Sunday, July 6, 2025

The Doomscrolling

And we thought binge-watching on Netflix was bad! Like many others, I've also got my own addictions to battle. For example, I am still hooked by crackberry, even long after BBM ended (it was simply replaced by WhatsApp). It was a struggle to sit down and really make a conversation with a person in front of you, just like what I did with my wife when we had a dinner. Oh yes, dinner and drink were probably the few times I could totally put my phone down on the table. 

The Crackberry addiction...

Now, on top of the ongoing crackberry addiction, I began realizing a new pattern that I developed lately. Yes, scrolling down the newsfeed on Facebook was already part of my lifestyle for as long as I could remember. However, I couldn't help noticing that recently, I spent a lot of times watching those short videos on Facebook.

I just had to click one, let's say a snippet of Two and a Half Men, then from that point onwards, anything else that caught my attention would continue to appear. It could be a few minutes of stand-up comedy, then scenes of crocodiles in action (yeah, I am somehow fascinated by how unpredictable crocodiles are), a quick laugh with Everybody Loves Raymond, etc. And I'd keep scrolling down until I reached office. 

The reels on Facebook.

The biggest difference between the two behaviours described above is this: I could still stop scrolling down the newsfeed on Facebook. But those videos, it was as if there was this voice whispering to me, may be one more? By the time I reached Downtown Station, what felt like a harmless suggestion had turned out to be more than one video for sure. 

I remember reading a specific term about this before. When I cross-checked this on Perplexity AI, there were many names for the syndrome: infinite scroll, zombie scrolling and doomscrolling. They all basically meant the same thing: the unconscious act of scrolling through social media or other content, typically without a clear goal or endpoint.

Kinda spooky, though. I'm not a TikTok user, but I reckon it could be worse for them. Time for digital detox, perhaps? Maybe it's time to try out the Minimal Phone? Or probably I should wait a bit for the BlackBerry Classic revival in the form of Zinwa Q25? We shall see!

The Minimal Phone.



Kecanduan Digital

Dan kita dulu menyangka bahwa yang namanya binge-watching di Netflix itu tidak baik! Tak berbeda dengan orang lain, saya pun memiliki masalah kecanduan yang perlu saya atasi. Sebagai contoh, sampai hari ini saya masih terbelenggu crackberry, lama setelah BBM tamat (dan kini tergantikan dengan WhatsApp). Perlu perjuangan untuk bisa duduk dan benar-benar berbincang dengan lawan bicara, seperti halnya yang saya lakukan dengan istri saat kita makan malam di luar. Oh ya, acara makan dan minum adalah sekali-kalinya saya bisa mengabaikan telepon saya di meja. 

Kecanduan Crackberry...

Selain masalah ketergantungan crackberry, saya menyadari bahwa ada pola baru yang mulai saya jalani tanpa sadar. Membaca berita di Facebook adalah bagian dari hidup sejak penghujung dekade pertama di abad 21. Akan tetapi menghabiskan waktu menonton video singkat di Facebook adalah perihal baru yang tidak biasa. 

Saya cukup menekan satu, misalnya cuplikan Two and a Half Men, lalu apa saja yang menarik perhatian saya akan terus bermunculan, mulai dari beberapa menit komedi, lalu video tentang buaya (ya, entah kenapa saya selalu tertarik dengan tindak-tanduk buaya yang tidak bisa diprediksi), tawa singkat bersama Everybody Loves Raymond dan lain-lain. Saya akan terus membuka video berikutnya sampai saya tiba di kantor. 

Reels di Facebook.

Perbedaan paling mendasar dari dua prilaku ini adalah kontrol diri. Untuk berita Facebook, saya masih bisa berhenti. Tapi untuk video-video singkat ini, sepertinya ada suara yang berbisik, tak apa-apa, satu video lagi saja. Dan di saat saya tiba di Stasiun Downtown, saran bawah sadar itu membuat saya menghabiskan waktu melihat entah berapa banyak video selama perjalanan ke kantor. 

Saya ingat bahwa saya pernah membaca tentang hal ini sebelumnya. Ketika saya cari lagi menggunakan Perplexity AI, sindrom ini muncul dalam berbagai nama: gulir tanpa akhir, gulir zombi dan gulir hingga kiamat. Semua ini memiliki definisi yang kurang-lebih sama: perbuatan menggulir ke bawah tanpa sadar untuk melihat konten media sosial yang tidak jelas tujuannya dan tidak memiliki akhir. 

Agak seram juga nama dan penjabarannya. Saya bukan pengguna Tiktok, tapi saya jadi membayangkan, mungkin lebih parah lagi bagi mereka. Apa sudah waktunya untuk detoksifikasi digital? Ganti ke Minimal Phone? Atau mungkin tunggu sampai bulan depan untuk menantikan kembalinya BlackBerry Classic dalam bentuk Zinwa Q25? Hmm, mari kita lihat bersama-sama...

Minimal Phone.

Saturday, July 5, 2025

All The Money In The World

It was another Tuesday morning. Just like most of the people from my generation these days, I scrolled the newsfeed on my Facebook immediately I woke up. Soon I found myself staring at all the flags shown under the caption saying countries with lowest inflation rate. Bahrain captured my attention and I did some research on my Perplexity AI. For the Middle East standard, apparently Bahrain wasn't an expensive country. 

What I did just now reminded me of Australia and other countries I visited before. For a country with a currency weaker than SGD, Australia certainly was more expensive. On average, the meal was two times of what I would have paid in Singapore! So, no, Australia, didn't feel affordable. Perth was a nice place, though. And very generous with french fries.

Similar experience was felt in Hong Kong. I definitely felt the pinch the moment I traveled out from Shenzhen. Hong Kong was cramped and expensive. A tiny, costly hotel room as opposed to a much cheaper and spacious unit with living room that I had while I was in Shenzhen. China was generally okay, but Hong Kong was an exception!

India, on the other hand, was very cost friendly for SGD holders. The price of the Uber ride was so cheap that I couldn't help pressing the confirm button. It was the same feeling in Malaysia, especially Ipoh. The price was so unbelievably attractive that I wished I could have ordered ten Grab ride at one go.

Taiwan was also budget friendly. The most memorable moment I had was when I went through the Din Tai Fung bill. It was just about SGD 50. You certainly can't get this price for a family of four if you eat at any Din Tai Fung in Singapore!

Europe was a different ball game, though. The currencies, be it GBP, EUR or CHF, are stronger than SGD. Everything in UK and Western Europe also felt more expensive than Singapore. The time in Europe was one of the few times I felt inferior earning SGD. One consolation I had was the gelato. It was somehow much cheaper in Salzburg!

Brunei is unique because the currency is pegged to SGD at a fixed 1:1 exchange rate. I had this thought that it must be as developed as Singapore, too. Imagine my surprise when I visited the country. It was nowhere close to Singapore and somewhat comparable to Malaysia. I might be biased, but I couldn't shake of the feeling that things should have been cheaper in Brunei. 

Having said that, the rest of Southeast Asia, from Myanmar to Indonesia, was a good place for me to travel. It was so affordable. Good and cheap! Cambodia was probably the only other exception, as KHR had a fixed exchange rate and the country also used USD as a legal tender. When we entered Cambodia from Vietnam, some of us actually paid USD 1 just to use the toilet.

Overall, it's still pretty cool to earn SGD and spend it on another currencies. It was fun to feel like a king. Even when things were much more expensive for us, at least SGD was strong enough to cushion it, haha. That probably explained why traveling was an option, not a luxury...






Uang dan Nilai Tukar 

Di hari Selasa pagi, seperti kebanyakan orang di generasi saya, saya melihat-lihat Facebook begitu saya bangun. Ada satu gambar dengan banyak bendera yang memiliki tajuk negara-negara dengan tingkat inflasi terendah. Bendera Bahrain menarik perhatian saya. Riset pun segera dilakukan dengan Perplexity AI. Untuk ukuran Timur Tengah, ternyata Bahrain tidak tergolong mahal untuk dikunjungi. 

Apa yang baru saja saya lakukan ini mengingatkan saya pada Australia dan beberapa negara lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Untuk negara dengan mata uang lebih lemah dari SGD, Australia tidaklah murah. Secara rata-rata, harga sekali makan bisa dikatakan dua kali lipat dari harga di Singapura. Tapi Perth enak suasananya. Dan tempat makan di sana sangat murah hati dengan kuantitas kentang gorengnya. 

Pengalaman serupa terasa di Hong Kong. Perbedaan drastis ini dialami saat saya keluar dari Shenzhen. Hong Kong terasa padat dan mahal. Kamar hotelnya kecil, berbeda dengan kamar yang luas plus ruang tamu yang saya tempati di Shenzen. Rata-rata kota di Cina masih wajar harganya, tapi Hong Kong adalah pengecualian! 

Di sisi lain, India sangat terjangkau bagi pemegang SGD. Harga Uber di sana sungguh terasa murah, sampai-sampai saya menekan konfirmasi tanpa keraguan. Sama halnya pula dengan Malaysia, terutama di Ipoh. Harganya selalu membuat saya tertawa dan berharap seandainya saja saya bisa langsung pesan 10 mobil sekaligus. 

Taiwan juga ramah bagi yang ingin berhemat. Yang paling mengesankan adalah restoran Din Tai Fung. Hanya kisaran SGD 50 untuk makan siang. Harga segini sungguh mustahil bagi satu keluarga dengan dua anak yang bersantap di Din Tai Fung Singapura!

Kalau Eropa beda lagi ceritanya. Mata uangnya, mulai dari GBP, EUR atau CHF, lebih perkasa dari SGD. Segala sesuatu di Inggris dan Eropa Barat terasa lebih mahal dari Singapura. Satu hal yang sering terasa di Eropa adalah lemahnya SGD. Satu-satunya penghiburan yang saya temukan adalah gelato. Di Salzburg, harganya dua kali lebih dari Singapura. 

Brunei tergolong unik karena mata uangnya yang dipatok 1:1 dengan SGD. Saya jadi membayangkan bahwa negaranya pastilah semaju Singapura juga. Bayangkan betapa kagetnya saya pas tiba di sana. Negara ini lebih mirip Malaysia daripada Singapura. Saya mungkin bias, tapi berdasarkan apa yang saya lihat, saya jadi merasa seharusnya harga barang-barang di Brunei lebih murah.

Negara-negara lain di Asia Tenggara, mulai dari  Myanmar sampai Indonesia, sangat ramah bagi kantong saya. Murah dan terjangkau! Kamboja mungkin satu-satunya pengecualian karena KHR memiliki kurs tetap dan juga menggunakan USD dalam jual-beli. Ketika kita memasuki Kamboja dari Vietnam, beberapa di antara kita membayar mahal USD 1 hanya untuk kencing. 

Secara umum, pendapatan SGD dan pengeluaran menggunakan mata uang lain memang masih ok. Sedap rasanya saat menjadi seperti raja. Bahkan ketika segala sesuatu terasa lebih mahal, ketangguhan SGD sangat membantu dalam membendung kemahalan yang terasa. Mungkin ini alasannya kenapa berjalan-jalan adalah pilihan, bukan kemewahan...