Total Pageviews

Translate

Monday, November 4, 2019

CrackBerry

"CrackBerry is the nickname given to a BlackBerry device, a handheld smartphone to which users have a tendency to become addicted. The term is a combination of “crack” - or crack cocaine, which is a highly-addictive narcotic - and BlackBerry."
https://www.techopedia.com/definition/14902/crackberry

My friend Budiman, a fellow Roadblogger, once said that we came from the best generation ever. I concurred. We had a proper childhood that included outdoor and indoor playtime. We witnessed the rise of the Internet. We were definitely old enough to buy the smartphone we liked on a whim, but not too old to understand the latest piece of technology we were holding in our hands. We could really use it and unlike the generation before us, we were connected more than ever. 

We could make a call and do a lot more than twenty years ago, when handphone could only do calling, SMS sending and simple gaming. I'd read news on my favorite Facebook pages and Flipboard, write my blog, google stuff, read my emails, make video-calls, check-in using Swarm, call cabs, book my flights and hotel, check the currency rates, find my way using the map, note down the appointments on my calendar, translate other languages, scribble notes, take photos, watch movies, do online shopping and banking, listen to music, etc. The point is, in the history of mankind, the world is literally at our fingertips for the first time ever.

Then of course there was this chatting feature. I can't speak for others, but for me, long before everything else could be done on a smartphone, this neat little feature was what came handy and got me hooked. The BBM and its blinking red LED light started the craze. Note that chatting wasn't exactly new then, because we could already chat on a desktop computer, but the capability to do so on the go was certainly a game-changer. It was so addictive that I subconsciously felt the need to check the messages constantly.

The world, at my fingertips.
Photo by Evelyn Nuryani.

Many years had gone by since then. BBM was no more and WhatsApp had overtaken it, but the CrackBerry symptoms remained. I just couldn't help it. I remember the first day in Paris. It was one of the rare occasions that I had no connection in 4G era, simply because I hadn't bought the local SIM card yet. I was restless, feeling lost when we explored the city without Google Maps. The biggest gripe was, of course, the fact that I felt disconnected from my chat groups. It was like cold turkey! Much to my wife's chagrin, I couldn't really enjoy the sightseeing until we came out from the telco shop nearby Galleries Lafayette. 

That's not to say that I am glued to my phone all the time. During office hours, I rarely checked my phone because I was so busy (that's the beauty of working in Singapore. We are so busy that time flies so fast). Other than that, I didn't think I do a good job in kicking the habit. 

I'd been warned many times about this by my wife, but the wake up call only happened recently, when I had duck rice with my seniors from Futures industry. One of us was busy typing on the phone because his customer was asking something. DNO, the funny one, then jokingly said in Hokkien, "bo eng mai lai lah," which could be translated as, "if you're so busy, then it's better for you not to come."

It was hilarious and true at the same time. Right after that, throughout the lunch time, we ate and talked just like the good old days, not distracted by phone. For the first time ever in a long while, it felt right. Before we parted way, a phone was pulled out so that we could take a picture together. Now that was a proper use of technology! Instead of getting in the way, it was used at the right time. That, my friends, was probably the way to go! 

Lunch with DNO (the second one from the left) and friends.


CrackBerry

"CrackBerry adalah julukan yang diberikan pada BlackBerry, smartphone yang membuat penggunanya ketagihan. Istilah ini merupakan kombinasi dari “crack” - yang berarti kokain, narkotika yang sangat adiktif - dan BlackBerry."
https://www.techopedia.com/definition/14902/crackberry

Teman saya Budiman, sesama Roadblogger, pernah berkata bahwa kita berasal dari generasi terbaik. Saya cenderung setuju. Kita memiliki masa kecil dengan berbagai permainan di dalam dan di luar rumah. Kita menyaksikan asal mula internet. Di usia sekarang ini, kita bisa membeli smartphone apa saja yang kita sukai, tapi belum terlalu tua untuk memahami cara penggunaan teknologi paling canggih dalam genggaman kita. Berbeda dengan orang tua kita yang gagap teknologi, kita bisa dengan mudah menggunakannya.

Kita bisa menelepon dan melakukan begitu banyak hal lainnya. Sungguh berbeda dengan dua puluh tahun silam, ketika telepon genggam hanya bisa untuk menelepon, mengirim SMS dan bermain game sederhana. Saya membaca berita di laman Facebook favorit saya dan juga di Flipboard. Saya bisa menulis blog, mencari informasi apa saja di Google, membaca email, melakukan panggilan video, check-in tempat yang saya kunjungi dengan aplikasi Swarm, memanggil taksi, membeli tiket pesawat, memesan kamar hotel, melihat kurs mata uang, mencari jalan dengan Google Maps, membuat catatan dan janji, memotret, menonton, berbelanja dan melakukan transaksi perbankan secara online, mendengarkan musik dan mengerjakan apa saja. Intinya adalah, dalam sejarah manusia, untuk pertama kalinya dunia sungguh bagaikan berada dalam genggaman kita. 

Kemudian tentu saja ada yang namanya fitur chatting. Bagi saya pribadi, jauh sebelum hal-hal di atas bisa dilakukan, fitur inilah yang benar-benar menghubungkan saya dengan dunia dan membuat saya ketagihan. BBM dan kedipan lampu LED-nya yang berwarna merah memulai segalanya. Meski chatting bukanlah hal baru pada saat itu karena kita sudah bisa melakukannya di komputer, tapi BBM yang memungkinkan kita untuk chatting setiap saat sungguh mengubah kebiasaan kita. Sejak saat itu saya sering tanpa sadar mengeluarkan telepon dari saku untuk memeriksa pesan masuk. 

Tahun demi tahun pun berlalu. BBM telah menjadi bagian sejarah dan tergantikan oleh WhatsApp, tapi gejala CrackBerry masih tidak bisa dihilangkan. Saya ingat betul hari pertama saya di Paris. Sore itu adalah sesekalinya saya tidak memiliki koneksi di era 4G karena saya belum membeli kartu SIM lokal. Saya sungguh gelisah saat menyusuri Paris tanpa Google Maps, namun masalah terbesar yang saya rasakan adalah betapa terkucilnya saya karena terputus dari grup chat. Istri saya pun kesal karena saya tidak menikmati liburan. Keresahan saya baru berakhir ketika saya menemukan toko telkom di dekat Galleries Lafayette.

Bingung dan tak tentu arah di Galleries Lafayette karena tidak ada sinyal.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Kendati begitu, ini tidak berarti saya senantiasa terpaku dengan smartphone saya. Pada saat jam kerja, saya jarang melihat telepon karena kesibukan di kantor (ini satu hal yang saya sukai di Singapura. Begitu sibuknya kita sehingga waktu pun berlalu dengan cepat). Selain itu, saya tergolong parah dalam hal ketergantungan pada smartphone

Istri saya sudah memperingatkan saya beberapa kali akan kebiasaan buruk ini, tapi saya baru tersadar beberapa hari yang lalu, ketika saya menikmati nasi bebek bersama para senior saya di dunia trading. Saat itu salah satu dari kita sibuk mengetik di telepon genggamnya karena menjawab pertanyaan dari nasabahnya. DNO, teman kita yang lucu, lantas menyeletuk dalam bahasa Hokkien, "bo eng mai lai lah." Kalau diterjemahkan, artinya kira-kira, "jangan datang kalau sibuk."

Komentarnya kocak tapi mengena. Segera setelah itu, sepanjang makan siang, kita bersantap dan berbincang seperti dulu kala, dimana kita tidak sibuk sendiri dengan smartphone. Senang juga rasanya. Kemudian, sebelum kita berpisah, kita pun berfoto bersama. Ini baru yang namanya penggunaan teknologi yang tepat pada waktunya! Setelah dipikir lagi, mungkin seharusnya beginilah yang terjadi saat kita kumpul bersama, ya?

No comments:

Post a Comment