'd call funny. He was a man of few words, but we were very close in last year of high school and throughout college days. Between the two of us, he was the smarter and wiser one. I always looked up to him, but it's still a mystery to me how two characters so different could be best of friends. 

Then of course another exception would be my wife. She got a loud infectious laughter when she laughed uncontrollably, but she was not funny by nature. I'd say she was the exact opposite of me in this aspect, but that's probably what I needed. She brought the severely lacking balance into the equation of our lives. I was the lucky one here and, truthfully speaking, only God knows what she saw in me, haha. Hmm, may be I should ask her one of these days...

Yani and I at VivoCity.




Orang-Orang Lucu

Ketika saya menulis tentang para kolega, saya jadi teringat tentang bagaimana persahabatan itu bermula. Saya bahkan sempat menulis satu paragraf, tapi akhirnya saya edit karena tidak sesuai dengan tema. Sebulan kemudian, ide ini masih menanti untuk dituangkan, jadi akhirnya saya pun menulis tentang hal ini. 

Tulisan tentang rekan kerja membuat saya menyadari bahwa ada semacam pola atau kriteria bagi saya untuk berteman dekat dengan orang lain. Walau ini mungkin terdengar aneh bagi anda, saya memiliki pemikiran bahwa hari-hari dimana kita berkenalan dan berteman itu usai setelah tamat SMA (hanya di masa sekolah kita menggunakan istilah teman sekelas. Kalau di dunia kerja, sebutan yang dipakai adalah rekan kerja atau kolega). Saya sendiri tidak memiliki teman dekat di saat kuliah. Yang akrab pada saat itu cuma Ardian dan HM, yang sebenarnya merupakan teman dari sejak SMA.

Bersama Sudarto (baris kedua, yang pertama dari kiri) dan Sugi (yang mengenakan kemeja di samping gadis kecil).

Ketika saya pindah dan bekerja di Jakarta, saya lantas menyadari bahwa persahabatan baru bisa dibina. Ada seorang kenalan bernama Sugi dan dia adalah mitra kerja saya yang berasal dari perusahaan lain. Dia baik dan sopan orangnya, lucu dan tulus pula. Fakta bahwa dia pakar di bidangnya adalah nilai tambah, haha. Setelah melalui akhir pekan dan malam-malam yang panjang dalam menyelesaikan masalah network, saya jadi kenal baik dan bersahabat dengannya. Tatkala dia butuh bantuan sewaktu pindah ke Singapura, saya pun membawanya masuk dan tinggal di rumah yang dihuni oleh saya dan para perantau lainnya. 

Selain itu ada pula Soedjoko. Dia juga merupakan mitra kerja saya di bidang ruang server dan perkabelan. Di dalam hirarki keakraban saya, yang namanya mitra itu ada di peringkat tiga, sesudah teman dekat dan rekan kerja. Akan tetapi setelah hampir 20 tahun berlalu, kita masih tetap bertegur sapa dan saling mengunjungi bilamana kita sempat. Sama halnya seperti Sugi, dia lucu dan apa adanya. Dia juga hebat di bidangnya. 

Bersama Soedjoko (tengah) di Bangkok.

Contoh ketiga adalah Sudarto. Berbeda dengan dua teman sebelumnya, dia tidak pernah menjadi mitra atau rekan kerja saya. Dia adalah teman serumah di Kembangan sewaktu saya datang mencari kerja di Singapura. Sudarto ini lucu orangnya, teman yang baik dan berselera humor. Sewaktu dia berada di Singapura, kita sering menghabiskan waktu bersama dan bahkan bertualang sampai ke Vietnam dan Kamboja

Dari tiga contoh ini, bisa disimpulkan bahwa saya cenderung berteman dengan orang yang lucu dan tulus ikhlas. Tidak sulit untuk mengenali orang lucu, tapi bagaimana caranya mengukur ketulusan seseorang? Saya rasa anda bisa merasakannya. Maksud saya, tentunya ada rasa risih bilamana seseorang itu terlalu bersahabat atau berusaha sedaya-upaya untuk membuat anda senang. Beda halnya kalau dia nyaman menjadi dirinya. Anda pun akan merasa cocok dan satu frekuensi dengan orang ini. 

Bersama HM di Pontianak, dua tahun silam.

Dari sini bisa dijelaskan kenapa teman-teman dekat saya biasanya lucu. Ya, karena saya sendiri pun gemar melucu. Namun ternyata ada pengecualian dari waktu ke waktu. HM yang sempat saya sebutkan di atas ini bukanlah kategori orang lucu. Dia pendiam dan tidak banyak berbicara, tapi kita berteman akrab di kelas tiga SMA dan sepanjang masa kuliah. Di antara kita berdua, dia lebih pintar dan bijak. Saya selalu mengaguminya dalam dua hal ini, tapi saya sendiri tidak pernah mengerti, kenapa dua karakter yang begitu berbeda ini bisa jadi teman baik, haha. 

Pengecualian yang satunya lagi adalah istri saya. Kalau dia sedang tergelak-gelak oleh sesuatu lelucon, suara tawanya bisa membuat saya ikut tertawa, namun dia bukanlah sosok yang lucu. Boleh dikatakan dia sungguh bertolak-belakang dengan saya dalam hal ini, tapi mungkin ini yang saya butuhkan. Keberadaannya membawa stabilitas dan rasionalitas dalam hidup saya. Jujur saya katakan bahwa saya sungguh beruntung. Terkadang saya jadi berpikir lagi, apa sebenarnya hal menarik yang dia lihat dari diri saya. Hmm, mungkin saya akan bertanya padanya suatu hari nanti...

Yani dan saya di VivoCity.

No comments:

Post a Comment