Total Pageviews

Translate

Friday, April 10, 2020

Life In The Time Of Corona

This story was started with DORSCON Orange on Friday, February 7. I remember the date clearly because my high school friends and I were supposed to have our yearly hangout that day. I didn't know what DORSCON Orange meant and I didn't even bother to find out, but after it was announced, the rest of the day felt eerie. 

It was bad, but I didn't know how bad. I never experienced this before. As I headed to Clarke Quay that night, I remember breathing slowly through my nose, as if what I did would filter the coronavirus! So silly! But that was me responding to the situation. I wouldn't lie that I felt anxious, too.

The night with a lot of calls.

I met a bunch of old friends that night. It was a happy occasion, especially when we had Mul joining us for the first time, but I couldn't say that I enjoyed that evening. Throughout the night, I received calls and had to make several calls as well. There was work to be done over the weekend, so there we were in office on the following day. 

We spend both Saturday and Sunday sending people home. It was tiresome, but little did we know that it was only the prelude to what was coming in April. It would get worse, but we had more than a month to adjust and after a while, life felt like going back to normal again.

The KFC chicken that didn't taste good. 

I was trying the spicy Thai chicken at KFC when my wife received the news about the travel advisory that required travelers to be subjected to either 14 days stay-home notice or quarantine. It was on March 15 and by the time we received that, my friend Endrico was about to board his flight to Jakarta. He hasn't returned to Singapore since then. 

The spicy Thai chicken wasn't that great to begin with, but the news surely made it even hard to swallow. For someone who loves to travel, the news was a disaster. I didn't like it, but given the escalating COVID-19 situation, the measure was necessary. In fact, drastic measures would be implemented rather quickly right after this. 10 days later, the pubs and cinemas were closed down. Not much left in term of indulgence.

Before the watering holes were closed down.

But apparently the worst was yet to come. This brought us to this week, when almost everything was suspended until further notice. Gone was the crowd in Raffles Place, something that I never saw before on weekdays. There was a certain sadness upon seeing this. It was like things were coming to an end. The bustling CBD area suddenly looked almost like a ghost town. 

Then came the announcement that we had to send 75% of our staff back so that they began working from home. We did some preparation on Sunday, knowing that it was the calm before the storm. Then all hell broke loose on Monday. The usual routines were dropped and whatever plans I made before the announcement last week went out of the window. Temper flared and voice was raised. We struggled to find the order within chaos. Everyone came to tell us the problem, but to whom could we share our problem with? My only consolation was what my colleague Alfa sent to us:

The irony that rang true.

It was ironic and yet it was so true. It did feel like that and I just had to laugh. But I didn't wish to end like the musicians. It was an uphill battle, alright, but one that I didn't have to fight alone. That's when I sought for help. Much to my surprise, some colleagues actually responded. 

I was really touched by the sense of camaraderie. To think that I was just your average Joe. They could just ignore me, but no, they volunteered and asked nothing in return. In the time of need, I was grateful to know that I got friends. We shouldered on for the next three days, some were behind the scene, some were on the frontline, and finally came the night when we made the impossible happen. I felt extremely tired, but I walked home with a piece of memory that I'd proudly look back.

The night we made it happen.

COVID-19 was the sum many things. In the beginning, I remember thinking that I didn't want to live in fear, therefore I tried to live my life as normal as possible, just like how it used to be. I went out for drinks and carried on watching movies in the cinema.  

When the situation went from bad to worse, I suddenly thought about Dad. Perhaps there was a reason why he left us last year. Imagine if he had to go through chemotherapy in the midst of all this, it'd be nightmare for all of us. Knowing him, he wouldn't want to be a burden for us. On top of that, he'd be worried sick about our safety, too.

Last picture with Dad. 

Then came a day like today. It was as bad as it got, but every cloud had a silver lining. It was quite scary to be out there, but it was grand to know that solidarity still existed. I was blessed with a chance to witness humanity at its best. It was an honour to serve and work side-by-side with these wonderful colleagues whom were willing to put other people's needs before theirs. And to see those people smile after we helped them... it felt like we did the right thing so, no, IT job wasn't bad at all! Slightly better than being musicians on the Titanic, I'd say!


Kisah Di Musim Corona

Cerita ini dimulai dengan DORSCON Oranye yang diumumkan pada hari Jumat sore, tanggal 7 Februari. Saya ingat jelas tanggal tersebut karena di hari yang sama, saya dan teman-teman SMA berkumpul di perjamuan makan dan minum yang kita adakan tiap tahun. Saya tidak tahu apa arti DORSCON Oranye dan saya bahkan tidak ingin mencari tahu. Yang saya tahu adalah, setelah diumumkan, malam itu rasanya tidak karuan lagi. 

Kesannya buruk, tapi saya tidak tahu seberapa buruk. Saya tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Ketika saya berjalan ke Clarke Quay, tanpa sadar saya bernapas dengan perlahan, seakan-akan apa yang saya lakukan ini bisa menyaring coronavirus! Betapa konyolnya respon saya ini. Jujur saya katakan, saat itu saya gelisah dan agak takut juga.

Malam yang penuh dengan dering telepon.

Saya bertemu dengan teman-teman lama di malam itu. Harusnya malam itu meriah seperti biasanya, apalagi ini adalah kali pertama Mul turut hadir dan berpesta, tapi cukup sulit bagi saya untuk benar-benar menikmati acara. Sepanjang malam, saya ditelepon dan juga menelpon beberapa orang. Ada pekerjaan dadakan yang mesti dikerjakan di akhir pekan, jadi saya dan tim pun kembali ke kantor. 

Sabtu dan Minggu akhirnya dihabiskan untuk mempersiapkan komputer-komputer karyawan supaya mereka bisa bekerja dari rumah. Cukup melelahkan, tapi kalau dilihat kembali, apa yang dikerjakan pada akhir pekan ini hanyalah sepersekian dari apa yang akan terjadi di bulan April. Kondisi COVID-19 akan kian parah, tapi berhubung kita memiliki waktu sebulan lebih untuk beradaptasi, keadaan pun sempat normal kembali di bulan Februari.

Ayam KFC yang kurang sedap.

Saya sedang mencicipi menu ayam goreng Thai di KFC tatkala istri saya menerima berita larangan yang mewajibkan para penumpang yang masuk ke Singapura untuk dikarantina atau dirumahkan selama 14 hari. Hari itu adalah tanggal 15 Maret dan di saat yang sama, Endrico sedang berjalan ke pesawat yang akan membawanya ke Jakarta. Dia belum kembali ke Singapura semenjak menaiki pesawat tersebut. 

Dari sejak pertama kali disantap, ayam goreng Thai yang pedas ini sudah terasa tidak begitu enak. Berita yang baru kita terima ini kian menghilangkan selera. Untuk seseorang yang gemar berjalan-jalan, larangan ini terasa seperti bencana. Saya merasa bahwa ini adalah berita konyol, tapi kasus COVID-19 memang kian merebak dan tindakan ini dirasakan perlu oleh pemerintah Singapura. Respon yang kian drastis pun terjadi 10 hari sesudah ini. Dengan ditutupnya pub dan bioskop, habis sudah kesenangan hidup di Singapura.

Malam sebelum pub ditutup.

Namun yang situasi buruk ternyata masih berlanjut. Di minggu ini, hampir semua usaha yang tidak tergolong kebutuhan primer akhirnya ditutup. Bahkan celana saya yang baru selesai dijahit pun akhirnya tak bisa diambil. Hilang sudah keramaian di Raffles Place, sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya selama 14 tahun di Singapura. Kesannya seperti mau kiamat. Daerah perkantoran yang biasanya aktif kini terlihat seperti kota mati. 

Kemudian terdengar pengumuman bahwa kita harus memulangkan 75% tenaga kerja di kantor supaya mereka bisa bekerja dari rumah. Saya dan tim bekerja di hari Minggu karena hanya di hari inilah kita bisa melakukan persiapan. Ketika Senin tiba, situasi segera terasa kacau. Kebiasaan rutin di kantor hilang sudah. Demikian juga halnya dengan rencana yang saya buat sebelum pengumuman minggu lalu. Semua berbondong-bondong datang secara fisik, lewat fitur chat atau telepon, berharap agar kita menyelesaikan masalah mereka sementara kita berusaha untuk tetap tenang. Emosi bergejolak dan kadang suara pun meninggi. Satu-satunya hiburan saya adalah apa yang dikirimkan oleh kolega saya Alfa:

Ironi yang sulit disangkal.

Status ini kesannya ironis, namun juga teramat sangat benar. Rasanya memang seperti itu dan saya akhirnya tertawa. Kendati begitu, saya tidak ingin berakhir seperti para musisi di Titanic. Ya, ini memang situasi yang sulit, tapi saya menyadari bahwa saya tidak perlu menghadapinya sendiri. Saya lantas mencoba mencari bantuan. Di luar dugaan, ternyata beberapa kolega langsung merespon dengan positif.  

Saya sungguh tersentuh dengan semangat kebersamaan ini, padahal kalau dipikir-pikir, saya cuma kolega mereka dan mereka bisa saja mengabaikan saya. Akan tetapi mereka justru membantu secara sukarela tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Di saat seperti ini, sungguh beruntung rasanya bila memiliki teman. Kita bekerja bahu-membahu selama tiga hari. Ada yang di belakang layar dan sibuk konfigurasi, ada yang membantu staff lain secara langsung. Dan di malam itu kita membuat yang mustahil terwujud. Saya lelah sekali, tapi saya bisa berjalan pulang dengan sebuah kenangan yang kelak akan saya lihat kembali dengan rasa bangga.

Malam ketika kita berhasil mencapai 75%.

COVID-19 adalah sebuah pengalaman tentang banyak hal. Pada mulanya, saya berpikir bahwa saya tidak akan hidup dalam rasa takut, jadi saya pun menjalani hidup senormal mungkin. Saya melakukan apa yang biasa saya lakukan, seperti minum bersama teman dan menonton di bioskop. 

Ketika situasi memburuk, mendadak saya teringat tentang Papa. Mungkin ada alasannya kenapa dia meninggalkan keluarga di tahun lalu. Bayangkan jika dia harus menjalani kemoterapi ketika dunia dilanda COVID-19, bagaimana kita harus melaluinya? Saya tahu Papa dan dia pastilah akan merasa sangat sedih jika menjadi beban keluarga. Di samping itu, dia akan dirundung kecemasan akan keselamatan keluarganya juga.

Foto terakhir bersama Papa.

Kemudian tibalah hari seperti hari ini. Situasi sudah sedemikian buruknya, namun dari setiap peristiwa selalu ada hal yang bisa kita pelajari. Memang ada rasa ngeri saat berada di luar rumah, tapi luar biasa rasanya saat mengetahui bahwa solidaritas masih ada di masa-masa yang penuh percobaan seperti ini. Saya merasa diberkati karena berkesempatan untuk menyaksikan sebuah nilai kemanusiaan secara langsung. Adalah suatu kehormatan bisa bekerja sama-sama dengan para rekan kerja yang rela menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Dan ketika saya melihat orang tersenyum setelah kita membantu mereka, rasanya kita telah melakukan hal yang benar. Oh ya, pekerjaan IT itu tidak terlalu buruk! Sedikit lebih baik dari musisi di Titanic!

No comments:

Post a Comment