Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Fauna. Show all posts
Showing posts with label Fauna. Show all posts

Thursday, November 5, 2020

Night Safari

Since traveling was strictly not allowed, life in the time of corona meant you gotta make do with what Singapore had to offer. Shortly after Phase Two began, we explored the country and visited the places I never thought I'd go before, from Jurong Lakeside Gardens, the Animal Resort to Admiralty Park. 

In the midst of all these visits, I suddenly thought of bringing my daughter to Night Safari. She had never been there before and it'd been a while since the two of us travelled together. Oh yes, the last time we did that, she was still chubby and short-haired. She was a lovely 5-year-old girl when we went to Hong Kong in early 2018. 

To the Night Safari!

Three birthdays had passed since then and my daughter was now eight years old. She was very much aware of this world than before, but yet more interested in YouTube and all sorts of things that one could find on a mobile phone. In a short period of time, she had changed a lot, so it'd be good for me to spend time with my little girl again. 

So off we went to Night Safari. Apparently there was a bus to Khatib MRT station that went via highway and we could also continued with a shuttle bus from there, hence the journey was rather smooth. We reached there right on time for dinner, therefore we went to KFC as planned.

The tram ride. 
 
Our zoo time began with a tram ride. I remember when I first had a ride in 2006. The thing with Night Safari for the first timer is, you won't know what to expect. The darkness will make you wonder, will the animals roam freely and suddenly appear next to you? I stared at my daughter as she observed her surroundings curiously. 

By the way, to answer the question above, the tapir did appear out of nowhere. It was both a nice surprise and a humbling experience. There was this feeling that we were really out of our depth when we passed by the woodland at night. The animals were in their element while we had to look high and low to find them. 

Exploring the Wallaby Trail. 

The second leg of the Night Safari was exploring the trails on foot. We started with Wallaby Trail and then East Lodge Trail, where we took a break for a while. My daughter was excited as we talked about nocturnal animals. Oh yes, she knows the term nocturnal, something that she learnt after she kept hamsters as pets.

For those of you who didn't get it, nortunal means active at night. If you ever thought of why the lions were just lying on the ground when you saw them at the zoo, that's because they are nocturnal. We saw both Asiatic and African lions while we were there, but her favorite animal was the sugar gliders, haha.

Ice cream time!

While we were at East Lodge, we had ice creams. I guess, in a way, a father's role is to spoil his daughter like the princess she is. Yes, a father is to instill manners and bring the best behavior out of her, but in a good day, it's anything she wants. Can't help it, really. How to say no? So, yeah, no mother would buy her daughter an ice cream at 8pm, but a Dad surely would!

And the journey continued from East Lodge to Leopard Trail and Fishing Cat Trail. There was still some energy left in her when we stepped into Mangrove Walk enclosure as she'd like to see the bats, the animal known to her as the carrier of coronavirus. But the bats flew past us swiftly. In the dark of the night, we could have a glimpse of something flying from one end to another, but we never had a clear look of the creatures.

Sharing a cup of slushy at Ulu Ulu Restaurant. 

My daughter lost her interest after that. It had been quite a long walk for her, so she felt tired and wanted to go home instead. Not even a pangolin or a gharial could save the night, so we headed to the exit.

Before going home, we had a cup of slushy, the flavored ice that causes brain freeze if you drink it too fast, haha. It was around 9pm at night. What was forbidden by Mum, was overruled by Dad for this occasion, haha. It was good to hang out with my little girl again. She grows up so fast that I may not have many chances left!

The map of Night Safari.


Night Safari

Karena liburan ke luar negeri tidak diijinkan pada saat ini, hidup di masa korona berarti beradaptasi dengan wahana yang ada di Singapura. Tak lama setelah Fase Dua dimulai, saya dan keluarga berkunjung ke tempat-tempat yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya, seperti Jurong Lakeside Gardens, Animal Resort dan Admiralty Park. 

Dari berbagai pilihan yang ada, lantas terpikir oleh saya untuk membawa putri saya ke Night Safari. Dia belum pernah ke sini dan dua tahun sudah berlalu terhitung sejak kita terakhir kali berlibur berdua. Linda berumur lima tahun,  masih tembem pipinya dan pendek rambutnya ketika kita berlibur ke Hong Kong di tahun 2018. 

Di bis dari Khatib menuju ke Night Safari. 

Tiga ulang tahun sudah berlalu semenjak itu dan kini dia berusia delapan tahun. Wawasannya tentang dunia kian luas, tapi ketertarikannya pada YouTube dan hal-hal yang berkaitan dengan handphone semakin menjadi-jadi pula. Dalam waktu singkat, dia sudah berubah banyak, jadi saya ingin menghabiskan waktu berdua bersamanya lagi sebagai seorang ayah dan putrinya. 

Jadi kita pun berangkat ke Night Safari. Dari belakang rumah, ada bis yang langsung menuju stasiun MRT Khatib melalui jalan tol. Dari Khatib, ada bis jurusan kebun binatang sehingga perjalanan ke sana pun menjadi praktis dan tepat waktu. Kita tiba di sana tepat pada jam makan dan kita pun bersantap malam di KFC seperti yang telah direncanakan.  

Naik trem keliling kebun binatang.

Petualangan di Night Safari dimulai dengan keliling naik kereta. Sambil menatap putri saya mengamati sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu, saya jadi teringat dengan pengalaman pertama saya di tahun 2006. Dalam kegelapan malam, saya jadi menduga-duga, apakah binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran dan bisa tiba-tiba muncul di samping kita? 

Bila anda ingin tahu jawabannya, di malam itu ada tapir yang mendadak terlihat di samping kiri kereta. Suatu kejutan dan juga pengalaman yang bersahaja. Terasa bahwa manusia itu tidak berdaya di tengah gelapnya malam dan lebatnya pepohonan. Hewan-hewan ini berada di elemen mereka sementara kita harus celingukan dan mencari di mana sebenarnya mereka berada. 

Menjelajahi Wallaby Trail.

Bagian kedua dari Night Safari adalah menjelajahi kebun binatang dengan berjalan kaki. Setelah kereta berhenti di tempat semula, kita mulai menyusuri Wallaby Trail dan East Lodge Trail. Putri saya bercakap-cakap dengan riang tentang hewan nokturnal. Oh ya, dia tahu arti nokturnal. Ini adalah kata yang baru dia pelajari setelah memelihara hamster.

Bagi anda yang tidak tahu, nokturnal artinya aktif di malam hari. Jadi kalau anda pernah merasa heran kenapa singa biasanya hanya berbaring saja saat anda lihat di kebun binatang, itu karena singa adalah hewan nokturnal. Di Night Safari, kita melihat singa Asia dan Afrika, tapi coba tebak apa binatang favorit Linda? Wupih sirsik alias sugar glider, haha.

Menikmati es krim di East Lodge.

Sewaktu kita tiba di East Lodge, Kita menikmati es krim sejenak. Saya jadi berpikir bahwa peran seorang ayah itu adalah memanjakan putrinya seperti seorang putri raja. Ya, seorang ayah berkewajiban untuk memastikan putrinya memiliki perilaku yang baik dan sopan, tapi di saat santai, sang ayah akan memberikan apa saja yang putrinya mau. Susah untuk menolak, haha. Sepertinya tidak ada ibu yang akan membelikan putrinya es krim jam delapan malam, tapi ayah akan mengabulkannya!

Dari East Lodge, Kita lanjut ke Leopard Trail dan Fishing Cat Trail. Linda masih terlihat cukup antusias saat kita melangkah masuk ke Mangrove Walk. Dia ingin melihat kelelawar, hewan yang diyakininya sebagai penyebar korona. Akan tetapi kelelawar melintas dengan cepat di kiri-kanan kita. Di bawah cahaya lampu di malam hari, kita hanya bisa melihat sesuatu yang melayang melewati kita, tapi tidak terlihat jelas bentuknya. 

Berbagi slushy di Ulu Ulu Restaurant. 

Putri saya pun lelah setelah lama berjalan. Rute yang kita tempuh tergolong cukup panjang dan dia merasa cape. Bahkan trenggiling dan buaya gharial tidak lagi menarik perhatiannya, jadi kita pun berjalan ke arah pinti keluar. 

Sebelum pulang, kita sempat beristirahat sejenak sambil menikmati segelas slushy, es parut rasa anggur yang dinginnya akan terasa sampai di otak bila kita minum terlalu cepat, haha. Saat itu jam sudah menunjukkan lebih dari pukul sembilan malam. Apa yang biasanya dilarang Mama, diijinkan oleh Papa di malam ini. Senang rasanya bisa bertualang berdua bersama putri saya lagi. Dia tumbuh begitu cepat sehingga mungkin tidak banyak lagi kesempatan yang tersisa buat saya! 

Tuesday, November 21, 2017

At The Zoo

Outdoor activities such as jungle trekking is way too challenging for me, definitely something that I won't plan for my holiday, but on the other hand, I'm always fascinated by the wildlife. This perhaps explains why zoo visit is often featured in my travelling itinerary. It's like the best way to see tiger without getting mauled by it.

Three brave men and a tiger. Good for them, but I'd prefer to keep some distance!
Photo owned by Bernard Lau.

The lifelong interest was triggered by my Mum. After many bedtime stories about the animals, she eventually brought me to see the real deal. I vaguely remember the Pontianak Zoo, located on Jalan Adi Sucipto, nearby the advertisement board that shaped like a giant tin can of Dancow milk powder. The crocodile looked menacing in its watery cage and there were few bears in the pit. The zoo was very old school and, for the fact that it was badly designed and poorly maintained, perhaps it's a good thing that it is now closed down permanently.

Though it was awful by today's standard, the visit to the Pontianak Zoo had a lasting impression. I was in awe since then, always eager to come back for more and zoo visits quickly became the highlights of my childhood. My next recollection, for the longest time, was this memory of seeing a polar bear in Jakarta. I remember wondering how the polar bear was going to survive the tropical weather, so was the memory real or was I just dreaming then?

First visit to Taman Safari.

It was real, apparently, but I used to think that the zoo was Ragunan, therefore it didn't seem right, because Jakarta was so hot and humid that the polar bear could melt and die of dehydration. Thanks to Wikipedia, I figured out recently that Taman Safari did house polar bears in the past. It made sense, since the weather was cool. Located in Bogor, Taman Safari was the animal theme park where we had to drive through, because the animals roamed freely. It was a brilliant experience, but yet it took me another two decades before I got a chance to visit such theme park again, this time the sequel of the original Taman Safari in East Java, haha.

With Setia (middle) and Alfan (right), visiting Taman Safari II in East Java.
Photo by Endrico Richard. 

Meanwhile, the journey continued and it brought me to the best zoo to date: the Singapore Zoo. I remember visiting Jurong Bird Park at the same time, but apart from the penguins enclosure, I didn't find the bird park enjoyable. Singapore Zoo was the impressive one and throughout the years, it kept evolving and spawning new attractions such as Night Safari and River Safari. The former is like visiting a zoo at night, definitely unique as some animals are nocturnal, which means they are only active after dark. The latter has a river theme with panda's enclosure slotted in the middle of it.

Jurong Bird Park? It looks like one, but I think this was me at the Singapore Zoo.

As an adult, I went to many zoos, from Malacca Zoo to Yangon Zoo. Now, if Singapore Zoo is the best, why would I bother to visit others? First of all, it was only through those visits I ended up concluding that Singapore Zoo is still ranked as number one thus far. Secondly, not even Singapore Zoo has all the animals that I'd like to see. For example, I went all the way to Tama Zoo just because I wanted to see the majestic African elephants (as a bonus, it also had Indian rhinos there). At Ueno Zoo, I saw gorillas for the first time. Same goes for Bactrian camel and takin that I saw at Nanning Zoo and Guangzhou Zoo respectively. Furthermore, the climate varied from one place to another. I had this idea that the animals could behave differently due to this. This theory might or might not be true, but when I was in Guangzhou Zoo during Chinese New Year, I heard the tiger growling from afar for the first time ever and it was loud! To think that it was just a growl and the tiger hadn't roared yet! Anyway, I think the big cat was hungry due to the cold weather in the beginning of spring season, haha.

It was a pity that I didn't go to the London Zoo, one of the oldest zoos in the world, but hopefully I'll have the chance one day. However, if there's one in the bucket list right now, it has to be the Biblical Zoo in Jerusalem. With such a biblical name, I guess it can't go wrong. Is there anybody keen for a trip to Israel?

Joseph and I, at the Yangon Zoo.


Di Kebun Binatang

Saya tidak termasuk peminat aktivitas yang terlalu menantang seperti mendaki gunung atau menjelajah hutan, jadi saya tidak pernah merencanakan kegiatan yang ekstrim seperti itu tatkala berlibur. Kendati begitu, di satu sisi, saya selalu menyukai dunia fauna sehingga kebun binatang seringkali menjadi salah satu tempat tujuan perjalanan saya. Bagi saya, kebun binatang adalah tempat ideal untuk menyalurkan hobi tanpa resiko diterkam harimau.

Minat yang satu ini ditanamkan sejak dini oleh ibu saya. Dia suka mendongeng tentang gajah, jerapah dan hewan lainnya sewaktu saya masih balita, kemudian dia membawa saya berkunjung ke kebun binatang untuk pertama kalinya. Kalau saya tidak salah mengingat, Kebun Binatang Pontianak terletak di jalan Adi Sucipto, tidak jauh dari papan iklan berbentuk kaleng susu Dancow. Buayanya berendam dalam air dan dikurung di balik jeruji besi. Selain itu ada juga kandang yang berbentuk seperti sumur sehingga kita harus memanjat dan melihat beberapa beruang di bawah sana. Kebun binatang yang kecil, tidak hewani dan juga tidak terawat ini sekarang telah ditutup selamanya.

Junaidi dan jerapah, sewaktu kita berkunjung ke Kebun Binatang Bandung.

Meski terlihat buruk untuk standar masa kini, kunjungan ke Kebun Binatang Pontianak itu memberikan kesan pertama yang abadi. Sejak itu saya terkesima dengan fauna dan tidak pernah menolak bila diajak ke kebun binatang. Kenangan saya yang berikutnya adalah ingatan tentang beruang kutub di Jakarta. Saya ingat betul bahwa saat itu saya merasa heran, bagaimana bisa beruang kutub bertahan di daerah tropis, jadi apakah kenangan itu benar terjadi atau saya hanyalah bermimpi?

Setelah diselidiki, saya tidak sepenuhnya salah ingat, namun selama ini saya selalu menyangka bahwa saya melihat beruang kutub di Ragunan, oleh karena itu terasa tidak masuk akal, sebab Jakarta sangat panas dan bisa-bisa beruang kutub itu mati meleleh karena cuaca di Jakarta. Berkat Wikipedia, saya akhirnya menyadari bahwa kenangan itu terjadi di Taman Safari. Karena letaknya yang tinggi di daerah pegunungan, iklimnya dingin dan tidak terlalu buruk untuk beruang kutub. Taman Safari terletak di daerah Bogor dan merupakan taman yang dijelajahi dengan mobil karena hewan-hewannya bebas berkeliaran. Sungguh pengalaman yang berbeda dari kebun binatang biasa, namun saya hanya berkesempatan untuk mengunjungi Taman Safari lagi dua puluh tahun kemudian, kali ini kita ke Taman Safari II di Jawa Timur, haha.

Dari kiri: Markus, Endrico, Lina, Andy, Alfan, Anthony. Fendy dan Sugi.

Sementara itu, petualangan terus berlanjut dan saya akhirnya mengunjungi kebun binatang terbagus sampai sejauh ini: Kebun Binatang Singapura. Saya juga berkunjung ke Jurong Bird Park pada saat yang hampir bersamaan, namun selain pesona kandang penguin yang terbuat dari kaca, saya cenderung tidak begitu menyukai taman burung. Kebun Binatang Singapura jauh lebih berkesan, selalu berinovasi dan telah melahirkan dua tempat wisata baru. Yang pertama adalah Night Safari, kebun binatang malam hari yang tentunya unik karena menampilkan binatang yang aktif di malam hari, sedangkan River Safari adalah kebun binatang dengan tema sungai dan juga memiliki kandang khusus untuk panda.

Yani dan Linda di River Safari.

Setelah dewasa, saya masih tetap mampir ke berbagai kebun binatang, mulai dari yang di Malaka sampai dengan yang di Yangon. Nah, jika yang di Singapura adalah kebun binatang terbagus, kenapa saya masih saja mengunjungi kebun binatang lainnya? Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa saya bisa berkesimpulan bahwa Singapura memiliki kebun binatang terbaik karena saya mempunyai perbandingan setelah melihat yang lain.

Kedua, perlu ditekankan juga bahwa kebun binatang terbaik pun tidak sanggup mengoleksi semua fauna. Karena alasan inilah saya tetap mengeksplorasi kebun binatang lainnya. Misalnya saja, sewaktu berada di Jepang, saya mampir ke Kebun Binatang Tama karena ingin melihat gajah Afrika (sebagai bonus, di sana juga ada badak India yang belum pernah saya lihat sebelumnya) dan juga ke Kebun Binatang Ueno yang terkenal dengan gorilanya. Sama halnya sewaktu saya berada di Nanning dan Guangzhou, pada kesempatan tersebut saya melihat unta berpunuk dua dan takin.

Yani and penyu, ketika kita di Kebun Binatang Nanning.

Alasan lainnya, dan yang ini mungkin hanya dugaan saya semata, adalah iklim yang berbeda di tempat yang berbeda sehingga sifat binatang yang tinggal di sana pun berbeda. Saya tidak pernah mendengar raungan harimau sebelumnya sampai saya menginjakkan kaki di Kebun Binatang Guangzhou. Suaranya begitu keras dan terdengar dari kejauhan. Saya rasa harimau tersebut mungkin lapar karena dinginnya cuaca di saat permulaan musim semi, haha.

Sangat disayangkan bahwa saya tidak sempat ke Kebun Binatang London saat saya berlibur ke Inggris, tapi saya berharap masih ada kesempatan untuk itu di lain kali. Yang benar-benar ingin saya kunjungi adalah Kebun Binatang Biblical di Yerusalem. Dari namanya saja terdengar menarik karena berhubungan dengan kitab suci. Jadi ada yang berminat ke Israel?

Bersama Linda di Kebun Binatang Tama.

Tuesday, May 16, 2017

The Animals

First of all, no, this is not about Eric Burdon's band, the one that performed the House of the Rising Sun. This is about the animals, literally. A cousin of mine got sick of politics (social media is full of it these days!) and he asked why nobody talked about fish and rhino instead. I always find this sort of incoherent statement interesting, so I responded to his comment by saying that perhaps we should save Sumatran rhinos. That innocent thought never left my head since then, as if it begged to be told, so here we are.

I've always been fascinated by the animals. My first recollection about the wildlife was a tune called Baby Elephant Walk and baby elephants holding tails, likely a scene from this old movie called Hatari! When I was a little boy, I always had bedtime stories about elephant, hippo, giraffe and zebra; read and repeated by Mum almost every night. Then I had a visit or two to Pontianak Zoo. I remember the bear pit, where we had to climb to the top to look at the bears down there. My grandparents also kept ducks and chickens. This gave me the opportunity to pick up eggs every morning (once there was a python instead of a hen in the cage, as the poor fowl had been swallowed by the snake). Growing up, I also had turtle pets, from a Malayan box turtle, a spiny turtle to red eared sliders. Why turtles? Well, I'm always curious about who'll last longer, the owner or the pet.

My pet, Markus. She's 11 years old this year. 

The good thing of being a grown-up is, I now have the means to pursue my childhood interest. Always a keen zoo visitor, I went to many throughout the years, from Jakarta to Tokyo. African elephant, Indian rhino and gorilla had been struck off my wishlist so far. I also had a chance to see these strange looking beasts called takin and aardvark. Oh, I heard the big cats growling for the first time at Guangzhou Zoo, too. It was loud, even though I was nowhere near the cage. Imagine if they roared!

What I'm saying is, apart from the safari park where the animals roam freely, the zoo visit is the closest encounter with the wildlife that one can experience. Some may complain about how smelly a zoo can be, but if you just stand there and stare at, for example, the elephants, you'll realize how majestic these gentle giants are. Crocodiles are another great example. For the fact that they'll give you goosebumps by just floating eerily still on water, you'll have nothing but respect. This is certainly a force to be reckoned with.

As I grew to appreciate the creatures we are sharing this world with, it dawned on me that the reality isn't as rosy as what I imagined before. As a kid, I used to think that the animals were always around, but as I watch and read more about it, I realize that it isn't the case. Many have been wiped out since then. We can only guess now what the animals described by people from the past were. They were once there, I believe, but are no longer around. It's ironic that the dodo is still used as the mascot of Mauritius when the bird had been extinct roughly 400 years ago. Steller's sea cow was another sad story. More recent cases, animals that were ever captured on photos, were quagga and Tasmanian tiger. The list goes on and on.

The extinction that I was fully aware of was the death of Lonesome George, a male giant tortoise from Pinta Island. I actually read about it and followed the news. I was happy when the mating attempts produced eggs. I was sad when the eggs were inviable. Then came the bad news that George had died. Prior to that, George was already portrayed on TV ads as the rarest creature in the world as it was the last of its kind. The day George died, I remember having a hard time digesting the information. I was stunned by the fact that the entire species died with George, that we are not going to see the likes of it anymore. That's what extinction really means.

The Sumatran rhino.

This brings us back to the Sumatran Rhino. I didn't mention the particular species for no apparent reason. I like rhinos in general, but Sumatran rhinos are special in the sense that they are the one and only hairy rhinos that still walk the earth. When I manage to keep aside some money, I donate it to WWF as a form of support. That's the least I can do for now. If you ask me, I'm just trying my best to avoid the need of explaining to the next generation, what this animal is and why they are no more. My right to see animals such as elephant bird has been denied forever and I have to accept that, but if you and I play our parts, the future generations may not need to suffer the same fate. We owe it to ourselves to do it right, really.

Now, instead of ending this on a somber note, let me share with you what's next for me. I'd like to do whale watching. I saw beluga before and it was cute, but it doesn't count! I'd like to see the big ones. Another dream that I have is Africa (and, no, it's not the song by Toto). Serengeti and Maasai Mara, we'll meet one day...

The day I saw the African elephant...
Image credit: Evelyn Nuryani


Tentang Binatang

Suatu ketika, sepupu saya yang sebal dengan maraknya pembahasan politik di sosial media tiba-tiba berkomentar, kenapa tidak ada yang berbicara tentang ikan atau badak. Saya yang menyukai komentar-komentar aneh seperti ini langsung tertarik untuk ikut menimpali, "ya, semestinya kita menolong Badak Sumatera." Semenjak itu, sepenggal percakapan ini senantiasa terngiang di benak saya, memohon untuk diceritakan. Akhirnya artikel ini pun ditulis. 

Saya selalu bersimpati dengan dunia hewan. Kenangan pertama saya tentang binatang adalah sebuah lagu berjudul Baby Elephant Walk dan adegan film Hatari! dimana sang bayi gajah memegang ekor induknya dengan belalainya. Ketika saya masih kecil, ibu saya sering membacakan cerita tentang gajah, kuda nil, jerapah dan zebra. 

That story book about giraffe and zebra. I still remember the exact title!
Image credit: tokopedia.com

Selain itu, kita pun mengunjungi Kebun Binatang Pontianak. Saya ingat dengan kandang beruang yang mirip sebuah sumur besar dan kita harus memanjat naik untuk melihat beruang di dalamnya. Kenangan lainnya, rumah Nenek saya di Jalan Merdeka (sekarang telah berubah menjadi Restoran Aneka Rasa), dulunya memiliki kandang ayam dan bebek. Setiap pagi saya berkesempatan untuk mengambil telur-telur dari kandang dan suatu ketika, saya bahkan melihat ular di kandang ayam (dan ayamnya telah hilang ditelan ular). Dari sejak kecil, saya juga memiliki setidaknya tiga jenis kura-kura sebagai binatang peliharaan. Kenapa kura-kura? Karena saya selalu penasaran, siapa yang lebih panjang umur, pemilik atau hewan peliharaannya.

Salah satu keuntungan menjadi orang dewasa adalah adanya kesempatan untuk melanjutkan hobi masa kecil. Sebagai penggemar kebun binatang, saya mengunjungi wahana ini di berbagai tempat, mulai dari Jakarta sampai Tokyo. Sampai sejauh ini, saya sudah melihat gajah Afrika, badak India dan gorila yang ada dalam daftar keinginan saya. Binatang-binatang aneh seperti takin dan aardvark pun pernah saya jumpai di kebun binatang. Saya juga pernah mendengar ruangan harimau untuk pertama kalinya di kebun binatang Guangzhou. Suaranya yang keras terdengar dari jauh! 

Badak India.
Foto oleh Evelyn Nuryani. 

Beberapa dari kita mungkin berpendapat bahwa kebun binatang itu cenderung bau. Namun coba anda abaikan aroma yang tidak sedap ini dan mengamati hewan seperti gajah yang besar dan perkasa. Atau lihatlah buaya yang diam dan mengapung di permukaan air, tapi bisa membuat anda merinding. Dari sinilah kita bisa lebih menghargai agungnya ciptaan Tuhan. 

Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa realita yang ada tidaklah seindah yang saya bayangkan dulu. Sebagai bocah, saya selalu berpikir bahwa binatang itu selalu ada di sekitar kita. Setelah dewasa, saya baru tahu bahwa entah berapa banyak sudah hewan yang punah dari muka bumi ini. Beberapa hanya bisa ditemukan dalam cerita orang zaman dahulu, misalnya tulisan Ibnu Batutah, dan yang lainnya adalah dari fosil. Ironis rasanya bahwa dodo masih masih digunakan sebagai maskot negara Mauritius meskipun sudah punah sejak 400 tahun yang lalu. Sapi laut Stellar juga kisah sedih lainnya. Ada juga yang baru punah, misalnya Quagga dan harimau Tasmania yang sempat difoto sebelum lenyap di abad 20. Dan daftar ini masih terus bertambah. 

Satu kepunahan yang benar-benar saya ikuti adalah saat matinya Lonesome George,  kura-kura raksasa dari Pulau Pinta dan yang terakhir dari jenisnya. Beberapa tahun silam, saya pernah membaca kisah tentang George dan mengikuti beritanya. Saya gembira ketika kura-kura betina yang dibuahinya bertelur dan saya sedih ketika telurnya gagal dibuahi. Kemudian terdengar berita bahwa George telah mati di usia 102. Sebelum itu, George sempat ditampilkan di iklan televisi sebagai hewan yang paling langka karena hanya tersisa satu di dunia. Ketika George mati, saya merasa sulit menerima kenyataan ini. Kematian George berarti jenis kura-kura ini hilang dari muka bumi dan kita tidak akan pernah melihat yang seperti ini lagi. Ternyata inilah arti dari sebuah kepunahan. 

Dan marilah kita kembali ke badak Sumatera. Saya tidak asal sebut di sini. Saya suka semua jenis badak, tapi badak Sumatera adalah satu-satunya yang berbulu. Di kala saya memiliki uang lebih, terkadang saya menyumbangkannya ke WWF. Saya melakukan apa yang saya bisa sehingga tidak perlu menjelaskan kepada generasi mendatang, binatang apa ini dan kenapa binatang ini punah. Saya tidak akan pernah lagi melihat binatang seperti burung gajah, tapi jika kita memainkan peran kita, anak-anak kita tidak perlu bernasib sama. 

Sebagai penutup, mari saya ceritakan sebuah impian saya. Suatu hari nanti saya ingin melihat paus di laut lepas. Saya sudah pernah melihat beluga yang lucu, tapi saya ingin melihat yang lebih besar lagi! Impian lainnya adalah kunjungan Afrika. Saya harap saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Serengeti dan Maasai Mara...