Total Pageviews

Translate

Sunday, July 6, 2025

The Doomscrolling

And we thought binge-watching on Netflix was bad! Like many others, I've also got my own addictions to battle. For example, I am still hooked by crackberry, even long after BBM ended (it was simply replaced by WhatsApp). It was a struggle to sit down and really make a conversation with a person in front of you, just like what I did with my wife when we had a dinner. Oh yes, dinner and drink were probably the few times I could totally put my phone down on the table. 

The Crackberry addiction...

Now, on top of the ongoing crackberry addiction, I began realizing a new pattern that I developed lately. Yes, scrolling down the newsfeed on Facebook was already part of my lifestyle for as long as I could remember. However, I couldn't help noticing that recently, I spent a lot of times watching those short videos on Facebook.

I just had to click one, let's say a snippet of Two and a Half Men, then from that point onwards, anything else that caught my attention would continue to appear. It could be a few minutes of stand-up comedy, then scenes of crocodiles in action (yeah, I am somehow fascinated by how unpredictable crocodiles are), a quick laugh with Everybody Loves Raymond, etc. And I'd keep scrolling down until I reached office. 

The reels on Facebook.

The biggest difference between the two behaviours described above is this: I could still stop scrolling down the newsfeed on Facebook. But those videos, it was as if there was this voice whispering to me, may be one more? By the time I reached Downtown Station, what felt like a harmless suggestion had turned out to be more than one video for sure. 

I remember reading a specific term about this before. When I cross-checked this on Perplexity AI, there were many names for the syndrome: infinite scroll, zombie scrolling and doomscrolling. They all basically meant the same thing: the unconscious act of scrolling through social media or other content, typically without a clear goal or endpoint.

Kinda spooky, though. I'm not a TikTok user, but I reckon it could be worse for them. Time for digital detox, perhaps? Maybe it's time to try out the Minimal Phone? Or probably I should wait a bit for the BlackBerry Classic revival in the form of Zinwa Q25? We shall see!

The Minimal Phone.



Kecanduan Digital

Dan kita dulu menyangka bahwa yang namanya binge-watching di Netflix itu tidak baik! Tak berbeda dengan orang lain, saya pun memiliki masalah kecanduan yang perlu saya atasi. Sebagai contoh, sampai hari ini saya masih terbelenggu crackberry, lama setelah BBM tamat (dan kini tergantikan dengan WhatsApp). Perlu perjuangan untuk bisa duduk dan benar-benar berbincang dengan lawan bicara, seperti halnya yang saya lakukan dengan istri saat kita makan malam di luar. Oh ya, acara makan dan minum adalah sekali-kalinya saya bisa mengabaikan telepon saya di meja. 

Kecanduan Crackberry...

Selain masalah ketergantungan crackberry, saya menyadari bahwa ada pola baru yang mulai saya jalani tanpa sadar. Membaca berita di Facebook adalah bagian dari hidup sejak penghujung dekade pertama di abad 21. Akan tetapi menghabiskan waktu menonton video singkat di Facebook adalah perihal baru yang tidak biasa. 

Saya cukup menekan satu, misalnya cuplikan Two and a Half Men, lalu apa saja yang menarik perhatian saya akan terus bermunculan, mulai dari beberapa menit komedi, lalu video tentang buaya (ya, entah kenapa saya selalu tertarik dengan tindak-tanduk buaya yang tidak bisa diprediksi), tawa singkat bersama Everybody Loves Raymond dan lain-lain. Saya akan terus membuka video berikutnya sampai saya tiba di kantor. 

Reels di Facebook.

Perbedaan paling mendasar dari dua prilaku ini adalah kontrol diri. Untuk berita Facebook, saya masih bisa berhenti. Tapi untuk video-video singkat ini, sepertinya ada suara yang berbisik, tak apa-apa, satu video lagi saja. Dan di saat saya tiba di Stasiun Downtown, saran bawah sadar itu membuat saya menghabiskan waktu melihat entah berapa banyak video selama perjalanan ke kantor. 

Saya ingat bahwa saya pernah membaca tentang hal ini sebelumnya. Ketika saya cari lagi menggunakan Perplexity AI, sindrom ini muncul dalam berbagai nama: gulir tanpa akhir, gulir zombi dan gulir hingga kiamat. Semua ini memiliki definisi yang kurang-lebih sama: perbuatan menggulir ke bawah tanpa sadar untuk melihat konten media sosial yang tidak jelas tujuannya dan tidak memiliki akhir. 

Agak seram juga nama dan penjabarannya. Saya bukan pengguna Tiktok, tapi saya jadi membayangkan, mungkin lebih parah lagi bagi mereka. Apa sudah waktunya untuk detoksifikasi digital? Ganti ke Minimal Phone? Atau mungkin tunggu sampai bulan depan untuk menantikan kembalinya BlackBerry Classic dalam bentuk Zinwa Q25? Hmm, mari kita lihat bersama-sama...

Minimal Phone.

Saturday, July 5, 2025

All The Money In The World

It was another Tuesday morning. Just like most of the people from my generation these days, I scrolled the newsfeed on my Facebook immediately I woke up. Soon I found myself staring at all the flags shown under the caption saying countries with lowest inflation rate. Bahrain captured my attention and I did some research on my Perplexity AI. For the Middle East standard, apparently Bahrain wasn't an expensive country. 

What I did just now reminded me of Australia and other countries I visited before. For a country with a currency weaker than SGD, Australia certainly was more expensive. On average, the meal was two times of what I would have paid in Singapore! So, no, Australia, didn't feel affordable. Perth was a nice place, though. And very generous with french fries.

Similar experience was felt in Hong Kong. I definitely felt the pinch the moment I traveled out from Shenzhen. Hong Kong was cramped and expensive. A tiny, costly hotel room as opposed to a much cheaper and spacious unit with living room that I had while I was in Shenzhen. China was generally okay, but Hong Kong was an exception!

India, on the other hand, was very cost friendly for SGD holders. The price of the Uber ride was so cheap that I couldn't help pressing the confirm button. It was the same feeling in Malaysia, especially Ipoh. The price was so unbelievably attractive that I wished I could have ordered ten Grab ride at one go.

Taiwan was also budget friendly. The most memorable moment I had was when I went through the Din Tai Fung bill. It was just about SGD 50. You certainly can't get this price for a family of four if you eat at any Din Tai Fung in Singapore!

Europe was a different ball game, though. The currencies, be it GBP, EUR or CHF, are stronger than SGD. Everything in UK and Western Europe also felt more expensive than Singapore. The time in Europe was one of the few times I felt inferior earning SGD. One consolation I had was the gelato. It was somehow much cheaper in Salzburg!

Brunei is unique because the currency is pegged to SGD at a fixed 1:1 exchange rate. I had this thought that it must be as developed as Singapore, too. Imagine my surprise when I visited the country. It was nowhere close to Singapore and somewhat comparable to Malaysia. I might be biased, but I couldn't shake of the feeling that things should have been cheaper in Brunei. 

Having said that, the rest of Southeast Asia, from Myanmar to Indonesia, was a good place for me to travel. It was so affordable. Good and cheap! Cambodia was probably the only other exception, as KHR had a fixed exchange rate and the country also used USD as a legal tender. When we entered Cambodia from Vietnam, some of us actually paid USD 1 just to use the toilet.

Overall, it's still pretty cool to earn SGD and spend it on another currencies. It was fun to feel like a king. Even when things were much more expensive for us, at least SGD was strong enough to cushion it, haha. That probably explained why traveling was an option, not a luxury...






Uang dan Nilai Tukar 

Di hari Selasa pagi, seperti kebanyakan orang di generasi saya, saya melihat-lihat Facebook begitu saya bangun. Ada satu gambar dengan banyak bendera yang memiliki tajuk negara-negara dengan tingkat inflasi terendah. Bendera Bahrain menarik perhatian saya. Riset pun segera dilakukan dengan Perplexity AI. Untuk ukuran Timur Tengah, ternyata Bahrain tidak tergolong mahal untuk dikunjungi. 

Apa yang baru saja saya lakukan ini mengingatkan saya pada Australia dan beberapa negara lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Untuk negara dengan mata uang lebih lemah dari SGD, Australia tidaklah murah. Secara rata-rata, harga sekali makan bisa dikatakan dua kali lipat dari harga di Singapura. Tapi Perth enak suasananya. Dan tempat makan di sana sangat murah hati dengan kuantitas kentang gorengnya. 

Pengalaman serupa terasa di Hong Kong. Perbedaan drastis ini dialami saat saya keluar dari Shenzhen. Hong Kong terasa padat dan mahal. Kamar hotelnya kecil, berbeda dengan kamar yang luas plus ruang tamu yang saya tempati di Shenzen. Rata-rata kota di Cina masih wajar harganya, tapi Hong Kong adalah pengecualian! 

Di sisi lain, India sangat terjangkau bagi pemegang SGD. Harga Uber di sana sungguh terasa murah, sampai-sampai saya menekan konfirmasi tanpa keraguan. Sama halnya pula dengan Malaysia, terutama di Ipoh. Harganya selalu membuat saya tertawa dan berharap seandainya saja saya bisa langsung pesan 10 mobil sekaligus. 

Taiwan juga ramah bagi yang ingin berhemat. Yang paling mengesankan adalah restoran Din Tai Fung. Hanya kisaran SGD 50 untuk makan siang. Harga segini sungguh mustahil bagi satu keluarga dengan dua anak yang bersantap di Din Tai Fung Singapura!

Kalau Eropa beda lagi ceritanya. Mata uangnya, mulai dari GBP, EUR atau CHF, lebih perkasa dari SGD. Segala sesuatu di Inggris dan Eropa Barat terasa lebih mahal dari Singapura. Satu hal yang sering terasa di Eropa adalah lemahnya SGD. Satu-satunya penghiburan yang saya temukan adalah gelato. Di Salzburg, harganya dua kali lebih dari Singapura. 

Brunei tergolong unik karena mata uangnya yang dipatok 1:1 dengan SGD. Saya jadi membayangkan bahwa negaranya pastilah semaju Singapura juga. Bayangkan betapa kagetnya saya pas tiba di sana. Negara ini lebih mirip Malaysia daripada Singapura. Saya mungkin bias, tapi berdasarkan apa yang saya lihat, saya jadi merasa seharusnya harga barang-barang di Brunei lebih murah.

Negara-negara lain di Asia Tenggara, mulai dari  Myanmar sampai Indonesia, sangat ramah bagi kantong saya. Murah dan terjangkau! Kamboja mungkin satu-satunya pengecualian karena KHR memiliki kurs tetap dan juga menggunakan USD dalam jual-beli. Ketika kita memasuki Kamboja dari Vietnam, beberapa di antara kita membayar mahal USD 1 hanya untuk kencing. 

Secara umum, pendapatan SGD dan pengeluaran menggunakan mata uang lain memang masih ok. Sedap rasanya saat menjadi seperti raja. Bahkan ketika segala sesuatu terasa lebih mahal, ketangguhan SGD sangat membantu dalam membendung kemahalan yang terasa. Mungkin ini alasannya kenapa berjalan-jalan adalah pilihan, bukan kemewahan... 

Sunday, June 22, 2025

The Land Down Under: Perth

When it comes to a family trip, I prefer a destination that is safe and easy. Japan had been visited a couple of times. After COVID-19, we had gone to Switzerland and Taiwan. If I looked around to find some place new that offers the same standard and isn't too far from Singapore, I guess we're left with South Korea and Western Australia. I dislike the Korean food because it feels busy and fills up the whole table, hence Perth became the obvious choice for year 2025.

My wife and I worked on the itinerary. I relied on Wikivoyage, probably for one last time as I had started using AI for the recent Seremban and Laos trips. As l didn't want to drive, I literally opened up the page for each district just to see the nearby places we could visit. I also have a cousin who lives in Perth and didn't mind to drive us around, so he helped adjusting the itinerary for a visit to Swan Valley. 

The last Europe trip included several destinations that were visited for one night only. They were so rushed that it felt like we just passed through. So Perth should be the exact opposite. It had to be nice and slow. It'd be only Perth for nine nights and we'd be staying at the same Novotel throughout the holiday!

Flying to Perth!

And the first night we were there, since we landed after midnight, was pretty much alive! It was about 2 AM on Sunday and people had been partying since Saturday night. My wife and I were surprised to see so many tipsy people, all dressed to impress. Turned out that Murray Street was quite a party area!

Strolling along Elizabeth Quay.

Our Day One began long after sunrise. About 12 PM, we headed to Hay Street Mall. My cousin Win and his wife met us there and brought us to see the Bell Tower and Elizabeth Quay. We hung out and talked a lot while doing a slow walk back to Murray Street. As they had to go back in the late afternoon, we made our way to Chinatown via Yagan Square for early dinner. But it was too early indeed, so we had our meal at Hakata Gensuke instead. 

Having breakfast with Kaung.

Day Two started late, too. I had a breakfast with Kaung, an ex-colleague of mine, then went back to Room 308. Much later on, we took Uber and reached the Blue Boat House around 1:30 PM in the afternoon. After a quick picture taking, we explored Kings Park. It took us quite a long while to get out of the park, so long that we eventually had a late lunch. We returned to hotel afterwards. 

At the Blue Boat House.

On Day Three, we visited AQWA in Hilarys Boat Harbour. It was about half an hour of Uber ride from the city. This attraction reminded me of the original Underwater World in Sentosa. Needless to say, we didn't stay long. The ride back to the hotel was wet and cold. When the rest of the family were relaxing in the room, I took my time to search for post office. For our dinner, we had Vietnamese food. Starting to get sick of fries! When the night came, my wife and I had a glass of wine at the hotel lounge as Audrey slept early. 

The path to the lighthouse. 

We started early for the first time ever on Day Four. From Barrack Street Jetty, we took a bus to Fremantle to catch a ferry to Rottnest Island. The sea was rough! Our island adventure began with brunch at Dome, then we searched for quokka. The animals were cute and could be seen around the island. There was even one under the table when we had our pizza for lunch! The highlight of the day was the journey on foot that brought us to the lighthouse. The view was beautiful. We took the same ferry back at 4:30 PM, but this time it cruised all the way to Barrack Street Jetty. From there, we walked back to hotel.

While waiting for our ferry to Perth.

We went to Caversham Wildlife Park on Day Five. On our way to the park using Uber, I couldn't help thinking that it'd be difficult to get back to the city. But still, it was a problem for later. As of now, we just needed to enjoy the park filled with marsupials and farm animals that included ostriches and camels. The park was all right, but it was interesting to see wild kangaroos outside the park. But the road signs weren't clear. We lost our way home and eventually called Uber to bring us back. Before we called it a night, we went to OZ Dobi Laundromat, had our dinner at Authentic Bites Dumpling House and waited for our laundry at Taning Lemon Tea.

At Taning, while waiting for laundry.

We finally had a proper visit to Fremantle on Friday, our Day Six in Perth. From Perth Underground that was just a walking distance from Novotel, we headed to Platform 7 that is actually located in Perth Station. Boarded the train and half an hour later, we were in Fremantle. First stop: the iconic Fremantle Markets! Next destination, where we had our seafood lunch, was Cicerello's. Then, to cap it off, we had churros at Chocolateria San Churro. When we were back to Room 308, I still had more a plenty of time to chill before I tried out the Comedy Lounge across the street. Loving it! 

Off we went to Fremantle!

My cousin Win and his wife picked us up on Saturday morning. We had our brunch at Folklore, a popular local coffee shop. Tried toast with Vegemite for the first time ever! Then we headed to Sandalford Estate for wine tasting. A new experience for me! Lunch was at Pasta in the Valley, then followed by a visit to Margaret River Chocolate Company. Lots and lots of chocolates there for shoppers! But shopping isn't my cup of tea, so I just sat at a corner with Audrey, hehe. We did the same during the visit to House of Honey that wrapped up our time in Swan Valley. We headed to South Perth for Korean food and that was it. 

Swan Valley!

Sunday, our Day Eight, was another relaxed day. We didn't have much planned for that day. We walked past London Court, then had lunch together at KFC, our second time in Perth. Linda and her mom went out to shop after that while Audrey and I were chilling in our room. For our dinner, we walked back to Chinatown to eat at Uncle Billy's Chinese Restaurant, the one recommended by Kaung. That meal ended our last night in Perth and we flew back on Day Nine.

Posing in London Court. 

Now, before the trip, I had lunch with my acquaintance Sean. We thought that nine days would be too long for Perth only, but after I went through it, I'd say it was very a enjoyable experience. Perth had a much slower pace than Singapore and the winter did help creating such a conducive atmosphere. It was quite a change and turned out that I don't mind slowing down once in a while!



Negeri Di Bawah Sana: Perth

Bila kita berbicara tentang liburan keluarga, saya lebih condong memilih destinasi yang aman dan gampang dijelajahi. Jepang sudah kita kunjungi beberapa kali. Setelah COVID-19, kita pergi ke Swiss dan Taiwan. Jika saya melihat ke sekeliling saya dan mencari tempat dengan kriteria serupa yang tidak terlalu jauh dari Singapura, maka pilihan yang tersisa hanyalah Korea Selatan dan Australia Barat. Saya tidak suka masakan Korea yang terasa sibuk dan memenuhi meja dengan makanan kecilnya, jadi Perth pun menjadi pilihan tahun 2025. 

Istri dan saya berkolaborasi dalam mengerjakan rute perjalanan. Referensi saya adalah Wikivoyage, mungkin untuk terakhir kalinya karena saya sudah menggunakan AI untuk liburan ke Seremban dan Laos baru-baru ini. Karena saya tidak berminat untuk mengemudikan mobil, saya buka setiap halaman tentang distrik-distrik di Perth untuk mencari tahu tempat-tempat di sekitar kota yang bisa saya kunjungi. Saya juga memiliki sepupu di Perth yang tidak keberatan untuk menyetir, jadi dia bantu merevisi rute perjalanan dengan kunjungan ke Swan Valley. 

Liburan terakhir ke Eropa mencakup beberapa kota yang hanya dikunjungi semalam saja. Kesannya begitu terburu-buru, seperti hanya sekedar singgah. Perth direncanakan untuk tidak seperti itu lagi. Liburan kali ini harusnya santai dan perlahan. Sembilan hari di Perth dan kita akan tinggal di hotel yang sama sepanjang liburan. 

Terbang ke Perth!

Dan di malam pertama kita di sana, tengah malam tepatnya karena kita menaiki pesawat malam, kawasan Novotel masih luar biasa aktif. Saat itu jam dua pagi di hari Minggu dan orang-orang sudah berpesta dari sejak Sabtu malam. Istri dan saya terkejut juga melihat banyak muda-mudi dalam dandanan seksi dan pengaruh alkohol. Ternyata Murray Street adalah kawasan hiburan!

Berjalan santai di Elizabeth Quay.

Hari Pertama dimulai lama setelah matahari terbit. Sekitar jam 12 siang, kita berjalan ke Hay Street Mall. Sepupu saya Win dan istrinya berjumpa dengan kita di sana dan membawa kita melihat Bell Tower serta Elizabeth Quay. Kita bersantai dan banyak berbincang, sambil perlahan-lahan kembali ke Murray Street. Ketika hari menjelang senja, mereka harus kembali ke tempat mereka, jadi kita pun lanjut ke Chinatown melewati Yagan Square. Kita tiba terlalu awal dan akhirnya makan ramen di Hakata Gensuke. 

Sarapan bersama Kaung.

Hari Kedua juga dimulai cukup siang. Saya sarapan dengan mantan kolega saya, Kaung, lalu kembali ke Kamar 308. Kita lantas naik Uber dan tiba di Blue Boat House sekitar jam 1:30 siang. Setelah berfoto sejenak, kita berjalan ke arah Kings Park. Butuh waktu lama untuk keluar dari taman yang luas ini, begitu lamanya sampai-sampai kita makan siang jam tiga sore. Sesudah itu kita pun kembali ke hotel. 

Di Blue Boat House.

Di Hari Ketiga, kita pergi ke AQWA di Hilarys Boat Harbour. Setengah jam lamanya dari kota kalau naik Uber. Wahana ini mengingatkan saya dengan Underwater World di Sentosa dulu. Tak ayal lagi, kita hanya sebentar di sana. Hujan turun saat kita pulang ke hotel. Selagi semua bersantai di kamar, saya berjalan-jalan keluar mencari kantor pos. Untuk makan malam, kita mencicipi masakan Vietnam. Yang penting ada nasi, karena saya mulai sebal dengan kentang goreng. Saat malam tiba, saya dan istri menikmati wine di hotel karena Audrey tidur lebih awal.  

Jalan menuju ke mercusuar. 

Kita berangkat pagi untuk pertama kalinya di Hari Keempat. Dari Barrack Street Jetty, kita naik bis ke Fremantle untuk naik feri ke Rottnest Island. Ombaknya lumayan tinggi! Petualangan kita di pulau dimulai dengan makan pagi menjelang siang di Dome, lalu kita mencari quokka. Hewan yang imut ini bisa dilihat di berbagai penjuru pulau. Bahkan ada satu di bawah meja saat kita makan siang! Puncak dari perjalanan di hari tersebut adalah mercusuar. Bagus pemandangannya. Dengan feri yang sama, kita akhirnya meninggalkan pulau jam 4:30 sore, namun kali ini feri berlabuh Barrack Street Jetty. Dari sana, kita tinggal berjalan pulang ke hotel.

Saat menanti feri untuk kembali ke Perth.

Di Hari Kelima, kita pergi ke Caversham Wildlife Park. Dalam perjalanan ke sana menggunakan Uber, saya jadi berpikir bahwa akan susah bagi kita untuk kembali ke kota karena terpencil tempatnya. Tapi itu adalah masalah pas pulang nanti. Sekarang kita hanya perlu menikmati taman yang dipenuhi dengan aneka binatang Australia dan juga hewan-hewan peternakan, termasuk unta dan burung unta. Dalam perjalanan pulang, kita mencoba berjalan kaki menuju stasiun. Ada beberapa kangguru berkeliaran di luar taman. Namun karena petunjuk jalan yang tidak jelas, akhirnya kita tersesat dan memanggil Uber. Sesampainya di kota, kita mampir ke OZ Dobi Laundromat, makan malam di Authentic Bites Dumpling House serta menunggu cucian kita sambil menikmati teh es lemon di Taning Lemon Tea.

Di Taning, sambil menunggu cucian.

Kita akhirnya mengunjungi  Fremantle di Jumat pagi, Hari Keenam kita di Australia. Dari Perth Underground yang terletak tak jauh dari Novotel, kita berjalan ke Platform 7 yang berada di Perth Station. Kereta berangkat dan setengah jam kemudian, kita tiba di Fremantle. Pemberhentian pertama: Fremantle Markets yang tersohor! Untuk makan siang, kita icip makanan laut di Cicerello's. Kemudian, sebagai hidangan penutup, kita makan churros di Chocolateria San Churro. Sewaktu kita kembali ke Kamar 308, saya masih punya banyak waktu sebelum saya mencoba Comedy Lounge di seberang jalan. Saya suka pertunjukan komedinya! 

Dan kita pun ke Fremantle!

Sepupu saya Win dan istrinya datang menjemput di Sabtu pagi. Kita bersantap di Folklore, kedai kopi lokal yang populer di Perth. Untuk pertama kalinya, saya mencoba roti bakar yang dioles dengan Vegemite! Kita lantas pergi ke Sandalford Estate untuk mencoba aneka wine. Juga pengalaman baru untuk saya! Makan siang kita dipesan di Pasta in the Valley, lalu kita lanjut lagi ke Margaret River Chocolate Company. Coklatnya menggunung dan tinggal dipilih! Tapi saya tidak gemar berbelanja, jadi saya hanya duduk di pojok bersama Audrey, hehe. Hal yang sama juga kita lakukan saat berada di House of Honey, tempat terakhir yang kita kunjungi di Swan Valley. Dalam perjalanan pulang, kita makan malam menu Korea di South Perth. 

Swan Valley!

Minggu, Hari Kedelapan, adalah hari yang santai. Tak banyak yang ingin dilihat pada hari terakhir ini. Kita berjalan melewati London Court, lalu makan siang bersama di KFC, kali kedua kita selama di Perth. Setelah itu Linda dan mamanya pergi berbelanja sementara saya dan Audrey bersantai di kamar. Untuk makan malam, kita kembali ke Chinatown dan menjajal Uncle Billy's Chinese Restaurant, rekomendasi dari Kaung. Makan malam tersebut menjadi penutup malam terakhir di Perth. Kita pulang ke Singapura di Hari Kesembilan. 

Berpose di London Court. 

Nah, sebelum liburan, saya makan siang bersama kenalan saya Sean. Kita sempat berpendapat bahwa sembilan hari mungkin terlalu lama untuk berada di Perth saja, tapi setelah saya jalani, saya suka dengan pengalaman kali ini. Perth santai suasananya dan musim dingin menciptakan suasana yang kondusif untuk bersantai. Mantap nian!
 

Monday, June 16, 2025

Life Events: Travel

There is this little known feature called Life Events on Facebook. It's not new and I had used it a long while ago, but I started updating the Travel section of it again recently. I did it in a simpler way this round: just the name of the destination, the arrival date and a photo of mine. 

Soon I got hooked by what I did here. There's something about figuring out the details that I so enjoyed doing. Cross-checking the dates on Swarm and Timeline on Google Maps, browsing the old photos on Google Cloud and verifying when they were taken, the activities were amusing!

It became more difficult as I progressed further back in time, though. My Swarm check-ins were only up until July 2014. Google Timeline ended around the same time, too. I had reached year 2010 now. I reckon this could only go as far back as the time I started using digital cameras circa 2004. Anything older than that would be difficult to track.

As I did this, I learnt a couple of things about my life, too. For a person who fancied traveling, it had been a life well-traveled. The past three years had been fun, about 20 destinations a year, covering Asia, Europe and Australia. I had lesser trips before COVID-19 due to numerous reasons: family matters, work, and probably the hassle of obtaining visa, too, since I used to be an Indonesian passport holder. In hindsight, they all made sense.

On top of that, the Life Events gave me a chance to look back at the travel companions as well. Or the lack of it. Yes, even travelling solo was also an option at times! All this brought back the good times I had with each and every group: good friends of mine, some random colleagues, my family, parents. It also gave me an idea of what I haven't done. How about a trip with the cousins? We've been talking about it.

But most importantly, it gave me the perspective of how long I had been doing this. Counting from the day I applied for the passport myself and went to Kuching with Parno, it had been 25 years since then. It had been a long journey from my early 20s to mid 40s, one that was filled with all the places I had been, all the people I had traveled with, all the memories and laughter that were created along the way. 

Maybe I had been blessed, considering that I was never a smart person to begin with. I don't know. But given the Life Events I had gone through for the past two and a half decades, I do know this: I've lived a life well-lived. Even if I had to fail tomorrow, at the very least I already had a good run for 25 years. To me, life is never about how long you live, but how good the quality is.  

My point is, if you are ever too busy preparing for the future that you fail to live your life today, then perhaps it's time to stop and re-examine it again. If you noticed you had missed so much, if you hadn't been achieving your dreams for quite some time, if it felt like you had been living only for someone else, then life probably had taken a wrong turn. Time to fix that. Like I said earlier, I am not very smart. If I could do it, I reckon a lot of people can do it, too. 

The Life Events.


Life Events: Travel

Di Facebook ada sebuah fitur bernama Life Events yang mungkin jarang diketahui oleh banyak orang. Ini bukanlah fitur baru dan sudah pernah saya gunakan bertahun-tahun silam, namun belakangan ini saya perbaharui lagi khusus di bagian Travel. Kali ini cara saya lebih ringkas dari sebelumnya: hanya nama tujuan, tanggal ketibaan dan juga sebuah foto saya. 

Ternyata saya jadi kecanduan dengan apa yang saya lakukan ini. Saya suka mencari tahu detil liburan saya. Saya bandingkan tanggalnya di Swarm dan Timeline di Google Maps, lalu saya cari pula foto-foto di Google Cloud dan verifikasi tanggalnya. 

Apa yang saya kerjakan ini menjadi kian rumit seiring dengan lamanya tahun yang sudah berlalu. Informasi di akun Swarm saya hanya sampai bulan July 2014. Google Timeline pun berakhir di periode yang hampir sama. Saya sudah update hingga tahun 2010 sekarang. Saya perkirakan mungkin cuma bisa sampai pada saat saya pertama kali menggunakan kamera digital pada tahun 2004. Liburan yang terjadi sebelum era digital akan lebih susah dilacak. 

Dalam proses pengerjaan ini, saya belajar beberapa hal tentang hidup saya. Sebagai orang yang suka berjalan-jalan, sebagian besar hidup ini sudah saya lakoni sesuai dengan keinginan saya. Tiga tahun terakhir sangat ekstensif, kira-kira 20 destinasi per tahun, mencakup Eropa, Asia dan Australia. Liburan saya jauh lebih sedikit di zaman sebelum COVID-19 dikarenakan berbagai hal: urusan keluarga, pekerjaan dan juga mungkin disebabkan oleh perlunya visa, karena saya dulu memegang paspor Indonesia.  

Di samping itu, fitur Life Events juga memberikan saya kesempatan untuk melihat kembali teman seperjalanan saya. Atau absennya teman seperjalanan, karena perjalanan seorang diri pun bisa menjadi opsi. Semua ini membawa kembali masa-masa gembira bersama setiap kelompok yang bepergian bersama saya: teman-teman karib, para kolega yang tidak begitu saya kenal sebelumnya, keluarga dan juga orang tua saya. Hal yang sama juga memberikan ide tentang apa yang belum saya lakukan. Bagaimana pula dengan liburan bersama para sepupu? Kita kini mulai membicarakannya. 

Namun yang paling penting adalah perspektif yang saya dapatkan. Berapa lama sudah saya menjalani hidup seperti ini. Mulai dari hari saya memohon paspor dan berangkat bersama Parno ke Kuching, 25 tahun sudah berlalu semenjak itu. Ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dari usia awal 20an sampai pertengahan 40an. Sebuah petualangan yang dipenuhi dengan aneka tujuan yang saya kunjungi, orang-orang yang berlibur bersama saya, serta kenangan dan tawa yang tercipta sewaktu kita berjalan-jalan. 

Mungkin saya diberkati, terutama bila mengingat kembali bahwa saya bukanlah orang pintar. Saya tidak tahu pasti. Tapi berdasarkan Life Events yang telah saya lewati selama dua setengah dekade, saya tahu pasti hal berikut ini: saya sudah hidup sepenuh hati. Bahkan jika saya harus gagal di keesokan hari, setidaknya saya sudah menjalani 25 tahun yang penuh cerita dan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Bagi saya, hidup ini bukan tentang berapa lama kita hidup, tapi sebagus apa kualitasnya semasa kita hidup. 

Maksud saya, bilamana anda terlalu sibuk dengan persiapan untuk masa depan sampai-sampai anda tidak menikmati hari ini, mungkin sudah waktunya anda berhenti dan memeriksa kembali pola hidup anda. Jika anda melewatkan banyak hal yang seharusnya bisa anda nikmati, jika anda tak ingat kapan terakhir kali anda mewujudkan impian anda, jika anda sampai merasa bahwa anda hanya hidup demi orang lain, mungkin hidup anda telah salah langkah. Sudah waktunya untuk memperbaiki kesalahan ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tidak terlalu pintar. Jikalau saya bisa, saya rasa pasti banyak orang yang bisa melakukan hal serupa.

Sunday, June 15, 2025

Another First Impression

The previous entry for the First Impression series was released five years ago. The story ended with Myanmar. I still traveled quite a fair bit before COVID-19 happened, but even though some of the destinations were new to me, they were still in the same countries I visited before. It was only in late 2022 that I began visiting some places that were entirely new to me.

The first was India, represented by Kolkata. I finally went to the most fascinating country that I had never visited thus far! I chose Kolkata because it was near and there was a direct flight from Singapore. It was a right choice, and a right amount of India for a first timer! 

The chaos and creation in Kolkata!

At Mullick Ghat Flower Market, I experienced information overload. The colors, the smells, the noises, never before my senses worked so hard to process them all! And the deeply entrenched Hinduism. I remember standing next to the railway, watching the ritual happening in the river. It occured to me that long before Jesus was born, the Indians had already been doing this. Incredible India, indeed!

Once upon a time in Geneva.

Then it was another trip to Europe after that. It had been seven years since my first and only visit. And Geneva was a great reminder of Europe's elegant culture and lifestyle, that people on this side of our planet lived differently than us. It was a far cry from the breakneck speed we had in Asia. We talked about work-life balance, but they lived it. It was all the more true when we reached Interlaken, where the scenery seemed like something lifted out of a fairy tale. 

Having fun in Vaduz.

Liechtenstein was the next country I visited the moment I crossed the Swiss border. It was smaller than Singapore and, with the absence of airports and harbors, it was kind of hard to think of it as a real country. That's why I forwent Hard Rock Hotel in Davos and visited Vaduz instead. It was like a wonderland, place you couldn't be sure that it existed, but yet there it was, a fully functioning country by itself, haha. 

Austria, on the other hand, was a serious business. I would described it as rowdy. It was like, after leaving Switzerland, you somehow sensed that you gotta be more careful here. I vaguely remember Innsbruck, so the impression mainly came from the few days I had in Salzburg

Salzburg, the birthplace of Mozart.

In hindsight, the impression was, perhaps, biased. Salzburg happened right at the tail end of the trip, when the magic of Europe had faded away. After seeing too many old towns by the river, I just felt fatigued, and Salzburg was one too many, I guess. 

The Taiwan trip happened one year later. Despite its disputable status as a country, Taiwan felt more like Japan than China. Hence it felt quite unique. The whole time I was in Taipei, I couldn't help feeling that it was like traveling 101. It was so safe and easy to go around the city. Suitable for a family trip, but it got boring after a while. 

The family trip to Taiwan.

Now, the latest country I visited was Australia. I don't know if Perth is a good reference for one to say something about Australia, but I did enjoy my time here. It was probably the nearest major city in a Western country to Singapore. The city was safe and slow paced, but modern enough for my liking. I remember walking alone in one drizzling afternoon, thinking that it'd be fun to explore cities like this with my friends.

In Swan Valley, Perth.

So there you go, another five or six countries that I managed to visit when the world opened up again after COVID-19. Next stop: USA! Year: 2026! Event: World Cup! Let's see what tomorrow will bring! Until that happens, one can always dream and plan towards it! 



Kesan Pertama Yang Berikutnya

Episode terakhir dari serial Kesan Pertama diterbitkan lima tahun silam. Saat itu cerita diakhiri dengan kunjungan ke Myanmar. Saya masih sempat berlibur ke sana-sini sebelum COVID-19 melanda, tapi meski baru tujuannya, negaranya sudah pernah saya datangi. Kesempatan mengunjungi negara lain barulah terwujud lagi di penghujung tahun 2022. 

Negara tersebut adalah India yang diwakili oleh Kolkata. Akhirnya saya berhasil mengunjungi negara paling mengesankan yang belum pernah saya kunjungi hingga sejauh ini. Saya memilih Kolkata karena tidak terlalu jauh dan memiliki penerbangan langsung dengan Singapore Airlines. Kolkata adalah pilihan yang tepat dan pas pula kadar dan nuansanya untuk turis yang pertama kali ke India! 

Hirup-pikuk di Kolkata!

Di Pasar Bunga Mullick Ghat, saya mengalami sensasi kebanyakan info. Aneka warna, berbagai aroma dan juga suara-suara yang gaduh memaksa indera saya bekerja jauh lebih keras dari apa yang pernah saya rasakan sebelumnya! Dan budaya Hindu yang begitu kental di sana sangatlah mencengangkan. Saya ingat betul saat berada di samping rel kereta dan menyaksikan ritual yang diselenggarakan di sungai. Tiba-tiba saja terbayang oleh saya bahwa orang India sudah melakukan hal ini jauh sebelum Yesus lahir. Memang dahsyat! 

Suatu ketika di Jenewa.

Setelah India, yang berikutnya adalah liburan ke Eropa. Tujuh tahun telah berlalu semenjak kunjungan saya yang pertama dan sekali-kalinya. Jenewa di Swiss adalah tempat yang istimewa untuk mengingat kembali, betapa elegan budaya dan pola hidup orang Eropa. Kehidupan mereka di bagian planet ini berbeda dengan Singapura yang cepat pergerakannya. Semua ini kian nyata ketika kita tiba di Interlaken yang pemandangannya seperti cerita dongeng. 

Menjelajahi Vaduz.

Liechtenstein menjadi negara selanjutnya yang saya kunjungi begitu saya melewati perbatasan Swiss. Negara ini lebih kecil dari Singapura dan tak memiliki bandara serta pelabuhan pula. Inilah alasannya kenapa saya merelakan Hard Rock Hotel di Davos dan pergi ke Vaduz, ibukota Liechtenstein. Tempatnya seperti negeri fantasi, tempat yang seharusnya tidak ada, tapi nyata dan berfungsi sepenuhnya sebagai suatu negara, haha.

Austria, di sisi lain, adalah perkara serius. Saya suka menjabarkannya dengan sebutan kasar dan terkesan tidak aman. Berbeda jauh dengan Swiss. Begitu anda berada di Austria, anda bisa merasakan kalau anda harus lebih hati-hati di sini. Saya tidak memiliki kesan mendalam tentang Innsbruck, jadi apa yang saya deskripsikan di atas lebih condong berdasarkan pengalaman saya di Salzburg

Salzburg, tempat kelahiran Mozart.

Bila dilihat kembali, kesan saya mungkin agak bias. Kunjungan saya ke Salzburg terjadi di penghujung liburan, tatkala pesona Eropa telah memudar. Sesudah melihat begitu banyak kota tua di pesisir sungai, saya merasa cukup dan hal inilah yang paling terasa di Salzburg. Dengan demikian, kesannya pun tidak terlalu baik. 

Liburan keluarga keTaiwan.

Setahun kemudian, kita pergi ke Taiwan. Terlepas dari statusnya sebagai suatu negara atau bukan, Taiwan terasa lebih mirip Jepang daripada Cina, sehingga unik kesannya. Selama saya berada di Taipei, rasanya seperti liburan pemula. Begitu aman dan gampangnya kita berkeliling kota. Cocok untuk liburan keluarga, tapi agak membosankan juga. 

Di Swan Valley, Perth.

Hingga saat ini, negara terakhir yang saya kunjungi adalah Australia. Saya tidak tahu apakah Perth adalah referensi bagus untuk berkomentar tentang Australia, tapi saya menikmati hari-hari saya di sini. Ini adalah kota orang kulit putih terdekat dari Singapura. Aman dan lamban pola hidupnya, tapi modern seperti selera saya. Saya ingat saat berjalan di suatu sore yang mendung dan rintik-rintik. Saat itu saya berpikir, sepertinya seru juga kalau menjelajahi kota seperti ini bersama teman-teman. 

Dalam tiga tahun, lima atau enam negara dikunjungi setelah COVID-19 berakhir. Pemberhentian berikutnya: Amerika Serikat! Tahun: 2026! Acara: Piala Dunia! Entah apa yang akan terjadi di hari esok! Tapi apa pun itu, kita selalu bisa bermimpi dan mengerjakan rencana kita!