Total Pageviews

Translate

Thursday, July 7, 2022

Not All Apps Are Created Equal

I kid you not! I had the title lingering in my mind for the past few days, as if it begged to be written! It was so amusing that I couldn't help thinking about it. This story started with an incident that happened few days ago, when a friend that was pretty active in our WhatsApp group chat suddenly contacted me via Messenger. She asked me to top up her prepaid phone. When I mentioned that in our group, another friend said she was asked to provided the SMS OTP. Then a friend in Bali was asked to lend her money. Needless to say, we knew immediately that her Facebook account was hacked. The issue was sorted out quickly. 

But how did we go from the experience above to the idea that not all apps are created equal? In order to understand this, let's go back to the very beginning, to the dawn of the internet. I was old enough to be a young man during this exciting time in Pontianak. Internet cafes were thriving and it was hard to get seats on Saturday night. Every youngster would be there to play mIRC. We'd be logging in to channels such as #khuntien and #bawel, getting to know girls. Though we could be banned if we accidentally said something that was deemed as abusive, we couldn't go wrong with the opening line: "ASL, please." 

For those who were born after the internet, it might sound weird that we found this thrilling. You had to realize that just a year before, we were hanging out at Telkom's public phone booths, holding a stack of coins while conversing with girls we tried to impress. It was unglam and we had to suffer from mosquito bites. Going from analog conversation like that to asking Age, Sex, Location to strangers was beyond wild! The internet was a miracle, mIRC was a godsend and ASL was the universal internet slang that ruled them all! Good times! Got me no girlfriends, though. Only one or two pen pals, haha.

Then there was ICQ. I just had to mention this, even though it wasn't as popular as mIRC. In fact, I knew it only from Jun Fui, a fellow computer lab assistant and a geeky friend of mine. I never used ICQ for chatting purpose, but it did one thing that was quite valuable at that time: it could send SMS to the mobile phone. Yes, SMS. Short Message Service containing only 160 characters. Back when you barely had enough money to top up your prepaid number, free SMS was too good to be true. While it might seem silly by today's standard, being able to send a couple of SMSes for free per day was a luxury back then!

When I went to Jakarta few years later in 2002, the internet had significantly improved in just a short period of time. I was now using Yahoo! Messenger on a desktop computer. I think it was the first chat app that introduced emojis to me. Cool stuff. Now people could know that I was smiling when I replied them. Then I switched to Google Talk when I moved to Singapore because... the girl I loved also used it, haha. One more that was worth mentioning during this period was MSN Messenger. I used it because some Singaporean friends used it, too. 

Then came the time when the three messengers above were made available on mobile phone. There was an app that allowed us to log in to all three. But this coincided with the rise of BBM. With a native app on a phone that was so widely used, especially in Indonesia, third-party messengers seemed redundant. When BlackBerry was riding high, BBM was all I needed. Looking back, I liked the idea of BBM pin. Nobody could add you without your permission, haha.

Skype appeared around the same time. The voice call feature was its main attraction. I remember those days when I always had to buy the prepaid cards for long distance calls to Indonesia. Skype eliminated this costly need. Suddenly it was free to make a call! So there was a period of time when Yani and I used this quite regularly. I remember staying in Eunos, getting ready for a call at 8pm Singapore Time. It was a date!

Then came WhatsApp that changed it all. It started small, as if it was a BBM wannabe that used phone number instead of pin. But then it got better. One-to-one chat, ticked. Group chat, ticked. Voice call ticked. Video call, ticked. Group call, ticked. File sharing ticked. By then, it had become the ultimate communication tool that we must have. BBM's days were numbered and I remember the fateful day when I had to say goodbye to the most beloved app during its heyday.

And that brought us back to Messenger. If you observed the apps that I described above, each of them was quite revolutionary and it served its purpose. But in a world where WhatsApp was the benchmark, Messenger looked like a sad little app with not much use. Both had pretty similar features, but nobody I knew really used Messenger. The recent case got me wondering, perhaps the only time the app became useful was when it inadvertently alerted us that the person's Facebook account had been hacked. How ironic. So it's true that not all apps are created equal...

PS: yes, I know there were still other apps such as Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat, Viber, and many more, but I never really used those. I remember reading it somewhere that Chinese had WeChat, Japanese had Line and South Koreans had KakaoTalk, but only Indonesians had the time to use them all to chat with the same people, haha.  

Those logos we saw before...




Tidak Semua Aplikasi Diciptakan Setara

Percaya atau tidak, beberapa hari ini judul di atas selalu muncul di benak saya, seakan-akan meminta untuk diceritakan. Agak mengherankan juga, sebenarnya. Cerita kali ini dimulai dengan sebuah peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, ketika seorang teman yang cukup aktif di grup WhatsApp tiba-tiba menghubungi saya lewat Messenger. Dia ingin agar saya mengirimkan pulsa untuknya. Sewaktu saya pos ini di grup, seorang teman lain langsung bercerita bahwa dia juga dimintai SMS OTP. Kemudian seorang teman di Bali juga ternyata diminta untuk meminjamkan uang. Kita langsung tahu bahwa akun Facebook teman yang satu ini telah dibajak. Isu ini pun segera ditindaklanjuti. 

Akan tetapi apa hubungan kejadian di atas dengan ide bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara? Untuk mengerti lebih lanjut, mari kita kembali ke awal munculnya internet di Pontianak. Saat itu saya adalah seorang pemuda di periode yang gegap-gempita. Internet cafe bertaburan di mana-mana dan penuh-sesak di malam Minggu oleh muda-mudi yang ingin bermain mIRC. Kita sibuk di channel #khuntien dan #bawel untuk mencari pacar. Walau kita bisa didepak kalau salah bicara, tapi sudah pasti aman kalau memulai perkenalan dengan, "ASL, please." 

Bagi yang lahir setelah zaman internet, mungkin sulit untuk memahami kenapa hal seperti ini bisa terasa seru. Anda harus menyadari bahwa setahun sebelumnya, angkatan saya masih berkumpul di telepon umum kantor Telkom sambil menggenggam setumpuk koin untuk menelepon gadis yang diincar. Ini jelas kalah pamor, ditambah lagi banyak nyamuk. Peralihan dari pengalaman seperti ini ke internet, lalu bertanya Age, Sex, Location pada orang asing, rasanya seperti dahsyat sekali. Internet adalah sebuah keajaiban, mIRC adalah kiriman Tuhan dan ASL adalah istilah universal yang menjembatani perkenalan! Masa-masa yang menyenangkan. Tapi saya tidak dapat pacar. Hanya dapat satu atau dua sahabat pena, haha. 

Lantas muncul ICQ. Saya wajib sebutkan yang satu ini, meskipun ICQ tidak sepopuler mIRC. Saya sendiri baru tahu aplikasi ini dari Jun Fui, sesama asisten lab komputer dan juga teman saya yang kutu-buku. Saya tidak menggunakan ICQ untuk chatting, tapi untuk satu fitur yang bisa dilakukan oleh aplikasi ini: mengirim SMS ke HP. Ya, SMS. Short Message Service yang hanya berisi 160 karakter. Di zaman tatkala saya sering kekurangan uang untuk membeli pulsa, SMS gratis itu bagaikan berkat. Walau mungkin terlihat konyol sekarang, bisa mengirimkan beberapa SMS gratis per hari adalah suatu kemewahan tersendiri di masa itu!  

Sewaktu saya pindah ke Jakarta di tahun 2002, internet sudah jauh lebih maju. Kini saya menggunakan Yahoo! Messenger di komputer. Seingat saya, dari aplikasi inilah saya menggunakan emoji untuk pertama kalinya. Ini adalah hal kecil yang luar biasa. Sekarang pembaca bisa tahu kalau saya sedang tersenyum saat merespon komentarnya. Kemudian, setelah pindah ke Singapura, saya menggunakan Google Talk karena... wanita yang sukai juga menggunakannya, haha. Satu lagi dari masa ini yang perlu saya sebutkan adalah MSN Messenger. Saya juga pakai ini karena banyak teman-teman Singapura yang menggunakannya.

Lalu tiba era di mana tiga aplikasi di atas bisa digunakan di telepon genggam. Jadi ada satu aplikasi yang bisa sambung ke Yahoo! Messenger, Google Talk dan MSN Messenger. Kedengarannya memang praktis, tapi semua ini terjadi ketika BBM mulai populer. Dengan aplikasi yang sudah tersedia di telepon yang digunakan oleh begitu banyak orang, terutama di Indonesia, tiga aplikasi di atas jadi seperti ekstra dan tidak begitu diperlukan. Di era BlackBerry, satu-satunya yang saya perlukan adalah BBM. Jikalau saya lihat kembali lagi sekarang, saya suka dengan konsep pin BBM. Orang lain tidak bisa semena-mena menghubungi anda, apabila tidak ada permisi dari anda, haha. 

Skype juga muncul di saat BBM menyapu bersih aplikasi lainnya. Fitur telepon lewat internet adalah atraksi utamanya. Saya ingat betul hari-hari di mana saya perlu membeli kartu untuk sambungan langsung internasional. Kemunculan Skype mengurangi biaya dari keperluan ini. Tiba-tiba saja kita bisa menelepon secara gratis. Jadi ada periode di mana saya dan Yani cukup rutin menggunakan aplikasi ini. Saya ingat saat itu saya tinggal di Eunos. Jadi kita cukup janjian, misalnya telepon jam 8 malam waktu Singapura, dan kini bisa berbicara langsung! 

Sesudah itu muncul WhatsApp yang mengubah segalanya. Di awal kiprahnya, WhatsApp mirip seperti tiruan BBM yang menggunakan nomor telepon sebagai ganti pin. Kemudian WhatsApp kian berkembang. Chat perorangan, bisa. Chat secara group, bisa. Panggilan suara, bisa. Panggilan video, bisa. Panggilan lebih dari satu orang, bisa. Kirim file, juga bisa! Akhirnya WhatsApp menjadi andalan sehari-hari. BBM pun pudar. Saya ingat betul dengan hari-hari terakhir dari aplikasi yang kalah saing ini. 

Dan cerita di atas membawa kita kembali ke Messenger. Bila anda perhatikan setiap aplikasi yang saya jabarkan di atas, setiap aplikasi ini cukup revolusioner dan memainkan peran penting di zamannya. Tapi di dunia di mana WhatsApp kini jadi patokan, Messenger terlihat mengenaskan. Dua-duanya memiliki fitur yang mirip, tapi dari semua yang saya kenal, tidak ada seorang pun yang benar-benar menggunakan Messenger. Insiden di atas membuat saya membayangkan, sekali-kalinya Messenger terasa berguna adalah saat akun Facebook kena bajak. Sungguh ironis. Jadi benar bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara...

NB: ya, saya tahu masih banyak aplikasi lain seperti Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat atau Viber, tapi saya tidak menggunakan semua itu. Satu hal yang saya pernah saya baca dan ingat adalah, orang Cina punya WeChat, orang Jepang punya Line dan orang Korea ada KakaoTalk, tapi hanya orang Indonesia yang punya waktu menggunakan semua aplikasi ini untuk chat dengan orang yang itu-itu juga, haha.  

No comments:

Post a Comment