Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Finance. Show all posts
Showing posts with label Finance. Show all posts

Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.

Monday, January 23, 2023

Paradigm Shift

Now here's something that I went through a couple of times in life, but only realized what it meant recently. It also got to do with the fact that I suddenly got this inexplicable interest in the phrase paradigm shift. Simply couldn't get rid of it from my mind. It felt so cool, sounded almost like paradise lost, and I couldn't help thinking that it would make a great title for my next blog post.

Anyway, this story began with a chronic addiction I had with the plastics. All this while, I always loved collecting credit cards, but I also spent some time digging into debit cards as well recently. This was triggered by the comparison between InstaRem and Youtrip debit cards that I had with a friend known as STV when we met at Hilary's Christmas party last year.

You see, prior to that, I never really paid attention to debit cards. To me, they were pretty inconvenient. But suddenly, when it came to travelling, credit cards seemed to be lagging behind while these debit cards were competing to offer the best FX rates. It was so game-changing that I had to start reading about it.

That got me thinking about two other things that happened roughly a week ago, when a friend of mine asked me about moving data to cloud. Not long after that, the same guy also did a survey in our group chat to gather the statistics of Spotify users among us. 

With regard to the former, I did exactly that about two years ago. I lived through all the changes I needed to know about the data storage, from a diskette to Apple's Time Capsule. I saw how those things were the state-of-the-art until the day they became things of the past. I remember when it suddenly made sense to use cloud and the rest is history. 

Same goes for Spotify. I was an ardent supporter of CD until I set up Google Home and tried out the music apps. It felt so practical that it changed the way I listened to music. I could be in the living room, bedroom or even on the go and the music would just follow. I never looked back since then.

This is the paradigm shift I was talking about. Just like many people, I also had this habit of clinging to the good old ways that I knew and loved, the ways I knew would work. But in this ever changing world, there'll always be technologies that are mature enough to change the way you know it and it's not necessary a bad thing. What I learnt here is, if you dared to give it a try, it might change your life forever. The choice is always yours. The question now is, will you do something about it? 

My buddy from Miyagi-Do started moving data to cloud. 



Paradigma Yang Bergeser

Pengalaman berikut ini adalah sesuatu yang sudah saya lalui beberapa kali, tapi belakangan ini saya sadari apa hikmah sebenarnya. Cerita kali ini juga berkaitan dengan frase paradigm shift yang entah kenapa terasa memiliki daya tarik sendiri. Mungkin karena terdengar mirip dengan paradise lost dan saya jadi berpikir bahwa ini akan menjadi judul yang bagus untuk tulisan saya. 

Awal kisah ini bermula dari kebiasaan saya dalam mengumpulkan kartu kredit. Ini sudah merupakan hobi dari sejak lama, tapi belakangan ini saya jadi membaca lebih lanjut tentang kartu debit juga. Semua ini dipicu oleh percakapan dengan teman saya STV mengenai perbandingan antara kartu InstaRem dan Youtrip sewaktu saya bertemu dengannya di pesta Natal di rumah Hilary tahun lalu.  

Sebelum itu, saya tidak pernah serius memperhatikan kartu debit. Bagi saya, kartu debit ini sangat tidak praktis. Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa kartu kredit tertinggal jauh dari kartu debit yang berlomba-lomba menawarkan kurs terbaik bagi mereka yang senang jalan-jalan. Saya jadi tertarik untuk menyelidiki lebih jauh lagi. 

Hal ini lantas mengingatkan saya tentang beberapa hal yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang teman bertanya tentang cara memindahkan data ke cloud. Teman ini juga mengadakan survei di grup SMA untuk melihat siapa saja teman yang kini menggunakan Spotify. 

Menyimpan data di cloud adalah sesuatu yang telah saya lakukan sejak dua tahun silam. Saya sudah melewati beraneka perubahan tempat penyimpanan data, mulai dari disket sampai Time Capsule yang dijual oleh Apple. Saya lihat sendiri bagaimana teknologi yang dulunya paling mutakhir itu tersisih menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Saya juga ingat saat saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke cloud. Ada kesan bahwa memang sudah waktunya. 

Sama halnya juga dengan Spotify. Saya merupakan pendukung keras CD musik, sampai akhirnya saya memasang Google Home di rumah dan mencoba berbagai apps untuk musik. Tiba-tiba semua terasa begitu praktis sehingga mengubah cara saya mendengarkan musik. Saya bisa berada di ruang tamu, di kamar atau bahkan bepergian dan musik akan selalu melantun di telinga. Saya tidak pernah lagi memutar CD sejak saat itu. 

Jadi hal-hal di atas adalah apa yang saya maksudkan dengan paradigma yang bergeser. Seperti halnya dengan banyak orang lain, saya juga memiliki kebiasaan untuk bergantung pada cara yang saya tahu dan kenal baik dalam melakukan sesuatu. Kendati begitu, perlu diingat bahwa di dunia yang selalu berubah ini, akan selalu muncul teknologi yang akhirnya cukup matang untuk mengubah pola hidup kita dan ini bukanlah hal yang buruk. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah, jika anda berani mencoba, pada akhirnya anda mungkin menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidup anda. Pilihan tersebut ada di tangan anda. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda tergerak untuk melakukan sesuatu? 

Monday, July 11, 2022

Get

I was a sucker for the plastics since I got my first one back in 2001. I often said I loved the card design and I collected them after they were cancelled, but perhaps I also subconsciously loved being approved for applying cards. I'd never know for sure. Whatever the reason was, I browsed the relevant websites frequently, just in case there was a new one that I'd like to have. 

On the other hand, the internet was so smart these days that it picked up my search result and displayed the ads based on it. And the plastics had changed so much that they were not only issued by banks, American Express and Diners Club anymore. Any companies that were licensed to do financing such as Grab, Crypto.com, Wise or InstaRem could issue Visa or Master these days. Then one day, I saw an ad from Get on the news feed of my Facebook. 

The Get Card.

The concept was quite unique. I was always a supporter of cashless transactions, but I never heard of anything like this being extended to kids. I fancied the idea and it got more interesting as there was this concept of earning their keep. My Dad did that and I believe the impact on me was positive, therefore I'd like to try it out with my daughter, too. Noticed that Revolut offered the same thing, too, but I finally opted for Get as it looked much simplified.

The account opening was seamless and fast, except for the odd behaviour of repeated details after the app pulled data from Singpass. I was using Google Pixel 6 with Android on its purest form, so it had to be the app's fault, haha. Due to this, my daughter's name was listed twice. But I chose only one and the subsequent process was smooth-sailing.

The setup was pretty straightforward. That included disabling the magnetic stripe, online purchase, ATM and enabling the transaction limits. The physical debit card that carried the Visa was ordered and it arrived much earlier than expected. I also installed the app on my daughter's phone and it linked immediately to my account. 

Transaction details. The payment was scheduled, apparently!

I had to top up the account in order to activate it. At the moment, this could only be done using a credit or debit card. It showed Get Kid Account right after that. Upon seeing this, I clicked it as prompted only to realize that it was a a label called Get Kid Account instead of a button to get a kid's account, haha.

Then came the fun part where I got to assigned chores. The interface was quite confusing, I'd say. There was this rolling date saying when the payment date would be, but it was apparently superseded by the default payment scheduled on Sunday. As a result, when she finished her first chore, I sent the money to her account as automatic payment didn't seem to occur. On Sunday, I learnt that each payment I did before was paid again at 8am. 

Her first transaction. She wanted to swipe!

When she first received the card, I did share with her that the card details shouldn't be revealed to anybody. Now that she had some money to spend, I could teach how to use the card. I asked if she would buy me an ice cream at McDonald's and she was okay to treat me. So off we went and bought a strawberry sundae. She did everything herself on a self-service counter and when it was time to pay, she was taken aback when the point of sales beeped before she did anything. "I thought I had to swipe the card first," she said innocently. And I told her that was how we did it a long time ago. 

When we returned to our seats, she said about stuff she'd like to buy and she started asking her Mum for more chores. As I watched the scene unfolded, I ate my sundae, thinking and hoping that I had taught her the right thing: the same lesson I had, wrapped in present day's technology...

Free ice cream always makes me smile!



Get

Saya senantiasa tergila-gila dengan kartu kredit sejak saya mendapatkan kartu kredit pertama saya di tahun 2001. Saya sering berkata bahwa saya suka disain kartunya, yang kemudian saya koleksi setelah kartunya saya batalkan. Selain itu, mungkin juga ada kepuasan tersendiri yang timbul dari disetujuinya aplikasi kartu kredit yang saya ajukan. Saya tidak tahu pasti, tapi apa pun alasannya, saya sudah sejak lama memiliki kebiasaan melihat situs-situs kartu kredit. Siapa tahu ada yang baru dan menarik perhatian saya. 

Berdasarkan kebiasaan saya ini, internet yang kini kian canggih bisa mendeteksi apa yang sering saya cari, lalu menampilkan iklan yang sama kategorinya. Sekedar info, kartu kredit tidak lagi dimonopoli oleh bank, American Express dan Diners Club. Perusahaan yang juga memiliki ijin finansial seperti Grab, Crypto.com, Wise atau InstaRem pun bisa mengeluarkan Visa atau Master sekarang. Suatu hari, saya melihat iklan Get yang muncul di Facebook. 

Kartu Get.

Konsepnya cukup unik. Saya selalu menyukai transaksi non-tunai, tapi saya tidak pernah mendengar hal serupa diterapkan di kalangan anak-anak. Saya tergelitik oleh ide ini dan semakin tertarik pula dengan konsep yang mengajarkan anak tentang arti dari kerja untuk mendapatkan uang. Ayah saya dulu mengajarkan hal serupa dan saya percaya dampaknya positif. Ketika saya hendak mencoba teknologi ini, sempat saya amati bahwa Revolut juga menawarkan konsep yang sama, namun akhirnya saya coba Get karena terlihat lebih sederhana. 

Pembukaan rekening terbilang praktis dan cepat, meski ada kejanggalan data yang seperti terulang dua kali ketika aplikasi Get menarik data dari Singpass, semacam pusat info terintegrasi di Singapura. Saya menggunakan Google Pixel 6 yang sudah jelas murni Android-nya, jadi kesalahan pasti dari aplikasi Get, haha. Karena duplikasi data, nama putri saya terdaftar dua kali, tapi saya hanya memilih salah satu dan prosesnya pun beres. 

Konfigurasi selanjutnya tidaklah rumit. Saya mematikan fitur transaksi lewat lapisan magnet di kartu, belanja online dan juga penarikan ATM. Saya juga mengatur batas transaksi. Kartu debit berlogo Visa pun saya pesan lewat aplikasi dan tiba lebih awal dari estimasi. Selain itu, saya juga mengunduh aplikasi yang sama di HP putri saya. Setelah registrasi, akunnya pun terhubung dengan yang ada di HP saya. 

Daftar transaksi. Pembayaran upah sudah otomatis terjadwal setiap Minggu!

Saya harus memasukkan uang untuk mengaktifkan akun saya. Untuk saat ini, penambahan saldo hanya bisa dilakukan dengan kartu kredit atau debet. Kemudian muncul tulisan Get Kid Account setelah saldo berhasil diisi. Saya coba klik, tapi ternyata itu hanya label bertulisan Get Kid Account yang artinya akun Get untuk anak, bukan tombol instruksi untuk mendapatkan (get) Kid Account, haha.

Setelah itu, saya bebas memberikan pekerjaan. Tampilannya cukup membingungkan menurut saya. Ada tanggal yang selalu berubah dari hari ke hari dan tanggal ini digunakan sebagai tanggal pembayaran. Akan tetapi pembayaran pekerjaan ternyata berdasarkan jadwal yang sudah tersimpan di bagian menu lain, yakni setiap hari Minggu. Alhasil, saya jadi mengira bahwa saya harus mengirimkan uang setiap kali anak saya berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Ketika Minggu tiba, baru saya sadari bahwa apa yang telah saya bayar itu lantas dibayar lagi oleh sistem pada pukul delapan pagi. 

Transaksi pertamanya. Tadinya dia mau gesek!

Sewaktu anak saya menerima kartunya, saya jelaskan padanya detil di kartu yang tidak boleh diberitahukan pada orang lain. Sekarang, setelah dia memiliki uang di saldonya, maka saya bisa ajarkan cara menggunakan kartu. Saya tanyakan padanya apakah dia mau membelikan saya es krim di McDonald's dan dia setuju untuk traktir. Saya amati dari belakang bagaimana dia memesan es kirim di layar sentuh. Ketika tiba di tampilan untuk membayar, dia agak terkejut karena transaksi sudah terjadi saat dia baru memegang kartu di dekat mesin pembayaran. "Saya sangka harus digesek dulu," gumam putri saya. Mendengar ucapannya yang polos, saya jelaskan padanya bahwa memang seperti metodenya bertahun-tahun silam, tapi sekarang cukup didekatkan ke mesin.

Saat kita kembali ke tempat duduk, dia bercerita tentang apa yang hendak dia beli kalau uangnya terkumpul lebih banyak lagi, lalu bertanya pada ibunya, ada tugas apa lagi yang bisa dia kerjakan. Saya menikmati es krim saya dalam hening tatkala menyaksikan semua ini. Di dalam hati saya hanya bisa berharap, semoga saja saya sudah mengajarkan hal yang benar: pelajaran yang sama dengan apa yang saya dapatkan dulu, namun kini dikemas dalam teknologi... 

Es krim gratis selalu membuat saya tersenyum!

Tuesday, June 15, 2021

Paid By Crypto

This story began with Abbey Road, the 50th anniversary edition. You know how in today's fast paced life, music was often just a background noise to kill the solitude while you were busy doing something else? I didn't want that. For this special occasion, I decided to do it the good old way, when listening to music was actually an activity. 

For the next 47 minutes, I wore headphones and did nothing else. As I closed my eyes, what I heard made me smile. The vocals, the melody, the great music. Basically everything one could expect from a band called the Beatles

Then of course there was this groovy drumming of Ringo Starr. It was so captivating that it reminded me how I used to love playing drums as well. I remember lining up boxes and banging them with drum sticks, the only part I could afford then. I remember the happiness I had 20 years ago. It was fun, wasn't it? How about getting a drum kit now?

I was indecisive about it. I wanted to buy one, but spending SGD 500 felt like a bit too much for a hobby that I hadn't pursued for the past two decades. On the other hand, I had been quietly observing cryptocurrency, especially Ethereum (ETH). I missed the first round when it suddenly went as high as SGD 5.5K. From that moment on, I thought I'd like to give it a try, so I made a wager in our high school chat group: if I made enough profit, I'd buy the drums.

That's when I learnt how to trade. A friend from Hong Kong recommended Exodus for the crypto wallet and xanpool.com for trading. This whole thing sounded quite complex as they were separated. Then another friend, the one we called CEO, suggested Coinhako. This solution is not only more integrated, but it also designed with Singapore users in mind. I eventually decided to use this instead.

The registration was slightly unusual as it involved face recognition. For password, it used PIN and also 2FA from Google Authenticator. Once all this was setup, the trading finally began! I was prepared to enter at SGD 2.9K, but when it dropped tremendously to 2.7K, I found myself waiting and wondering if it could drop further to 2.6K. I was a novice and I must say that I was surprised to discover this human nature called greed in me. In the end market rebounded and I entered at SGD 2.9K as I originally intended to, haha.

What happened next was the waiting game. During this period, I realized that crypto was kind of odd. It was either I didn't know anything about it or there wasn't any indicator for me to tell if it'd go up or down. As a result, I developed this habit of checking the price. Eventually, I set up the alert to sell when the price reached SGD 3.5K. Two days later, it hit the sell price around 5am. I was still groggy, not entirely sure if I was to sell, but then my friend, an early bird from Surabaya, sternly warned me that I better exited the position as I said I would.

I knew he meant well so I did exactly that and cashed out. Just like the buy and sell, there was some small percentage of withdrawal fee charged by Coinhako. It took almost five days to receive the money in my bank account. I immediately ordered the drums from Amazon right after that and two weeks later, that young man from 20 years ago, the one who had to make do with boxes (and ceiling fan blades as cymbals) finally had his own drum kit! 

Conclusion? With my limited experience, while it's true that I made profit within such a short time span, it was probably pure luck. There was no telling how crypto actually worked. Secondly, my skill was so rusty that Ringo's drumming on Abbey Road felt intimidating. I actually switched to Michael Learns to Rock after one round, haha. And lastly, the moral of the story was, to quote Irene Cara, "take your passion and make it happen!"

Give me the beat, girl!



Dibayar Oleh Kripto

Cerita kali ini dimulai dengan Abbey Road, edisi 50 tahun. Anda pasti tahu bahwa di masa kini, musik seringkali hanya sekedar latar belakang bagi anda yang sibuk mengerjakan hal lain. Nah, saya tidak mau yang seperti ini. Untuk kesempatan yang istimewa ini, saya memutuskan untuk menikmati musik dengan cara lama, ketika mendengarkan lagu merupakan sebuah aktivitas yang menghibur. 

Oleh karena itu, selama 47 menit, saya menggunakan headphones dan bersantai tanpa mengerjakan hal apa pun. Sewaktu saya memejamkan mata, apa yang saya dengar membuat saya tersenyum. Suara penyanyinya, melodi gitar dan juga musiknya sesuai dengan apa yang bisa diharapkan dari grup musik bernama the Beatles

Kemudian tentu saja ada permainan drum Ringo Starr yang merupakan daya tarik tersendiri. Begitu memukau sehingga saya pun jadi teringat, betapa saya suka menabuh drum dulu. Saya ingat tatkala saya menjejerkan kotak-kotak dus dan menggebuknya dengan drum sticks, satu-satunya bagian dari drum yang sanggup saya beli pada saat itu. Saya teringat dengan kegembiraan saat bermain drum 20 tahun lalu. Senang rasanya, bukan? Bagaimana kalau misalnya memiliki drum sekarang?

Saya jadi ragu. Di satu sini, saya ingin membeli drum, tapi di sini lain, rasanya menghambur SGD 500 untuk hobi yang sudah lama saya tinggalkan tidaklah bijak. Saya lantas teringat dengan mata uang kripto yang sering saya amati belakangan ini, terutama Ethereum (ETH). Saya tidak sempat ikut serta ketika harganya melambung tinggi hingga SGD 5.500. Sejak saat itu, saya jadi ingin coba, jadi saya pun sesumbar di grup SMA: kalau saya dapat untung di kripto, maka saya akan beli drum.  

Dari sinilah saya mulai cari tahu. Seorang teman dari Hong Kong merekomendasikan Exodus sebagai dompet kripto dan xanpool.com untuk jual-beli. Akan tetapi prosesnya terdengar cukup rumit karena dompet dan tempat jual-beli terpisah. Seorang teman lain yang akrab dengan panggilan CEO lalu menganjurkan Coinhako. Solusi lebih terintegrasi dan cenderung cocok untuk pengguna di Singapura, jadi akhirnya saya pakai yang ini. 

Proses registrasinya agak unik karena melibatkan teknologi pengenalan wajah. Untuk password, Coinhako menggunakan PIN dan juga 2FA dari Google Authenticator. Setelah pendaftaran berhasil diproses, saya pun bisa mulai membeli kripto. Awalnya saya ingin masuk di harga beli SGD 2.900, namun ketika harganya jatuh sampai 2.700, saya jadi menanti dan membayangkan apakah harganya bisa turun lagi hingga 2.600. Saya adalah pemula dan terus-terang saya terkejut juga saat menyadari bahwa tanpa sadar saya menjadi tamak dan tidak melakukan transaksi di harga beli yang saya tetapkan sebelumnya. Pada akhirnya pasar berbalik arah dan saya pun masuk di harga 2.900, haha.  

Apa yang terjadi selanjutnya adalah penantian. Selagi menanti, saya jadi merasa bahwa kripto ini agak aneh. Entah saya sendiri yang tidak tahu apa-apa tentang kripto atau memang tidak ada indikator jelas apakah harganya akan naik atau turun. Alhasil, saya jadi memiliki kebiasaan melihat harga. Setelah itu saya memasang peringatan untuk menjual saat harga mencapai SGD 3.500. Dua hari kemudian, sekitar jam 5 pagi, terdengar bunyi yang menandakan bahwa harga sudah tercapai. Saya masih setengah sadar, tidak sepenuhnya yakin apa mesti lanjut tidur atau atau menjual ETH, tapi seorang teman dari Surabaya yang bangun pagi dan memantau pasar akhirnya mengingatkan saya kembali untuk segera bertindak sesuai dengan apa yang saya katakan sebelumnya. 

Saya tahu teman ini bermaksud baik, jadi saya pun jual dan ambil uangnya. Sama halnya seperti transaksi jual-beli, ada sedikit biaya administrasi untuk penarikan dana. Prosesnya memakan waktu hampir lima hari. Setelah menerima dana tersebut di rekening bank, saya bergegas memesan drum di Amazon. Dua minggu kemudian, pemuda dari 20 tahun silam yang dulunya harus membuat drum dari kotak dus (dan baling-baling kipas angin sebagai simbal) akhirnya memiliki drum sendiri! 

Kesimpulannya? Berdasarkan pengalaman saya yang terbatas, meskipun saya bisa mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat, saya rasa ini sepenuhnya bergantung pada nasib. Tidak jelas bagaimana cara kerja mata uang kripto itu sebenarnya. Hal kedua, permainan drum saya begitu buruk sehingga keahlian Ringo di Abbey Road terasa sangat mengintimidasi, sampai-sampai saya pindah ke lagu-lagu Michael Learns to Rock, hehe. Terakhir, bila ada moral dari cerita, maka bisa dirangkum lewat kutipan lagu Irene Cara, "take your passion and make it happen!"

Wednesday, August 19, 2020

Online Business

The time of corona changed the business landscape and some friends in our little chat group were badly affected, too. It was tough enough to do what they did prior to this, but now some businesses weren't doable at all. This led to a conversation of doing online business, namely Shopee. We talked about exploring it.

I was intrigued by it. At that time, I'd been trying out Carousell, but I approached it like doing a garage sale, haha. The interface was rather straightforward, so I thought Shopee should be more or less the same, too. Then I set up an account and tried it out with Parno and Susan. This is the story of the experience we went through.

From left: the seller, the buyer, the coordinator.

First of all, you got quite a fair bit of things to fill up. Home address, shop address and even bank account were required. Shop address was critical because it would determine from where the shipping would be delivered. You could enter many addresses, but only one can be used at one time for all products. When you changed the address, it'd affect the location of all products.

This turned out to be a problem for us. I had this idea in mind when I tested this out: what if all friends from other cities joined in to offer their products? If we did this, we'd have a massive collection of products to sell. We'd have our online supermarket. Everyone would have access to the same login so that each of us could respond to the queries and take care of the orders. But due to the shipping address issue that was mentioned earlier, this was not possible. Those who were from the same city still could do this, but that was pretty much it.

Problems with brand (Merek) and Shipping Address (Dikirim Dari).

Anyway, we only found out about this much later on, right after we simulated the transaction. For us to begin, I uploaded few products. Each had a lengthy form to be filled up, from the brand, the weight, the quantity and so forth. Noticed that I always ran into errors for products with brands not listed on Shopee, for example Aming Coffee, so I eventually removed the brand.

The enquiry from a difficult customer.

Once the products were ready, we did a test together, from enquiry to transaction. Enquiry was originally neat, but it soon became cluttered with unwanted messages. I had no idea how I ended up with a lot of messages telling me that other people had showered my plants. To think that I didn't even play any games on Shopee! The app should have not spammed me like this! This made it difficult for me to notice the genuine enquiries and as a user, I could have missed out the business opportunities! Yes, there were notification settings, but it wasn't exactly clear what needed to be set to turn this gaming messages off.

Unwanted notifications.

Anyway, through this messaging service, Susan did the enquiry and the purchase. As Parno didn't download the app, I contacted him to do the shipping via J&T Express. I didn't know that the app actually provided a specific shipping code and the shipping cost was covered by Shopee. I discovered this only after Parno mailed the order, so he went back to J&T Express to correct my mistake. Once this is done, I could see the status updated on the app.

The shipping code provided by Shopee.

Susan purchased using ShopeePay, which meant the money would only be released to the seller once the goods were received and confirmed by the buyer (note that buyers had an option to return the orders to sender). Having said that, the seller needed to contact the buyers if they never confirmed even though the delivery tracking showed that the order had been delivered. Once confirmed, the payment would be credited to the seller's account and the money could then be transferred into the seller's bank account.

The money transfer.

Our little experiment ended when the money was received. It didn't exactly work out as I first envisioned it, but it was still a working system that wasn't so difficult to use. If you ever thought of starting this but not sure how to begin, I hope the story above would give you the clues. One could start this as side income. Definitely worth trying, especially in the time of corona!


Bisnis Online

Musim COVID-19 berdampak buruk pada dunia usaha dan beberapa teman SMA di grup WhatsApp juga terganggu bisnisnya. Sebelumnya pun sudah terdengar tantangan dalam berbinis, tapi korona yang melanda dunia lebih dashyat lagi dampaknya sehingga beberapa bidang usaha sama sekali lumpuh dan tidak bisa ditekuni lagi. Hal ini lantas membuat kita berdiskusi tentang bisnis online lewat Shopee. 

Saya sendiri jadi tergerak untuk mencobanya supaya tahu seperti apa prosesnya. Baru-baru ini saya juga iseng mencoba Carousell, walau saya lebih cenderung menggunakannya sebagai sarana cuci gudang, haha. Langkah-langkah untuk berjualan di Carousell tergolong praktis, jadi saya mengira bahwa Shopee juga seharusnya kurang-lebih sama. Saya lantas membuat akun dan melakukan uji coba bersama Parno dan Susan. Berikut ini adalah pengalaman kita.

Dari kiri: penjual, pembeli dan koordinator.

Pertama-tama, ada banyak formulir online yang perlu diisi. Alamat rumah, alamat toko dan bahkan rekening bank dibutuhkan untuk membuka toko. Alamat toko sangat penting karena menentukan dari mana produk akan dikirim. Pengguna bisa memasukkan beberapa alamat, namun hanya satu yang bisa dipakai sebagai alamat pengirim. Ketika kita mengganti alamat toko, semua produk akan berubah pula alamatnya.

Hal ini menjadi masalah buat saya. Tadinya saya berpikir bahwa seandainya teman-teman dari berbagai kota ikut menjual produk mereka, maka kita bisa membangun semacam supermarket online. Di benak saya, setiap orang memiliki akses ke aplikasi sehingga bisa menanggapi pertanyaan pelanggan dan menerima pesanan. Akan tetapi karena kendala yang disebutkan di atas, ide ini jadi tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna. Hanya teman-teman dari satu kota yang masih bisa bekerja sama.

Masalah dengan Merek dan alamat pengirim (Dikirim Dari).

Masalah ini baru kita sadari setelah kita menyelesaikan simulasi transaksi. Dalam rangka uji coba, saya mengunggah beberapa produk. Setiap produk disertai formulir panjang yang perlu diisi, mulai dari merek, berat, kuantitas dan lain-lain. Saya perhatikan kalau mereknya tidak tertera di sistem, misalnya Aming Coffee, nanti akan muncul tampilan bahwa telah terjadi kesalahan pendataan. Akhirnya saya kosongkan merek produknya.

Pelanggan sulit.

Setelah beberapa produk diunggah, kita pun mulai mencoba prosesnya, mulai dari pertanyaan pembeli sampai pemesanan produk. Notifikasi untuk komunikasi antara penjual dan pembeli ini awalnya bagus, tapi entah kenapa lantas bermunculan pesan-pesan yang tidak penting. Saya tidak mengerti kenapa banyak orang yang mengabarkan bahwa mereka sudah menyirami tanaman saya, padahal saya sama sekali tidak main game di Shopee. Aplikasi ini seharusnya tidak membanjiri saya dengan notifikasi seperti ini karena pertanyaan dari penjual bisa terlewatkan oleh saya. Ya, saya lihat ada pengaturan notifikasi, tapi tidak jelas apa yang harus diatur untuk menghilangkan notifikasi tentang game.

Notifikasi tidak penting.

Melalui fitur percakapan ini, Susan mencoba berkomunikasi dan akhirnya melakukan transaksi. Karena Parno tidak mengunduh aplikasi Shopee, saya pun menghubungi Parno supaya dia melakukan pengiriman lewat J&T Express. Saya tidak tahu bahwa Shopee menyediakan kode pengiriman dan juga menanggung biaya pengiriman. Hal ini baru saya sadari setelah Parno mengirimkan produk, jadi dia kembali ke J&T Express untuk membereskan masalah ini. Setelah selesai, saya bisa melihat status pengiriman di aplikasi.

Kode pengiriman otomatis dari Shopee.

Susan melakukan pembelian dengan metode ShopeePay. Ini berarti uangnya baru akan ditransfer oleh Shopee ke saya setelah konfirmasi pelanggan (dan sebagai pelanggan, Susan memiliki pilihan untuk pengembalian produk bila tidak sesuai dengan pesanan). Karena mekanisme ini, penjual harus menghubungi pembeli jika tidak menerima konfirmasi setelah status order sudah terkirim. Setelah konfirmasi, barulah uang diterima di akun penjual dan bisa ditransfer ke rekening bank.

Transfer uang dari akun Shopee ke bank.

Eksperimen kita ini pun berakhir sesudah uang diterima. Shopee tidak berfungsi seperti apa yang saya bayangkan, tapi sistem jual-belinya tidaklah terlalu sulit untuk dipelajari. Jika anda ingin mencoba tapi tidak ada gambaran seperti apa caranya, semoga pengalaman kita ini bisa menjadi acuan. Bagi yang berminat, ini jelas bisa menjadi usaha sampingan. Layak dicoba, apalagi di musim korona! 


Tuesday, September 10, 2019

Ga' Heran!!!

Ada kehebohan di berita Minggu ini. 33 perusahaan yang keluar dari Cina tidak pindah ke Indonesia tetapi ke negara tetangga. Banyak yang mengatakan ijin susah (bisa juga betul), ada pula yang mengatakan lahan mahal dan susah (bisa juga betul). Ini aneh, padahal paparan dari World Bank menyebutkan bahwa Indonesia negara produktif.

Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, saya melihat adanya masalah lain, yakni kepastian hukum. Kita tau kejadian penistaan agama dimana minoritas selalu jadi korban, sedangkan mayoritas bebas mengatakan apa pun. Sentimen anti asing juga semakin mencuat belakangan ini. 

Perusahaan asing itu tentu bukan kumpulan orang gaptek yang tidak baca berita di Indonesia. Mereka pasti sudah dapat gambaran mendirikan perusahaan di indonesia yang terjadi di monokwari di mana diisukan terus menerus dan di curigai.

Sebagai orang usahawan pasti mereka punya timbangan sendiri. Mereka tidak mau sudah invest setengah kena hoax dll sehinga terhenti. Tentu mereka akan rugi waktu dan rugi materi.

Ini ibarat seorang laki-laki, lebih baik menikah dengan yang mencintainya daripada menikah dengan cewek yang membencinya...

Investasi di Indonesia. Berani?

Wednesday, September 4, 2019

The Online Shopping

My friend Budiman often said that online shopping killed the retail business. As I was no businessman, I could only tell from what I saw. Shops did close down in Orchards. Even giants such as Borders and HMV were among the first to go. If these were any indicators, then he was right.

Online shopping had gone a long way since I first knew it. I remember the time when the internet first appeared in Pontianak. This was easily two decades ago. Not long after that, I found amazon.com. I immediately loved it, so much in love that in my college days, I actually wrote a paper about it for mid-term submission.

But the timing wasn't quite right then. Imagine the days when internet connection was so slow that you had to sit back and wait for each page to be loaded. It took almost one hour to search, add the items to shopping cart and check out. Still I was so happy, partly thinking that I was going to be the first online shopper in my hometown. It was not meant to be, though. Amazon.com declined the transaction, citing the reason that credit cards issued by Indonesia was banned due to numerous fraud cases. To think that I went a long way to obtain my first credit cards! It was heartbreaking!

Fast forward to today, the online shopping experience had been vastly improved. Browsing through your computer was one of the options, no longer the only way to go. The world is at your fingertips was not just a saying anymore, it was a dream came true! Literally! In order to shop, you just had to keep tapping on the mobile app. The purchase would be seamlessly done if you had saved your credit card details before. It was that easy and convenient these days.

I still shopped at Amazon thanks to CDs and books it was selling. I'd go to Qoo10 for unusual items such as Arbequina Extra Virgin Olive Oil. Rakuten was used for Japanese goods like spirulina. I preferred Lazada for stuff available locally in Singapore. For groceries, there were honestbee and RedMart. While I didn't use the last two, my wife was quite familiar with those.

The beauty of these Singapore-based apps were how competitive the prices were. Sometimes it came with discounts and promos. On top of that, it might also offer a free delivery. How attractive! Why would one bother to shop at the supermarket and carry back a 5kg pack of rice when we could have it delivered right at our doorstep? It was equally safe to purchase electronic goods, especially from the official stores such as Mi Store at Lazada. It came with the same one year warranty. To make it more comfortable, refund was almost hassle-free. Had a smooth experience in getting refund for my recent Amazon purchase.

Fun though it was, online shopping wasn't without its risks. Before my trip to Myanmar, I bought a backpack from Lazada. Much to my surprise, what I received was a tiny sized backpack. It looked exactly the same as the picture I saw, but it was so small that it couldn't be used for travelling purpose. This, I partly suspected, was likely to be a customer's problem, haha. It was either I failed to understand the bag dimensions stated on the page or the info was simply misleading. After the last fiasco, I avoided buying things that came in sizes such as bags, shoes, clothes, etc. because what I saw might not be what I got. As a conclusion, it was suffice to say that when we did online shopping, we bought only things we were sure of.

Anyway, back to Budiman's assessment, he was probably right. Online shopping was not only game-changing, but could also be addictive, especially when it had tons of promos on the days like Black Friday. Those retail shops might be nice for us to look at, but I couldn't be too sure if shopping spree still happened. I sincerely hoped that the retail business would somehow survive. Otherwise what would we see when we went to the malls? I still love walking in Orchard, especially when Christmas is just around the corner!

Proceed to checkout?



Belanja Online

Teman saya Budiman sering berkata bahwa bisnis belanja online merusak bisnis ritel. Karena saya bukan seorang pengusaha, saya hanya bisa mengamati apa yang terlihat. Memang betul ada toko-toko yang tutup di Orchard. Bahkan perusahaan raksasa seperti Borders dan HMV juga tutup dan angkat kaki. Jika ini adalah indikasi, maka pendapat Budiman tidaklah keliru. 

Bisnis belanja online sudah berubah drastis. Saya ingat saat internet pertama muncul di Pontianak 20 tahun silam. Tidak lama setelah saya menggunakan internet, saya menemukan amazon.com. Saya langsung menyukai situs belanja ini. Begitu terpesonanya saya sehingga saya menulis tentang Amazon dan mengumpulkannya sebagai tugas kuliah di pertengahan semester. 

Akan tetapi kondisi saat itu masih belum menunjang bisnis belanja online. Bayangkan masa ketika koneksi internet masih begitu pelan sehingga anda harus duduk dan menanti halaman situs terunduh secara lengkap. Dibutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencari barang dan menyelesaikan pembayaran. Meskipun demikian, saya masih tetap bersemangat, mungkin karena saya menyangka bahwa saya akan menjadi orang pertama di Pontianak yang berbelanja online. Tidak pernah terpikirkan oleh saya kalau amazon.com akan menolak transaksi tersebut dengan alasan kartu kredit Indonesia termasuk kategori bermasalah karena banyaknya kasus penipuan. Sedihnya rasanya, apalagi saya telah bersusah-payah mendapatkan kartu kredit pertama saya. 

Kembali ke masa kini, fitur berbelanja online sudah kian canggih. Melihat-lihat lewat komputer adalah salah satu cara untuk berbelanja, bukan lagi satu-satunya cara. Dunia berada di ujung jari anda bukan lagi sekedar pepatah, tetapi mimpi yang menjadi kenyataan. Untuk berbelanja, anda cukup menggunakan satu jempol di layar telepon genggam anda. Transaksi akan semakin lancar jika anda sudah menyimpan data kartu kredit di app. Begitu mudah dan nyaman sekarang. 

Saya masih berbelanja di Amazon terutama karena buku dan CD lagu yang dijualnya. Saya mengunjungi Qoo10 untuk barang-barang tidak lazim seperti Arbequina Extra Virgin Olive Oil. Rakuten saya pakai untuk produk Jepang seperti spirulina. Saya memilih Lazada untuk barang-barang yang dijual secara lokal di Singapura. Untuk sembako, ada lagi yang namanya honestbee dan RedMart. Saya tidak memakai dua app ini, tapi istri saya terkadang berbelanja lewat dua situs ini. 

Keuntungan dari penggunaan app lokal ini adalah harganya yang kompetitif. Terkadang ada diskon dan promo juga. Selain itu pengirimannya pun bisa saja gratis. Menarik, bukan? Daripada berbelanja di supermarket dan membawa pulang satu karung beras, tentunya lebih praktis kalau belanjaan kita diantarkan sampai ke depan rumah. Sama halnya juga dengan membeli barang elektronik, terutama dari toko-toko resmi seperti Mi Store di Lazada. Barangnya sama, garansi pun juga sama-sama setahun. Bahkan retur pun tidaklah begitu sulit. Baru-baru ini saya mengembalikan satu barang ke Amazon dan prosesnya cukup mudah. 

Berbelanja online memang seru, tapi tidak berarti bebas resiko. Sebelum perjalanan saya ke Myanmar, saya membeli tas ransel dari Lazada. Di luar dugaan, yang saya terima itu tas ransel berukuran mungil. Bentuknya seperti yang saya lihat di foto, tapi ukurannya kecil sehingga tidak cocok untuk dipakai berkelana. Saya tidak tahu pasti apakah saya yang tidak mengerti ukuran tas yang tertera atau memang informasinya tidak sesuai dengan barangnya, haha. Setelah kasus ini, saya tidak lagi membeli barang yang memiliki berbagai ukuran, misalnya tas, kaos, sepatu dan sebagainya, sebab apa yang saya lihat mungkin bukan apa yang akan saya dapatkan. Sebagai kesimpulan, mungkin kita sebaiknya membeli barang yang kita tahu pasti kalau kita memilih untuk berbelanja online. 

Sebagai penutup, kembali lagi ke komentar Budiman, saya cenderung sepakat dengannya. Belanja online tidak saja mengubah gaya hidup, tapi juga bisa membuat orang kalap, terlebih lagi ketika sedang promosi besar-besaran, misalnya pas Black Friday. Toko-toko ritel mungkin sedap dipandang mata, tapi saya tidak begitu yakin kalau bisnisnya seramai dulu. Saya hanya bisa berharap kalau mereka bisa bertahan, sebab tanpa toko-toko ini, apa jadinya pusat perbelanjaan yang biasa kita kunjungi? Saya masih suka berjalan di Orchard, apalagi di saat menjelang Natal!