Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Food. Show all posts
Showing posts with label Food. Show all posts

Saturday, March 12, 2022

Say Cheese

Pontianak in the 80s was a town where you probably knew quite a fair bit of fancy things that existed then, but you simply couldn't get them there. While I couldn't speak for others, this could be the reason why I appreciated many little things in life. One of them, believe it or not, was cheese.

When I was a kid, sliced breads were typically served with Blue Band (I actually didn't know it was called margarine) and white sugar. Cheese, on the other hand, was a luxury that only came into my life much later on. Oh yes, a luxury. It was a different time then. There was even a song called Singkong Dan Keju, which literally meant Cassava And Cheese. It was about how cheese was so foreign as the singer was only a cassava-eating man. 

I remember that the cheesy Pizza Hut was often a popular gift people brought from Jakarta back then. While my parents and older generation disliked cheese (and therefore pizza), I kind of liked it. I mean, if Ninja Turtles ate it, too, it must be cool and fancy. It just couldn't go wrong for kids my age.

For the longest time, I knew only Kraft Singles that fitted nicely in slice breads. I remember my friend Angelia talking about other types of cheese back in high school (she was the cultured one among us at that time, hence the knowledge), but the cheese she talked about was either unavailable in Pontianak or too expensive for me to buy. 

Gouda.

Fast forward to many years later, I watched Marshall from How I Met Your Mother offering gouda to every guest in his house. The funny sounding name stuck in my mind. Even more encouraging was this cheese section at the FairPrice Finest, the supermarket not very far from Endrico's house. The cheese section always attracted my attention. I often stopped there to browse when I visited the supermarket, but never quite knew what to choose. 

Then came a day when my friend STV brought us to enjoy dinner and wine. He surely knew the good stuff! For the first time ever, I tasted varieties of cheese accompanied with red wine. It was brilliant! All this while I only ate cheese as part of something else, let's say a burger ingredient. Trying cheese as something we ordered from the menu was a great experience!

Looking back, Angelia was right. I just didn't understand it then. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... whatever the type of the cheese was, they were delicious. Some cheese had acquired taste or stinky smell, but once you went past that, it was actually a delight. It was not cheap, but definitely worth the money...

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.



Tentang Keju

Pontianak di tahun 80an adalah kota kecil di mana anda mungkin tahu beberapa hal asing yang menarik, tapi susah didapatkan di sana. Saya tidak bisa berbicara mewakili yang lain, tapi mungkin itu alasannya kenapa saya jadi menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Salah satunya, percaya atau tidak, adalah kenangan tentang keju.

Ketika saya masih bocah, roti tawar biasanya disajikan dengan Blue Band (saya bahkan tidak sadar bahwa nama sebenarnya itu margarin) dan gula pasir. Saat itu keju merupakan sesuatu yang baru, mewah dan tidak begitu dikenal. Oh ya, mewah. Bahkan sampai ada lagunya yang berjudul Singkong Dan Keju, di mana penyanyinya bercerita tentang sang gadis yang menyukai keju sedangkan dirinya hanyalah anak singkong. 

Saya ingat bahwa Pizza Hut merupakan oleh-oleh yang populer dari Jakarta pada saat itu. Orang tua saya dan generasi yang lebih tua tidak menyukai keju (dan juga pizza), tapi saya cukup menyukainya. Kalau Kura-kura Ninja suka, maka rasanya sudah benar. Pasti cocok untuk mereka yang seusia dengan saya.

Dari kecil hingga dewasa, saya hanya tahu keju Kraft Singles yang pas ukurannya di roti tawar. Saya ingat bahwa di masa SMA, teman saya Angelia pernah bercerita tentang aneka keju (di antara teman-teman dekat, dia tergolong berbudaya sehingga mengerti tentang hal ini), tapi apa yang dia ceritakan tidak ada di Pontianak atau tidak terjangkau harganya oleh saya.

Gouda.

Bertahun-tahun kemudian, saya menonton Marshall menawarkan gouda ke tamu-tamu dalam salah satu episode How I Met Your Mother. Nama yang unik ini membekas di ingatan saya. Yang lebih menggoda lagi sekarang adalah satu etalase khusus keju di FairPrice Finest, supermarket di dekat rumah Endrico.  Saya seringkali berhenti sejenak untuk melihat berbagai jenis keju, namun tidak pernah tahu pasti yang mana yang harus saya beli. 

Kemudian tiba hari di mana teman saya STV mengajak makan malam dan minum wine. Dia paham makanan barat yang enak! Untuk pertama kalinya, saya mencicipi tiga macam keju yang dinikmati bersama minuman anggur merah. Lezat rasanya! Selama ini saya hanya menyantap keju sebagai bagian dari makanan lain, misalnya burger. Mencoba keju sebagai makanan tersendiri dari bagian santap malam adalah pengalaman yang sedap dan berkesan. 

Kalau saya lihat kembali, cerita Angelia benar adanya. Hanya saja waktu itu saya tidak mengerti. Parmesan, mozzarella, cheddar, gouda, blue cheese... apa pun tipe kejunya, memiliki kenikmatan tersendiri. Ada keju yang agak aneh rasanya atau bau aromanya, tapi sebenarnya enak kalau sudah terbiasa. Keju tidak murah, tapi kelezatannya sebanding dengan harga yang dibayar. Mari dicoba!

STV (left) and the night we had the wine pairing dinner.

Sunday, July 25, 2021

The Fusion

We had been living in a strange time. It was very fragile and uncertain. After a month of lockdown, we finally had a dine-in option again. But little did we know it'd only last for few days. Just when we thought the situation had gotten better, we went straight back to take-out again. 

Dinner time!

The last day before that happened, my wife asked me out for dinner, just the two of us. I thought it was a date night, but she quickly briefed me that it was an undercover mission for her online school project, haha. She said we were going to an Italian, Japanese meat-free fusion restaurant called Sufood. Bizarre, eh? But I reckon a restaurant related to Putien should have some standard, so I was game. 

So off we went. The restaurant was at Raffles City Mall. The ambience was alright and, at about SGD 30, the price was reasonable for a six-course meal. I think it was counted as six because of the inclusion of handmade rosemary breadsticks, but the first one on the platter was the Wholesome Trio. The appetizer consisted of matcha soba, plum tomato and sesame tofu. Nice presentation, but rather forgettable. 

The appetizers.

Next one was a big bowl of Caesar Salad. This was quite common and could be found elsewhere as well, but it was good and I kind of liked it. Same couldn't be said for the Cream of Pumpkin Soup, though. There was a bitter aftertaste for each spoonful that I gulped down, so after few tries, I simply put it aside.

The main course was Pan-Fried Tofu with Toona Rice. The name somehow reminded me of tuna fish, but it was vegetarian! After googling it, apparently toona was some leaves used for cooking, hehe. This was nice, but the portion was suitable only as part of six-course meal. Otherwise it's be too small. 

Main course.

The dinner was eventually concluded with Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. The sweetener, probably made of palm sugar, was not enough and I ended up eating a rather bland dessert. Needless to say, it didn't end on a high note! Still it was quite an experience. I mean, Japanese Italian vegetarian! That's a lot to be fused! But seriously, between Putien and this, I reckon the former is a better choice.

The dessert.


Restoran Fusion

Sekarang ini kita hidup di masa yang aneh. Rasanya begitu rentan dan penuh ketidakpastian. Setelah lockdown kurang-lebih sebulan lamanya, akhirnya kita memiliki kesempatan untuk makan di luar lagi. Tapi siapa sangka kebebasan ini hanya bertahan beberapa hari? Ketika kita berpikir bahwa situasi telah membaik, tiba-tiba kasus COVID-19 melonjak naik dan tempat-tempat makan pun dilarang menerima tamu lagi.

Di hari terakhir sebelum peraturan ini berlaku, istri saya mengajak saya makan malam berdua. Saya pikir boleh juga idenya, tapi kemudian dijelaskan oleh istri saya bahwa ini adalah dalam rangka tugas sekolah, haha. Dia berkata bahwa kita akan mencicipi menu fusion Itali-Jepang-vegetarian di restoran bernama Sufood. Kombinasi yang mencengangkan, bukan? Namun saya lantas berpikir bahwa restoran yang sama bosnya dengan Putien pastilah memiliki standar. 

Dinner time!

Jadi kita pun bertemu di Raffles City Mall dan pergi bersama. Suasana restorannya cukup enak dan harga SGD 30an untuk satu set dengan enam macam menu cukup rasional. Yang pertama dihidangkan adalah roti panjang tipis yang disebut handmade rosemary breadsticks dalam Bahasa Inggris, lalu disusul dengan hidangan pembuka bernama Wholesome Trio yang terdiri dari mie soba teh hijau, tomat mungil dan tahu wijen. Menarik penyajiannya, tapi biasa rasanya. 

Yang datang berikutnya adalah Caesar Salad. Menu ini sebenarnya biasa dan bisa ditemukan di tempat lain juga, tapi rasanya sedap dan saya suka. Beda ceritanya dengan Cream of Pumpkin Soup. Ada rasa pahit setelah sup ditelan, jadi setelah beberapa sendok, saya pun pinggirkan sup labu ini.

The appetizers.

Menu utamanya adalah Pan-Fried Tofu with Toona Rice. Namanya terdengar seperti ikan tuna, tapi harusnya ini menu vegetarian. Saya lantas cari di Google. Ternyata toona itu nama daun yang digunakan untuk masakan, hehe. Saya cukup menikmatinya, tapi porsinya hanya cocok sebagai bagian dari set dengan enam macam menu. Kalau hanya dipesan terpisah, kekecilan porsinya. 

Main course.

Santap malam pun berakhir dengan disajikannya Snow "Bird Nest" (Xue Yan) Beancurd. Pemanisnya yang mungkin terbuat dari gula kelapa tidaklah cukup sehingga hidangan pencuci mulut ini terasa tawar. Secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu memuaskan. Akan tetapi ini tetap merupakan satu pengalaman unik. Maksud saya, tidak setiap hari kita bisa mencoba masakan Itali-Jepang-vegetarian. Namun kalau harus memilih antara Putien dan Sufood, saya rasa Putien adalah pilihan yang lebih logis.

The dessert.

Sunday, April 11, 2021

The Food That Made Us

This story began with this picture. So eye-catching, so much goodness beautifully arranged in one plate. Many of you might not recognize this, but a brief look at it immediately brought me back to the time when this was one of the most delicious dishes ever in Pontianak. We called it curry rice. 

 The curry rice. I just had to like the picture!

Back in the days, when life was simpler, the options were either this or chicken rice. I was, and still am, a fan of the latter, but as I grew older, I started to appreciate curry rice, too. But what mattered most from the picture was the fact that it reminded me of the food that made us. The original street food vendors gotta be very old now and I wouldn't be surprised if some were no longer around. But lucky for us, some of their delicious legacies lived on.

Sunarto preparing the noodles. 

First and foremost was Bakmi Hong Tian. Throughout my life in Pontianak, I actually never knew the name, haha. But I ate there almost on daily basis during my secondary school. I ordered everything they had, from kway teow, noodles, wanton, mee pok, bee hoon to silver needle noodles. I tried all the cooking styles, from fried, dry to soup. The food was great and so was the moment when Parno spilled the whole bottle of chilli on his fried kway teow, haha.

A bowl of bakmi Hong Tian.

I never thought I'd have a chance to eat Bakmi Hong Tian again until my friend Iwan told me that Sunarto continued his mother's business in Jakarta. That's when I made a vow that I would find him and order one bowl of noodles. I did exactly that in December 20, 2019. The noodles tasted just like the good old days, perhaps partly due to a secret ingredient called nostalgia.

It's known as mixed rice elsewhere, but we called it chicken rice in Pontianak.

Next, we had Nasi Campur Alu, now inherited by my friend CP and her husband. Alu, Asan and Akwang were big names 30 years ago. They were like the Romance of Three Kingdoms in Pontianak, conquering their territory with their own unique style of chicken rice. Alu's stall was the nearest to my house, so I grew up with the fair share of Nasi Campur Alu.

With CP  (standing) and her husband Ali (in white shirt).

I first rediscovered Nasi Campur Alu in 2016. It was my friend Endrico who brought me there when we had lunch in Jakarta. It was brilliant. The portion was just nice for you to appreciate its greatness. You know how sometimes you had a certain expectation for something? In the steady hand of Ali, the son of Alu, the next generation of Nasi Campur Alu tasted just like how I remembered it. Since then, I always ate there whenever I had a chance.

When we visited Hendry (in white shirt) at Bakmi Alit. 

Then there was Hendry who posted the picture of curry rice. If I remember correctly, Hendry's parents sold kwe kia theng, Pontianak's equivalent of Singapore's kway chap. But the owner of Bakmi Alit (I guess Alit came from his nickname Gullit) is capable of not only cooking his parents' signature dish, but also many other mouth-watering cuisines from Pontianak such as nasi campur and roasted pork. 

A bowl of authenticity.

The man was not only talented, but also forward-thinking. I admired how he actively participated in food events. The pictures of his food on social media looked tempting and professional. In the time of corona, he also embraced things like vacuum packing and online delivery. He even tried out Shopee and international shipping to Singapore! It was commendable, alright, but all this might not be so important if we didn't know how good his food was like. The verdict: it tasted authentically Pontianak. So good that it was worthy of the hashtag #goodthingsmustshare.

Kway teow and salted egg fish balls soup.

The last one was Hardy of Bakso Ikan Telur Asin Ahan. To be frank, I never tried this when I lived in Pontianak, but I remember seeing the stall behind Pasar Mawar. In 2017, I went to his stall and had a bowl. It felt right. There was something Pontianak about it. 

Enjoying salted egg fish balls. 

Hardy's favourite song was November Rain. The singer, Axl Rose belted out the lyrics, "nothing lasts forever, even cold November rain." He was right and that made this all the more important. The food heroes from our childhood might have long gone. In the world where there seemed to be more interesting things to do, these few friends of mine chose to continue the legacies that we all knew and loved. I'm really proud of them, the unsung heroes of our generation. Keep it up, guys! And keep the good food coming!

With Hardy of Bakso Ikan Telur Asin Ahan.




Makanan Favorit Kita

Kisah kali ini dimulai dari gambar di bawah ini. Begitu menarik perhatian, bukti nyata bahwa kelezatan bisa tertata indah di piring. Mungkin banyak dari anda yang tidak mengenali makanan ini, tapi saya langsung terbawa ke masa silam dalam selintas pandang. Suatu kala di masa lalu, ini adalah salah satu makanan paling enak di Pontianak. Sebutannya adalah nasi kari.

Begitu menggoda. Saya langsung kasih like!

Ya, pada zaman dulu, ketika hidup masih sederhana, pilihan yang tersedia untuk kategori ini adalah nasi kari dan nasi ayam. Saya adalah penggemar nasi ayam dari sejak kecil, namun seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai menyukai nasi kari juga. Akan tetapi yang penting dari foto ini adalah peranannya dalam mengingatkan saya kembali tentang makanan yang sering saya santap dulu. Para penjaja makanan ini pastilah sudah berumur atau bahkan meninggal, tapi kita beruntung karena hasil karya mereka tidaklah punah. 

Sunarto sedang memasak mie untuk saya.

Yang pertama adalah Bakmi Hong Tian. Sepanjang hidup saya di Pontianak, saya tidak pernah tahu namanya, haha. Kendati begitu, saya menyantap makanan di kedai ini hampir setiap hari sepanjang masa SMP. Saya mencoba semua yang mereka jual, mulai dari kwetiau, mie, pangsit, miepok, bihun dan locupan. Saya jajal pula semua cara masaknya, mulai dari goreng, kuah dan kering. Sungguh berkesan masakannya. Satu kenangan tak terlupakan di sana adalah saat Parno menumpahkan sebotol cabe di atas makanan yang ia pesan, haha. 

Satu mangkok yang menggugah selera. 

Tidak pernah terpikirkan oleh saya bahwa saya akan memiliki kesempatan untuk menikmati Bakmi Hong Tian lagi. Adalah teman saya Iwan yang mengabarkan bahwa Sunarto melanjutkan usaha ibunya di Jakarta. Saya lantas berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya akan mencari Sunarto demi semangkok bakmi Hong Tian. Ikrar ini saya penuhi pada tanggal 20 Desember 2019. Mienya terasa persis seperti buatan ibunya, mungkin karena pengaruh bumbu khusus bernama nostalgia. 

Di luar namanya nasi campur, tapi di Pontianak disebut  nasi ayam.

Berikutnya adalah Nasi Campur Alu yang kini dikelola oleh teman saya CP dan suaminya. Perlu saya jelaskan bahwa Alu, Asan dan Akwang adalah nama besar sejak 30 tahun lampau. Mereka bagaikan Sam Kok, masing-masing menguasai daerah tersendiri dengan nasi ayamnya yang khas. Tempat jualan Alu dekat dengan rumah saya, jadi saya tumbuh dan berkembang dengan Nasi Campur Alu dalam menu sehari-hari saya.

Bersama CP dan suaminya, Ali.

Saya menemukan kembali Nasi Campur Alu di tahun 2016. Teman saya Endrico membawa saya ke sana sewaktu kita makan siang di Jakarta. Rasanya dashyat. Porsinya pas sehingga anda tidak terlalu kenyang untuk mengapresiasi kelezatannya. Berkat kemahiran Ali, putra Alu, generasi kedua Nasi Campur Alu ini seenak apa yang saya ingat. Semenjak itu, saya selalu mampir bilamana ada kesempatan. 

Bersama Hendry (kaos putih) saat kita mampir ke Bakmi Alit. 

Kemudian ada pula Hendry, seorang teman yang mengunggah foto nasi kari di atas. Jikalau ingatan saya tidak keliru, orang tua Hendry menjual kwe kia theng di Pontianak. Meksipun demikian, pemilik Bakmi Alit (saya rasa Alit berasal dari panggilannya di masa SMP: Gullit) tidak hanya bisa memasak resep warisan orang tuanya, tetapi juga makanan lain yang khas Pontianak seperti nasi campur. Babi panggangnya juga cukup dikenal langganan. 

Bakmi Kepiting.

Pria ini bukan hanya berbakat, tapi juga berpandangan maju. Saya kagum dengan upayanya yang senantiasa mengambil bagian dalam berbagai acara makanan di Jakarta. Foto-foto makanannya di media sosial juga terlihat menggiurkan dan profesional. Di musim pandemik, dia mencoba inisiatif baru seperti paket mie yang telah divakum dan juga jasa antar online. Dia bahkan mempelajari potensi Shopee dan pengiriman internasional ke Singapura! Semua jerih-payahnya patut dipuji, tapi semua ini tidak banyak artinya jika kita tidak seperti apa rasa makanannya. Menurut saya, rasanya seperti masakan otentik dari Pontianak. Begitu enak sehingga wajib dibagikan dengan tagar #goodthingsmustshare.

Kelezatan yang berpadu menjadi satu!

Yang terakhir adalah Hardy yang membuka cabang Bakso Ikan Telur Asin Ahan. Saya tidak pernah mencoba menu yang satu ini sewaktu tinggal di Pontianak, tapi saya pernah melihat kedainya di belakang Pasar Mawar. Di tahun 2017, saya singgah ke tempat Hardy dan mencicipi dagangannya. Sungguh ada cita rasa khas Pontianak di dalam makanan yang ia sajikan. 

Menikmati bakso ikan telur asin.

Lagu favorit Hardy adalah November Rain. Sang penyanyi, Axl Rose, membawakan lirik berikut ini, "nothing lasts forever, even cold November rain." Apa disampaikannya sungguh benar. Mereka yang menjual makanan di masa kecil kita ini mungkin telah mengundurkan diri. Di dunia dimana sepertinya ada banyak hal yang lebih menarik untuk dikerjakan, beberapa teman saya ini melanjutkan adikarya yang kita kenal baik dan cintai. Saya bangga dengan mereka dan suka pula dengan masakan mereka. Tetaplah berkarya, teman-teman. Jangan berhenti menyajikan yang terbaik dari Pontianak.

Bersama Hardy, rocker yang mengelola bakso ikan telur asin Ahan.


Sunday, January 17, 2021

The Food Tourism

A few years ago, I did mention that Singapore has a lot of good food. The local delights such as mui fan or chicken rice are delicious and affordable. Then, if you felt like trying something different and foreign, you could go for Thai food, Japanese or even exotic cuisines from Middle East and Europe. 

In normal circumstances, you'd go for your favourite restaurant to have some food your were craving for every once in a while. However, last year had been anything but normal. Many of us, I believe, went through the lockdown for the first time ever. What were normally taken for granted turned out to be privileges that had to be stripped off. With not much left to do, anything that was remotely entertaining suddenly seemed to be worth trying!

From left: Winter Soldier and God. 

Thus began our story at a Lebanese restaurant called Urban Bites. In late August, I had lunch with two friends of mine. One looked like Winter Soldier, the other was nicknamed God. Both, as you might have guess, were such colourful characters. As we enjoyed hummus, flatbreads and kebab, it dawned on us that trying out foreign menus on regular basis sounded like a brilliant idea. Since we couldn't travel at all, the least we could do was to have food from other countries.

Indonesian food with Franky and Winter Soldier.

And we did exactly that for the next five months. We made it a mission to have meals that weren't from Singapore. We went to IndoChili for Indonesian food. Of all the menus that we ordered, tempe orek was the only one that I could remember, but not for a good reason. I mean, this was a roadside food, easily the cheapest one in Indonesia, but priced here in SGD. Felt like sucker for having this, haha. 

French cuisines. The one on the right is Poulet Rotisserie.

A week later, Winter Soldier and I thought we should go for Filipino food at Leslie's, not very far from Bugis, but little did we know that the place had closed down. We walked around and eventually decided that we should go French cuisines at Saveur. We had something called Poulet Rotisserie. It was like eating chicken from chicken rice, but this one came with a French name and therefore had a much higher price tag.

Left: lechon. Right: Directornado and God, after we exited Gerry's Grill.

After that, God and I explored Burmese and Filipino food at Inle Myanmar Restaurant and Gerry's Grill, respectively. I had always love Burmese food, especially the crispy eels, since I first tried it with my ex-housemates many, many years ago. As for Filipino food, of course we had to order lechon kawali. But after tasting it, I still missed the one I had in Cebu. It was the best lechon ever. 

Next lunch was organized by STV, a friend who could speak Thai. We had lunch at Beerthai House Restaurant inside Golden Mile Complex and his skill was proven to be useful. It was easier to order a glass of lemon grass in Thai. The food was not bad and I heard the price was kind of friendly, too. We had omelette, tom yum soup and steamed fish and some other menu.

Top: God and Directornado. Bottom: paneer.

Then we went for authentic Southern Indian food in Little India. Brought them to Anjappar. Not exactly near, but still within the walking distance from the MRT station. What's good here? We ordered paneer, mutton biryani, prawn masala, ghee rice and... probably tandoori chicken, too, since it was red color, haha. I always love eating here. The spice taste is so rich.

Top: pytt i panna. Bottom: with God, Directornado and Winter Soldier at Fika.

The next one was Swedish cuisines. Yes, when it comes to anything Swedish, people immediately think of IKEA and the meatballs, but we went to a bistro called Fika instead. I had something called pytt i panna. I couldn't even pronounce it, but it was basically beef. Tasted quite good, too. 

We planned for Italian or Spanish after that, but I almost couldn't make it due to some unforeseen issues. The original plan was abandoned and we switched to Mexican food at Guzman y Gomez nearby our office. I always love having the pork burrito bowl there! While having lunch, Winter Soldier joked that for all we knew, Guzman and Gomez were just some random Mexicans. It was like calling a restaurant Lim and Tan just to make it sounded Chinese. It turned out that he was right! Wikipedia said this is actually a restaurant chain from Australia and its origin got nothing to do with Guzman and Gomez, haha.

Top: Russian dumplings. Bottom, from left: salted herring fish and a glass of sour milk.

A Russian restaurant called Dumplings.Ru was the next one we visited. I had some salted raw fish there. Really salty, but I liked it! Then we shared a few plates of lamb and pork dumplings. To be frank, I couldn't tell the difference between Chinese and Russian dumplings. Apart from the fact that the Russian dumplings didn't come in soup or weren't served with noodles, they were quite tasty. 

Spanish cuisines and God enjoying his meal.

For our next meal, Winter Soldier suggested an Israeli meal at Miznon, but it was full when we reached there. As a result, we detoured and had Spanish in a restaurant named Gaig. Spanish food was all about tapas. It could be hot or cold. By the way, tapas is not exactly a specific name of food, but a general term for snacks, so tapas came in many forms. As the names on the menu sounded alien, I chose the one with rice. I thought rice would be the safest bet, it turned out to be a plate of sticky rice that tasted quite bland. 

God and dishes from Putian.

The Spanish meal became the last one we had together in 2020. There were still plenty to go, though. We have yet to try out African, Israeli and many more. In fact, we just began this year with cuisines originated from Putian, a city in Fujian province, China. Good stuff, but perhaps a story for another time. The bottom line is, after doing it for few months, I realized that Singapore is indeed heaven for food lovers. You have almost everything here, except food from Laos, perhaps. Just couldn't find it!

The food tourism...



Wisata Kuliner Di Singapura

Beberapa tahun silam, saya pernah bercerita bahwa Singapura menawarkan banyak makanan enak. Masakan lokal seperti mui fan atau nasi ayam terjangkau harganya dan murah pula. Kalau anda ingin sesuatu yang berbeda dan berasal dari luar negeri, anda bisa mencoba makanan Thai, Jepang dan bahkan menu eksotis dari Timur Tengah dan Eropa.

Di situasi normal, kita bisa ke restoran favorit kita untuk mencicipi makanan yang kita idamkan. Akan tetapi tahun lalu tidaklah normal. Banyak di antara kita yang menjalani karantina wilayah untuk pertama kalinya. Apa yang dulunya tergolong biasa, misalnya ke bioskop atau restoran, tiba-tiba tidak lagi diperbolehkan. Karena tidak banyak yang bisa dikerjakan, ide sepele pun terlihat menarik. 

Dari kiri: Winter Soldier dan God. 

Cerita kali ini bermula dari restoran Lebanon bernama Urban Bites. Di akhir Agustus, saya makan siang bersama dua teman. Yang satu mirip Winter Soldier di film Captain America, yang satunya lagi dijuluki God. Seperti yang bisa diterka dari penampilan mereka, perangai dua orang ini sangat unik. Setelah menyantap humus, roti pita dan kebab, kita lantas berpikir bahwa mencoba masakan asing secara rutin sepertinya ide yang bagus. Meski kita tidak bisa berlibur, setidaknya kita bisa menyantap makanan luar negeri.

Menikmati tempe orek bersama Franky dan Winter Soldier.

Dan inilah yang kita lakukan dalam lima bulan ke depan. Misi kita adalah menjajaki masakan asing yang kita temukan. Pertama-tama kita coba yang lebih lazim: makanan Indonesia di IndoChili. Masakannya tidak terlalu lezat dan satu-satunya yang saya ingat adalah tempe orek. Ini sebenarnya masakan kelas warteg di tepi jalan, tapi malah dipesan di restoran. Konyol rasanya harus membayar tempe orek dengan dolar Singapura, haha.

Makanan Perancis. Yang paling kanan adalah Poulet Rotisserie.

Seminggu kemudian, Winter Soldier dan saya berada di sekitar Bugis untuk menjajal masakan Filipina di Leslie's, tapi ternyata sudah tutup restorannya. Setelah berjalan sana-sini, akhirnya kita sepakat untuk mencicipi masakan Perancis di Saveur. Kita pesan menu yang namanya Poulet Rotisserie. Rasanya seperti ayam yang disajikan di nasi ayam, tapi yang dihidangkan di meja ini memiliki nama Perancis dan oleh karenanya menjadi berkali-kali lebih mahal.

Kiri: lechon. Kanan: Directornado dan God, setelah kita keluar dari Gerry's Grill.

Setelah itu God dan saya pergi ke Inle, restoran khas Myanmar, dan Gerry's Grill yang menawarkan menu Filipina. Saya selalu menyukai makanan Myanmar, terutama belut garing yang pertama kali saya cicipi bersama teman-teman serumah beberapa tahun silam. Akan halnya masakan Filipina, tentu saja kita harus memesan lechon kawali. Kendati begitu, saya masih merindukan lechon yang saya santap di Cebu. Sepertinya itu yang paling enak. 

Berikutnya adalah masakan Thai. Seorang teman lain berinisial STV menjamu kita di restoran Beerthai House di gedung Golden Mile Complex. STV bisa berbahasa Thai dan kemampuannya terbukti berguna, sebab pelayannya lebih memahami apa yang kita pesan dalam bahasa Thai. Makanannya cukup enak dan saya dengar harganya pun tidak terlalu mahal. Kita memesan omelet, sup tom yam, ikan kukus dan beberapa menu lain. 

Atas: God dan Directornado. Bawah: paneer.

Selanjutnya kita mengunjungi Little India untuk masakan India Selatan yang otentik. Restoran Anjappar cukup jauh dari stasiun MRT, tapi masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. Apa yang enak di sini? Kita memesan paneer, nasi biryani domba, udang masala, nasi ghee dan... kalau tidak salah, ayam tandoori, sebab merah warnanya, haha. Saya suka masakan di sini. Rempah-rempahnya sungguh terasa. 

Atas: pytt i panna. Bawah: bersama teman-teman di Fika.

Yang berikutnya adalah masakan Swedia. Ya, jikalau bicara tentang Swedia, biasanya yang langsung diingat adalah IKEA dan baksonya, tapi kali ini kita ke restoran bernama Fika. Yang saya pesan adalah pytt i panna, semacam masakan berbasis daging sapi. Rasanya lumayan. 

Menu Italia dan Spanyol menjadi topik perbincangan minggu berikutnya, tapi misi kita hampir saja batal karena ada masalah di kantor. Setelah isu selesai, kita hanya bisa mampir ke Guzman y Gomez, kedai masakan Meksiko di dekat kantor. Selagi makan, Winter Soldier berkomentar, jangan-jangan Guzman dan Gomez cuma sekedar nama Meksiko. Ini sama halnya dengan menggunakan nama Lim dan Tan sebagai nama restoran supaya terdengar seperti restoran Cina. Ternyata dia benar! Setelah saya cek di Wikipedia, restoran ini berasal dari Australia dan asal-mulanya tidak ada kaitan dengan Guzman dan Gomez, haha. 

Atas: Pangsit Russia. Bawah, dari kiri: ikan herring asin dan segelas susu asam.

Sesudah Meksiko, kita mencoba pangsit Rusia di Dumplings.Ru, sebuah restoran di dekat MRT Tanjong Pagar. Saya memesan ikan mentah yang luar biasa asin, tapi enak. Selain itu, kita juga mencoba pangsit isi domba dan babi. Jujur saya katakan bahwa saya tidak bisa membedakan pangsit Cina dan Rusia. Rasanya sedap juga. 

Masakan Spanyol.

Masakan Israel di Miznon, Stanley Street, harusnya menjadi menu berikutnya, tapi tempat makannya penuh ketika kita tiba di sana. Alhasil kita pindah lokasi dan makan di Gaig, sebuah restoran Spanyol yang juga berada di jalan yang sama. Menu Spanyol menawarkan aneka tapas, baik yang dingin maupun panas. Oh ya, tapas itu cemilan, jadi banyak bentuknya. Setelah tapas, kita juga memesan menu utama. Saya pilih yang ada nasinya, tapi ternyata lengket dan agak tawar rasanya. Agak kurang nikmat rasanya. 

Dan masakan Spanyol menjadi menu terakhir di tahun 2020. Masih banyak lagi yang bisa dicoba, misalnya menu Afrika. Di awal tahun ini kita baru saja menyantap masakan dari Putian, sebuah kota di provinsi Fujian, China. Enak nian. Setelah saya jalani wisata kuliner di Singapura, saya yakin bahwa Singapura adalah surga bagi mereka yang suka makan. Hampir semuanya ada di sini, kecuali makanan Laos. Sampai sekarang belum berhasil saya temukan!  

God dan masakan khas Putian.