Saturday, April 26, 2025

11 Hours In Tianjin

I had only one reason to visit Tianjin: Hard Rock Cafe. This had been the plan since the first time I went to Beijing, but timing was an issue then. Learning from the past failure, it was different this round. 

Together with my colleague Fulton, I landed in Beijing two days earlier. This gave me the ample time to enjoy one night in Beijing before heading to Tianjin on the following morning. Departing from Beijing South Railway Station, I arrived in Tianjin about 10 AM. As we had about an hour before Hard Rock opened, we had our breakfast at McDonald's: a bowl of porridge!

At Tianjin Station.

After that, we headed to the metro station, bought our one way ticket and headed to Tianta. The metro station was linked to Luneng CC Plaza and it turned out that Hard Rock Cafe Tianjin was part of the mall. The Rock Shop was tiny and it had only limited selection. It didn't take long for me to get what I came here for. 

As we were paying at the cashier, Fulton figured out that Alipay could be used for metro ticket payment. It is amazing how integrated China is these days! We went for a bit of supermarket browsing, then jumped into the metro to go to Wudadao, which was one of the highlights according to AI.

Visting Minyuan Stadium.

The nearest metro station was still about 15 minutes walk to Wudadao. When we reached there, we only saw Minyuan Stadium. And, well, it was a stadium. The appreciation lasted only for a few seconds before we started wondering what Wudadao actually was. After a quick ice cream waffle, we circled the stadium and saw the map. So Wudadao is apparently a large area encompassing five lanes and housing a lot of colonial buildings. 

It would have taken us the whole afternoon if we really did the sightseeing, so we opted for lunch and left Wudadao instead, haha. On our way out, I saw Post Coffee, a unique combination of coffee stall and post office, similar to the one I saw in Chongqing. I quickly dropped by for a decade old tradition

The view from Dagu Bridge.

From Wudadao, AI recommended us to walk along the riverbank. Fulton refined the suggestion by heading to the last subway station before Tianjin Station, then it wouldn't be a long walk and yet we could still explore the riverside a bit. We did a slight detour for Pop Mart at the Tee Mall, then we crossed Dagu Bridge and headed to the Century Clock.

Tianjin Station is next to the clock. It was around 3 PM when we got there and we thought we would reach Beijing in no time. Much to my surprise, the next available tickets were the ones departing at 8.38 PM! Well, either that slot or train rides at later timing. I immediately secured them, then we headed to McDonald's to let the reality sink in. Once we had a break and accepted that we'd be here for another four hours, we decided to make good use of our time and walked towards the Ancient Culture Street.

Fulton explored the Ancient Culture Street.

It took us about an hour of walking at the riverside before reaching our destination. The experience somehow reminded me of Shanghai. It might be the river, I reckon. And I suddenly had a fatigue. It's like, after visiting four China cities in one year, Tianjin as the fifth one somehow looked pretty similar. 

And exploring the Ancient Culture Street clearly didn't help. It only enhanced the impression that cities in China are basically having the same layout: high rises buildings, the long and winding river, ancient street or town for tourists. After one round, we hopped onto the subway and returned to the train station. The last meal I had was spicy! But my last memory of Tianjin? Our business class seats! 

Fulton grinning on his business class seat.



11 jam Di Tianjin

Saya cuma memiliki satu alasan untuk mengunjungi Tianjin: Hard Rock Cafe. Ini sudah menjadi rencana saya sejak kunjungan pertama ke Beijing, tapi ternyata ada kendala waktu. Belajar dari pengalaman tersebut, kali ini beda pengaturannya. 

Bersama kolega saya Fulton, saya mendarat di Beijing dua hari lebih awal. Dengan demikian saya memiliki banyak waktu sebelum berangkat ke Tianjin pada keesokan paginya. Dari Beijing South Railway Station, saya tiba di Tianjin kira-kira jam 10 pagi. Karena masih ada satu jam sebelum Hard Rock buka, kita makan pagi di McDonald's: semangkuk bubur dan kopi pahit!

Di Stasiun Tianjin.

Setelah itu, kita naik metro menuju Tianta. Stasiun metro ini tersambung ke Luneng CC Plaza. Hard Rock Cafe Tianjin ternyata merupakan bagian dari mal. Rock Shop-nya mungil dan terbatas koleksinya. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan apa yang saya mau. 

Selagi kita melakukan pembayaran di kasir, Fulton menemukan bahwa Alipay bisa digunakan untuk membayar metro. Integrasi sistem di Cina memang luar biasa! Setelah mampir sejenak ke supermarket, kita kembali menaiki metro menuju Wudadao, salah satu destinasi turis menurut AI

Mengunjungi Minyuan Stadium.

Stasiun metro terdekat masih berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki ke Wudadao. Saat tiba di sana, yang kita lihat hanyalah Minyuan Stadium. Dan, berhubung ini cuma stadion, apresiasi kita luntur dalam beberapa detik. Jadi Wudadao itu sebenarnya apa? Saya beli es krim sejenak, lalu kita berjalan mengitari stadion dan menemukan peta. Di situ terlihat bahwa Wudadao adalah sebuah kawasan lima jalur yang memiliki banyak bangunan peninggalan zaman kolonial. 

Butuh setengah hari bila kita hendak melihat semuanya, jadi kita memilih makan siang dan pergi, haha. Dalam perjalanan keluar, saya melihat Post Coffee, kombinasi warung kopi dan kantor pos, mirip seperti yang saya lihat di Chongqing. Saya lekas mampir menunaikan tradisi

Pemandangan dari Dagu Bridge.

Dari Wudadao, AI menganjurkan agar kita berjalan di samping sungai. Fulton menyarankan bahwa sebaiknya kita naik metro dulu sampai ke pemberhentian terakhir sebelum Stasiun Tianjin, baru jalan dari situ sehingga tidak terlalu jauh. Menuruti usulnya, kita juga sempat singgah sebentar ke Pop Mart di Tee Mall, lalu berjalan melewati Dagu Bridge dan menuju ke Century Clock.

Tianjin Station berada tepat di samping Century Clock. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore saat kita sampai di sana. Berjalan santai menuju loket, saya sudah membayangkan bahwa kita akan segera tiba di Beijing. Siapa sangka tiket berikutnya adalah jam 8:38 malam? Pilihan kita cuma itu atau yang lebih malam lagi. Saya lekas membeli, kemudian kita duduk sejenak di McDonald's untuk meresapi kejutan yang baru saja terjadi. Setelah menerima kenyataan bahwa kita masih akan luntang-lantung di Tianjin selama empat jam, kita memanfaatkan waktu kita untuk mengunjungi Ancient Culture Street.

Di Ancient Culture Street.

Kita berjalan di samping sungai sekitar sejam lamanya sebelum mencapai destinasi. Pengalaman ini entah kenapa mengingatkan saya pada Shanghai. Mungkin karena sungainya. Dan mendadak saya merasa lelah dengan Cina. Rasanya seperti, setelah mengunjungi empat kota Cina dalam setahun, Tianjin sebagai kota ke-lima terlihat sama saja. 

Dan eksplorasi di Ancient Culture Street tidak membantu. Keberadaan kita di sana yang menguatkan kesan bahwa kota-kota di Cina memiliki tata kota yang sama: gedung-gedung tinggi, sungai yang panjang dan berkelok, kota lama atau jalan kuno untuk turis. Setelah satu putaran, kita naik metro dan kembali ke stasiun kereta. Makan malam saya terasa pedas nian. Tapi kenangan saya yang terakhir di Tianjin? Kursi kelas bisnis di kereta! 

Fulton tersenyum di kursi kelas bisnis.

Tuesday, April 22, 2025

Mega Man

Some days began with innocent wishes. About three weeks ago, right before the Seremban trip, it was like, "hmm, I haven't listened to the Mega Man soundtrack for a really, really long while. How about a little bit of it to start the morning?" And it turned out to be a blast from the past. As I walked to the bus stop, images from distant memories appeared in my head.

It was nostalgic. And for a good reason. I was listening to Mega Man 2 OST, the one that really started it all for me: good music, good game play, bigger and better. But in order to understand this, let me bring you back to Pontianak in the late 80s. 

We were young then and we were at the dawn of Nintendo Entertainment System. Every now and then, we'd have something new that was game-changing, pun intended. After Super Mario Bros and the Legend of Zelda, came Rockman. Yes, in the pre-internet world, we only knew the Blue Bomber as Rockman. And the first release wasn't exactly great. In hindsight, it was one of the most difficult entry in the original series!

It was still the first, though. It laid the foundation. It gave us iconic characters such as Cut Man or Guts Man. By the time Capcom came back with Rockman 2, they made it so much better that it became the default version of anything Mega Man to me: more bosses, from 6 to 8; a game long enough that I could call it an adventure; a difficulty level that I could handle; cool weapons that would became the template of subsequent games; and of course the music.

Yes, Mega Man 3 did introduce the sliding ability and Mega Man 4 got me standing in awe at Ligo Mitra, a local supermarket in Pontianak, because of the new ability called Charge Shot (and I bought the cartridge after saving enough money). However, it was Mega Man 2 that made me fall in love. 

It was through that game I became a fan, charging forward as Mega Man, combating the likes of Metal Man, Wood Man and more, accompanied by the electrifying music that got me going. The final battle against Dr. Wily was unforgettable. Players could only use Bubble Lead, the lamest but only weapon that worked!

If there were times in your childhood that made you feel like you were a hero fighting the evil force in order to save the world, this was the definitely one of the moments. The soundtrack resonated with this memory, forever securing Mega Man a spot in my life... 

Mega Man in action!



Rockman

Terkadang ada hari yang bermula dengan keinginan yang polos. Kira-kira tiga minggu lalu, sebelum liburan ke Seremban, saya tiba-tiba kepikiran, "sudah lama saya tidak mendengar musik Rockman. Bagaimana kalau saya putar sejenak?" Dan dampaknya bagaikan kilasan masa lalu. Sewaktu saya berjalan ke halte bis, aneka kenangan berkelebat di benak saya. 

Saya terbuai nostalgia saat mendengarkan musik Rockman 2, game yang memulai segalanya: bagus musiknya, seru pula game-nya. Untuk memahami deskripsi ini, mari saya bawa anda kembali ke Pontianak di akhir tahun 80an. 

Generasi saya masih muda pada saat itu dan kita tepat berada di permulaan hebohnya Nintendo. Setiap beberapa bulan, kita akan dengar game yang populer dan terkini. Setelah Super Mario Bros dan the Legend of Zelda, muncullah Rockman. Ya, di dunia sebelum internet, kita cuma mengenalnya sebagai Rockman, bukan Mega Man. Dan episode pertama dari serial Rockman ini terkenal sebagai salah satu yang paling sulit! 

Kendati begitu, sebagai game pertama, Rockman 1 menjadi fondasi bagi episode berikutnya. Dari game ini lahir pula karakter-karakter yang populer seperti Cut Man dan Guts Man. Di saat Capcom kembali dengan Rockman 2, hasilnya jauh lebih bagus dan menjadi versi yang paling saya sukai: bosnya bertambah, dari 6 menjadi 8; game-nya cukup panjang untuk sebuah petualangan; tingkat kesulitannya tidak membuat frustrasi; delapan senjata yang diperoleh dari bos pun menjadi standar bagi game berikutnya; dan tentu saja musiknya.

Ya, Rockman 3 memperkenalkan aksi selancar dan Rockman 4 membuat saya terpukau, tanpa sadar berdiri di samping etalase Ligo Mitra, melihat anak pemilik supermarket mengontrol Rockman menghimpun energi sebelum menembakkan Charge Shot (dan saya membeli game tersebut setelah uang tabungan saya cukup). Namun yang membuat saya jatuh cinta tetaplah Rockman 2.

Lewat game ini, saya menjadi penggemar, menerobos marabahaya sebagai Rockman, melawan musuh seperti Metal Man, Wood Man dan lain-lain, diiringi dengan musik yang saya ingat hingga hari ini. Pertarungan terakhir dengan Dr. Wily juga tak terlupakan. Sebagai Rockman, saya yang bisa menggunakan Bubble Lead, senjata gelembung yang lemah tapi satu-satunya yang berfungsi! 

Jika ada kenangan masa kecil yang membuat anda merasa seperti pahlawan memberantas kejahatan demi menyelamatkan dunia, ini ada salah satunya! Dan musik yang melantun di telinga saya ini membuat saya teringat lagi dengan kenangan tersebut, selamanya mengabadikan Rockman sebagai bagian dari hidup saya... 

Saturday, April 5, 2025

The Budget Airline

This story was inspired by a moment I experienced at the end of the Seremban trip. I was inside the plane, waiting for it to depart from KLIA. As I browsed the shopping magazine, I saw a t-shirt with a tagline that caught my attention: Seek adventure. Now everyone can fly. Since 2001.

How it rang true. Before AirAsia, it was a different time. Flying was a luxury in the late 90s. There was a time when my friends and I had to take Lawit, a passenger ship that sailed for four days three nights from Pontianak to Jakarta. It was the cheapest option then. 

My first encounter with AirAsia wasn't exactly a pleasant one. I first heard of it in 2005 from Yani when we worked together at Kalbe Farma. She told me about the IDR 0 promo. As online booking was so new then, I didn't know how it worked. I kept clicking next and entered my credit card number unsuspectingly. Lo and behold, I actually paid the full price instead! So off I went to Bali by myself

Only God knows how many times I had taken AirAsia since then. The memorable ones, such as trip to Laos, usually departed from KL. The furthest route I took, from KL to Hangzhou, was the AirAsia X flight. The last one before COVID-19 was the flight from Pontianak to Bangkok, with an overnight stay at KLIA. The rather unusual one was the flight to Bandar Seri Begawan in 2009. I flew from Johor Bahru and transit in Kota Kinabalu. Managed to see the town before I resumed my flight to Brunei.

Looking back, it'd been 20 years since I boarded my first AirAsia flight. While budget airlines may seem common now, AirAsia was revolutionary back when all this started. It was a game changer, that flying was no longer out of reach. AirAsia enabled people like me to see the world. That's when I called the steward, telling him that I needed the t-shirt that had just inspired me...

Seek adventure!
Photo by Linda Emily





Maskapai Penerbangan Murah

Cerita ini terinspirasi dari apa yang saya lihat di penghujung liburan ke Seremban. Saat itu saya berada di dalam pesawat, menanti lepas landas di KLIA. Selagi saya membolak-balik majalah, tiba-tiba saya melihat kaos dengan tulisan yang menarik perhatian saya: Seek adventure. Now everyone can fly. Since 2001.

Betapa benarnya kalimat tersebut. Dunia sebelum AirAsia adalah masa yang berbeda. Bisa naik pesawat adalah sebuah kemewahan tersendiri di akhir tahun 90an. Saat itu, saya dan teman-teman harus naik Lawit, kapal yang mengarungi laut selama empat hari tiga malam, hanya untuk bepergian dari Pontianak ke Jakarta. Itu adalah pilihan paling murah di zaman itu. 

Interaksi saya yang pertama dengan AirAsia sangat berkesan, tapi kurang menyenangkan. Kala itu tahun 2005 dan saya mendengar nama maskapai ini dari Yani, saat kita sama-sama bekerja di Kalbe Farma. Waktu itu dia bercerita tentang promo Rp. 0. Karena sistem pembelian tiket secara online masih baru, saya tidak paham cara kerjanya. Saya isi setiap bagian yang kosong, termasuk data kartu kredit, lalu klik next sampai usai. Siapa sangka tiket terbeli sesuai dengan harga yang tertera? Akhirnya saya pun ke Bali seorang diri.  

Sejak itu, entah berapa sering sudah saya menaiki AirAsia. Yang berkesan, misalnya perjalanan ke Laos, biasanya lewat KL. Rute saya yang terjauh, dari KL ke Hangzhou, dilayani oleh AirAsia X. Penerbangan saya yang terakhir sebelum COVID-19 melanda adalah rute Pontianak ke Bangkok, plus satu malam menginap di KLIA. Yang sedikit berbeda adalah petualangan Bandar Seri Begawan di tahun 2009. Saya terbang dari Johor Bahru dan transit dulu di Kota Kinabalu. Setelah berjalan-jalan sejenak, barulah saya lanjut ke Brunei.

20 tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali menaiki pesawat AirAsia. Penerbangan murah mungkin terlihat lumrah sekarang, tapi AirAsia sangatlah revolusioner sewaktu semua ini bermula. AirAsia mengubah situasi pada saat itu dan memungkinkan orang-orang seperti saya untuk melihat dunia. Tersentak dari lamunan saat pramugara lewat di samping, saya pun memanggil dan berkata padanya bahwa saya perlu kaos yang baru saja membuat saya terinspirasi...