Total Pageviews

Translate

Thursday, May 2, 2024

The First Time Traveler

It's all started with a DM. And a question about the visit to Singapore won't be ignored by a proud owner of the fictitious Robinson Travel. I always love the idea of friends coming to Singapore. Yes, they should come and see the First World country nearest to Indonesia! A humbling experience! We even have a group called Tamu SG to welcome them (though the guests will be removed unceremoniously once their visits end, haha). 

So my friend Hendra texted me about his visit to Singapore. His plan was to get return tickets from Kuching to Kuala Lumpur, but I suggested that it made more sense to go from Pontianak, Batam, Singapore, KL to Kuching instead. It'd be a seamless one way trip instead of traveling to and fro. If he was keen, he could even travel to Johor Bahru and Malacca before arriving in KL.

He listened to the advice and once his tickets were booked, he was added to Tamu SG. As planned, he boarded the flight to Batam and, on the following day, ferry to Singapore. A slight hiccup, though. My meeting that day overran and by the time I reached Harbourfront, he was waiting at one corner like a neglected child, haha. 

Off we went and before we got home, we had dinner and I ordered mui fan for him. Much to my surprise, he found the food and its shrimp paste condiment bland. As a matter of fact, the nasi lemak that he had the next morning also was also subjected to a similar comment. His taste buds must have been seriously messed up by decades of consuming MSG. 

The night with Snow Drop. 

Anyway, back to the night Hendra arrived, our friend Eday was also in Singapore and making his way to my place. Endrico reached first and we opened bottles of Snow Drop sake once Eday arrived. By the way, if you think the brand sounded familiar, you probably saw it from my story in Tokyo. Yes, the sake was rather special, worthy of a historical moment that was unfolding that night: hanging out with Hendra for the first time ever in Singapore since we graduated from high school 26 years ago. 

Our adventure began the next day in Sentosa. Eday had fun telling our first time traveler all the bombastic nonsense he could come up with on the spur of the moment. For example, as the monorail train left VivoCity, Eday told him that it would dive into the sea before resurfacing in Sentosa and our newbie wouldn't know how to respond to such a story. The stare in disbelief would then trigger the laughter. 

At the Universal Studios Singapore.

We also enjoyed the frowning eyebrows as Hendra did the mental calculation of converting SGD to IDR. At the Universal Studios, we pushed him to buy some gifts for the family. It's not something that he can get three times cheaper in Malaysia, so it does make sense to spend on something that is uniquely Singapore. 

After sending Hendra to casino for sightseeing on the pretext of getting us free bottles of water, we boarded the cable car and returned to mainland. From there we went to Farrer Park for lunch. We were supposed to eat at MTR, a delicious vegetarian restaurant that I discovered in Bangalore, but it was still crowded even at 2.30pm, so we went to Anjappar instead for Indian food. Hendra finally found something that tasted rich in Singapore, but it sent him to toilet not long after lunch. 

Trying Indian food.

From the hotel, we continued our journey to Bugis and the National Library. The last time I went there, it was under renovation. The library looked brilliant now and Hendra liked what he saw. However, we didn't stay long and resumed our journey to Chinatown. Hendra had a glimpse of it, then we bumped into Taty as we headed to MBS. When in Singapore, especially for the first time, this is the breathtaking city skyline you need to see!

Eday and Surianto went to gym after lunch and rejoined us at MBS. From there, we walked to Merlion via Helix Bridge, then headed to the Fullerton underpass to reach Raffles Place. It was time for dinner and we decided that it'd be a Swiss cuisines at Marche. Mei Ing came and, as she never met Hendra before, Eday introduced him as a Swiss national and he was the reason why we ate here, haha.

Eday, Mei Ing, Surianto, Hendra and Taty at Marche.

We had sake after dinner, but after tasting Snow Drop, the rest only felt fine. As the Sake+ closed at 11pm, I brought them to Ice Cold Beer and we stayed there until 3am. We had a good long talk and most importantly, our first time traveler enjoyed it. The supper (or should I call it breakfast?) at Balestier Bak Kut Teh eventually ended the adventure. 

While it's definitely not the first tour in Singapore that I arranged for my friends, this one is memorable thanks to the fact that Hendra hadn't been going overseas for the past 20 years and the only city he had been to long ago was Kuching. His hometown Sei Pinyuh was even smaller than Pontianak. You add up all this, you get a fresh, genuine and gullible perspective that I hadn't seen for a long time. It was fascinating.

For example, when Surianto bought us ice cream in Sentosa, Hendra chose vanilla. Eday and I burst into laughter at the same time. With so many choices, you'd expect him to explore a new flavor, but no, he went for vanilla instead, the safest bet he's familiar with. 

Taking the cable car.

Another occasion happened inside the cable car. As we crossed back to Harbourfront, he was pondering if he should send his son to study here one day, but then concluded that it was probably not a good idea. We were curious, so we probed further. It turned out that a kid from his hometown passed away while studying here. Now that was biased! I protested that a kid could die everywhere, not only in Singapore! What he was worried about was not even a thing!

The examples above were moments with childlike innocence and I found them refreshing. It was a good reminder. Once upon a time, I was more or less the same, too. But traveling opened your horizon. Hendra said he learnt a lot throughout the trip, but what he perhaps didn't know was I also learnt from what we went through together. What you experienced, it always got you thinking...

When ICB closed.




Pertama Kali Ke Singapura

Cerita kali ini dimulai dari DM di WhatsApp. Dan tentu saja pertanyaan tentang kunjungan ke Singapura tidak akan diabaikan oleh pemilik Robinson Travel, sebuah jasa tur fiktif. Saya selalu menyukai ide tentang teman yang mau berkunjung ke Singapura. Ya, mereka harus datang dan melihat negara maju yang paling dekat dengan Indonesia! Ini adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Kita bahkan memiliki grup Tamu SG untuk melayani mereka yang datang (walaupun mereka akan ditendang keluar begitu kunjungan mereka usai, haha).

Jadi teman saya Hendra menghubungi saya tentang rencana liburan ke Singapura. Tadinya dia ingin beli tiket pergi-pulang dari Kuching ke Kuala Lumpur, namun saya sarankan bahwa sebaiknya dia berangkat dari Pontianak, Batam, Singapura, KL dan pulang lewat Kuching. Dengan demikian jalannya lebih searah dan tidak bolak-balik. Kalau Hendra mau, dia bahkan bisa ke Johor Bahru dan Melaka sebelum tiba di KL. 

Hendra mendengarkan saran saya dan begitu tiketnya dibeli, dia pun dimasukkan ke grup Tamu SG. Seperti yang sudah direncanakan, Hendra berangkat dari Batam dan naik feri ke Singapura di hari berikutnya. Akan tetapi ada sedikit masalah. Rapat saya di kantor pada hari itu berakhir lebih malam dari perkiraan dan saat saya tiba di Harbourfront, Hendra sudah menunggu di pojok seperti anak terlantar, haha. 

Kita pun pulang, namun sebelum sampai di rumah, kita mampir dulu untuk makan malam. Saya pesankan mui fan untuk Hendra. Setelah dicicipi, ternyata makanan dan belacannya terasa hambar bagi Hendra. Bahkan nasi lemak yang menjadi sarapan pagi di hari berikutnya pun mendapatkan komentar yang sama. Indera perasanya pasti sudah sangat tidak peka karena bertahun-tahun makan masakan yang banyak micinnya.  

Menikmati sake Snow Drop. 

Kembali ke malam tibanya Hendra, teman kita Eday juga sudah sampai di Singapura dan kini sedang menuju ke rumah. Endrico tiba dulu dan kita pun membuka botol sake Snow Drop saat Eday tiba. Oh ya, bila anda merasa kenal dengan nama sake ini, mungkin anda pernah membacanya lewat cerita saya tentang kunjungan ke Tokyo setahun silam. Ya, sake ini istimewa, pantas untuk merayakan malam bersejarah yang sedang terjadi: berkumpul untuk pertama kalinya dengan Hendra di Singapura setelah kita tamat SMA 26 tahun silam.  

Petualangan kita dimulai keesokan harinya di Sentosa. Eday senang menggoda teman yang berlibur di Singapura untuk pertama kalinya ini dengan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, saat monorel meninggalkan VivoCity, Eday berkata bahwa kereta ini akan menyelam ke dalam laut dan muncul lagi di Sentosa. Hendra pun tak yakin bagaimana ia harus menanggapi cerita tersebut. Pandangannya yang penuh kecurigaan lantas memicu gelak tawa.  

Di Universal Studios Singapore.

Kita juga menikmati ekspresi Hendra yang mengernyitkan dahi saat menghitung konversi SGD ke IDR di dalam hati. Di Universal Studios, kita mendorongnya untuk membeli hadiah untuk keluarga. Beberapa suvenir di sini bukanlah sesuatu yang bisa ia dapatkan tiga kali lebih murah di Malaysia, jadi layak dibeli karena khas dan cuma ada di Singapura.  

Setelah mengirim Hendra ke kasino untuk melihat-lihat dengan misi mengambilkan botol air gratis di kasino bagi kita yang kehausan, kita akhirnya naik ke kereta gantung dan menyeberang kembali ke Harbourfront. Dari sana kita lanjut ke Farrer Park untuk makan siang. Kita ingin mencoba MTR, restoran vegetarian lezat yang pertama kali saya coba di Bangalore, tapi tempat makan ini masih penuh meski sudah jam 2.30 siang, jadi kita pun beranjak ke Anjappar untuk menyantap masakan India. Hendra akhirnya menemukan sesuatu yang kaya rasa di Singapura, namun dia perlu ke toilet setelah itu. 

Mencoba masakan Indian.

Dari hotel, kita menuju ke Bugis dan National Library. Terakhir kali saya ke sana, perpustakaan ini masih direnovasi. Hasilnya bagus sekarang dan Hendra sibuk melihat-lihat rak-rak yang penuh dengan buku. Kendati begitu, kita tidak lama di perpustakaan dan perjalanan pun berlanjut ke Chinatown. Setelah berkeliling sejenak, kita berpapasan dengan Taty dan menuju ke MBS. Saat berada di Singapura, apalagi untuk pertama kalinya, pemandangan gedung pencakar langit ini wajib untuk dilihat langsung dengan mata sendiri!

Eday dan Surianto pergi ke gym setelah makan siang dan bergabung dengan kita di MBS. Dari sana, kita berjalan ke Merlion lewat Helix Bridge, lalu menelusuri lorong bawah tanah Fullerton ke Raffles Place. Sudah tiba waktunya untuk makan malam dan menunya adalah makanan Swiss di Marche yang bersebelahan dengan Sake+. Saat Mei Ing tiba, Eday memperkenalkan Hendra sebagai orang Swiss dan karena dialah kita bersantap di sini, haha. 

Eday, Mei Ing, Surianto, Hendra dan Taty di Marche.

Setelah makan malam, kita menikmati sake. Bagi saya pribadi, setelah Snow Drop, sake lainnya terasa biasa. Berhubung Sake+ tutup jam 11 malam, saya bawa mereka ke Ice Cold Beer yang berada di seberang jalan dan bincang-bincang diteruskan hingga jam 3 pagi. Tamu kita yang pertama kali ke Singapura menikmati waktunya di bar ini. Makan subuh (atau sarapan?) di Balestier Bak Kut Teh pun mengakhiri petualangan kita. 

Meski ini bukanlah tur pertama di Singapura yang saya adakan untuk teman, yang satu ini sangat berkesan karena Hendra tidak pernah bepergian ke luar negeri selama 20 tahun terakhir dan satu-satunya kota yang ia kunjungi dulu adalah Kuching. Kampung halamannya, Sei Pinyuh, bahkan lebih terpencil dari Pontianak. Bila semua faktor ini digabungkan, yang kita dapatkan adalah sebuah perspektif yang baru dan agak naif, yang sudah lama tidak saya lihat. Dan saya sangat tertarik. 

Sebagai contoh, sewaktu Surianto membelikan kita es krim, Hendra memilih rasa vanila. Saya dan Eday spontan tergelak saat melihatnya. Ada begitu banyak pilihan es krim dan kita mengira dia akan mencoba sesuatu yang baru, tapi tidak, dia malah memesan vanila, rasa yang paling ia kenal baik sekaligus pilihan paling aman. 

Menaiki kereta gantung.

Peristiwa lainnya terjadi di dalam kereta gantung. Saat kita berada di ketinggian dan menyeberangi laut, Hendra membayangkan apakah mengirimkan anaknya untuk bersekolah di sini adalah keputusan yang baik, namun mendadak dia mengurungkan niatnya. Kita yang penasaran pun bertanya lebih lanjut. Ternyata alasannya adalah karena ada anak dari Sei Pinyuh yang meninggal sewaktu belajar di Singapura. Saya protes dengan biasnya sudut pandang ini. Kalau sudah tiba waktunya, seorang anak bisa meninggal di mana saja, bukan cuma di Singapura. Jadi apa yang dia khawatirkan itu tidak beralasan!

Contoh-contoh di atas adalah momen yang sangat lugu dan saya sukai. Saya jadi teringat bahwa bertahun-tahun silam, saya pun pastilah sepolos ini. Namun berkelana melihat dunia adalah suatu hal yang membuka wawasan. Hendra berkata bahwa dia belajar banyak dari kunjungan singkat ini, tapi dia mungkin tidak tahu bahwa saya pun belajar dari apa yang kita lalui bersama. Apa yang kita alami selalu membuat kita berpikir kembali...

Saturday, April 20, 2024

When Worlds Collide

I used the term when worlds collide when I wrote about how the China Trip began. At that time, I was describing how my colleague Lawrence ended up joining the trip with my high school friends. Two different worlds, colleagues and friends, came together. Then the visit to Leshan Giant Buddha took place, causing the phrase to linger, begging to be told

As far as I'm concerned, events such as this only happened once before: when I crossed Abbey Road. For the untrained eyes, it was an action as simple as crossing the zebra-crossing. To me, a powerful emotion was unleashed the moment I stepped on it. The solidified past was smashed into smithereens by a dream came true. 

In order to understand what I meant with the last sentence above, let's go back to my humble beginning. I was a small town boy from Pontianak who went through a very traditional Chinese upbringing. Throughout my formative years, the advices given were typical, ie. study hard, save money, get married, etc. I don't recall hearing much encouragement that a dream could actually happen. 

That led me to believe that certain things I saw and read were meant to be where they were: unreachable. Oh yes, they were from a different world and I was just this boy from Pontianak, no matter where I was. And as time moved forward, such belief was engrained in my brain as the only truth that I had accepted and would have brought it to my grave obediently. It had become a solidified past. 

And it would have stayed that way until it suddenly dawned on me that I probably could watch Paul McCartney in Tokyo. Could I? Perhaps I could, right? Why not? One year later, I was in London, crossing Abbey Road. It was a revelation. To quote John Lennon, nobody told me there'd be days like these! 

That was back in 2016. I almost forgot how it felt. Until that day, when I stood in front of the Giant Buddha. Unlike Abbey Road, I didn't really look forward to it. I just went with the flow. I mean, since we were already in Chengdu, we might as well visit the Giant Buddha in Leshan. Little did I know that it'd still hit me hard.

I don't know what it meant to be there for others, but it was an emotional moment for me. As I stared at the Buddha, I remembered that boy who sat on the stairs while watching Wind and Cloud in the cramped living/dining room of the house rented by his parents in Pontianak. I remember him loving the series so much, but never in his life he ever thought that he'd be there one day. 

As I stood there 22 years later, the fighting scenes at the Giant Buddha of Leshan vaguely replayed in my head. What I saw long ago was now sitting right in front of my eyes. The worlds collided, bringing another chapter to a close with an end I never knew I needed. 

We weren't taught to dream. As a Chinese kid from the 80s, we were taught to be realistic. But it was a teaching I could never really conformed to. As I left the towering Buddha, I was reminded again that the past only solidified when you allowed it. But when you dreamt and pursued it, worlds might collide and there could be a little nice surprise waiting for you in the future...






Ketika Dua Dunia Bertemu

Saya pertama kali menggunakan istilah dua dunia bertemu ketika menulis tentang asal mula liburan ke Cina. Pada saat itu, saya menggambarkan tentang keikutsertaan kolega saya Lawrence dalam liburan bersama teman-teman SMA. Setelah itu kunjungan ke Leshan terjadi dan frase tersebut senantiasa terngiang-ngiang, meminta untuk diceritakan kembali. 

Bagi saya pribadi, pengalaman seperti ini hanya pernah terjadi sekali sebelum ini: saat saya menyeberangi Abbey Road. Bagi orang lain, apa yang saya lakukan ini hanya menyeberang jalan. Namun apa yang saya rasakan pada saat itu adalah gejolak emosi yang luar biasa begitu saya menjejakkan kaki di marka jalan bergaris-garis putih itu. Masa lalu yang seharusnya sudah terkubur dan tersimpan sebagai fosil itu bagaikan hancur dihempas oleh sebuah impian yang menjadi kenyataan. 

Untuk memahami apa yang saya maksudkan dengan kalimat terakhir di atas, mari kembali ke asal mula saya yang sederhana. Saya hanyalah seseorang yang berasal dari Pontianak dan tumbuh di tengah budaya Tionghoa yang kental. Dari kecil hingga remaja, nasehatnya selalu standar: sekolah yang baik, harus rajin menabung, menikah dan seterusnya. Rasanya hampir tidak ada wejangan yang memberitahukan saya bahwa impian itu penting dan bisa diwujudkan. 

Lambat-laun apa yang saya dengarkan itu membuat saya percaya bahwa apa yang saya lihat dan baca itu akan senantiasa berada di posisi tidak terjangkau. Oh ya, jadi semua itu ada di dunianya sendiri sementara saya hanyalah seorang bocah dari Pontianak, tidak peduli berapa umur saya ataupun di mana saya berada. Dan ketika waktu bergerak maju, kepercayaan itu tertanam di bawah sadar sebagai satu-satunya kebenaran yang hakiki dan akan saya bawa ke liang lahat. Saya percaya sepenuhnya tanpa bantahan. 

Dan demikianlah hidup saya, sampai suatu ketika saya melihat poster konser Paul di internet dan mulai membayangkan bahwa saya mungkin bisa menonton Paul McCartney di Tokyo. Bisakah saya? Sepertinya bisa, ya? Kenapa tidak? Dan setahun berikutnya, saya berada di London dan menyeberangi Abbey Road. Rasanya seperti menemukan sebuah kebenaran yang terungkap. Mengutip kata John Lennon, tidak ada yang pernah memberitahukan pada saya bahwa akan ada hari-hari seperti ini! 

Dan peristiwa itu terjadi di tahun 2016. Saya hampir lupa seperti apa rasanya, sampai hari itu, saat saya berdiri di depan patung Budha Raksasa. Berbeda halnya dengan Abbey Road, saya tidak memiliki perasaan menggebu-gebu untuk ke sana. Saya hanya mengikuti arus. Mumpung sudah di Chengdu, kita sekalian mengunjungi Budha Raksasa di Leshan. Jadi tidak pernah saya bayangkan bahwa dampaknya akan terasa dahsyat. 

Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman-teman lain saat berada di sana, tapi ada nuansa emosional sewaktu saya berada di sana. Tatkala saya menatap Budha, saya teringat dengan remaja kurus yang duduk di tangga menonton serial Awan dan Angin di ruang keluarga/makan yang sempit di rumah yang disewa oleh orang tuanya. Saya ingat bahwa dia suka film seri itu, tapi tak pernah terbayangkan olehnya bahwa dia akan berada di depan Budha Raksasa suatu hari kelak. 

Dan 22 tahun kemudian, selagi saya berada di sana, adegan pertarungan di Budha Raksasa bagaikan terulang lagi di benak saya. Budha Raksasa di film seri yang saya tonton dua dekade silam kini duduk di depan saya. Dua dunia bertemu, menamatkan sebuah kisah dengan akhir yang saya butuhkan tanpa saya sadari. 

Saya tidak pernah diajari untuk bermimpi. Sebagai bocah Tionghoa di tahun 80an, saya diajari untuk bersikap realistis. Tapi itu adalah sebuah ajaran yang tidak pernah benar-benar saya pegang. Saat saya beranjak meninggalkan Budha, saya diingatkan kembali bahwa masa lalu hanya akan menjadi statis bilamana anda mengijinkannya. Begitu anda mulai bermimpi dan mengejar impian tersebut, dua dunia yang berbeda itu mungkin saja bertemu dan suatu kejutan yang menyenangkan mungkin menanti anda di masa depan... 

Thursday, April 18, 2024

The China Trip: Chongqing

Steep, steps and a giant ball of mess. That's how I would describe Chongqing. Lawrence said it looked like Hong Kong the moment we came up from Linjiangmen Metro Station. After checking in to the Milky Way Hotel, we had lunch nearby then made our journey to the Great Hall of the People around Zhengjiayan Station. 

The Great Hall and the people.
Photo by Ezra.

The overground metro, which is three stations away from where we were, is situated along the Yangtze riverbank. It allowed us to have our first glimpse of Chongqing as a metropolis. Divided by the river, it's connected by big and long bridges that say size does mean something. 

Exploring Chongqing: on the way to Linjiangmen.

The Great Hall of the People is within a walking distance from Zhengjiayan Station. It's a big hall, looked impressive for the first five seconds, but it's the walking back to Linjiangmen that was quite memorable. Chongqing is indeed an architectural marvel. The terrain is mountainous, no arguments here thanks to a lot of stairs we had to climb, but yet the city is lined up with high-rise buildings. 

The many stairs of Chongqing!
Photo by Angela.

After two hours of walking, we reached Jiefangbei Pedestrian Street. Now, a bit of a note here, the so-called pedestrian streets seem to be a pattern in China. Most cities, if not all, have the pedestrian streets, ancient streets and towns, then some historical sites. Jiefangbei is no different than the famous Nanjing Road in Shanghai

Gunawan in Jiefangbei.

We split up there to browse the shops separately, but still we always bumped into each other. Captain Gunawan and others were also at the post office having coffee when I sent the postcard. Eventually we gathered again and headed to the next destination, Hongyadong. 

Minutes before going to the pier.
Photo by Surianto.

Cicilia and Taty talked about Kuixing Building that is famous for bridging 1st floor on one side and 22nd floor on the other side. That night in Hongyadong, we roughly got the idea. We came from the road as high as 10th floor and the pier we were heading to is across the street on 1st floor. So we ran down, floor by floor, squeezed through the crowd and crossed the street before we finally boarded the river cruise.

Capturing Hongyadong. 
Photo by Gunawan.

Then the city lighted up. Hongyadong now shone brightly. As the ferry moved slowly, I sat there and absorbed the illuminated night. Unlike Xi'An and Chengdu, I always felt that Chongqing didn't have any unique characteristics that defined it. Since I arrived, I harboured the thoughts that Chongqing was a city growing too fast, hence the giant ball of mess I mentioned earlier. I disliked the dirty and rundown buildings I saw. And I smirked as I stared at the festival of lights. What an illusion. 

The mala hotpot dinner.
Photo by Angela.

When the ferry docked, we passed through the sea of people to take a closer picture at Hongyadong. But the thought of going 10 floors up to go back to hotel was so daunting that I'd rather walk a bit further. After our mala hotpot dinner, we went to Huanghuayuan Metro Station. 

Searching for Huanghuayuan Metro Station.
Photo by Cicilia.

There was a problem when we reached the station. How to go up? There was no staircase. When we followed a signage on the roadside, it only led us to what seemed like a dimly lit and deserted backyard. We were quite anxious until Ezra and Andiyanto went in further and climbed up the staircase on the far end of the backyard. It was indeed a correct way to the station! Then Gunawan jokingly said that we'd be scared to death if the old lady that swept the floor suddenly came out of the dark, haha. 

The artist in Ciqikou and her creation.

We went to Ciqikou on the second day. We didn't follow the original itinerary as I somehow had doubts when in Chongqing. Ciqikou is a commercialized ancient town filled with shops that sell stuff. After we had our fair share of shopping and lunch, we crossed the river for the first time ever and visited a shopping mall called the Ring. Clean and modern, it has the vibe of Jewel minus the waterfall.

Andiyanto and Lawrence at the Ring.

The night before, we saw Raffles City, buildings with the design similar to MBS. After the Ring, we decided that we should visit the MBS wannabe. Half way there, we alighted at Liziba to see train that went viral because it passes through a 19-story residential building. Andiyanto preferred to stay at the station, citing the reason that Junction 10 in Singapore also has a similar stuff, haha. 

Cicilia and Taty with the train that went viral.

We eventually made it to Xiaoshizi which turned out to be the penultimate stop. Chaotianmen should have been the correct one as it is directly linked to Raffles City. We walked a bit and, unlike the ones in Singapore, the distance between one metro station to another is quite far. But it was worth the effort. The mall is really grand and the skybridge is quite an experience: the last bit of the floor is made of glass panels. 

At Raffles City. 

Say all you like about bravery, but you only know it better after you looked down through the glass panel and noticed the small cars passing by on the road. Your mind would play tricks on you and your knees would tremble involuntarily. I couldn't help noticing that Gunawan subconsciously walked on the side of the glass panels supported by the beams as if it would be safer, haha. 

Taking the public bus!

We were supposed to go to Liangjiang Movie City on the third day, but Lawrence said we should go to Northern Hot Springs Park instead. So off we went to the farthest destination during our stay in Chongqing. We headed to the last metro station called Beibei and continued with the bus to reach Bolian Spa. Surianto skipped and preferred to walk around the mountain while the rest of us busy trying out the hot water pools. It was so relaxing that we eventually took a nap. 

Before napping.
Photo by Cicilia.

The last few hours were then spent in Guanyinqiao, a pedestrian street similar to Jiefangbei. We ate our lunch/dinner, shopped and, believe it or not, Gunawan and I actually lost our way back. We had to rely on Amap to find our way and to this day, we still can't figure out why we needed to cross the bridge to return when we didn't do that in the first place. 

In Guanyinqiao with Gunawan.

That night at the hotel, we talked. Just the three of us. Gunawan, Surianto and I. Old friends. We talked about anything that came to mind. About how poor we were. About the unrequited love we had. About the crazy times and laughter we had. About the holiday that was going to end soon. About what the future would bring. It was easily one of the highlights of the trip. 

At Jiangbei Airport with Andiyanto.

Then three hours laters, we were already on our way to the airport, but who knows there would still be some dramas? There was a tiny red stamp on Gunawan's boarding pass that eventually sent us running back to the check-in counter. To think that we already stamped our passports! Due to this, we had to surrender them and it was as good as entering China without any valid travel documents! 

Surianto, moments after his power bank was confiscated.

It turned out that the problem was the power bank in Gunawan's luggage. Gunawan took and kept it in his bag and we were good to go immediately. But as we walked towards the boarding gate, we saw Surianto at the security counter. Apparently he, too, had a problem with his power bank. As he couldn't show the capacity, it got confiscated. But things ended well. The security officer managed to find the info on the power bank and returned it to him. We eventually left China with good memories intact...

Back to Changi again!



Liburan ke Cina: Chongqing 

Jalan menanjak, banyak tangga dan kota raksasa yang kumuh. Ini kesan saya tentang Chongqing. Lawrence berkomentar bahwa kota ini mirip Hong Kong begitu kita keluar dari Stasiun Metro Linjiangmen. Setelah kita menaruh barang di Milky Way Hotel, kita makan di dekat hotel dan lanjut ke Great Hall of the People di Stasiun Zhengjiayan. 

The Great Hall dan para pengunjungnya.
Foto oleh Ezra.

Metro di atas permukaan tanah yang hendak kita tuju ini berjarak tiga stasiun jauhnya dari tempat kita berada. Relnya menjulang tinggi di tepi sungai Yangtze. Di dalam kereta, kita melihat Chongqing sebagai kota besar untuk pertama kalinya. Terlihat banyak jembatan besar dan panjang yang menghubungkan bagian kota yang terpisahkan oleh aliran sungai. 

Menjelajahi Chongqing: menuju ke Linjiangmen.

Great Hall of the People tidak jauh jaraknya dari Stasiun Zhengjiayan. Gedung ini terlihat megah dari kejauhan, tapi kita tidak lama di sana. Justru perjalanan pulang ke Linjiangmen yang lebih berkesan. Pembangunan di Chongqing memang dahsyat. Meski kotanya terletak di kawasan pegunungan yang naik-turun jalannya, Chongqing dipadati dengan gedung-gedung tinggi. 

Banyaknya tangga Chongqing!
Foto oleh Angela.

Setelah berjalan dua jam lamanya, kita tiba di Jiefangbei. Menarik untuk dicatat, setelah kita amati, yang namanya kawasan pejalan kaki ini memang termasuk pola pembangunan di Cina. Hampir setiap kota memiliki kawasan pejalan kaki, kota kuno dan situs bersejarah. Jiefangbei ini mirip dengan Jalan Nanjing di Shanghai

Gunawan di Jiefangbei.

Kita berpisah di sini untuk menjelajahi Jiefangbei sesuka hati, tapi selalu bertemu satu sama lain. Kapten Gunawan dan teman-teman juga minum kopi di kantor pos ketika saya mengirim kartu pos. Akhirnya kita berkumpul lagi dan menuju destinasi berikutnya, Hongyadong. 

Beberapa saat sebelum ke dermaga.
Foto oleh Surianto.

Cicilia dan Taty sempat berbicara tentang Gedung Kuixing yang terkenalkan karena menghubungkan lantai 1 dan lantai 22 di dua sisinya. Malam itu di Hongyadong, kita berkesempatan untuk mengalami langsung. Titik awal kita ternyata jalan di ketinggian setara dengan lantai 10 dan dermaga yang hendak kita tuju berada nun jauh di sana, di seberang jalan di lantai 1. Jadi kita pun berlari ke bawah, lantai demi lantai, berdesakan di tengah keramaian, menyeberang jalan dan akhirnya masuk ke kapal. 

Berfoto dengan latar belakang Hongyadong. 
Foto oleh Gunawan.

Dan kemudian kota Chongqing menyala. Kini Hongyadong bersinar terang. Feri bergerak pelan dan saya pun duduk menikmati malam yang bermandikan cahaya. Berbeda dengan Xi'An dan Chengdu, saya selalu merasa bahwa Chongqing tidak memiliki karakter membuatnya unik. Ada pemikiran bahwa Chongqing ini kota yang berkembang terlalu cepat sehingga terlihat maju tapi kumuh. Saya jadi tersenyum saat menatap atraksi lampu-lampu terang di gedung. Memang pakar ilusi. 

Makan malam mala.
Foto oleh Angela.

Sewaktu feri berlabuh, kita melewati lautan manusia untuk berfoto di dekat Hongyadong. Namun upaya menaiki 10 lantai terngiang-ngiang di benak saya. Rasanya lebih baik kalau berjalan sedikit lebih jauh daripada naik ke atas lagi. Kita menemukan tempat sup mala dan bersantap di sana, lantas lanjut ke Stasiun Huanghuayuan. 

Mencari Stasiun Huanghuayuan.
Foto oleh Cicilia.

Ada satu masalah ketika kita tiba di stasiun. Bagaimana cara naik ke atas? Tak ada tangga sejauh mata memandang. Kita ikuti tanda di dinding, tapi sepertinya nyasar ke halaman belakang yang gelap dan tak terurus. Kita jadi ragu, namun untunglah Ezra dan Andiyanto menjajaki lebih lanjut dan menaiki tangga di kejauhan. Ternyata benar ini jalan ke stasiun! Gunawan lalu bergurau, jikalau nenek yang menyapu jalan ini tiba-tiba muncul dari kegelapan, pasti semua lari terbirit-birit, haha. 

Pelukis di Ciqikou dan hasil kreasinya.

Keesokan harinya, kita pergi ke Ciqikou. Kita tidak mengikuti rute yang telah saya bikin karena saya jadi merasa tidak pasti dengan rekomendasi atraksi kota Chongqing. Saat tiba di sana, Ciqikou ternyata sebuah kota kuno bernuansa komersil dan dipenuhi banyak toko yang menjual aneka macam barang dan makanan. Setelah berbelanja dan makan, kira menyeberangi sungai untuk pertama kalinya dan mengunjungi mal bernama Ring. Bersih dan modern, dekorasinya mengingatkan saya pada Jewel tanpa air terjun ikoniknya. 

Andiyanto dan Lawrence di Ring.

Di malam sebelumnya, kita melihat Raffles City dari kapal feri. Gedung ini sama disainnya dengan MBS. Dari Ring, kita pun bertolak ke MBS jadi-jadian. Di tengah jalan, kita turun sebentar di Liziba untuk melihat kereta yang viral karena menembus gedung. Andiyanto memilih untuk menunggu di stasiun. Kalau cuma kereta menembus gedung, dia sudah sering lihat di Junction 10 Singapura, haha. 

Cicilia dan Taty di Liziba.

Kita akhirnya tiba di Xiaoshizi yang ternyata merupakan stasiun kedua terakhir. Pemberhentian berikutnya adalah Chaotianmen yang terhubung langsung ke Raffles City. Berbeda dengan di Singapura, perlu diketahui bahwa jarak dari satu stasiun ke stasiun metro berikutnya cukup jauh di Cina. Akan tetapi jerih-payah kita tidak sia-sia. Mal ini memang bagus dan jembatan langitnya sungguh sebuah pengalaman yang menarik: lantai di ujung jembatan terbuat dari kaca yang tembus pandang ke bawah.  

Di Raffles City. 

Bicara tentang keberanian, nyali baru teruji setelah kita menatap mobil-mobil mungil yang berlalu-lalang di jalan di bawah sana. Pikiran anda langsung mengirimkan sinyal bahaya dan lutut pun mendadak lemas. Saya perhatikan bahwa Gunawan selalu berjalan menapak di sisi lantai yang ditopang oleh rusuk-rusuk baja. Pasti sugesti bawah sadar yang membuatnya merasa bahwa caranya ini lebih menjamin keselamatan, haha. 

Naik bis umum di Beibei!

Di hari ketiga, kita seharusnya mengunjungi Kota Film Liangjiang, namun Lawrence ingin ke pemandian air panas Northern Hot Springs Park. Oleh karena itu, kita mengunjungi tempat terjauh selama berada di Chongqing. Dari hotel, kita ganti kereta hingga tiba di stasiun terakhir yang bernama Beibei, kemudian lanjut lagi dengan bis hingga tiba di Bolian Spa. Surianto menolak untuk masuk dan memilih untuk berjalan di sekitar gunung sementara kita berendam di berbagai macam kolam air panas. Suasananya santai, sampai-sampai kita ketiduran. 

Sebelum ketiduran.
Foto oleh Cicilia.

Beberapa jam terakhir pun dihabiskan di Guanyinqiao, kawasan pejalan kaki yang mirip dengan Jiefangbei. Kita makan siang/malam, berbelanja dan, percaya atau tidak, Gunawan dan saya tersesat! Akhirnya saya gunakan Amap untuk menemukan jalan kembali ke stasiun. Sampai hari ini, kita masih tidak mengerti kenapa perlu menyeberang jembatan untuk pulang,  padahal awalnya sama sekali tidak lewat jembatan. 

Di Guanyinqiao bersama Gunawan.

Di malam itu kita berbincang di kamar hotel. Hanya kita bertiga. Gunawan, Surianto dan saya. Teman lama. Kita berbicara tentang betapa miskinnya kita dulu. Tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tentang masa lalu yang membuat kita terpingkal. Tentang liburan yang akan segera berakhir. Tentang apa yang kelak akan terjadi di masa depan. Ini adalah satu pengalaman yang paling mengesankan selama liburan. 

Di Bandara Jiangbei bersama Andiyanto.

Tiga jam kemudian, kita sudah meluncur ke bandara. Tapi siapa sangka masih saja akan terjadi drama? Ada cap merah di boarding pass Gunawan yang ternyata berarti kita harus memeriksa bagasinya. Akhirnya kita berlari kembali ke loket check-in, padahal kita sudah cap paspor! Petugas mengambil paspor kita dan ini sama saja dengan masuk lagi ke Cina tanpa dokumen perjalanan yang sah! 

Surianto, beberapa saat setelah power bank disita.

Ternyata ada power bank di koper Gunawan. Setelah diambil, kita pun diperbolehkan pergi dan kopernya dimasukkan ke bagasi lagi. Namun perkara power bank tidak berhenti sampai di situ. Saat kita berjalan ke ruang tunggu, ternyata Surianto juga ditahan oleh petugas keamanan. Dia tidak tahu kapasitas power bank-nya dan akhirnya kena sita. Namun semuanya berakhir dengan baik. Petugas keamanan berhasil menemukan info kapasitas yang tertera di perangkat dan akhirnya mengembalikan hak milik Surianto. Pesawat pun terbang dan kita meninggalkan Cina dengan kenangan yang baik... 

Kembali ke Changi lagi!