Total Pageviews

Translate

Wednesday, October 2, 2024

Visa

My friend Jimmy is notoriously allergic to visa application. Instead of applying one, he'd make up all sorts of excuses. He'd say things such as, "there are still a lot of countries that can be visited without visa." Quite amusing, actually. To think that his passport, which is turning red next year, is quite weak to begin with. 

And of course I know, for I used to hold the same passport, too. I got my first visa in April 2009, when we crossed from Vietnam to Cambodia. The process of obtaining the visa on arrival (VOA) was quite unique. We were actually asked to have lunch at the nearby noodle shop while the visa was issued. 

My next one was the visa to China. The Nanning trip happened five months after the visit to Cambodia. I was new to all this and travel agency was still quite a big deal then. Since my tickets were booked via Muhibbah Travel, I got the agency to take care of my visa, too. However, things had improved drastically since 2012 that for my subsequent visas, I'd go directly to the Chinese Visa Application Service Center. 

The green and the red.

I got my third visa during my visit to Laos in 2010. I remember queuing behind a Malaysian when I landed in Vientiane. Much to my surprise, I was routed to the counter for visa. That's when I learnt the Malaysian passport was much more stronger than the one I was holding. It turned out that Cambodia was not the only exception. Apparently VOA was also required for me to enter Laos.

The visit to Japan also needed visa. The application, and I went through it three times in 2014, 2015 and 2018, was the most effective and efficient one. You just had to follow the document list to a tee and you should be fine. The precision was... very Japanese. Nothing more, nothing less. 

UK visa, on the other hand, was not only complicated, but also mysterious. The form had so many things to fill in that I almost gave up. My wife and I also had to go down to VFS for submission, then our passports were mailed to the Philippines. They'd send you an email saying that the application has been processed, but there was no telling if it was approved. You'd only find out after you received and opened your passport.

The visas.

The thing is, after going through UK visa application, the Schengen visa felt like a piece of cake. We only needed to fill in two pages, then went down to the French Embassy because we were going to Paris. I remember that we missed a travel document, so I booked and attached my Eurostar train tickets on the email when I reached home. 

The Indonesian passport had its limitation, all right. But that's not to say the Singapore passport doesn't need visa, too. I had applied for India visa twice so far for my visit to Kolkata and Bangalore. The first time I did it was quite unforgettable. Firstly, the online payment actually went through, but the page was showing an error, hence the very misleading impression. Secondly, I assumed the visa would be valid for three months, so imagine my surprise when it wasn't the case. I'd be in trouble if my flight was delayed, so I sent them the email below, haha:

The query.

The reply, I'd say, was not helping at all: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. So lesson learnt. No rush when it comes to India visa application.

So overall, how annoying is visa application? I'm not going to sugarcoat it. Traveling is much more convenient when you don't have to worry about visa. But more often than not, the visa application itself ain't that difficult, too. Yes, some do require the applicants' bank statements for the past three months, but once you get passed that, you are likely to be fine. So don't be discouraged, okay? If it gets you to the place you wish to be, then it's definitely worth the effort!



Visa

Teman saya Jimmy paling alergi kalau bicara soal visa. Bukannya mencoba, dia malah lebih senang berdalih. Ada saja yang alasannya, misalnya, "masih banyak negara yang bisa dikunjungi tanpa perlu memohon visa." Sikapnya ini cukup mencengangkan. Padahal paspornya, yang sebentar lagi berganti menjadi sampul merah, sebenarnya tergolong lemah. 

Dan tentu saja saya tahu, sebab saya pun dulunya memegang paspor yang sama. Visa pertama saya diperoleh di bulan April 2009, saat saya menyeberang dari Vietnam ke Kamboja. Proses mendapatkan visa on arrival (VOA) ini cukup unik. Kita disuruh makan siang dulu di kedai mie sementara visanya diurus di pos imigrasi yang tak jauh dari kedai tersebut.

Yang berikutnya adalah visa ke Cina. Liburan ke Nanning ini terjadi lima bulan setelah kunjungan ke Kamboja. Saya masih baru dalam hal jalan-jalan dan biro perjalanan masih dominan pada saat itu. Karena tiket ke Cina saya pesan dari Muhibbah Travel di Singapura, saya minta agar visa saya sekalian diurus pula. Setelah itu situasi berkembang pesat dan aplikasi visa berikutnya saya urus sendiri di Chinese Visa Application Service Center. 

Hijau dan merah.

Visa ketiga saya berkaitan dengan kunjungan ke Laos di tahun 2010. Saya antri di belakang orang Malaysia saat saya mendarat di Vientiane. Di luar dugaan, saya diarahkan ke loket visa. Di situ saya menyadari bahwa paspor Malaysia jauh lebih kuat dari yang saya pegang. Kamboja ternyata bukanlah satu-satunya pengecualian. Bahkan Laos pun perlu VOA. 

Kalau Jepang memang perlu visa (atau visa waiver, tergantung paspornya). Berdasarkan permohonan visa yang saya jalani di tahun 2014, 2015 dan 2018, bisa dikatakan bahwa proses visa Jepang adalah yang paling efektif dan efisien. Anda hanya perlu melampirkan berkas dokumen sesuai dengan yang tertera di daftar dan anda akan baik-baik saja. Pokoknya sangat... Jepang. Kedetilannya tidak lebih, tidak kurang. Pas.  

Aneka visa.

Visa Inggris jelas lain cerita. Bukan saja rumit, tapi juga misterius. Banyak yang harus diisi di formulirnya, sampai-sampai saya hampir menyerah. Saya dan istri lantas pergi ke VFS untuk menyerahkan dokumen, lalu paspor kita pun dikirim ke Filipina. Setelah itu saya menerima email bahwa aplikasinya telah selesai diproses, namun tak ada kejelasan bahwa visanya dikabulkan atau tidak. Saya hanya tahu hasilnya setelah menerima kembali dan membuka paspor saya. 

Kendati begitu, setelah melalui proses permohonan visa Inggris, visa Schengen terasa mudah. Hanya dua halaman yang perlu diisi, lalu kita datang ke Kedutaan Perancis karena tujuan kita adalah Paris. Saat itu ada dokumen yang kurang, tapi bisa dikirimkan lewat email. Saya pun memesan tiket Eurostar untuk dilampirkan. 

Ya, paspor Indonesia memang memiliki banyak kekurangan, tapi ini tidak berarti bahwa paspor Singapura sama sekali bebas visa. Saya sudah dua kali memohon visa India lewat internet untuk kunjungan ke Kolkata dan Bangalore. Kali pertama adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Meski pembayarannya berhasil, tapi situsnya menampilkan kegagalan sehingga saya kebingungan. Selanjutnya ada lagi asumsi saya tentang visa yang biasanya berlaku tiga bulan, tapi tidak demikian halnya dengan visa India. Bila pesawat malam saya ditunda, bisa-bisa saya tiba di India setelah visa saya tak berlaku lagi. Jadi saya pun kirimkan email dan bertanya, hehe: 

Pertanyaan tentang visa.

Jawaban yang saya dapatkan sama sekali tidak membantu: the applicant can arrive on any date till 11:59 PM of expiry date as mentioned in the visa. E-visa will be valid for 30 days from the date of arrival in India. Artinya pemohon visa harus tiba paling lambat pada jam 11:59 malam di hari terakhir sebelum tanggal kadaluwarsa visa. Jadi hikmahnya adalah, tak perlu terburu-buru jikalau perlu memohon visa India.

Jadi secara keseluruhan, saya bisa katakan bahwa persyaratan visa ini memang menyebalkan. Jalan-jalan terasa jauh lebih praktis bila anda tidak memerlukan visa. Akan tetapi perlu disampaikan pula bahwa proses visa ini seringkali tidaklah serumit yang dibayangkan. Ya, ada yang terkadang memerlukan rekening bank selama tiga bulan terakhir, tapi anda cukup lampirkan seperti yang diminta dan seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi jangan putus asa duluan. Jika visa itu bisa membawa anda ke tempat yang anda inginkan, niscaya upaya anda tidak akan sia-sia!

Sunday, September 22, 2024

Lovely Linda

My daughter Linda could be many things. She could be intentionally annoying at times. She could be hilariously funny, like the day she requested for drum roll before announcing her test result. Thinking she did well, she broke the news proudly, only to be told off by her mum. But once in a while, I was reminded again that she was a good daughter that loved her father in her endearing way.

This story began with what seemingly a normal Thursday. There was nothing dodgy about it, until  the last half an hour of the day that changed it all. An incident, something that was fairly common when you did an IT job, happened and, in total, it would last about five hours. By the time my friend/colleague Taty passed by, she snapped a picture and made fun of me in the group. Let's just call it karma as I normally did the same to her, too.

That fateful night.
Photo by Taty.
 

We were done with the disaster recovery two hours later, but that wasn't the end of story. There was something else going on and due to the uncertainty, I resumed the work the moment I reached home. I vaguely remember Linda sitting next to me for a short while. She was quiet, then she went back to her room. 

It was 11 PM when I was done. I passed by her room, seeing her fast asleep in her bed, before I noticed the scribbling on the iPad next to her. I picked it up to read the message and it said this: Papa, if you are reading this, you can sleep now because I already do your Duolingo streak for you. 

Message from Linda.

The message touched my heart, really. I don't know how she got the idea, but she definitely knows the little things that matter most. What she did was almost silly and movie-like, but it was also a defining moment that made life worth living. One that made me stop and smile. Yes, Linda could be many things, but she also never failed to surprise her father in a loving way. That's the daughter I know and am proud of...



Pesan Dari Linda

Putri saya Linda memiliki banyak sisi yang membuat saya gemas dan sayang padanya. Terkadang dia bisa dengan sengaja membuat saya jengkel. Ada kalanya dia kocak pula, misalnya ketika dia meminta drum roll (tabuhan drum sebelum pengumuman), lalu menyampaikan hasil ujiannya. Namun sekali waktu, saya diingatkan kembali bahwa dia adalah anak yang baik, yang menyayangi ayahnya dengan caranya yang unik. 

Cerita kali ini terjadi pada hari Kamis yang awalnya terlihat normal. Semuanya berjalan baik sampai setengah jam terakhir. Sebuah insiden, sesuatu yang cukup lumrah di dunia IT, terjadi dan berlangsung beberapa jam lamanya. Sewaktu teman sekaligus rekan kerja saya Taty lewat, dia iseng memotret dan mengunggah foto saya di grup SMA. Sebut saja ini karma karena saya pun sering melakukan hal yang sama, hehe. 

Kesibukan di malam Kamis.
Foto oleh Taty.
 

Insiden berhasil kita tanggulangi dengan solusi sementara dalam tempo dua jam, tapi ini bukanlah akhir cerita. Masih ada perkara lain yang terjadi dan saya pun lanjut bekerja begitu saya sampai di rumah. Seingat saya, Linda sempat duduk di samping saya untuk beberapa saat. Selama itu dia hening, lalu kembali ke kamarnya. 

Saya selesai bekerja jam 11 malam. Tatkala saya melewati kamarnya, Linda sudah tertidur, namun saya melihat ada semacam tulisan tangan di iPad yang menyala di sampingnya. Saya ambil iPad tersebut dan membaca pesan yang ia tinggalkan untuk saya: Bila Papa membaca pesan ini, Papa bisa tidur sekarang karena saya sudah mengerjakan Duolingo harian untuk Papa. 

Pesan dari Linda.

Pesan tersebut sungguh menyentuh hati saya. Entah dari mana dia mendapatkan ide tersebut, tapi dia tahu hal-hal kecil yang besar artinya. Apa yang dia lakukan itu hampir terasa seperti cerita film, namun hal-hal semacam inilah yang membuat hidup terasa berarti. Satu kenangan yang membuat saya berhenti sejenak dan tersenyum. Ya, Linda bisa saja memiliki beraneka karakter, tapi dia juga tidak pernah gagal mengejutkan ayahnya dengan cara yang penuh cinta. Ini adalah suatu kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh seorang ayah terhadap putrinya dan saya bersyukur untuk itu... 

Friday, September 6, 2024

The Crossover

During our dinner and drinks last weekend, my friend Jimmy and I talked about traveling with old friends. He was right that when you had so much history with someone, you developed lingos that only both of you understood. That's exactly why I could be quite adamant about traveling with friends. As much as possible, I had a clean segregation among friends and colleagues so that all had the same frequency. Not even the spouse was allowed!

The night we hung out together. 

Case in point, the trip to Japan. Eday and I had known each other for so long that we had jokes that only both of us understood. However, friends who met for first time such as Taty and Gunawan could also interact seamlessly as if they had known each other since school days. That's the beauty of traveling with friends of the same origin. Oh yes, we grew up in Pontianak, we went to the same school and we speak the same language. The chemistry just worked. 

But there were always times when such rules were broken. The earliest crossover was probably Soedjoko and my high school friends. This happened long ago, since life before Singapore. He was originally a vendor of mine, but quickly became a friend because I like funny people

Jimmy (left) and Djoko (right) having a conversation in Jogja, 2019.

An older but likeable guy, perhaps it was Djoko's fate to befriend most of my friends. From Parno, Junaidi, Endrico to Jimmy and many more, Djoko knew them all. And we traveled together quite a fair bit for the past two decades, from Bandung, Pontianak to Bangkok.

So such a crossover did happen when I was the mutual friend. Yani was with us in Cambodia and Vietnam trip back in 2009. Setia and Bernard came together for a trip to Medan and we would travel again to Tanjungpinang in 2015. Even Alfan also tagged along to Surabaya and was hosted by Jimmy in 2013. 

Yani joining us in Phnom Penh. 
Photo by Endrico.

The latest addition was Lawrence. A man with a great sense of humor, Lawrence was well received by my high school friends since his Pontianak trip on 2016. Not only he blended in very well with the rest during the China trip and made us laugh a lot, he was also very helpful as he can speak Chinese fluently, haha. 

Also together with us on the same trip were Ezra and Angela. The two were in their early 20s and it was good to have them joining us. I learnt through them that young adults are fully functioning just like us, but with ideas and opinions of the future generation. And with these two, they'll always have Xi'An, if you know what I mean. 

The time we were at Starbucks in Chengdu.

The point is, while I love traveling with only my high school friends to preserve the memory of just us, having others crossing over into our midst is not necessarily a bad thing. Yes, I have my fear that, coming from different backgrounds, things could be less fun if they weren't compatible. However, I've been proven wrong in many occasions. So while it's still not my preference, I'll allow the crossover from time to time!



Persilangan

Tatkala kita makan dan minum di akhir pekan, teman saya Jimmy mengangkat topik berlibur bersama teman lama. Dia mengungkapkan pendapat bahwa akan beda rasanya bila kita berlibur dengan teman yang kita kenal sedari kecil. Saya setuju dengan pendapatnya. Kalau sudah kenal lama, tentunya kita ada bahasa dan isyarat yang hanya kita pahami sendiri. Ini alasannya kenapa saya kadang bersikeras tentang peserta liburan. Sebisa mungkin saya memisahkan teman dan kolega supaya yang ikut memiliki frekuensi yang sama. Bahkan pasangan pun tak boleh ikut! 

Bersama Jimmy (kanan depan) di the Westin. 

Sebagai contoh, liburan ke Jepang. Eday dan saya sudah kenal satu sama lain dari sejak lama dan kita memiliki lelucon yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Namun menarik untuk diketahui bahwa teman-teman yang baru bertatap muka untuk pertama kalinya, misalnya Taty dan Gunawan, juga bisa akrab seakan-akan mereka sudah saling kenal sejak sekolah. Inilah yang unik dari liburan bersama teman-teman yang sama asal-usulnya. Kita sama-sama dari Pontianak, belajar di sekolah yang sama dan sama pula bahasanya. Frekuensinya pas. 

Kendati begitu, tidak cuma sekali prinsip ini diabaikan. Persilangan yang paling pertama mungkin terjadi pada saat Soedjoko dan bertemu dengan teman-teman SMA saya. Semua ini terjadi bertahun-tahun silam, jauh sebelum saya ke Singapura. Awalnya saya adalah klien Djoko, namun akhirnya jadi teman karena saya suka orang lucu yang becus. 

Jimmy (kiri) dan Djoko (kanan) berbincang di Jogja, 2019.

Lebih tua tapi kocak orangnya, mungkin memang sudah suratan takdir bagi Djoko untuk bertemu dan berkawan dengan banyak teman SMA saya. Mulai dari Parno, Junaidi, Endrico sampai Jimmy dan masih banyak lagi, Djoko mengenal hampir semuanya. Dan kita berlibur bersama ke beberapa tempat dalam dua dekade terakhir, dari Bandung, Pontianak sampai Bangkok.

Persilangan semacam ini terjadi ketika saya dikenal dua sisi yang berbeda. Yani berlibur bersama kita di Kamboja dan Vietnam di tahun 2009. Setia dan Bernard berjumpa saat liburan ke Medan dan bersama-sama kita berpetualang lagi ke Tanjungpinang di tahun 2015. Bahkan Alfan pun turut serta ke Surabaya dan dijamu oleh Jimmy di tahun 2013. 

Yani dan teman-teman di Phnom Penh. 
Foto oleh Endrico.

Yang turut bergabung baru-baru ini adalah Lawrence. Seorang pria dengan selera humor yang gila-gilaan, Lawrence disukai teman-teman SMA sejak kunjungannya ke Pontianak pada tahun 2016. Dia bukan saja membaur dan membuat kita tertawa saat kunjungan ke Cina, namun dia juga sangat membantu karena lancar dalam bahasa Mandarin, haha. 

Ezra dan Angela juga turut bersama kita pada waktu itu. Mereka masih muda belia, baru awal 20an umurnya, dan bagus juga ada mereka di tengah kita. Dari dua anak muda ini, saya belajar bahwa mereka cukup dewasa untuk berfungsi sepenuhnya seperti kita, tapi ide dan opini mereka mewakili generasi berikutnya. Dan mereka berdua akan selalu memiliki Xi'An, jika anda tahu apa yang saya maksudkan. 

Tim Cina di Starbucks, Chengdu.

Jadi inti cerita kira-kira seperti ini: saya suka berlibur secara eksklusif dengan teman-teman SMA untuk menciptakan kenangan bersama, tapi bukan ide yang buruk pula kalau kenalan lain turut bergabung. Ya, bila itu terjadi, ada kalanya saya berpikir, bagaimana kalau mereka tidak cocok satu sama lain karena latar belakang yang berbeda? Namun tidak cuma sekali saya terbukti salah dalam hal ini. Jadi walaupun ini bukan pilihan ideal saya, sekali waktu boleh saja terjadi persilangan!



Sunday, August 25, 2024

Magical Mystery Tour

I've always had the itinerary planned since the first trip by Robinson Travel. Yeah, since Karawang 2016 till Taiwan 2024, the trip had always been executed according to the plan. Some improvisation might occur, just like what happened in Chongqing, but it wouldn't deviate much from the plan. This method had served me well and the result had been satisfying so far. 

Tried something new earlier this year, though. As Eday and I are quite seasoned in the Southeast Asia region and I had been to Phuket before, we thought that we shouldn't try too hard. The approach resulted in something that I had never experienced before. We barely did any sightseeing and the alcohol imbued trip was more about enjoying our friendship. A different kind of trip, I must say!

Then the trip to Pontian was conceived. The destination for the weekend getaway was so near to Singapore and quite affordable, so I got this notion that perhaps I shouldn't overplan it. For once, I fancied the idea that I should just go through the motion. Easier said than done, though. In reality, I couldn't help checking out places and finally had an idea that after Pontian, we should go to Kukup so that we could eventually reach Tanjung Balai Karimun. 

I pretty much kept it to myself and voiced it out only we were done with Pontian. But as we knew it, we went back to Johor Bahru instead. Then we wanted to go to Batam spontaneously, we just failed to make it. I thought it'd be easy to travel as I wished, but the reality was actually harder than what I had imagine!

But that's not necessarily a bad thing. I recently discovered that the magic that happens during the trip is not something that I can plan or recreate. It just needs the right chemistry happening at the right time and the right place. And that, perhaps, is the essence of the magical mystery tour. Short enough that you don't have to plan much and let the unknown run its course, but fun enough that you can just be happy even things don't go your way.

PS: the Pontian tour itself felt like the time when we went to Vietnam. Back when we visited Ho Chi Minh City in 2009, we also walked a lot, but had no clarity where we actually were going to. It was pure sightseeing at the time when Google Maps was unheard of. At the very least, we were clear that we went to Pontian to try out the noodles, haha.

From left: the planned trip | a different kind of trip | magical mystery tour.



Perjalanan Misteri Nan Menakjubkan 

Saya selalu memiliki rute yang terencana, mulai dari sejak liburan pertama yang diadakan oleh Robinson Travel. Ya, sejak Karawang 2016 hingga Taiwan 2024, semua liburan selalu dieksekusi berdasarkan rute perjalanan. Terkadang improvisasi terjadi, seperti saat kita berada di Chongqing, tapi biasanya tidak menyimpang jauh dari rencana. Pola ini telah terbukti dan sejauh ini hasilnya memuaskan.

Di awal tahun, saya juga berkesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru. Karena Eday dan saya sudah lumayan berpengalaman di kawasan Asia Tenggara dan saya pernah ke Phuket sebelumnya, kita pun memutuskan bahwa mengunjungi tempat wisata bukanlah fokus liburan kali ini. Hasilnya adalah sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Sebuah liburan yang berbeda. Terasa santai, penuh dengan alkohol dan tentang persahabatan dua teman lama. 

Dan kemudian liburan ke Pontian pun muncul di benak saya. Tempat tujuan untuk liburan singkat akhir pekan ini begitu dekat dengan Singapura dan juga terjangkau biayanya sehingga saya merasa tidak perlu direncanakan dengan terlalu detil. Sekali ini, pokoknya spontan saja. Namun lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan. Kenyataannya saya tetap saja meluangkan waktu untuk melihat-lihat, lalu mendapatkan ide bahwa kita bisa lanjut ke Kukup dan Tanjung Balai Karimun. 

Akan tetapi saya tidak banyak bicara tentang ini dan hanya membeberkannya secara terbuka setelah kita selesai dengan Pontian. Tapi seperti yang telah diceritakan, kita akhirnya ke Johor Bahru. Saat kita beranjak ke Batam secara dadakan, kita tidak berhasil mengejar feri terakhir. Kesimpulannya, saya berpikir bahwa bertualang sesuka hati itu mudah, tapi realitanya tidak segampang yang saya bayangkan.

Tapi semua yang tidak terjadi itu tidak harus ditafsirkan sebagai hal yang buruk. Seperti yang saya sadari baru-baru ini, keajaiban yang terjadi di saat berlibur itu bukanlah sesuatu yang bisa saya rencanakan atau replikasi. Semua ini perlu frekuensi yang tepat, bersatu di tempat yang tepat dan waktu yang tepat pula. Dan mungkin inilah esensi dari perjalanan misteri nan menakjubkan. Singkat sehingga anda tidak perlu banyak rencana dan cukup membiarkan misteri itu mengambil alih, tapi seru sehingga anda tetap bisa bergembira meskipun yang terjadi tidaklah seperti apa yang anda semula bayangkan. 

PS: perjalanan misteri nan menakjubkan ke Pontian ini terasa mirip seperti saat kita ke Vietnam. Sewaktu kita mengunjungi Ho Chi Minh City di tahun 2009, kita juga banyak berjalan kaki, tapi tidak jelas ke mana. Kitanya mengitari dan melihat kota sejauh kita mampu melangkah di era ketika Google Maps belum dikenal. Kalau liburan ke Pontian, minimal kita tahu pasti bahwa kita ke sana untuk mencoba mienya, haha. 

Tiga tipe perjalanan yang saya deskripsikan di atas.
Dari kiri: yang terencana | yang berbeda | yang spontan.

Wednesday, August 21, 2024

The Pontian Noodles Trip

The idea of this trip began early last month, when my mum and I bought Pontian noodles at the nearby mall. It dawned on me that despite the long history I had with the noodles, I never visited the place before. Oh yes, I had known Pontian noodles since 2009 as it was the staple food before the church gathering. The reason? It was cheap and decent. But unlike Kuching and kolo mee, I knew nothing about Pontian. So how about visiting the town?

I fancied the idea, especially because it would be a short trip that I could do over the weekend. I thought of getting some friends who stayed in Singapore to join. Surianto was game, Endrico threw in the date 17 Aug. But much to my surprise, even friends from overseas such as Alvin and Susan could make it. Eventually, there were eight of us, just nice for two cars should we need to call Grab. 

At Restoran Kin Hua with Alvin and Endrico.
Photo by Surianto. 


We started early on the day of departure. Bus 168 taken by Surianto passed us by when we were approaching the bus stop, so we did our best to catch up by taking bus 969 to go to Khatib and continued our journey to Kranji by MRT. From there, we headed to Woodlands Checkpoint. By the time we crossed the bridge to Malaysia, Andiyanto and his wife Flo already reached Restoran Kin Hua, our meeting point that was suggested by Endrico. 

All things considered, the journey was smooth and we were the second party that made it there. By the time we finished our breakfast, Susan and Taty arrived. We were there for a while more, waiting for them to grab a bite. Once done, we called Grab and headed to Larkin Sentral. 

Rushing for the bus!

The one and only time I was at this bus interchange was back in March 2009, when I visited Malacca for the first time ever. Larkin Sentral looked much different from what I remembered. Not much time to waste, though. After rushing Endrico, Surianto, Taty and Alvin, we boarded the bus to Pontian!

Pontian Kechil was about an hour and 30 minutes away from Larkin. It seemed like the town's mascot was pineapple, because it was ubiquitous! We went to Heng Heng Original Tomato Wanton Mee and ordered our meal. The first portion I had was kind of small, so Alvin and I shared another bowl, this time the soy sauce flavors. It was all right. 

Group photo by Andiyanto.

After lunch, we went to Lorong Cendol for something fresh, then we headed to the beach. Pontian was so quiet that we had to decide what to do next after the beach. I had Kukup in mind, thinking that we could continue to Tanjung Balai right after that, but Susan wanted to buy mooncake, so we returned to Johor Bahru and went to Mid Valley. 

The mall was crowded. We split to do our own stuff and gathered again at 5 PM. Berjaya Waterfront Ferry Terminal was not very far from Mid Valley, so we tried our luck, just in case we could catch the last ferry to Batam. It'd be wild if we traveled three countries in one day, but it wasn't meant to be. The traffic jam was so bad that by the time we got there, the last ferry had departed.

Waiting for our seafood dinner.
Photo by Andiyanto.

We walked towards Sin Du Huat Seafood Restaurant for dinner. After ordering from the menu, Endrico suggested that we should book Airbnb instead. I was never a fan of Airbnb, so I logged into the app and let him make a decision for us, then I resumed dining. We ordered a lot of food, but Susan was brilliant. By scooping the food for us, she emptied the plates for us to finish.

And the booking done by Endrico turned out to be a great deal! The apartment he got us, D'Esplanade Residence, was unbelievably spacious that it could fit in 16 adults! It was also next to KSL City Mall. Not that it was a great mall, but at least we could buy stuff there. We also crossed the street for durians. To be precise, we as in I watched them eating the smelly fruits.

And they started choosing durians!

While we were going out, some of us stayed back for massage and chiropractic done by Alvin. Taty was the last customer for the night and Susan joked that while in Malaysia, the charges would be in ringgit. So there we were in the living room, talking and reminiscing. That's the great part of traveling with people that had known you easily for 30 years. 

The next morning, we explored the KSL area. We found seats at Couple Kopitiam, so we had our breakfast there. We checked out before 12 PM and headed to City Square for one last bit of JB before returning to Singapore. While the rest went shopping, I was on my usual mission. I joined them afterwards. We hung out quite a while at Old Town White Coffee and we ended the trip with late lunch at Dragon-I. 

At Dragon-I.

Come to think of it, this is probably the first time since I came to Singapore that I really explored JB. I never knew much about the city, as I often passed it by and headed to another destinations instead. On top of that, for a weekend getaway, I'd rather go to Batam. So does it mean I like JB now? I'm afraid the answer is no. It's just too close to Singapore to be liked, haha.

Epilogue: I'd say the trip really ended when Alvin and I sat down and ate Mee Pontian at the mall nearby my house. I wanted to compare it with the one we tasted during the trip. I liked the Singapore version, but much to my surprise, Alvin felt the original version was better. So which one is better? I guess I'll never find out now!

Pontian noodles, SG (bottom) and MY (top) versions.




Perjalanan Ke Pontian

Ide perjalanan kali ini dicetuskan awal bulan lalu, tatkala saya bersama mama membeli mie Pontian di mal. Tiba-tiba saja terlintas di benak bahwa saya tidak pernah tahu bahwa Pontian itu seperti apa meskipun saya telah menyantap mienya sejak tahun 2009. Mie ini diperkenalkan oleh teman-teman gereja dan disantap sebelum kita berkumpul. Alasannya? Karena rasa mie ini lumayan dan murah pula harganya. Namun berbeda dengan kolo mee dan Kuching, saya tidak pernah pergi ke Pontian. Jadi bagaimana kalau seandainya saya ke sana? 

Saya suka ide ini, terutama karena ini bisa menjadi perjalanan singkat yang dilakukan di akhir pekan. Saya lantas mengajak beberapa teman yang tinggal di Singapura. Surianto berminat dan Endrico pun menentukan tanggal 17 Agustus. Di luar dugaan, Alvin dan Susan yang berdomisili di Indonesia ternyata sempat dan bisa bergabung pula. Pada akhirnya terkumpul delapan orang, pas untuk dua mobil Grab. 

Di Restoran Kin Hua bersama Alvin dan Endrico.
Photo by Surianto.

Kita berangkat di pagi hari. Bis 168 yang ditumpangi oleh Surianto sudah lewat tepat di saat kita menghampiri halte, jadi kita bergegas naik bis 969 ke Khatib dan lanjut dengan MRT ke Kranji. Dari sana, kita naik bis CW1 di depan stasiun dan berangkat ke Woodlands Checkpoint. Sewaktu kita menyeberang ke Malaysia, Andiyanto dan istrinya Flo sudah tiba di Restoran Kin Hua, titik temu yang disarankan oleh Endrico.

Sampai sejauh ini semuanya berjalan lancar dan kita adalah rombongan kedua yang tiba di Johor Bahru. Seusai kita sarapan, barulah Taty dan Susan tiba. Kita berada di sana untuk beberapa saat lamanya menanti mereka bersantap, setelah itu memanggil Grab dan menuju ke Larkin Sentral. 

Bergegas menaiki bis!

Pertama dan terakhir kalinya saya singgah di terminal bis ini adalah pada bulan Maret 2009, ketika saya mengunjungi Melaka untuk pertama kalinya. Larkin Sentral tampak sudah jauh berubah, tapi masih terlihat semrawut. Setelah Endrico, Surianto, Taty dan Alvin tiba, kita lantas menaiki bis ke Pontian. 

Pontian Kechil dicapai kira-kira satu setengah jam lamanya dari Larkin. Sepertinya maskot kota ini adalah nenas, sebab ada patung dan gambar nenas di beberapa pojok kota. Dari terminal, kita berjalan ke Heng Heng Original Tomato Wanton Mee untuk makan siang. Seporsi mie Pontian terlihat kecil, jadi saya dan Alvin memesan semangkuk lagi dan berbagi. Yang pertama rasa saus tomat, yang kedua rasa kecap. 

Grup foto di Pontian by Andiyanto.

Setelah makan siang, kita ke Lorong Cendol untuk menikmati sesuatu yang segar, lalu lanjut ke pantai. Kota Pontian ini bukan saja kecil, tapi juga sepi nian sehingga kita memutuskan untuk berpindah lokasi. Saya tawarkan Kukup sebagai lokasi berikutnya dan dari situ kita bisa ke Tanjung Balai, tapi Susan ingin membeli kue bulan, jadi kita kembali ke Johor Bahru dan menuju ke Mid Valley. 

Pusat perbelanjaan ini sangat ramai. Kita berpencar ke segala penjuru mal, lalu bertemu lagi pada pukul lima sore. Karena Berjaya Waterfront Ferry Terminal tidaklah jauh dari Mid Valley, kita mencoba peruntungan, siapa tahu kita berhasil mengejar feri terakhir ke Batam. Pasti lucu kalau kita bisa menjelajah tiga negara dalam satu hari, tapi sayang sekali itu tidak terjadi. Jalanan macet di sore itu sehingga rencana kita pun buyar. 

Menanti makan malam.
Foto oleh Andiyanto.

Kita lantas berjalan ke Sin Du Huat Seafood Restaurant. Sambil menantikan makan malam yang telah dipesan, Endrico berujar bahwa sebaiknya kita memesan apartemen lewat Airbnb. Saya tidak pernah suka dengan Airbnb, jadi saya mempersilahkannya menggunakan aplikasi Airbnb di telepon saya, lalu saya lanjut makan. Kita memesan aneka masakan, tapi Susan menanganinya dengan baik. Dengan sabar dia membagikan setiap masakan untuk semua sehingga piring-piring di meja pun akhirnya kosong. 

Dan apartemen yang didapatkan oleh Endrico ternyata sangat mengesankan. Unit di lantai 21 D'Esplanade Residence ini memiliki banyak kamar yang bisa menampung 16 orang dewasa. Posisinya tepat di samping KSL City Mall. Bukan mal yang baru, tapi setidaknya kita bisa berbelanja di sana. Kita juga menyeberang jalan untuk mencicipi durian. Lebih tepatnya lagi, saya melihat mereka memakan buah yang bau ini. 

Dan mereka mulai memilih durian!

Tidak semua berjalan-jalan di malam itu. Andiyanto dan istrinya tinggal di apartemen untuk dipijat oleh Alvin. Taty menjadi pelanggan Alvin yang terakhir di malam itu dan Susan bercanda bahwa pijat di Malaysia berarti dibayar dengan ringgit. Di ruang tamu, kita saling bertukar cerita baru dan lama. Ini adalah bagian favorit saya dari bertualang bersama teman-teman yang sudah saya kenal hampir 30 tahun lamanya. 

Keesokan paginya, kita berkeliling di kawasan KSL. Ada tempat duduk di Couple Kopitiam, jadi kita sarapan di sana. Lantas kita kembali ke City Square setelah check out. Ketika yang lain berbelanja, saya menunaikan misi liburan saya sebelum bergabung dengan mereka. Kita bersantai cukup lama di Old Town White Coffee dan akhirnya makan siang menjelang sore di Dragon-I. 

Di Dragon-I.

Kalau dipikirkan lagi, ini adalah kali pertama saya benar-benar berlibur di Johor Bahru. Saya tidak pernah melihat banyak sisi dari kota ini sebelumnya karena seringkali saya cuma transit. Selain itu, saya lebih suka ke Batam kalau cuma liburan singkat akhir pekan. Jadi apakah saya menyukai JB setelah liburan kali ini? Jawabannya adalah tidak. JB terlalu dekat dengan Singapura untuk saya sukai, haha.

Epilog: liburan akhirnya usai ketika saya dan Alvin duduk di mal dekat rumah dan makan malam di Mee Pontian untuk membandingkan rasanya. Saya suka versi Singapura, tapi di luar dugaan, Alvin merasa versi aslinya lebih enak. Jadi mana yang benar sekarang??? 

Mie Pontian, versi SG (bawah) dan MY (atas).

Sunday, August 11, 2024

My Favorite Hard Rock Moments

This story was originated from a photo of my Hard Rock t-shirts taken by my wife. Only God knows why she suddenly took the picture, but it was so amusing that I could never really forget about the image of the t-shirts lined up nicely on our bed. I somehow remembered it vividly, as if I had just seen the photo a few months ago, so imagine my surprise when I discovered that it was dated November 2022. 

Packing for the next trip!

Looking back, there was a good reason for all this, I suppose. The t-shirts were mementos of the places I had been. Oh yes, those with names, they were from the cities in Asia and Europe I visited before. Then of course there were the Hard Rock moments that happened when I wore certain t-shirts. As said in a blog post called the Details, I had peculiar ways of remembering things and the t-shirts were like memory markers. Good or bad, they were memorable stories. 

The divine intervention!

And it all started with the one I bought in Paris. The purchase was almost an afterthought. My wife and I had just returned to the city after our day trip to Versailles and I suddenly decided to grab me a Hard Rock Cafe t-shirt. It'd been with me for eight years now. It was also the one I wore when we visited the Shwedagon Pagoda in Yangon, but my favourite moment had to be one when I played my part in the divine intervention. Now that's one Hard Rock moment to remember!

In Madura, 2019.

There were a lot of t-shirts came into my possession since then, but at one glance, only some retained memories. The next one was from Fukuoka. My wife and I had just arrived in the city and the Cafe was just next to the station, so we bought one before heading to Tenjin area. It'll always remind me of my one and only visit to Madura with my friend Jimmy. It was surreal to be there, like having a lifelong question answered by just being there!

Relaxing in Vaduz, Liechtenstein.

In 2019, a year after Fukuoka, I was with my friend/colleague Keenan in Kuala Lumpur for Palm Oil Conference. The night after the conference, I crossed the street and got me the KL t-shirt. Many years later, it'd serve as a reminder of the time I visited Vaduz. My daughter snapped the picture of my wife and I sitting on a bench right before we departed Liechtenstein. 

In Isetwald with Yani. 

Some best Hard Rock moments were with my wife, all right. Another one I'd remember was the peaceful moment in Iseltwald. My wife and I were standing not very far from the spot made famous by Crash Landing on You. I wore the t-shirt I bought together with Surianto the night we landed in Manila. To me, it really captured the essence of Switzerland: serene and beautiful. There was a certain calmness that you just wouldn't find elsewhere. 

When we were in Intramuros, Manila.

Talk about Manila, I'd always remember the green t-shirt of St. Patrick's Day. It stood out on the picture thanks to its bright color, haha. And it was a good time to remember, because how often a bunch of high school friends from Pontianak had a chance to explore the Philippines together? Once in a lifetime, perhaps. Manila was never a tourist destination to begin with! 

A day on a wheelchair.

Then of course we can't talk about the Manila trip without mentioning Japan. No, I won't bore you with our story in Japan, but I'd like to talk about the t-shirt I bought from Ueno. This was the one destined to be remembered as the time I screwed up the end-to-end walk in Singapore. I twisted my ankle and ended up on a wheelchair, but it was brilliant how we salvaged the good start with friendship and togetherness. 

24 hours in Jakarta. 

There are more, for sure. Like the time I crossed to JB on foot and made my way to Puteri Harbour. The t-shirt was worn the time I spent 24 hours with friends before heading to Bandung. The same t-shirt also reminded me of the time I met an acquaintance in Lyon. I could also talk about the WWF t-shirt that is now associated the drinking tradition as well as the time when my worlds collided

In Leshan, China.

Yes, I could go on and talk about them, but perhaps we saved the stories for some other time. For now, it was a relief to finally get the idea materialized after having it lodged in my brain since November 2022, haha. More importantly, it once again proves the point that in life, only memories remain after all is said and done. In this context, I'm just glad that they are the definitive Hard Rock moments!

The inspiration.



Momen Hard Rock Favorit

Cerita ini terinspirasi oleh koleksi kaos Hard Rock saya yang difoto oleh istri. Entah kenapa dia tiba-tiba memotret, tapi hasil karyanya terasa menggelitik. Saya tidak pernah lupa dengan kaos-kaos yang berderet rapi di atas kasur, seakan-akan saya baru melihat fotonya beberapa waktu lalu. Jadi anda bisa bayangkan betapa kagetnya saya bahwa foto itu ternyata diambil bulan November 2022. 

Kemas-kemas untuk liburan berikutnya!

Bila saya lihat kembali, ada alasan kuat kenapa foto itu terasa begitu berkesan. Bagaimana pun semua kaos ini merupakan kenangan dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Ya, nama-nama di kaos yang ada itu berasal dari kota-kota yang saya kunjungi di Asia dan Eropa. Dan tentu saja ada pula momen Hard Rock yang terjadi di saat saya mengenakan kaos-kaos tertentu. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya di artikel berjudul the Details, saya mempunyai cara unik dalam mengingat sesuatu dan kaos Hard Rock ini bagaikan catatan tersendiri. Baik atau buruk, semuanya adalah cerita yang tidak terlupakan. 

Rencana ilahi.

Semua ini bermula dari kaos pertama yang saya beli di Paris. Semuanya terjadi secara spontan. Saat itu saya dan istri baru kembali ke Paris setelah bepergian ke Versailles di luar kota, lalu saya terpikir untuk membeli kaos Hard Rock sebagai oleh-oleh. Delapan tahun kemudian, kaos ini telah sering saya pakai untuk bertualang. Saya mengenakan kaos ini saat mengunjungi Pagoda Shwedagon di Yangon, tapi momen favorit saya adalah ketika kita turut serta mewujudkan rencana ilahi. Ini adalah satu momen yang luar biasa! 

Di Madura, 2019.

Semenjak itu koleksi kaos saya terus bertambah, tapi secara sekilas, tidak semuanya memiliki kenangan yang mendalam. Kaos berikutnya berasal dari Fukuoka. Kala itu saya dan istri baru saja tiba dari Nagasaki dan Hard Rock Cafe kebetulan berada di samping Stasiun Hakata, jadi kita singgah dan beli sebelum lanjut ke kawasan Tenjin. Kini, setiap kali saya melihat kaos ini, saya jadi teringat dengan sekali-sekalinya saya ke Madura bersama teman saya Jimmy. Ini adalah sebuah pengalaman yang menggugah. Sebuah pertanyaan hidup terjawab semata-mata karena saya berada di sana! 

Bersantai sejenak di Vaduz, Liechtenstein.

Di tahun 2019, setahun setelah kunjungan ke Fukuoka, saya dan teman/kolega saya Keenan berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri Konferensi Minyak Kelapa Sawit. Di malam setelah konferensi usai, saya menyeberang jalan dan membeli kaos KL. Bertahun-tahun kemudian, kaos itu kebetulan saya pakai sewaktu berada di Vaduz. Putri saya menjepret foto saya dan istri yang sedang duduk di bangku beberapa saat sebelum kita beranjak meninggalkan Liechtenstein. 

Di Isetwald bersama Yani. 

Ya, ada istri di samping saya dalam beberapa momen Hard Rock terbaik. Satu lagi yang saya ingat betul adalah persinggahan kita di Iseltwald. Istri dan saya berdiri tidak jauh dari lokasi yang terkenal karena muncul dalam drama Korea Crash Landing on You. Di hari itu saya memakai kaos yang saya beli bersama Surianto di malam kita mendarat di Manila. Bagi saya, foto tersebut mengabadikan suasana tenang dan indahnya Swiss. Ada nuansa damai yang tidak pernah saya temukan di tempat lain.

Mengunjungi Intramuros di Manila.

Berbicara tentang Manila, saya selalu teringat dengan kaos hijau Hari St. Patrick. Kaos ini menonjol saat difoto karena warnanya yang terang menyala, haha. Dan momen tersebut juga berkesan, sebab seberapa sering sekumpulan teman SMA dari Pontianak menjelajahi Filipina bersama-sama? Mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, terlebih lagi karena Manila bukanlah destinasi turis! 

Suatu ketika di kursi roda.

Dan tentu saja kita tidak bisa berbicara tentang Manila tanpa menyebut tentang Jepang. Tidak, saya tidak akan berbicara panjang-lebar tentang liburan ke Jepang, namun saya ingin membahas tentang kaos yang saya beli di Ueno. Kaos ini akan senantiasa dikenang sebagai kaos yang saya pakai saat saya menggagalkan rencana jalan kaki dari ujung ke ujung di Singapura. Saya jatuh terkilir dan berakhir di kursi roda, tapi di hari itu pula saya berkesempatan melihat persahabatan dan kebersamaan dari sudut pandang yang berbeda. 

24 jam di Jakarta. 

Masih ada banyak kisah lainnya lagi. Sebagai contoh, saat saya berjalan kaki menyeberang ke JB dan lanjut ke Puteri Harbour. Kaos tersebut lantas saya pakai saat menghabiskan 24 jam bersama teman-teman di Jakarta. Kaos yang sama pun saya pakai saat bertemu dengan kenalan lama di Lyon. Saya juga bisa bercerita tentang kaos WWF yang kini saya asosiasikan dengan tradisi minum bersama Eday serta  saat berkesan di Leshan

Di Leshan, Cina.

Ya, saya masih memiliki banyak cerita, namun mungkin kita simpan untuk lain waktu. Yang jelas saya kini merasa lega karena telah menulis tentang ide yang mengganjal di benak saya sejak November 2022, haha. Lebih penting lagi, melalui proses bercerita ini, sekali lagi saya diingatkan bahwa setelah semua usai diucapkan dan dikerjakan, yang tersisa hanyalah kenangan. Dalam konteks ini, saya senang bahwa semua ini adalah momen Hard Rock yang terbaik dalam hidup saya. 

Sebuah inspirasi.