Total Pageviews

Translate

Saturday, December 7, 2024

A Different Exposure

My daughter graduated from her primary school recently. As she moved on to the next phase, we went through quite a fair bit of processes and eventually my wife shared that she felt I was barely involved in a lot of things. And anything about education, in general. That got me thinking for a while: what gives? 

And I immediately thought of the time when I wrote about why people are different. I remember the moment when I got into secondary school. It was quite a straightforward decision I made after checking with my friend Rudy. Years later, long after I completed my education in my hometown Pontianak, here I am, speaking English and doing just fine in Singapore. 

Now that I really thought of it, indeed it was a different kind of exposure. A rather unusual one, if compared with what most of my peers had gone through. It turned out well for me, but at the same time, I ended up having a very different view in life. 

I failed to see why the secondary school registration was a big deal. I also had this mindset that, if I could do it with only education from a small town that didn't speak English at all, I couldn't see how my daughter who studied here in Singapore could fare any worse. I don't think I'm stubborn, but I am just not convinced that I should worry a lot about her education. She definitely has it better than me. 

The question now is more of how she responds to and appreciates the education she has here. In this case, my role model as a Dad is Lawrence. Oh yes, the same Lawrence who visited Pontianak and went to China with me. I think he did great with his kids. And he told me back in December 2020 that he always encouraged the kids to dig deeper and think. Now that they all grew up, they look all right, cheerful and they love their father dearly. 

Lawrence's experience makes sense to me. I can certainly relate with that. If my daughter Linda is anything like me, then encouragement is the way to go. She just needs to love what she's doing and she'll excel. Throughout the first twelve years of her life, I already tried my best to give her the happiest childhood I could provide. I allow her to fail and learn from her mistakes, too. I guess the next step is to help her learning and loving what matters for her in the next phase of her life...

Father and daughter.



Pengalaman Yang Berbeda

Putri saya baru-baru ini lulus SD. Dia naik ke jenjang berikutnya dan kita pun ikut sibuk dengan proses pendaftaran sekolahnya. Suatu hari, istri saya berkomentar bahwa saya hampir tidak terlibat apa-apa dalam hal ini dan juga perihal edukasi secara umum. Saya jadi tertegun dan berpikir: kenapa begini, ya? Apa yang salah? 

Dan saya lekas teringat dengan tulisan saya tentang kenapa setiap orang berbeda. Saya juga terkenang dengan saat saya masuk SMP. Kala itu saya cuma bertanya pada Rudy, apakah kita daftar ke Petrus. Bertahun-tahun setelah saya menyelesaikan pendidikan di Pontianak, di sinilah saya berada, berbicara dalam bahasa Inggris dan baik-baik saja di Singapura. 

Kalau saya pikirkan kembali, sepertinya pengalaman saya ini berbeda. Proses yang saya lalui ini boleh dikatakan tidak lumrah pula apabila dibandingkan dengan apa yang rata-rata dialami oleh teman dan kenalan saya. Walau baik hasilnya untuk saya, di saat bersamaan, saya jadi memiliki pandangan yang berbeda. 

Alhasil saya tidak paham kenapa pendaftaran SMP perlu dikerjakan dua orang tua. Saya juga memiliki pola pikir bahwa bila saya yang hanya berbekal pendidikan dari kota kecil yang tidak berbahasa Inggris pun bisa bersaing di Singapura, maka tidak ada alasan kenapa putri saya yang lahir dan sekolah di sini bisa lebih buruk hasilnya. Saya rasa saya tidak keras kepala, tapi saya tidak yakin saya harus sedemikian khawatirnya dengan pendidikan anak saya. Dia jelas memiliki pendidikan yang lebih baik dari saya. 

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dia menyikapi pendidikan yang ada. Dalam hal ini, teladan saya sebagai seorang ayah adalah Lawrence. Ya, Lawrence yang sama, yang pernah ke Pontianak dan ke Cina bersama saya. Suatu ketika di bulan Desember 2020, dia bercerita bahwa dia selalu mendorong anak-anaknya untuk berpikir dan memahami tentang manfaat pendidikan bagi diri mereka. Sekarang mereka sudah dewasa dan mereka terlihat baik, gembira dan menyayangi ayahnya. 

Pengalaman Lawrence ini masuk akal bagi saya dan saya bisa merasakan relevansinya. Jika Linda memiliki karakter yang sama seperti saya, maka dukungan adalah apa yang dia butuhkan. Dia hanya perlu menyukai apa yang dia kerjakan dan dia akan berhasil di bidangnya. Selama 12 tahun pertama dalam hidupnya, saya sudah sedaya upaya memberikan masa kecil yang gembira untuknya. Saya juga mengawasi dan memberikannya kesempatan untuk berbuat salah dan belajar dari kegagalannya. Saya kira langkah berikutnya adalah membantunya belajar dan mencintai apa yang penting baginya di fase selanjutnya... 

Sunday, November 24, 2024

The Three Wise Men

Throughout our lives, we continued evolving. For the betterment of ourselves, we learnt from the experience and exposure that shaped us. Along the way, some might gain a certain reputation as a wise person, knowledgeable and so forth. It was all fine and dandy, until you clung to it as if it was the only thing that mattered.

Reputation here could be defined as how a person was highly regarded by others. It must be great to reputable, therefore when cornered, one would defend his or her reputation fiercely. Asians in general had the mindset of giving face, saving face, anything that had to do with face, so excuses would be made up. They often sounded wise to the uninitiated, seamlessly sugarcoating the actual problem: the unwillingness to listen and get things done. They were also especially constructed to gain sympathy, the last resort to save the failing reputation. 

The craziest thing was, it would actually work on the audience that felt represented. Those who dared not to dream and take actions. Those who felt the world had been unfair and failing them. So you see the chain reaction here? In their attempt of saving their own skin, this first type of wise men had discouraged their followers under the pretext of being realistic. 

Then there were the second wise men. Ones that would come across as know-it-all. The people who either knew this or knew someone who knew that. They just had this insatiable need to constantly show that they knew more. But dug deeper and you'd realize that it was all superficial. Simply no substance. The funniest part was, apparently being confronted could be traumatizing. In the end, they chose not to speak up, worried that people would ask further. If something was accidentally blurted out, it would be recalled or deleted.

If the previous type was paranoid, The third group of wise men was perhaps over confident. They looked respectable and admirable until proven to be weren't as decent as they seemed. But they were patience enough to wait until opportunity knocked. Then they'd hop on anything that worked towards their advantage just to make a point. It'd be like field days, the moment they had been waiting for. You know, I'd been writing since high school, but even I was surprised to hear the story they were able to spin out!

Now, why am I telling you this? Like I said before, I am the chronicler. It is my thing to observe, ponder and write about it. I'm neither wise nor smart, but through what I did, I learnt from the wise men about what I don't want to be. They served as a reminder how human beings were susceptible to the reputation they built throughout the years. What was once an achievement had also become the weakness.

And I was also reminded that self-actualization, as preached by Bruce Lee many years ago, was better. Be yourself, not what people think or expect you to be. It's easier that way, for we don't always know or have all the answers. 

And be contented, too. Pursue reputation and you are at mercy of constant approval from others. But by being contented, something peaceful blossoms from within. That's the one thing that makes you smile and happy. 

Contented. I'd like to think I already am.
Photo by Yani.



Tiga Orang Bijak

Sepanjang hidup ini, kita akan senantiasa terus berevolusi. Dalam upaya kita untuk menjadi lebih baik, kita belajar dari pengalaman dan apa yang kita alami pun membentuk karakter kita. Beberapa di antara kita yang melewati proses pendewasaan ini bisa jadi meraih predikat orang bijak, berwawasan dan sebagainya. Semua ini baik adanya, sampai kita mendekap erat predikat yang kita sandang, seolah-olah ini adalah satu-satunya hal paling penting di dunia. 

Reputasi yang dimaksudkan di sini bisa dijabarkan sebagai cara bagaimana seseorang dipandang tinggi oleh orang lain. Tentunya hebat bila memiliki reputasi, namun tidak jarang orang menjadi defensif ketika reputasinya terancam. Kebanyakan orang Asia masih berkutat di pola pikir memberi muka, menyelamatkan muka, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan muka. Demi semua itu, segala macam alasan pun dibuat-buat. Bagi yang hanya menyimak secara sekilas, alasan tersebut bukan saja terdengar bijak, tapi juga menyamarkan masalah sesungguhnya: ketidakrelaan untik mendengar dan melakukannya. Dan alasan-alasan itu dirancang sedemikian rupa untuk menarik simpati, satu upaya terakhir untuk menyelamatkan reputasi yang goyah. 

Yang paling menarik adalah betapa semua alasan ini terdengar masuk akal bagi mereka yang merasa terwakilkan. Mereka yang tidak berani untuk bermimpi dan melakukan sesuatu. Mereka yang merasa dunia tidak adil dan telah mengecewakan mereka. Jadi bisa anda lihat siklus yang berkesinambungan ini. Dalam rangka menyelamatkan reputasi mereka, tipe pertama orang bijak ini secara tidak langsung memadamkan semangat pengikutnya dengan dalih realistis.

Kemudian ada pula orang-orang bijak yang berbeda. Kategori yang kedua ini adalah mereka yang kesannya serba tahu. Mereka tahu hal ini atau kenal dengan orang yang tahu akan hal itu. Sepertinya ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, sampai-sampai mereka setiap waktu ingin menunjukkan bahwa mereka lebih tahu. Tapi tanya lebih lanjut dan maka akan anda temukan bahwa pengetahuan mereka cuma kulitnya saja. Tak ada isinya. Yang lucunya lagi, ternyata dicecar dengan pertanyaan bisa membuat trauma. Pada akhirnya orang bijak ini justru tak mau berkomentar lagi karena khawatir akan ditanya lebih lanjut. Jika sesuatu tanpa sengaja terucapkan, maka akan ditarik balik atau dihapus.

Jika tipe di atas adalah paranoid, maka yang ketiga ini justru terlalu percaya diri. Orang-orang tampak terhormat dan mengagumkan, sampai anda lihat sendiri bahwa mereka tidaklah seperti apa yang mereka proyeksikan. Namun mereka sabar menanti sampai munculnya kesempatan. Begitu hari tersebut tiba, mereka mengaitkan apa saja demi apa yang hendak disampaikan. Dan anda tahu, meski saya sudah menulis dari sejak SMA, saya tetap terkesima mendengar cerita karangan mereka.  

Sekarang, kenapa saya menceritakan semua ini? Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, saya adalah seorang pencatat di generasi saya. Apa yang saya lakukan adalah mengamati, merenungkan dan menuliskan apa yang saya lihat. Saya tidaklah pandai ataupun bijak, tapi dari apa yang saya lakukan, dari orang-orang bijak ini saya belajar tentang kelakuan yang sedapat mungkin saya hindari. Tiga orang bijak ini adalah bukti nyata bahwa manusia itu lemah dalam menyikapi reputasi yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Apa yang pada awalnya adalah sebuah prestasi pada skhirnya hanya sebuah kelemahan. 

Dan saya juga turut diingatkan kembali bahwa aktualisasi diri, seperti yang dicetuskan oleh Bruce Lee, jelas lebih cocok. Jadilah diri kita sendiri, bukan menjadi seperti apa yang orang lain bayangkan tentang kita. Akan lebih mudah menjadi diri sendiri, sebab kita tidak selalu tahu semua hal dan memiliki semua jawaban. 

Dan bersyukur serta bergembiralah pula. Mengejar reputasi membuat anda senantiasa tergantung pada pengabsahan orang lain. Namun bila anda bisa bersenang hati, sesuatu yang damai lahir dari dalam. Itu adalah ,satu-satunya hal yang membuat anda tersenyum, tenang dan bahagia. 

Saturday, November 9, 2024

Passing The Torch

This story about passing the torch had been lodging in my mind since July, actually. I got the idea after the dinner with my ex-colleagues Jerold and Suresh. I let it sink in, knowing that if it ever got matured, it would resurface again after some time. Meanwhile, I moved on, but only to reminded of it through things I experienced at work and at home. The inspiration to write about it finally came when I was listening to a sermon last week. 

I remember specifically the conversation that happened as we took the escalator up. The gist of it is about the changes we can make if we are in the right position. The context is like this: at work, we may not always like the ideas or how we were being treated by our predecessors or supervisors. Hence when you are in the right position to change all that, you should put a stop so that it won't be passed down to the next generation anymore. 

Talk about the next generation, from time to time I would ask my daughter Linda if I had been a good Dad to her and whether she's happy with her life and family. While it is always nice to hear that she is appreciative of her funny Dad, it is far more important to know that she actually digs deeper and is grateful to be our daughter. She understands that things are tougher for those who came from a broken home whereas she has a relatively happy childhood. 

So now that I am in my forties, I learn that I am in that position where things I did are not only observed by the next generation, but would also have an impact in their lives, regardless how big or small it would be. 

This leaves us with only two choices. If you are being petty about life, you do exactly the same way your predecessors did to you. Know that by doing so, you are instrumental in extending the vicious cycle. Alternatively, what's not good end should with you so that the next generation doesn't have to experience it anymore. They'll start anew by not inheriting the mistakes from the past. 

We could make a difference. 

It's a matter of choice. 

And doing it right.

With Jerold and Suresh.



Untuk Generasi Berikutnya 

Cerita tentang apa yang kita wariskan untuk generasi berikutnya ini sudah muncul di benak saya sejak bulan Juli. Saya dapat ide ini setelah makan malam bersama mantan rekan kerja saya, Jerold dan Suresh. Akan tetapi saya acuhkan ide tersebut supaya matang bersama waktu. Bisa sudah tiba masanya, ide itu akan muncul lagi. Sementara itu, tak jarang saya diingatkan kembali tentang ide ini, baik di kantor maupun di rumah. Inspirasi akhirnya muncul saat saya mendengarkan khotbah pada hari Minggu lalu.

Saya ingat betul dengan perbincangan yang terjadi saat kita menaiki eskalator di Waterway Point. Inti dari percakapan tersebut adalah bagaimana kita bisa membuat perubahan saat berada di posisi yang tepat. Konteksnya seperti ini: di lingkungan kerja, ada kalanya kita tidak menyukai ide atau perlakuan senior kita yang berasal dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, bilamana kita berada di posisi yang tepat, anda bisa menghentikan semua itu supaya tak lagi berlanjut ke generasi berikutnya. 

Bicara tentang generasi setelah kita, terkadang saya bertanya pada putri saya Linda, apakah saya telah menjadi ayah yang baik baginya dan juga apakah dia bahagia dengan hidupnya dan sebagai bagian dari keluarga. Tentu saja senang rasanya mendengar bagaimana seorang anak menghargai orang tuanya, namun yang lebih penting lagi, di usianya yang tergolong muda, dia sebenarnya mengerti dan bersyukur telah terlahir di keluarga ini. Dia paham bahwa teman-temannya yang diasuh oleh orang tua tunggal yang mengalami perceraian itu melewati kesulitan yang jauh berbeda dengannya. Dan dia tahu bahwa masa kecilnya sudah cukup baik. 

Jadi di usia 40an ini, saya belajar bahwa saya kini berada di posisi bahwa apa yang saya lakukan bukan saja diamati oleh generasi berikutnya, tapi juga memiliki dampak dalam hidup mereka, entah itu besar atau kecil. 

Dan pada akhirnya hanya ada dua pilihan. Jika kita berpikir secara picik, kita bisa saja meneruskan hal yang sama seperti yang telah kita rasakan dari generasi sebelumnya. Tapi ketahuilah bahwa jika itu yang kita lakukan, maka kita punya andil dalam meneruskan lingkaran setan. Alternatif lainnya, apa yang tidak baik itu hendaknya berakhir bersama kita supaya generasi berikutnya tak lagi perlu mengalaminya. Mereka bisa memulai tradisi yang baru karena tidak mewarisi kesalahan dari masa lalu. 

Kita bisa membuat perbedaan. 

Ini hanyalah masalah pilihan. 

Dan juga melakukannya dengan baik. 

Saturday, November 2, 2024

The Culture

As I was talking with my wife about my upcoming trip to India, I was reminded again why I love traveling. No, it's not much about the nature, as I am always a city person and I thrive well when my cards work best. If there's one thing I like the most, it has to be this: the culture. 

The staycation where the inspiring talk took place. 

And it started long before I even realized it. Looking back, that's why Bali felt so different and charming. Because it is the only place in Indonesia with a thick Hindu influence. It's the culture that makes Bali so beautiful and welcoming. 

Same goes for India. I'd normally describe my experience like this: the colors, the noise, the smell, never before my senses had to work this hard! But it's the way the people carry on the age-old traditions, the delicious bannur mamsa chops I had in Bangalore, how all the religions come together in Kolkata, how I smashed the clay cup after drinking chai, that'll always be the incredible India I remember. 

The bannur mamsa chops that washed away the bland European taste.

If traveling is a humbling experience, then it's the culture that gets you thinking. I remember walking in Paris, seeing people enjoying life under the red awnings of the cafe and restaurant. For all the time we spent working, it was nice to see it with our own eyes that there was another option out there. 

And that boat ride from Interlaken to Iseltwald got me thinking, despite all the hard work we Asians did, we would never be as rich as the Swiss who woke up everyday to this heavenly view anyway. It opened up your mind and filled it with many questions: how rich is rich enough? Where are we in this life? What's the point of all this? 

Audrey and Yani in the breathtaking Iseltwald.

This is a break that most of us never know we need. We can be so focus in what we are doing to the extent that we believe this is it and the only way. In their ignorance, some even tell me that instead of travelling, you can just see it on YouTube. 

But it doesn't work that way. How the Indians still practice their 5000 years old belief in daily basis, how the Chinese is so advanced in their technologies such as Alipay, how the Japanese can be so hospitable, the magnitude of all this can only be appreciated when you are there. 

The guy who prepared the chai for me. He is the master! 

And embracing the culture helps you to reset your point of view. Every time you are skewed, the humbling experience brings balance to the force. The humility of it. That's the greatest part. People talk about healing. This is one. But don't let me bluff you. Try it yourself. 



Budaya

Sewaktu saya berbincang dengan istri saya tentang liburan saya ke India di bulan Januari 2025, saya jadi teringat kembali kenapa saya suka jalan-jalan. Tidak, ini bukan tentang alam, karena saya lebih menyukai kota dan saya berfungsi dengan baik di tempat di mana saya bisa mengibaskan kartu kredit. Jadi jika ada satu hal yang paling saya sukai dari berlibur, maka itu adalah budaya. 

Staycation tempat kita berbincang tentang topik yang membuat saya terinspirasi.

Dan semua ini sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum saya menyadarinya. Bila saya lihat kembali, ini alasannya kenapa Bali terasa berbeda dan memikat. Bali memiliki daya tarik luar biasa karena inilah satu-satunya tempat di Indonesia yang begitu kental budaya Hindunya. Adalah budaya yang membuat Bali terasa indah dan ramah. 

Sama halnya dengan India. Saya seringkali menggunakan ilustrasi berikut ini: warna-warni, aroma dan volume suara di India, belum pernah panca indra saya bekerja sekeras ini! Namun budaya ribuan tahun yang masih dijalani warganya, daging kambing bannur mamsa yang kaya rempah-rempah di Bengaluru, beraneka ragam agama yang berdampingan di Kolkata, hingga hal kecil seperti saat saya membanting cawan tanah liat setelah menenggak chai, inilah India akan selalu terkenang di benak saya. 

Daging kambing bannur mamsa yang super lezat.

Jika berlibur melihat dunia adalah sebuah pengalaman yang bersahaja, maka budaya yang kita alami adalah apa yang membuat kita berpikir. Saya ingat saat berjalan di Paris, melihat bagaimana orang-orang duduk santai menikmati hidup di bawah tenda merah di depan kafe dan restoran. Saat teringat bagaimana kita menghabiskan waktu untuk bekerja, lega rasanya melihat sendiri bahwa ada opsi lain dalam hidup ini. 

Dan di kapal yang menyusuri danau dari Interlaken ke Iseltwald itu saya berpikir, seberapa keras pun kita yang di Asia bekerja, kita tidak akan pernah sekaya orang Swiss yang bangun dengan pemandangan seindah ini setiap hari. Semua ini lantas membuat saya bertanya: jadi seberapa kaya baru cukup? Di mana posisi kita sekarang dalam kehidupan ini? Apa makna dari semua yang kita jalani ini? 

Audrey dan Yani sewaktu kita tiba di Iseltwald.

Keluar dari rutinitas dan masuk ke lingkungan yang sama sekali baru ini adalah sesuatu yang kita perlukan, meski tak banyak yang menyadari, apalagi mencoba. Terkadang kita bisa terlalu fokus pada apa yang kita lakukan, sampai-sampai kita percaya bahwa hidup hanyalah seperti ini dan ini adalah satu-satunya cara. Dalam ketidaktahuan mereka, ada saja yang dengan naifnya berkata bahwa semua ini bisa dilihat di YouTube. 

Tapi tentu saja caranya tidak seperti itu. Bagaimana orang India masih berpegang teguh pada kepercayaan yang sudah 5000 tahun lamanya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Cina bisa begitu maju dan canggih dengan teknologi seperti Alipay, bagaimana orang Jepang bisa begitu ramah, anda hanya bisa mengapresiasi budaya mereka saat berada di sana. 

Sang penyaji teh di cawan tanah liat!  

Dan mengalami sendiri budaya asing membantu kita meluruskan kembali sudut pandang kita. Setiap kali kita mulai oleng, pengalaman bersahaja ini menyeimbangkan kita kembali. Kerendahan hati dan ide yang kita dapatkan, itu adalah hal yang berharga. Orang-orang sering berkata tentang healing. Inilah hasilnya. Tapi jangan percaya begitu saja dengan apa yang saya katakan. Anda harus coba sendiri. 

Sunday, October 27, 2024

The Family Dynamics

As I accompanied my wife to the airport and watched her checking in her luggage from afar, it dawned on me that our family dynamics were quite unique: we could actually travel separately and the other spouse would be fine. One could take care of the family when the other half wasn't around. 

Yani at Terminal 4, Changi Airport. 

Now, to give a context, I came from a rather traditional background where, with the exception of business trip, husbands were expected to be with around the family 365 days a year. If you did otherwise, it'd be perceived as neglecting family. It'd be frowned upon. Or, like how we saw it earlier this year, one would probably be consumed by the guilt trip afterwards. 

This mindset or culture is as ridiculous as it gets. And to carry on thinking this way in 2024 is unfathomable. But yet it was a tradition that seemed to be brought forward to the next generation. In our group chat, we had this sticker saying get restrained. I'm just thankful that such a thing is not a problem to me.

In the past 13 years, we had been quite independent. Of course we had a family trip, the recent one was the trip to Taiwan. But my wife and I, we also got chances to travel just the two of us, from the Philippines, Europe to China and Japan. Then there were the kids with mum or dad. My wife had her mother-and-daughter trip to Japan last year. I also had similar experiences, though the last one was rather unexpected. Then we had trips with friends. For example, she and I both went to Thailand with separate groups this year. 

Clockwise, from left: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung and Changi Airport, 2024. 

I guess the point I want to emphasize is, just because we travel separately sometimes, it doesn't mean we love each other less. To me, it's in-line with what Ringo had said before, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." I had also described it in the Roles We Play, that we'll always be somebody else to someone, but then we need to be ourselves, too. 

I can't speak for our parents' generation, but in the end, I think it all comes down to a conscious decision. If you think 365 days a year with family is the way to go, so be it. But don't do it just because you are afraid of being frowned upon. Search your heart and if you think you actually don't subscribe to the 365 days concept, then perhaps you should do something about it instead of suffering in silence...



Dinamika Keluarga

Sewaktu saya menemani istri ke bandara dan melihat dia check-in bagasi dari kejauhan, tiba-tiba terpikir oleh saya tentang uniknya dinamika keluarga saya ini: kita bisa bepergian secara terpisah dan salah satu pasangan akan baik-baik saja. Pasangan yang ditinggal bisa mengurus keluarga selagi yang satunya tidak di tempat. 

Yani di Terminal 4, Changi Airport. 

Sebagai konteks, saya berasal dari latar belakang yang tradisional di mana para suami cenderung wajib bersama keluarga 365 hari setahun, kecuali saat sedang dinas kantor ke luar kota. Jika anda bertindak di luar kebiasaan, maka besar kemungkinan akan muncul anggapan bahwa anda telah mengabaikan keluarga. Perbuatan ini bisa jadi pergunjingan. Atau, seperti yang pernah diceritakan awal tahun ini, yang bertindak seperti ini nantinya akan dikonsumsi rasa bersalah

Pola pikir dan budaya ini sangatlah konyol. Sangat mencengangkan bahwa masih ada yang berpikir seperti ini di tahun 2024, namun tradisi ini sepertinya masih akan diteruskan ke generasi berikutnya. Di grup SMA, kita memiliki stiker yang bertulisan kena kekang. Saya hanya bisa bersyukur bahwa semua ini tidak terjadi pada saya. 

Dalam 13 tahun terakhir ini, boleh dikatakan kita memiliki kebebasan dalam keluarga. Tentu saja kita ada liburan keluarga, misalnya liburan ke Taiwan pada bulan Juni lalu. Namun saya dan istri juga memiliki kesempatan untuk pergi berdua saja, misalnya saat kita ke Filipina, Eropa, Cina dan Jepang. Kemudian ada pula waktu anak dan orang tua. Istri saya bepergian dengan putri sulung saya ke Jepang tahun lalu. Saya juga memiliki beberapa kesempatan serupa, meskipun perjalanan yang terakhir bukanlah sesuatu yang saya harapkan. Lalu ada pula liburan bersama teman-teman. Yani dan saya ke Thailand bersama grup yang berbeda tahun ini.

Dari kiri, searah jarum jam: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung dan Changi Airport, 2024.

Inti dari cerita saya ini adalah, hanya karena kita bertualang secara terpisah, tidak lantas berarti kita jadi kurang mencintai keluarga. Bagi saya, semua ini persis seperti yang Ringo Starr katakan sebelumnya, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." Saya juga telah mendeskripsikan hal serupa dalam The Roles We Play, tentang bagaimana kita selalu memainkan berbagai peran berbeda bagi setiap orang, namun pada akhirnya kita juga perlu menjadi diri sendiri juga. 

Saya tentu tidak bisa berbicara mewakili generasi orang tua kita, tapi saya kira semua ini akhirnya kembali lagi pada keputusan yang kita ambil secara sadar. Jika anda berpikir bahwa konsep 365 hari bersama keluarga cocok bagi anda, maka jalanilah sesuai kehendak anda. Namun jangan lakukan ini hanya semata-mata karena takut dengan pendapat orang lain. Tanya pada diri anda sendiri dan bilamana anda sebenarnya tidak setuju dengan konsep 365 hari, maka sepatutnya anda melakukan sesuatu dan bukannya menderita dalam diam. Akan jauh lebih baik jika kita bisa hidup sesuai dengan apa yang sungguh kita inginkan... 

Thursday, October 17, 2024

Day Tripper

I talked about Johor Bahru and Batam as the short getaway destinations before. I had quite a fair bit of stories featuring both cities. Off the top of my head, I remember the Great Crossing, Rediscovering Your Way and the latest one called the Pontian Noodles Trip. But never before I visited one city after another within two days. 

The trip to JB was planned much earlier. We bought the train tickets back in May for the 5-minute rides that would happen in early October. If you wonder why, that's because the tickets would be sold out long before the travel dates. This is just how it is if you wish to travel by train from Singapore to JB. 

Taking the Shuttle Tebrau train to JB.

And the one and only time I ever did so was in August 2017, when my friend Wawa and I visited Endrico's father in JB. Seven years later, after I arrived at Woodlands Checkpoint, I had no recollection where the queue for train was, even when we walked past it, haha. 

While it was a family trip, I split a cab with my old buddy Sugi instead. I've known Sugi since Jakarta days and we were together as well when we first started in Singapore. Hence it was nice to hang out with him again. When we reached JB, he introduced to us his favorite eatery, Ho Seng Kee noodles at City Square. 

With Sugi.

And that started my longest day at the mall. After breakfast, we walked one round, met my wife's friends and then dropped the kids at the indoor playground. As the ladies went shopping, we stayed back and had our lunch at Hailam Kopitiam in front of the playground. As a fan of fried rice, I tried the kerabu fried rice. Can't say it was great, but still edible. 

The only time ever Sugi and I ever walked outside was when we headed to Hiap Joo Bakery because he'd like to buy banana cake. As we returned, my wife friend's told me that it was odd that my wife needed to call and asked me to buy the cake. She assumed that I would have bought it, but I told her it went to show that my wife knew me well. I don't buy stuff I don't need, unless I'm being asked to. That's why I could go to Japan with only a small cabin luggage, haha. 

Pontianak chicken rice.

We returned to Singapore in the evening. The next morning, my wife and I boarded the ferry to Batam. Instead of the usual routine, we went to Kedai Kopi Aan this time. I had a craving for Pontianak chicken rice and it felt great to eat it again. Every bite tasted like a blast from my childhood. But it was just a small plate, so I went next door for second round: Mr. Lucky's Singkawang noodles!

My wife went for massage as I had my meals, so once I was done, I went to the Grand Batam Mall and waited for her there. She had her late lunch at Daun Pisang and ordered gurame, so I accompanied her by having pempek. My third meal in three hours. We also thought of watching Joker as my wife likes Lady Gaga, but the timing wasn't right, so we eventually left the mall and went to Restoran Sederhana! Oh yes, no visit to Indonesia is complete without nasi Padang! We had to buy back!

We left Batam via Sekupang after that, officially ending our two-day journey. Now, between the two, how was it like? I'd say I love Batam more. I felt at ease when I was there. Not only the food was great, but I also enjoyed the familiarity. Batam was relaxing whereas JB always kept me on my toes...

Before the departure...



Petualangan Per Hari

Tak cuma sekali saya membahas tentang Johor Bahru dan Batam sebagai tujuan wisata akhir pekan. Saya punya cukup banyak cerita tentang dua kota ini. Secara sepintas, saya bisa sebutkan beberapa judul, misalnya saja: Jalan Pagi Lintas Negara; Menemukan Jalan yang Terlupakan; Perjalanan ke Pontian. Walaupun demikian, saya belum pernah mengunjungi dua kota yang berbeda dalam dua hari berturut-turut. 

Perjalanan ke JB sudah direncanakan dari jauh hari. Saya membeli tiket kereta berdurasi lima menit ini dari sejak bulan Mei. Jika anda jadi bertanya-tanya, ini karena tiket kereta biasanya telah terjual habis jauh sebelum tanggal keberangkatan. Ini adalah sesuatu yang lumrah untuk kereta Shuttle Tebrau. 

Menaiki kereta Shuttle Tebrau ke JB.

Dan saya menaiki kereta ini pada bulan Agustus 2017 untuk pertama dan sekali-kalinya, ketika saya dan Wawa mengunjungi ayah Endrico di JB. Tujuh tahun kemudian, sewaktu saya tiba di Woodlands Checkpoint, saya tidak ada gambaran di mana antrian jalur kereta meskipun kita berjalan melewatinya, haha. 

Walau ini adalah liburan keluarga, saya naik Grab bersama teman saya Sugi. Saya sudah kenal Sugi sejak saya tinggal di Jakarta dan bersama-sama kita memulai di Singapura. Jadi senang rasanya bisa berkumpul lagi. Saat tiba di JB, dia membawa kita ke toko mie favoritnya, Ho Seng Kee di City Square. 

Bersama Sugi.

Lantas mulailah hari yang panjang di mal. Setelah sarapan pagi, kita berkeliling sejenak, lalu berkumpul dengan teman-teman istri saya dan anak-anak pun ditinggal di taman bermain. Ibu-ibu berbelanja sementara saya dan Sugi bersantap siang di Hailam Kopitiam Komtar. Sebagai penggemar nasi goreng, saya memesan nasi goreng kerabu. Ternyata tidak begitu enak, tapi masih bisa dimakan. 

Sugi dan saya sempat keluar sejenak dari mal ketika kita menuju ke Toko Roti Hiap Joo karena dia hendak membeli kue kek pisang. Saat kita kembali ke mal, teman istri saya berkomentar sungguh aneh bahwa istri saya perlu menelepon dan meminta saya untuk membelikan kek. Dia berasumsi bahwa saya akan juga membeli, mumpung sudah di sana, tapi saya jelaskan bahwa istri saya mengenal saya dengan baik. Saya tidak membeli barang yang tidak saya butuhkan, kecuali bila ada yang titip. Ini alasannya kenapa saya bisa ke Jepang hanya dengan membawa koper kabin yang kecil, haha. 

Nasi ayam Pontianak.

Kita kembali ke Singapura di malam hari. Keesokan paginya, saya dan istri menaiki feri ke Batam. Namun berbeda dengan biasanya, kali ini saya mampir ke Kedai Kopi Aan. Saya ingin menyantap nasi ayam Pontianak yang sedap rasanya. Setiap sendok persis terasa seperti kenangan masa kecil. Tapi kecil porsinya, sehingga saya pun lanjut ke sebelah: Mie Pangsit Pak Lucky Singkawang.

Istri saya menikmati sesi pijat selagi saya bersantap siang, jadi saat saya selesai, saya berangkat ke Grand Batam Mall dan menunggunya di sana. Dia lantas memesan gurame di restoran Daun Pisang dan saya menemaninya dengan pempek, menu ketiga saya dalam tiga jam terakhir. Selanjutnya kita ingin menonton Joker, terutama karena istri saya juga menyukai Lady Gaga, tapi jam pertunjukannya juga tidak tepat, jadi kita pergi ke Restoran Sederhana! Oh ya, kunjungan ke Indonesia tidak akan lengkap tanpa nasi Padang! Kita bungkus dan bawa pulang. 

Lewat Sekupang, kita meninggalkan Batam dan kembali ke Singapura. Perjalanan dua negara dalam dua hari pun usai. Nah, di antara dua kota ini, harus saya katakan bahwa saya lebih suka Batam. Bukan saja makanannya yang lebih cocok, suasananya pun lebih cocok. Batam senantiasa lebih santai sementara JB selalu membuat saya berjaga-jaga...

Di Sekupang, sebelum kembali ke Singapura.

Wednesday, October 2, 2024

Visa

My friend Jimmy is notoriously allergic to visa application. Instead of applying one, he'd make up all sorts of excuses. He'd say things such as, "there are still a lot of countries that can be visited without visa." Quite amusing, actually. To think that his passport, which is turning red next year, is quite weak to begin with. 

And of course I know, for I used to hold the same passport, too. I got my first visa in April 2009, when we crossed from Vietnam to Cambodia. The process of obtaining the visa on arrival (VOA) was quite unique. We were actually asked to have lunch at the nearby noodle shop while the visa was issued. 

My next one was the visa to China. The Nanning trip happened five months after the visit to Cambodia. I was new to all this and travel agency was still quite a big deal then. Since my tickets were booked via Muhibbah Travel, I got the agency to take care of my visa, too. However, things had improved drastically since 2012 that for my subsequent visas, I'd go directly to the Chinese Visa Application Service Center. 

The green and the red.

I got my third visa during my visit to Laos in 2010. I remember queuing behind a Malaysian when I landed in Vientiane. Much to my surprise, I was routed to the counter for visa. That's when I learnt the Malaysian passport was much more stronger than the one I was holding. It turned out that Cambodia was not the only exception. Apparently VOA was also required for me to enter Laos.

The visit to Japan also needed visa. The application, and I went through it three times in 2014, 2015 and 2018, was the most effective and efficient one. You just had to follow the document list to a tee and you should be fine. The precision was... very Japanese. Nothing more, nothing less. 

UK visa, on the other hand, was not only complicated, but also mysterious. The form had so many things to fill in that I almost gave up. My wife and I also had to go down to VFS for submission, then our passports were mailed to the Philippines. They'd send you an email saying that the application has been processed, but there was no telling if it was approved. You'd only find out after you received and opened your passport.

The visas.

The thing is, after going through UK visa application, the Schengen visa felt like a piece of cake. We only needed to fill in two pages, then went down to the French Embassy because we were going to Paris. I remember that we missed a travel document, so I booked and attached my Eurostar train tickets on the email when I reached home. 

The Indonesian passport had its limitation, all right. But that's not to say the Singapore passport doesn't need visa, too. I had applied for India visa twice so far for my visit to Kolkata and Bangalore. The first time I did it was quite unforgettable. Firstly, the online payment actually went through, but the page was showing an error, hence the very misleading impression. Secondly, I assumed the visa would be valid for three months, so imagine my surprise when it wasn't the case. I'd be in trouble if my flight was delayed, so I sent them the email below, haha:

The query.

The reply, I'd say, was not helping at all: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. So lesson learnt. No rush when it comes to India visa application.

So overall, how annoying is visa application? I'm not going to sugarcoat it. Traveling is much more convenient when you don't have to worry about visa. But more often than not, the visa application itself ain't that difficult, too. Yes, some do require the applicants' bank statements for the past three months, but once you get passed that, you are likely to be fine. So don't be discouraged, okay? If it gets you to the place you wish to be, then it's definitely worth the effort!



Visa

Teman saya Jimmy paling alergi kalau bicara soal visa. Bukannya mencoba, dia malah lebih senang berdalih. Ada saja yang alasannya, misalnya, "masih banyak negara yang bisa dikunjungi tanpa perlu memohon visa." Sikapnya ini cukup mencengangkan. Padahal paspornya, yang sebentar lagi berganti menjadi sampul merah, sebenarnya tergolong lemah. 

Dan tentu saja saya tahu, sebab saya pun dulunya memegang paspor yang sama. Visa pertama saya diperoleh di bulan April 2009, saat saya menyeberang dari Vietnam ke Kamboja. Proses mendapatkan visa on arrival (VOA) ini cukup unik. Kita disuruh makan siang dulu di kedai mie sementara visanya diurus di pos imigrasi yang tak jauh dari kedai tersebut.

Yang berikutnya adalah visa ke Cina. Liburan ke Nanning ini terjadi lima bulan setelah kunjungan ke Kamboja. Saya masih baru dalam hal jalan-jalan dan biro perjalanan masih dominan pada saat itu. Karena tiket ke Cina saya pesan dari Muhibbah Travel di Singapura, saya minta agar visa saya sekalian diurus pula. Setelah itu situasi berkembang pesat dan aplikasi visa berikutnya saya urus sendiri di Chinese Visa Application Service Center. 

Hijau dan merah.

Visa ketiga saya berkaitan dengan kunjungan ke Laos di tahun 2010. Saya antri di belakang orang Malaysia saat saya mendarat di Vientiane. Di luar dugaan, saya diarahkan ke loket visa. Di situ saya menyadari bahwa paspor Malaysia jauh lebih kuat dari yang saya pegang. Kamboja ternyata bukanlah satu-satunya pengecualian. Bahkan Laos pun perlu VOA. 

Kalau Jepang memang perlu visa (atau visa waiver, tergantung paspornya). Berdasarkan permohonan visa yang saya jalani di tahun 2014, 2015 dan 2018, bisa dikatakan bahwa proses visa Jepang adalah yang paling efektif dan efisien. Anda hanya perlu melampirkan berkas dokumen sesuai dengan yang tertera di daftar dan anda akan baik-baik saja. Pokoknya sangat... Jepang. Kedetilannya tidak lebih, tidak kurang. Pas.  

Aneka visa.

Visa Inggris jelas lain cerita. Bukan saja rumit, tapi juga misterius. Banyak yang harus diisi di formulirnya, sampai-sampai saya hampir menyerah. Saya dan istri lantas pergi ke VFS untuk menyerahkan dokumen, lalu paspor kita pun dikirim ke Filipina. Setelah itu saya menerima email bahwa aplikasinya telah selesai diproses, namun tak ada kejelasan bahwa visanya dikabulkan atau tidak. Saya hanya tahu hasilnya setelah menerima kembali dan membuka paspor saya. 

Kendati begitu, setelah melalui proses permohonan visa Inggris, visa Schengen terasa mudah. Hanya dua halaman yang perlu diisi, lalu kita datang ke Kedutaan Perancis karena tujuan kita adalah Paris. Saat itu ada dokumen yang kurang, tapi bisa dikirimkan lewat email. Saya pun memesan tiket Eurostar untuk dilampirkan. 

Ya, paspor Indonesia memang memiliki banyak kekurangan, tapi ini tidak berarti bahwa paspor Singapura sama sekali bebas visa. Saya sudah dua kali memohon visa India lewat internet untuk kunjungan ke Kolkata dan Bangalore. Kali pertama adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Meski pembayarannya berhasil, tapi situsnya menampilkan kegagalan sehingga saya kebingungan. Selanjutnya ada lagi asumsi saya tentang visa yang biasanya berlaku tiga bulan, tapi tidak demikian halnya dengan visa India. Bila pesawat malam saya ditunda, bisa-bisa saya tiba di India setelah visa saya tak berlaku lagi. Jadi saya pun kirimkan email dan bertanya, hehe: 

Pertanyaan tentang visa.

Jawaban yang saya dapatkan sama sekali tidak membantu: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. Artinya pemohon visa harus tiba paling lambat pada jam 11:59 malam di hari terakhir sebelum tanggal kadaluwarsa visa. Jadi hikmahnya adalah, tak perlu terburu-buru jikalau perlu memohon visa India.

Jadi secara keseluruhan, saya bisa katakan bahwa persyaratan visa ini memang menyebalkan. Jalan-jalan terasa jauh lebih praktis bila anda tidak memerlukan visa. Akan tetapi perlu disampaikan pula bahwa proses visa ini seringkali tidaklah serumit yang dibayangkan. Ya, ada yang terkadang memerlukan rekening bank selama tiga bulan terakhir, tapi anda cukup lampirkan seperti yang diminta dan seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi jangan putus asa duluan. Jika visa itu bisa membawa anda ke tempat yang anda inginkan, niscaya upaya anda tidak akan sia-sia!