Total Pageviews

Translate

Saturday, November 2, 2024

The Culture

As I was talking with my wife about my upcoming trip to India, I was reminded again why I love traveling. No, it's not much about the nature, as I am always a city person and I thrive well when my cards work best. If there's one thing I like the most, it has to be this: the culture. 

The staycation where the inspiring talk took place. 

And it started long before I even realized it. Looking back, that's why Bali felt so different and charming. Because it is the only place in Indonesia with a thick Hindu influence. It's the culture that makes Bali so beautiful and welcoming. 

Same goes for India. I'd normally describe my experience like this: the colors, the noise, the smell, never before my senses had to work this hard! But it's the way the people carry on the age-old traditions, the delicious bannur mamsa chops I had in Bangalore, how all the religions come together in Kolkata, how I smashed the clay cup after drinking chai, that'll always be the incredible India I remember. 

The bannur mamsa chops that washed away the bland European taste.

If traveling is a humbling experience, then it's the culture that gets you thinking. I remember walking in Paris, seeing people enjoying life under the red awnings of the cafe and restaurant. For all the time we spent working, it was nice to see it with our own eyes that there was another option out there. 

And that boat ride from Interlaken to Iseltwald got me thinking, despite all the hard work we Asians did, we would never be as rich as the Swiss who woke up everyday to this heavenly view anyway. It opened up your mind and filled it with many questions: how rich is rich enough? Where are we in this life? What's the point of all this? 

Audrey and Yani in the breathtaking Iseltwald.

This is a break that most of us never know we need. We can be so focus in what we are doing to the extent that we believe this is it and the only way. In their ignorance, some even tell me that instead of travelling, you can just see it on YouTube. 

But it doesn't work that way. How the Indians still practice their 5000 years old belief in daily basis, how the Chinese is so advanced in their technologies such as Alipay, how the Japanese can be so hospitable, the magnitude of all this can only be appreciated when you are there. 

The guy who prepared the chai for me. He is the master! 

And embracing the culture helps you to reset your point of view. Every time you are skewed, the humbling experience brings balance to the force. The humility of it. That's the greatest part. People talk about healing. This is one. But don't let me bluff you. Try it yourself. 



Budaya

Sewaktu saya berbincang dengan istri saya tentang liburan saya ke India di bulan Januari 2025, saya jadi teringat kembali kenapa saya suka jalan-jalan. Tidak, ini bukan tentang alam, karena saya lebih menyukai kota dan saya berfungsi dengan baik di tempat di mana saya bisa mengibaskan kartu kredit. Jadi jika ada satu hal yang paling saya sukai dari berlibur, maka itu adalah budaya. 

Staycation tempat kita berbincang tentang topik yang membuat saya terinspirasi.

Dan semua ini sudah berlangsung lama, bahkan jauh sebelum saya menyadarinya. Bila saya lihat kembali, ini alasannya kenapa Bali terasa berbeda dan memikat. Bali memiliki daya tarik luar biasa karena inilah satu-satunya tempat di Indonesia yang begitu kental budaya Hindunya. Adalah budaya yang membuat Bali terasa indah dan ramah. 

Sama halnya dengan India. Saya seringkali menggunakan ilustrasi berikut ini: warna-warni, aroma dan volume suara di India, belum pernah panca indra saya bekerja sekeras ini! Namun budaya ribuan tahun yang masih dijalani warganya, daging kambing bannur mamsa yang kaya rempah-rempah di Bengaluru, beraneka ragam agama yang berdampingan di Kolkata, hingga hal kecil seperti saat saya membanting cawan tanah liat setelah menenggak chai, inilah India akan selalu terkenang di benak saya. 

Daging kambing bannur mamsa yang super lezat.

Jika berlibur melihat dunia adalah sebuah pengalaman yang bersahaja, maka budaya yang kita alami adalah apa yang membuat kita berpikir. Saya ingat saat berjalan di Paris, melihat bagaimana orang-orang duduk santai menikmati hidup di bawah tenda merah di depan kafe dan restoran. Saat teringat bagaimana kita menghabiskan waktu untuk bekerja, lega rasanya melihat sendiri bahwa ada opsi lain dalam hidup ini. 

Dan di kapal yang menyusuri danau dari Interlaken ke Iseltwald itu saya berpikir, seberapa keras pun kita yang di Asia bekerja, kita tidak akan pernah sekaya orang Swiss yang bangun dengan pemandangan seindah ini setiap hari. Semua ini lantas membuat saya bertanya: jadi seberapa kaya baru cukup? Di mana posisi kita sekarang dalam kehidupan ini? Apa makna dari semua yang kita jalani ini? 

Audrey dan Yani sewaktu kita tiba di Iseltwald.

Keluar dari rutinitas dan masuk ke lingkungan yang sama sekali baru ini adalah sesuatu yang kita perlukan, meski tak banyak yang menyadari, apalagi mencoba. Terkadang kita bisa terlalu fokus pada apa yang kita lakukan, sampai-sampai kita percaya bahwa hidup hanyalah seperti ini dan ini adalah satu-satunya cara. Dalam ketidaktahuan mereka, ada saja yang dengan naifnya berkata bahwa semua ini bisa dilihat di YouTube. 

Tapi tentu saja caranya tidak seperti itu. Bagaimana orang India masih berpegang teguh pada kepercayaan yang sudah 5000 tahun lamanya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana orang Cina bisa begitu maju dan canggih dengan teknologi seperti Alipay, bagaimana orang Jepang bisa begitu ramah, anda hanya bisa mengapresiasi budaya mereka saat berada di sana. 

Sang penyaji teh di cawan tanah liat!  

Dan mengalami sendiri budaya asing membantu kita meluruskan kembali sudut pandang kita. Setiap kali kita mulai oleng, pengalaman bersahaja ini menyeimbangkan kita kembali. Kerendahan hati dan ide yang kita dapatkan, itu adalah hal yang berharga. Orang-orang sering berkata tentang healing. Inilah hasilnya. Tapi jangan percaya begitu saja dengan apa yang saya katakan. Anda harus coba sendiri. 

Sunday, October 27, 2024

The Family Dynamics

As I accompanied my wife to the airport and watched her checking in her luggage from afar, it dawned on me that our family dynamics were quite unique: we could actually travel separately and the other spouse would be fine. One could take care of the family when the other half wasn't around. 

Yani at Terminal 4, Changi Airport. 

Now, to give a context, I came from a rather traditional background where, with the exception of business trip, husbands were expected to be with around the family 365 days a year. If you did otherwise, it'd be perceived as neglecting family. It'd be frowned upon. Or, like how we saw it earlier this year, one would probably be consumed by the guilt trip afterwards. 

This mindset or culture is as ridiculous as it gets. And to carry on thinking this way in 2024 is unfathomable. But yet it was a tradition that seemed to be brought forward to the next generation. In our group chat, we had this sticker saying get restrained. I'm just thankful that such a thing is not a problem to me.

In the past 13 years, we had been quite independent. Of course we had a family trip, the recent one was the trip to Taiwan. But my wife and I, we also got chances to travel just the two of us, from the Philippines, Europe to China and Japan. Then there were the kids with mum or dad. My wife had her mother-and-daughter trip to Japan last year. I also had similar experiences, though the last one was rather unexpected. Then we had trips with friends. For example, she and I both went to Thailand with separate groups this year. 

Clockwise, from left: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung and Changi Airport, 2024. 

I guess the point I want to emphasize is, just because we travel separately sometimes, it doesn't mean we love each other less. To me, it's in-line with what Ringo had said before, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." I had also described it in the Roles We Play, that we'll always be somebody else to someone, but then we need to be ourselves, too. 

I can't speak for our parents' generation, but in the end, I think it all comes down to a conscious decision. If you think 365 days a year with family is the way to go, so be it. But don't do it just because you are afraid of being frowned upon. Search your heart and if you think you actually don't subscribe to the 365 days concept, then perhaps you should do something about it instead of suffering in silence...



Dinamika Keluarga

Sewaktu saya menemani istri ke bandara dan melihat dia check-in bagasi dari kejauhan, tiba-tiba terpikir oleh saya tentang uniknya dinamika keluarga saya ini: kita bisa bepergian secara terpisah dan salah satu pasangan akan baik-baik saja. Pasangan yang ditinggal bisa mengurus keluarga selagi yang satunya tidak di tempat. 

Yani di Terminal 4, Changi Airport. 

Sebagai konteks, saya berasal dari latar belakang yang tradisional di mana para suami cenderung wajib bersama keluarga 365 hari setahun, kecuali saat sedang dinas kantor ke luar kota. Jika anda bertindak di luar kebiasaan, maka besar kemungkinan akan muncul anggapan bahwa anda telah mengabaikan keluarga. Perbuatan ini bisa jadi pergunjingan. Atau, seperti yang pernah diceritakan awal tahun ini, yang bertindak seperti ini nantinya akan dikonsumsi rasa bersalah

Pola pikir dan budaya ini sangatlah konyol. Sangat mencengangkan bahwa masih ada yang berpikir seperti ini di tahun 2024, namun tradisi ini sepertinya masih akan diteruskan ke generasi berikutnya. Di grup SMA, kita memiliki stiker yang bertulisan kena kekang. Saya hanya bisa bersyukur bahwa semua ini tidak terjadi pada saya. 

Dalam 13 tahun terakhir ini, boleh dikatakan kita memiliki kebebasan dalam keluarga. Tentu saja kita ada liburan keluarga, misalnya liburan ke Taiwan pada bulan Juni lalu. Namun saya dan istri juga memiliki kesempatan untuk pergi berdua saja, misalnya saat kita ke Filipina, Eropa, Cina dan Jepang. Kemudian ada pula waktu anak dan orang tua. Istri saya bepergian dengan putri sulung saya ke Jepang tahun lalu. Saya juga memiliki beberapa kesempatan serupa, meskipun perjalanan yang terakhir bukanlah sesuatu yang saya harapkan. Lalu ada pula liburan bersama teman-teman. Yani dan saya ke Thailand bersama grup yang berbeda tahun ini.

Dari kiri, searah jarum jam: Tongli 2018; Mae Kampong, Taichung dan Changi Airport, 2024.

Inti dari cerita saya ini adalah, hanya karena kita bertualang secara terpisah, tidak lantas berarti kita jadi kurang mencintai keluarga. Bagi saya, semua ini persis seperti yang Ringo Starr katakan sebelumnya, "maybe I haven't always been there just for you. Maybe I try but then I got my own life, too." Saya juga telah mendeskripsikan hal serupa dalam The Roles We Play, tentang bagaimana kita selalu memainkan berbagai peran berbeda bagi setiap orang, namun pada akhirnya kita juga perlu menjadi diri sendiri juga. 

Saya tentu tidak bisa berbicara mewakili generasi orang tua kita, tapi saya kira semua ini akhirnya kembali lagi pada keputusan yang kita ambil secara sadar. Jika anda berpikir bahwa konsep 365 hari bersama keluarga cocok bagi anda, maka jalanilah sesuai kehendak anda. Namun jangan lakukan ini hanya semata-mata karena takut dengan pendapat orang lain. Tanya pada diri anda sendiri dan bilamana anda sebenarnya tidak setuju dengan konsep 365 hari, maka sepatutnya anda melakukan sesuatu dan bukannya menderita dalam diam. Akan jauh lebih baik jika kita bisa hidup sesuai dengan apa yang sungguh kita inginkan... 

Thursday, October 17, 2024

Day Tripper

I talked about Johor Bahru and Batam as the short getaway destinations before. I had quite a fair bit of stories featuring both cities. Off the top of my head, I remember the Great Crossing, Rediscovering Your Way and the latest one called the Pontian Noodles Trip. But never before I visited one city after another within two days. 

The trip to JB was planned much earlier. We bought the train tickets back in May for the 5-minute rides that would happen in early October. If you wonder why, that's because the tickets would be sold out long before the travel dates. This is just how it is if you wish to travel by train from Singapore to JB. 

Taking the Shuttle Tebrau train to JB.

And the one and only time I ever did so was in August 2017, when my friend Wawa and I visited Endrico's father in JB. Seven years later, after I arrived at Woodlands Checkpoint, I had no recollection where the queue for train was, even when we walked past it, haha. 

While it was a family trip, I split a cab with my old buddy Sugi instead. I've known Sugi since Jakarta days and we were together as well when we first started in Singapore. Hence it was nice to hang out with him again. When we reached JB, he introduced to us his favorite eatery, Ho Seng Kee noodles at City Square. 

With Sugi.

And that started my longest day at the mall. After breakfast, we walked one round, met my wife's friends and then dropped the kids at the indoor playground. As the ladies went shopping, we stayed back and had our lunch at Hailam Kopitiam in front of the playground. As a fan of fried rice, I tried the kerabu fried rice. Can't say it was great, but still edible. 

The only time ever Sugi and I ever walked outside was when we headed to Hiap Joo Bakery because he'd like to buy banana cake. As we returned, my wife friend's told me that it was odd that my wife needed to call and asked me to buy the cake. She assumed that I would have bought it, but I told her it went to show that my wife knew me well. I don't buy stuff I don't need, unless I'm being asked to. That's why I could go to Japan with only a small cabin luggage, haha. 

Pontianak chicken rice.

We returned to Singapore in the evening. The next morning, my wife and I boarded the ferry to Batam. Instead of the usual routine, we went to Kedai Kopi Aan this time. I had a craving for Pontianak chicken rice and it felt great to eat it again. Every bite tasted like a blast from my childhood. But it was just a small plate, so I went next door for second round: Mr. Lucky's Singkawang noodles!

My wife went for massage as I had my meals, so once I was done, I went to the Grand Batam Mall and waited for her there. She had her late lunch at Daun Pisang and ordered gurame, so I accompanied her by having pempek. My third meal in three hours. We also thought of watching Joker as my wife likes Lady Gaga, but the timing wasn't right, so we eventually left the mall and went to Restoran Sederhana! Oh yes, no visit to Indonesia is complete without nasi Padang! We had to buy back!

We left Batam via Sekupang after that, officially ending our two-day journey. Now, between the two, how was it like? I'd say I love Batam more. I felt at ease when I was there. Not only the food was great, but I also enjoyed the familiarity. Batam was relaxing whereas JB always kept me on my toes...

Before the departure...



Petualangan Per Hari

Tak cuma sekali saya membahas tentang Johor Bahru dan Batam sebagai tujuan wisata akhir pekan. Saya punya cukup banyak cerita tentang dua kota ini. Secara sepintas, saya bisa sebutkan beberapa judul, misalnya saja: Jalan Pagi Lintas Negara; Menemukan Jalan yang Terlupakan; Perjalanan ke Pontian. Walaupun demikian, saya belum pernah mengunjungi dua kota yang berbeda dalam dua hari berturut-turut. 

Perjalanan ke JB sudah direncanakan dari jauh hari. Saya membeli tiket kereta berdurasi lima menit ini dari sejak bulan Mei. Jika anda jadi bertanya-tanya, ini karena tiket kereta biasanya telah terjual habis jauh sebelum tanggal keberangkatan. Ini adalah sesuatu yang lumrah untuk kereta Shuttle Tebrau. 

Menaiki kereta Shuttle Tebrau ke JB.

Dan saya menaiki kereta ini pada bulan Agustus 2017 untuk pertama dan sekali-kalinya, ketika saya dan Wawa mengunjungi ayah Endrico di JB. Tujuh tahun kemudian, sewaktu saya tiba di Woodlands Checkpoint, saya tidak ada gambaran di mana antrian jalur kereta meskipun kita berjalan melewatinya, haha. 

Walau ini adalah liburan keluarga, saya naik Grab bersama teman saya Sugi. Saya sudah kenal Sugi sejak saya tinggal di Jakarta dan bersama-sama kita memulai di Singapura. Jadi senang rasanya bisa berkumpul lagi. Saat tiba di JB, dia membawa kita ke toko mie favoritnya, Ho Seng Kee di City Square. 

Bersama Sugi.

Lantas mulailah hari yang panjang di mal. Setelah sarapan pagi, kita berkeliling sejenak, lalu berkumpul dengan teman-teman istri saya dan anak-anak pun ditinggal di taman bermain. Ibu-ibu berbelanja sementara saya dan Sugi bersantap siang di Hailam Kopitiam Komtar. Sebagai penggemar nasi goreng, saya memesan nasi goreng kerabu. Ternyata tidak begitu enak, tapi masih bisa dimakan. 

Sugi dan saya sempat keluar sejenak dari mal ketika kita menuju ke Toko Roti Hiap Joo karena dia hendak membeli kue kek pisang. Saat kita kembali ke mal, teman istri saya berkomentar sungguh aneh bahwa istri saya perlu menelepon dan meminta saya untuk membelikan kek. Dia berasumsi bahwa saya akan juga membeli, mumpung sudah di sana, tapi saya jelaskan bahwa istri saya mengenal saya dengan baik. Saya tidak membeli barang yang tidak saya butuhkan, kecuali bila ada yang titip. Ini alasannya kenapa saya bisa ke Jepang hanya dengan membawa koper kabin yang kecil, haha. 

Nasi ayam Pontianak.

Kita kembali ke Singapura di malam hari. Keesokan paginya, saya dan istri menaiki feri ke Batam. Namun berbeda dengan biasanya, kali ini saya mampir ke Kedai Kopi Aan. Saya ingin menyantap nasi ayam Pontianak yang sedap rasanya. Setiap sendok persis terasa seperti kenangan masa kecil. Tapi kecil porsinya, sehingga saya pun lanjut ke sebelah: Mie Pangsit Pak Lucky Singkawang.

Istri saya menikmati sesi pijat selagi saya bersantap siang, jadi saat saya selesai, saya berangkat ke Grand Batam Mall dan menunggunya di sana. Dia lantas memesan gurame di restoran Daun Pisang dan saya menemaninya dengan pempek, menu ketiga saya dalam tiga jam terakhir. Selanjutnya kita ingin menonton Joker, terutama karena istri saya juga menyukai Lady Gaga, tapi jam pertunjukannya juga tidak tepat, jadi kita pergi ke Restoran Sederhana! Oh ya, kunjungan ke Indonesia tidak akan lengkap tanpa nasi Padang! Kita bungkus dan bawa pulang. 

Lewat Sekupang, kita meninggalkan Batam dan kembali ke Singapura. Perjalanan dua negara dalam dua hari pun usai. Nah, di antara dua kota ini, harus saya katakan bahwa saya lebih suka Batam. Bukan saja makanannya yang lebih cocok, suasananya pun lebih cocok. Batam senantiasa lebih santai sementara JB selalu membuat saya berjaga-jaga...

Di Sekupang, sebelum kembali ke Singapura.

Wednesday, October 2, 2024

Visa

My friend Jimmy is notoriously allergic to visa application. Instead of applying one, he'd make up all sorts of excuses. He'd say things such as, "there are still a lot of countries that can be visited without visa." Quite amusing, actually. To think that his passport, which is turning red next year, is quite weak to begin with. 

And of course I know, for I used to hold the same passport, too. I got my first visa in April 2009, when we crossed from Vietnam to Cambodia. The process of obtaining the visa on arrival (VOA) was quite unique. We were actually asked to have lunch at the nearby noodle shop while the visa was issued. 

My next one was the visa to China. The Nanning trip happened five months after the visit to Cambodia. I was new to all this and travel agency was still quite a big deal then. Since my tickets were booked via Muhibbah Travel, I got the agency to take care of my visa, too. However, things had improved drastically since 2012 that for my subsequent visas, I'd go directly to the Chinese Visa Application Service Center. 

The green and the red.

I got my third visa during my visit to Laos in 2010. I remember queuing behind a Malaysian when I landed in Vientiane. Much to my surprise, I was routed to the counter for visa. That's when I learnt the Malaysian passport was much more stronger than the one I was holding. It turned out that Cambodia was not the only exception. Apparently VOA was also required for me to enter Laos.

The visit to Japan also needed visa. The application, and I went through it three times in 2014, 2015 and 2018, was the most effective and efficient one. You just had to follow the document list to a tee and you should be fine. The precision was... very Japanese. Nothing more, nothing less. 

UK visa, on the other hand, was not only complicated, but also mysterious. The form had so many things to fill in that I almost gave up. My wife and I also had to go down to VFS for submission, then our passports were mailed to the Philippines. They'd send you an email saying that the application has been processed, but there was no telling if it was approved. You'd only find out after you received and opened your passport.

The visas.

The thing is, after going through UK visa application, the Schengen visa felt like a piece of cake. We only needed to fill in two pages, then went down to the French Embassy because we were going to Paris. I remember that we missed a travel document, so I booked and attached my Eurostar train tickets on the email when I reached home. 

The Indonesian passport had its limitation, all right. But that's not to say the Singapore passport doesn't need visa, too. I had applied for India visa twice so far for my visit to Kolkata and Bangalore. The first time I did it was quite unforgettable. Firstly, the online payment actually went through, but the page was showing an error, hence the very misleading impression. Secondly, I assumed the visa would be valid for three months, so imagine my surprise when it wasn't the case. I'd be in trouble if my flight was delayed, so I sent them the email below, haha:

The query.

The reply, I'd say, was not helping at all: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. So lesson learnt. No rush when it comes to India visa application.

So overall, how annoying is visa application? I'm not going to sugarcoat it. Traveling is much more convenient when you don't have to worry about visa. But more often than not, the visa application itself ain't that difficult, too. Yes, some do require the applicants' bank statements for the past three months, but once you get passed that, you are likely to be fine. So don't be discouraged, okay? If it gets you to the place you wish to be, then it's definitely worth the effort!



Visa

Teman saya Jimmy paling alergi kalau bicara soal visa. Bukannya mencoba, dia malah lebih senang berdalih. Ada saja yang alasannya, misalnya, "masih banyak negara yang bisa dikunjungi tanpa perlu memohon visa." Sikapnya ini cukup mencengangkan. Padahal paspornya, yang sebentar lagi berganti menjadi sampul merah, sebenarnya tergolong lemah. 

Dan tentu saja saya tahu, sebab saya pun dulunya memegang paspor yang sama. Visa pertama saya diperoleh di bulan April 2009, saat saya menyeberang dari Vietnam ke Kamboja. Proses mendapatkan visa on arrival (VOA) ini cukup unik. Kita disuruh makan siang dulu di kedai mie sementara visanya diurus di pos imigrasi yang tak jauh dari kedai tersebut.

Yang berikutnya adalah visa ke Cina. Liburan ke Nanning ini terjadi lima bulan setelah kunjungan ke Kamboja. Saya masih baru dalam hal jalan-jalan dan biro perjalanan masih dominan pada saat itu. Karena tiket ke Cina saya pesan dari Muhibbah Travel di Singapura, saya minta agar visa saya sekalian diurus pula. Setelah itu situasi berkembang pesat dan aplikasi visa berikutnya saya urus sendiri di Chinese Visa Application Service Center. 

Hijau dan merah.

Visa ketiga saya berkaitan dengan kunjungan ke Laos di tahun 2010. Saya antri di belakang orang Malaysia saat saya mendarat di Vientiane. Di luar dugaan, saya diarahkan ke loket visa. Di situ saya menyadari bahwa paspor Malaysia jauh lebih kuat dari yang saya pegang. Kamboja ternyata bukanlah satu-satunya pengecualian. Bahkan Laos pun perlu VOA. 

Kalau Jepang memang perlu visa (atau visa waiver, tergantung paspornya). Berdasarkan permohonan visa yang saya jalani di tahun 2014, 2015 dan 2018, bisa dikatakan bahwa proses visa Jepang adalah yang paling efektif dan efisien. Anda hanya perlu melampirkan berkas dokumen sesuai dengan yang tertera di daftar dan anda akan baik-baik saja. Pokoknya sangat... Jepang. Kedetilannya tidak lebih, tidak kurang. Pas.  

Aneka visa.

Visa Inggris jelas lain cerita. Bukan saja rumit, tapi juga misterius. Banyak yang harus diisi di formulirnya, sampai-sampai saya hampir menyerah. Saya dan istri lantas pergi ke VFS untuk menyerahkan dokumen, lalu paspor kita pun dikirim ke Filipina. Setelah itu saya menerima email bahwa aplikasinya telah selesai diproses, namun tak ada kejelasan bahwa visanya dikabulkan atau tidak. Saya hanya tahu hasilnya setelah menerima kembali dan membuka paspor saya. 

Kendati begitu, setelah melalui proses permohonan visa Inggris, visa Schengen terasa mudah. Hanya dua halaman yang perlu diisi, lalu kita datang ke Kedutaan Perancis karena tujuan kita adalah Paris. Saat itu ada dokumen yang kurang, tapi bisa dikirimkan lewat email. Saya pun memesan tiket Eurostar untuk dilampirkan. 

Ya, paspor Indonesia memang memiliki banyak kekurangan, tapi ini tidak berarti bahwa paspor Singapura sama sekali bebas visa. Saya sudah dua kali memohon visa India lewat internet untuk kunjungan ke Kolkata dan Bangalore. Kali pertama adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Meski pembayarannya berhasil, tapi situsnya menampilkan kegagalan sehingga saya kebingungan. Selanjutnya ada lagi asumsi saya tentang visa yang biasanya berlaku tiga bulan, tapi tidak demikian halnya dengan visa India. Bila pesawat malam saya ditunda, bisa-bisa saya tiba di India setelah visa saya tak berlaku lagi. Jadi saya pun kirimkan email dan bertanya, hehe: 

Pertanyaan tentang visa.

Jawaban yang saya dapatkan sama sekali tidak membantu: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. Artinya pemohon visa harus tiba paling lambat pada jam 11:59 malam di hari terakhir sebelum tanggal kadaluwarsa visa. Jadi hikmahnya adalah, tak perlu terburu-buru jikalau perlu memohon visa India.

Jadi secara keseluruhan, saya bisa katakan bahwa persyaratan visa ini memang menyebalkan. Jalan-jalan terasa jauh lebih praktis bila anda tidak memerlukan visa. Akan tetapi perlu disampaikan pula bahwa proses visa ini seringkali tidaklah serumit yang dibayangkan. Ya, ada yang terkadang memerlukan rekening bank selama tiga bulan terakhir, tapi anda cukup lampirkan seperti yang diminta dan seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi jangan putus asa duluan. Jika visa itu bisa membawa anda ke tempat yang anda inginkan, niscaya upaya anda tidak akan sia-sia!

Sunday, September 22, 2024

Lovely Linda

My daughter Linda could be many things. She could be intentionally annoying at times. She could be hilariously funny, like the day she requested for drum roll before announcing her test result. Thinking she did well, she broke the news proudly, only to be told off by her mum. But once in a while, I was reminded again that she was a good daughter that loved her father in her endearing way.

This story began with what seemingly a normal Thursday. There was nothing dodgy about it, until  the last half an hour of the day that changed it all. An incident, something that was fairly common when you did an IT job, happened and, in total, it would last about five hours. By the time my friend/colleague Taty passed by, she snapped a picture and made fun of me in the group. Let's just call it karma as I normally did the same to her, too.

That fateful night.
Photo by Taty.
 

We were done with the disaster recovery two hours later, but that wasn't the end of story. There was something else going on and due to the uncertainty, I resumed the work the moment I reached home. I vaguely remember Linda sitting next to me for a short while. She was quiet, then she went back to her room. 

It was 11 PM when I was done. I passed by her room, seeing her fast asleep in her bed, before I noticed the scribbling on the iPad next to her. I picked it up to read the message and it said this: Papa, if you are reading this, you can sleep now because I already do your Duolingo streak for you. 

Message from Linda.

The message touched my heart, really. I don't know how she got the idea, but she definitely knows the little things that matter most. What she did was almost silly and movie-like, but it was also a defining moment that made life worth living. One that made me stop and smile. Yes, Linda could be many things, but she also never failed to surprise her father in a loving way. That's the daughter I know and am proud of...



Pesan Dari Linda

Putri saya Linda memiliki banyak sisi yang membuat saya gemas dan sayang padanya. Terkadang dia bisa dengan sengaja membuat saya jengkel. Ada kalanya dia kocak pula, misalnya ketika dia meminta drum roll (tabuhan drum sebelum pengumuman), lalu menyampaikan hasil ujiannya. Namun sekali waktu, saya diingatkan kembali bahwa dia adalah anak yang baik, yang menyayangi ayahnya dengan caranya yang unik. 

Cerita kali ini terjadi pada hari Kamis yang awalnya terlihat normal. Semuanya berjalan baik sampai setengah jam terakhir. Sebuah insiden, sesuatu yang cukup lumrah di dunia IT, terjadi dan berlangsung beberapa jam lamanya. Sewaktu teman sekaligus rekan kerja saya Taty lewat, dia iseng memotret dan mengunggah foto saya di grup SMA. Sebut saja ini karma karena saya pun sering melakukan hal yang sama, hehe. 

Kesibukan di malam Kamis.
Foto oleh Taty.
 

Insiden berhasil kita tanggulangi dengan solusi sementara dalam tempo dua jam, tapi ini bukanlah akhir cerita. Masih ada perkara lain yang terjadi dan saya pun lanjut bekerja begitu saya sampai di rumah. Seingat saya, Linda sempat duduk di samping saya untuk beberapa saat. Selama itu dia hening, lalu kembali ke kamarnya. 

Saya selesai bekerja jam 11 malam. Tatkala saya melewati kamarnya, Linda sudah tertidur, namun saya melihat ada semacam tulisan tangan di iPad yang menyala di sampingnya. Saya ambil iPad tersebut dan membaca pesan yang ia tinggalkan untuk saya: Bila Papa membaca pesan ini, Papa bisa tidur sekarang karena saya sudah mengerjakan Duolingo harian untuk Papa. 

Pesan dari Linda.

Pesan tersebut sungguh menyentuh hati saya. Entah dari mana dia mendapatkan ide tersebut, tapi dia tahu hal-hal kecil yang besar artinya. Apa yang dia lakukan itu hampir terasa seperti cerita film, namun hal-hal semacam inilah yang membuat hidup terasa berarti. Satu kenangan yang membuat saya berhenti sejenak dan tersenyum. Ya, Linda bisa saja memiliki beraneka karakter, tapi dia juga tidak pernah gagal mengejutkan ayahnya dengan cara yang penuh cinta. Ini adalah suatu kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang ayah terhadap putrinya dan saya bersyukur untuk itu... 

Friday, September 6, 2024

The Crossover

During our dinner and drinks last weekend, my friend Jimmy and I talked about traveling with old friends. He was right that when you had so much history with someone, you developed lingos that only both of you understood. That's exactly why I could be quite adamant about traveling with friends. As much as possible, I had a clean segregation among friends and colleagues so that all had the same frequency. Not even the spouse was allowed!

The night we hung out together. 

Case in point, the trip to Japan. Eday and I had known each other for so long that we had jokes that only both of us understood. However, friends who met for first time such as Taty and Gunawan could also interact seamlessly as if they had known each other since school days. That's the beauty of traveling with friends of the same origin. Oh yes, we grew up in Pontianak, we went to the same school and we speak the same language. The chemistry just worked. 

But there were always times when such rules were broken. The earliest crossover was probably Soedjoko and my high school friends. This happened long ago, since life before Singapore. He was originally a vendor of mine, but quickly became a friend because I like funny people

Jimmy (left) and Djoko (right) having a conversation in Jogja, 2019.

An older but likeable guy, perhaps it was Djoko's fate to befriend most of my friends. From Parno, Junaidi, Endrico to Jimmy and many more, Djoko knew them all. And we traveled together quite a fair bit for the past two decades, from Bandung, Pontianak to Bangkok.

So such a crossover did happen when I was the mutual friend. Yani was with us in Cambodia and Vietnam trip back in 2009. Setia and Bernard came together for a trip to Medan and we would travel again to Tanjungpinang in 2015. Even Alfan also tagged along to Surabaya and was hosted by Jimmy in 2013. 

Yani joining us in Phnom Penh. 
Photo by Endrico.

The latest addition was Lawrence. A man with a great sense of humor, Lawrence was well received by my high school friends since his Pontianak trip on 2016. Not only he blended in very well with the rest during the China trip and made us laugh a lot, he was also very helpful as he can speak Chinese fluently, haha. 

Also together with us on the same trip were Ezra and Angela. The two were in their early 20s and it was good to have them joining us. I learnt through them that young adults are fully functioning just like us, but with ideas and opinions of the future generation. And with these two, they'll always have Xi'An, if you know what I mean. 

The time we were at Starbucks in Chengdu.

The point is, while I love traveling with only my high school friends to preserve the memory of just us, having others crossing over into our midst is not necessarily a bad thing. Yes, I have my fear that, coming from different backgrounds, things could be less fun if they weren't compatible. However, I've been proven wrong in many occasions. So while it's still not my preference, I'll allow the crossover from time to time!



Persilangan

Tatkala kita makan dan minum di akhir pekan, teman saya Jimmy mengangkat topik berlibur bersama teman lama. Dia mengungkapkan pendapat bahwa akan beda rasanya bila kita berlibur dengan teman yang kita kenal sedari kecil. Saya setuju dengan pendapatnya. Kalau sudah kenal lama, tentunya kita ada bahasa dan isyarat yang hanya kita pahami sendiri. Ini alasannya kenapa saya kadang bersikeras tentang peserta liburan. Sebisa mungkin saya memisahkan teman dan kolega supaya yang ikut memiliki frekuensi yang sama. Bahkan pasangan pun tak boleh ikut! 

Bersama Jimmy (kanan depan) di the Westin. 

Sebagai contoh, liburan ke Jepang. Eday dan saya sudah kenal satu sama lain dari sejak lama dan kita memiliki lelucon yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Namun menarik untuk diketahui bahwa teman-teman yang baru bertatap muka untuk pertama kalinya, misalnya Taty dan Gunawan, juga bisa akrab seakan-akan mereka sudah saling kenal sejak sekolah. Inilah yang unik dari liburan bersama teman-teman yang sama asal-usulnya. Kita sama-sama dari Pontianak, belajar di sekolah yang sama dan sama pula bahasanya. Frekuensinya pas. 

Kendati begitu, tidak cuma sekali prinsip ini diabaikan. Persilangan yang paling pertama mungkin terjadi pada saat Soedjoko dan bertemu dengan teman-teman SMA saya. Semua ini terjadi bertahun-tahun silam, jauh sebelum saya ke Singapura. Awalnya saya adalah klien Djoko, namun akhirnya jadi teman karena saya suka orang lucu yang becus. 

Jimmy (kiri) dan Djoko (kanan) berbincang di Jogja, 2019.

Lebih tua tapi kocak orangnya, mungkin memang sudah suratan takdir bagi Djoko untuk bertemu dan berkawan dengan banyak teman SMA saya. Mulai dari Parno, Junaidi, Endrico sampai Jimmy dan masih banyak lagi, Djoko mengenal hampir semuanya. Dan kita berlibur bersama ke beberapa tempat dalam dua dekade terakhir, dari Bandung, Pontianak sampai Bangkok.

Persilangan semacam ini terjadi ketika saya dikenal dua sisi yang berbeda. Yani berlibur bersama kita di Kamboja dan Vietnam di tahun 2009. Setia dan Bernard berjumpa saat liburan ke Medan dan bersama-sama kita berpetualang lagi ke Tanjungpinang di tahun 2015. Bahkan Alfan pun turut serta ke Surabaya dan dijamu oleh Jimmy di tahun 2013. 

Yani dan teman-teman di Phnom Penh. 
Foto oleh Endrico.

Yang turut bergabung baru-baru ini adalah Lawrence. Seorang pria dengan selera humor yang gila-gilaan, Lawrence disukai teman-teman SMA sejak kunjungannya ke Pontianak pada tahun 2016. Dia bukan saja membaur dan membuat kita tertawa saat kunjungan ke Cina, namun dia juga sangat membantu karena lancar dalam bahasa Mandarin, haha. 

Ezra dan Angela juga turut bersama kita pada waktu itu. Mereka masih muda belia, baru awal 20an umurnya, dan bagus juga ada mereka di tengah kita. Dari dua anak muda ini, saya belajar bahwa mereka cukup dewasa untuk berfungsi sepenuhnya seperti kita, tapi ide dan opini mereka mewakili generasi berikutnya. Dan mereka berdua akan selalu memiliki Xi'An, jika anda tahu apa yang saya maksudkan. 

Tim Cina di Starbucks, Chengdu.

Jadi inti cerita kira-kira seperti ini: saya suka berlibur secara eksklusif dengan teman-teman SMA untuk menciptakan kenangan bersama, tapi bukan ide yang buruk pula kalau kenalan lain turut bergabung. Ya, bila itu terjadi, ada kalanya saya berpikir, bagaimana kalau mereka tidak cocok satu sama lain karena latar belakang yang berbeda? Namun tidak cuma sekali saya terbukti salah dalam hal ini. Jadi walaupun ini bukan pilihan ideal saya, sekali waktu boleh saja terjadi persilangan!