Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Politics. Show all posts
Showing posts with label Politics. Show all posts

Tuesday, September 10, 2019

Ga' Heran!!!

Ada kehebohan di berita Minggu ini. 33 perusahaan yang keluar dari Cina tidak pindah ke Indonesia tetapi ke negara tetangga. Banyak yang mengatakan ijin susah (bisa juga betul), ada pula yang mengatakan lahan mahal dan susah (bisa juga betul). Ini aneh, padahal paparan dari World Bank menyebutkan bahwa Indonesia negara produktif.

Selain alasan-alasan yang dikemukakan di atas, saya melihat adanya masalah lain, yakni kepastian hukum. Kita tau kejadian penistaan agama dimana minoritas selalu jadi korban, sedangkan mayoritas bebas mengatakan apa pun. Sentimen anti asing juga semakin mencuat belakangan ini. 

Perusahaan asing itu tentu bukan kumpulan orang gaptek yang tidak baca berita di Indonesia. Mereka pasti sudah dapat gambaran mendirikan perusahaan di indonesia yang terjadi di monokwari di mana diisukan terus menerus dan di curigai.

Sebagai orang usahawan pasti mereka punya timbangan sendiri. Mereka tidak mau sudah invest setengah kena hoax dll sehinga terhenti. Tentu mereka akan rugi waktu dan rugi materi.

Ini ibarat seorang laki-laki, lebih baik menikah dengan yang mencintainya daripada menikah dengan cewek yang membencinya...

Investasi di Indonesia. Berani?

Monday, April 15, 2019

The United-in-White Concert

The United-in-White Concert was a presidential election campaign and it was held on the last day of campaign before the 17/4, the actual election day. It was named United-in-White because attendees were told to wear white, the color of the campaign. It was also referred to as a concert because there were many actresses, comedians, vocalists and celebrities that participated.

I was hesitant to go, first because I already had an appointment on the same day and secondly, I was a bit concerned of the safety issue. I was at the office in the morning when I saw many cars passing by. Judging from their attributes, they were heading to Gelora Bung Karno, the concert venue. Many staff in the office also planned to go afterward. Since I'm also a fan of the current president and thinking that this only happened probably once in a lifetime, I eventually decided to go, too. A fellow colleague was kind enough to borrow me a white shirt since I was not prepared.

Number one!

We set to go at 10.30am, taking MRT (my first train ride since it opened for public in late March). It took us less than 10 minutes and we needed another 10 to reach the stadium. Under the hot sun, I was sweating profusely and my shirt was wet in no time, but yet the excitement generated by the crowd was so amazing, it overtook the unfriendly heat. The family with kids, elderly and many different groups, all were wearing white. The atmosphere was friendly. Everyone greeted each other as if we were no strangers. I even briefly spoke to a man that flew all the way from Papua the day before (from where he was flying, there was no direct flight and it took him around seven hours to reach Jakarta) only to attend this concert and go back on the same night. Upon hearing that, I knew I would not regret coming.

We were lucky to reach quite early around 11am and the concert only began at 2pm. The seats were almost fully occupied and, before finding seats at Sector 15, we were refused entry at five entrances because they were already fully seated. The capacity of the stadium is 80k and there are 24 sectors, so each sector could take in around 3k people. Our seats were good, as I could see two big screens at the sides and another six giant screens at the stage. The stage was red and the shape was number one. There were almost no political party flags as the campaign was about Indonesia, not to promote certain political parties.

Minutes after we were seated, I saw no more seats left at our sector. News was buzzing that the stadium was overcrowded, but that didn't stop people from coming in. Those that just reached, they simply squeezed in the field. Many were not prepared with drinks and food. Going out to buy was definitely not an option. In such a situation, I witnessed how considerate my fellow Indonesians were: those who had extra food started offering to those who didn't have. Whenever there was an empty seat, those that stands were offered.

The crowd!

Fast forward to 2pm, the field was crowded. It was the same outside the stadium. It was so amazing to see such a crowd. One tweet said, "leaders of so many countries couldn't dream of pulling a crowd like this." Another tweet showing the crowd photos said, “this is the rally for President,”  only to get a reply, “is Bon Jovi the President?" It was pretty amusing.

The MC started the concert. Actresses and comedians took turn to entertain the audience. The crowd responded by making a big wave across the stadium and shouting, "JOKOWI, JOKOWI." The crowd were also told to participate in the shake-the-thumb dance. The atmosphere was just so great. At one point when one of the singers asked us to sing Kebyar-Kebyar, a song by the late Gombloh, I felt goosebumps and so touched.

Finally, around 15:45, the long-awaited President arrived. He made a grand entrance by running to the stage, waving to everyone and bowing to all of us. The cheering of the crowd was deafening and unstoppable. I thought, "this is the guy. This has to be the guy to lead the country. He doesn't have any personal agenda. He is down to earth and he started from the bottom of the food chain, just like many of us. Most importantly, his track record is clean and free from corruption." Standing on the stage, the man himself appealed to all Indonesians to go and use their voting rights. He encouraged us not to be afraid as the Military had gotten direct instructions to secure this General Election. He said indonesia is now the top 20 countries with strongest economy in the world and we will be top FOUR by 2045. Insyaallah we will!

United as one!


Konser Putih Bersatu

Konser Putih Bersatu adalah kampanye pemilihan presiden yang diadakan di hari terakhir kampanye, beberapa hari sebelum tanggal 17 April 2019. Konser yang dimeriahkan oleh para artis, komedian, penyanyi dan selebriti ini dinamakan Putih Bersatu karena semua peserta dihimbau untuk mengenakan baju putih, warna yang menjadi tema kampanye Jokowi kali ini.

Awalnya saya ragu untuk pergi, pertama karena saya sudah ada janji pada hari yang sama dan kedua, karena saya agak khawatir dengan keamanan sepanjang acara. Saat saya berada di kantor pada pagi hari, saya melihat banyak arak-arakan mobil yang menuju ke arah Gelora Bung Karno. Banyak karyawan yang juga berencana untuk berangkat ke sana. Karena saya juga pendukung Presiden Jokowi dan saya berpikir bahwa ini mungkin adalah peristiwa yang terjadi sekali dalam seumur hidup, saya akhirnya memutuskan untuk pergi juga. Seorang rekan kerja berbaik hati meminjamkan saya baju putih karena saya tidak memiliki persiapan.

Nomor satu!

Kami berangkat jam 10.30 pagi dengan menggunakan MRT (ini adalah pertama kalinya saya mencoba MRT yang diresmikan akhir Maret lalu). Perjalanan menuju ke stasiun terdekat hanya memakan waktu 10 menit. Dari situ kita berjalan kaki ke stadion kira-kira 10 menit lamanya. Saya keringatan dan baju saya basah karena teriknya matahari, namun kemeriahan dan suka-cita di tengah keramaian mengalahkan panasnya cuaca. Keluarga dengan anak-anak, orang tua dan massa dari berbagai kalangan, semua memakai baju putih. Suasana di lapangan terasa akrab. Semua saling menyapa dengan ramah. Saya bahkan sempat berbincang dengan seorang pria yang datang dari Papua sehari sebelumnya. Tidak ada penerbangan langsung dari tempat asalnya dan dia membutuhkan waktu tujuh jam untuk mencapai Jakarta, namun dia datang untuk menghadiri acara ini dan pulang pada malam yang sama. Saat mendengar ceritanya, saya tahu bahwa saya tidak menyesal telah datang ke acara ini.

Kami beruntung karena datang lebih awal dan tiba sekitar jam 11an untuk konser yang akan dilangsungkan pada pukul dua sore. Kursi-kursi stadion hampir penuh terisi. kami sempat ditolak di lima pintu masuk karena sudah penuh sebelum akhirnya menemukan tempat duduk di Sektor 15. Kapasitas stadion ada 80 ribu kursi dan terbagi menjadi 24 sektor, jadi setiap sektor bisa menampung sekitar tiga ribu orang. Tempat duduk kita cukup strategis. Saya bisa melihat dua layar di kiri kanan saya dan juga enam layar raksasa di tengah panggung. Panggung di tengah lapangan itu berkarpet merah dan dibentuk menyerupai angka satu. Hampir tidak ada bendera partai politik di sana karena kampanye ini adalah tentang Indonesia, bukan untuk menonjolkan partai politik tertentu.

Bersama Relawan Jokowi.

Beberapa menit setelah kami duduk, saya melihat tidak ada lagi kursi yang tersisa di sektor kami. Terdengar kabar bahwa stadion sudah penuh, tapi berita ini tidak menyurutkan datangnya peserta. Mereka yang baru saja tiba langsung memenuhi lapangan. Banyak yang datang tanpa membawa makanan dan minuman, sedangkan keluar lagi untuk membeli bukanlah pilihan yang bijak. Di situasi seperti itu, saya menyaksikan rakyat Indonesia yang saling berbagi: mereka yang membawa bekal lebih lantas berbagi dengan yang lain. Ketika ada kursi kosong, mereka pun berbagi tempat duduk.  

Menjelang pukul dua sore, lapangan stadion sudah dipadati oleh para peserta. Demikian juga halnya dengan luar stadion. Melihat massa yang tumpah-ruah sejauh mata memandang adalah pengalaman yang menakjubkan. Satu twit berbunyi, "pemimpin dari negara lain tidak akan pernah bermimpi untuk bisa menggalang massa sebanyak ini." Twit lain yang disertai foto keramaian berbunyi, "ini adalah kampanye presiden," dan serta-merta dijawab twit lainnya, "apakah presidennya adalah Bon Jovi?" Mengagumkan, sebab tidak pernah ada yang seperti ini.

GBK petjah!

Pembawa acara pun memulai rangkaian pertunjukan. Aktris dan komedian bergantian mengisi acara. Para penonton merespon dengan membuat gerakan bergelombang di deretan kursi serta tak henti-hentinya mengeluk-elukan nama Jokowi. Selain itu, hadirin juga turut berpartisipasi dalam tarian goyang jempol. Yang paling berkesan adalah saat dimana seorang penyanyi meminta para peserta untuk turut menyanyikan Kebyar-Kebyar, lagu ciptaan almarhum Gombloh. Suasana saat lagu itu terlantun teramat sangat menggugah sehingga saya pun merasa sangat tersentuh.  

Akhirnya, sekitar pukul 15:45, Presiden Jokowi yang telah ditunggu-tunggu pun tiba. Dia berlari ke tengah panggung, melambai dan membungkuk memberikan hormat pada rakyatnya. Semua yang hadir pun menyambut dengan gembira, membuat saya jadi berpikir bahwa inilah orang yang mewakili rakyatnya. Seorang tokoh yang pantas memimpin negeri ini. Dia tidak terlihat memiliki ambisi pribadi, melainkan bersahaja dan rendah hati. Dia juga seseorang yang memulai dari bawah. Yang paling penting lagi, dia tidak memiliki rekam jejak korupsi. Berdiri di atas pentas, Jokowi meminta agar seluruh rakyat Indonesia menggunakan hak suaranya untuk memilih. Dia meyakinkan kita untuk tidak takut karena TNI dan polisi sudah siap untuk mengamankan pemilihan umum ini. Dia juga menyampaikan bahwa Indonesia sekarang berada di peringkat 20 besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia dan kita berpeluang menjadi empat besar di tahun 2045. Insyaallah kita bisa!

Presiden Jokowi dan rakyat.

Monday, March 11, 2019

Nomor Urut 4

Pak Eddy adalah guru matematika saya sewaktu saya bersekolah di SMP Santu Petrus. Pelajarannya menarik, namun bukan karena saya menyukai atau pintar matematika, melainkan karena selalu saja ada siswa yang dihukum olehnya. Mencekam rasanya saat melihat beliau marah, tetapi ada rasa geli juga saat melihat tingkah teman-teman yang tidak beres dan akhirnya dihukum karena berbagai alasan. Sekarang, kalau saya kenang kembali, Pak Eddy itu bukan cuma sekedar guru. Dia juga seorang pendidik dan dia memberikan hukuman supaya murid-muridnya disiplin dan mengerti apa kesalahan mereka. Bilamana saya dan teman-teman bernostalgia, tidak ada satu pun dari kita yang menaruh dendam karena dihukum. Lebih dari 25 tahun telah berlalu, namun banyak muridnya yang tetap mengingat beliau sebagai guru yang baik.

Gunawan dan Pak Eddy, mantan murid dan guru.

Ya, kita ingat dengan jasanya, namun apa yang mungkin jarang kita ketahui adalah bagaimana Pak Eddy mengabdi sebagai seorang pendidik. Beliau ini seorang relawan yang sudah berkiprah di bidang edukasi sejak 1982. Mengajar dan membina generasi muda adalah panggilan hatinya sehingga ia pun bersedia membagikan ilmunya tanpa mengenakan biaya pada mereka yang tidak mampu. Ini adalah wujud dari baktinya untuk sesama dan negara. Memang kalau yang namanya sudah keikhlasan dari dalam hati itu bisa mendorong orang untuk bekerja tanpa pamrih.

Di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, Pak Eddy masih menjadi aktivis LFO (Love For Others) dan Beloved Community, dua organisasi sosial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kelas bawah di Pontianak dan sekitarnya. Singkat kata, aksi kemanusiaan bukanlah hal yang baru ditekuninya, tapi sudah dari sejak dulu. Pengalamannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun kemudian membuatnya sadar bahwa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif adalah langkah selanjutnya. Sebagai abdi negara, tentunya dia bisa berbuat lebih banyak lagi untuk masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Pak Eddy saat berpartisipasi dalam kebaktian sosial. 

Pak Eddy sudah berkecimpung di bidang politik sejak tahun 2002, ketika dia memperkenalkan Partai Demokrat di Pontianak. Karena kapasitasnya sebagai anggota senior, dia akhirnya diusung menjadi caleg. Sebagai pemain lama, beliau tahu tantangan apa yang ia hadapi. Bahkan dari kalangan sendiri pun ada saja permasalahannya. Ada stigma bahwa orang Tionghoa terkesan eksklusif dan hal inilah yang harus diubah. Sebagai orang yang terjun langsung ke lapangan, Pak Eddy mengerti betul bahwa orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pengusaha dan berdomisili di kota besar memang kerap kali kekurangan waktu sehingga tidak sempat lagi bersosialisasi, tapi Pak Eddy juga telah melihat bahwa masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah pelosok lebih cenderung membaur. Bagi Pak Eddy, hidup ini harusnya menjadi berkat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Setiap suku, termasuk juga Tionghoa, hendaknya mengamalkan sudut pandang tersebut. Saya pribadi terkesan saat dia memaparkan bahwa Tionghoa itu berbeda dengan orang Cina karena yang disebut orang Cina itu berarti mereka yang ada di negeri Cina. Penjelasannya sejalan dengan pemikiran Lee Kuan Yew bahwa dirinya adalah orang Singapura, bukan orang Cina.

Pak Eddy bersama dengan murid-muridnya.


Tantangan lainnya ada bagaimana orang awam berpikir bahwa yang namanya politikus itu biasanya korup, terutama mereka yang telah mengeluarkan uang banyak supaya terpilih. Pak Eddy mengiyakan bahwa ada yang demikian, tapi ada juga yang tidak. Cara yang paling baik dan efektif adalah kerja nyata yang bisa dilihat oleh masyarakat. Pak Eddy telah memiliki rekam jejak yang panjang dalam hal ini. Keikutsertaannya dalam bakti sosial selama bertahun-tahun telah membuktikan bahwa beliau melayani dengan hati dan bersungguh-sungguh. Ucapannya senantiasa konsisten dari tahun ke tahun: benar, bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia adalah contoh dan teladan, bukan sekedar pencitraan yang hanya muncul di masa kampanye. Lebih lanjut lagi, Pak Eddy juga menjelaskan bahwa visi dan misinya yang berfokus pada pendidikan dan penanganan masalah sosial masyarakat adalah murni programnya. Menurut Pak Eddy, program ini bisa dijalankan tanpa memandang di komisi mana dia ditempatkan bila terpilih nanti.

Perlu diingat pula bahwa memilih caleg itu adalah memilih figur yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat. Ketika saya menyinggung tentang BTP, beliau menjawab dengan singkat dan tegas bahwa abdi negara itu harus seperti BTP. Saya hanya bisa tersenyum. Kalau bisa memilih orang yang saya kenal, yang sudah terbukti rekam jejaknya dan tahu bahwa Ahok itu adalah standar seorang pejabat masa kini, kenapa harus memilih yang lain? Saya rasa tidak lagi zamannya bagi orang Tionghoa untuk berpangku tangan. Sebagai warga negara yang taat hukum, kita bisa tunjukkan kepedulian kita dengan memanfaatkan suara kita untuk memilih wakil rakyat. Saya kita bisa mulai dengan memilih nomor urut 4 dari Partai Demokrat ini...

Coblos nomor urut 4!

Thursday, February 7, 2019

Puisi Bukan Atas Nama Rakyat

Ada yang ngaku wakil rakyat
Tapi tidak pernah bersama rakyat
Ada yang ngaku membela rakyat
Rakyat yang bersyarat

Hobi berpuisi tanpa prestasi
Gak sadar yang disindir penuh amal bakti
Harusnya DPR ada bagian berpuisi
Untuk mengurangi puisi yang menyebabkan polusi

Puisi untuk memuji dan mengungkap hati
Jika puisinya penuh nyinyir dan iri hati
Terungkaplah pembuatnya yang penuh ambisi
Ambisi disertai kebencian dan busuk hati

Nyinyir dengan puisi dianggap prestasi
Membela kriminal dianggap benar
Tugas terbengkalai sampai UU tak selesai
Muncul di TV berpose paling benar

Bangga atas nama rakyat mengintervensi hukum
Tanpa ragu-ragu berkunjung
Untuk mengubah hukum
Kami rakyat berkabung

Berbuat kriminal dianggap dikriminalisasi
Katanya situ jago berpuisi
Tapi tidak bisa membedakan me dan di
Mengkriminalkan diri tentu beda dengan dikriminalisasi

Wakil rakyat yang satu ini memang bikin ketawa karena menggelikan...


Wednesday, December 26, 2018

Kardus, Kardus, Kardus

Saat selesai menonton salah satu program TV favorit, saya merasa ingin juga menuangkan pikiran saya ke dalam tulisan ini. Ini adalah perihal perdebatan tentang kotak suara yang akan digunakan pada Pemilu 2019. Langsung saja ke intinya, dalam perdebatan, ada yang mengatakan ini bukan persoalan kardusnya, tapi ini adalah masalah ketidakkepercayaan publik saat ini. 

Saya setuju sekali akan hal ini, tapi... nah, ada tapi-nya, nih. Masalahnya, kenapa ada sebagian masyarakat yang menjadi tidak percaya? Sebenarnya saya ingin bertanya, namun bertanya kepada siapa? Pertanyaan saya adalah, dari mana rakyat tahu bahwa setelah ada ketentuan UU, KPU membuat kotak penampung suara dari bahan kardus? Rakyat mana yang bisa tahu dan yang mau mengurusi ini? Saya mencoba menjawab sendiri pertanyaan saya. Menurut saya, oknum anggota dewan yang menamakan dirinya sebagai wakil rakyat ini disinyalir ikut dalam memutuskan dan menyetujui usulan KPU dan sudah melihat contohnya saat rapat. Mereka inilah yang pura-pura terkejut dengan kotak suara yang sudah disetujui tersebut. Mereka lantas membuat heboh sehingga sebagian masyarakat ikut dalam perdebatan. 

Harus kita pahami bahwa sebagian kecil dari masyarakat kita mudah diarahkan ataupun diprovokasi. Ada sebagian juga yang lagi 'mabuk cinta', yaitu mereka yang fanatik akan pilihannya sehingga saat pihaknya mengatakan apa pun, bagi mereka itu adalah kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi. Nah, inilah yang sebenarnya terjadi. Masyarakat terpicu oleh sandiwara yang ada dan perdebatan pun tak pelak lagi muncul di mana-mana. Setelah polemik terjadi, muncullah para ahli yang mengarahkan pikiran rakyat untuk menyakini bahwa ini adalah kebenaran walaupun sebetulnya sesat. Jika ada yang bertanya, "jadi kenapa bisa begitu?" Jawaban saya yang dungu adalah, "karena ini adalah strategi kampanye." 

Ya, ini adalah strategi kampanye supaya rakyat terbawa emosi di dalam memilih, sehingga tidak lagi memilih berdasarkan program-program yang ditawarkan. Saya akan memberikan ilustrasi bagaimana beberapa ahli mencoba mengarahkan kesesatan pemikiran mereka, seolah-olah apa yang mereka sampaikan itu adalah kebenaran. Logikanya seperti teka-teki ini: A meminjam dari B, C dan D masing-masing sebesar 100.000 rupiah untuk membeli sebuah kardus yang seharga 250.000 rupiah. Nah, karena masih ada sisa 50.000 rupiah, A kemudian mengembalikan kepada B, C dan D masing-masing sejumlah 10.000 rupiah. Sekarang artinya A meminjam 90.000 ke B, C dan D sehingga jumlahnya 270.000. Kalau begitu, kenapa uang yang tersisa di tangan A cuma 20.000? Ke mana hilangnya 10.000 karena awal total pinjaman A adalah 300.000? 

Inilah cara menyesatkan yang bisa membuat orang berpikir kalau ada 10.000 yang hilang. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang berbahaya jika tidak dimengerti secara logis. By the way, jika mau tahu jawaban dari teka-teki itu, inbox saja 😀😀

Kardus, another quality product...

Friday, August 17, 2018

You Are What You Read

I remember those days when Ahok was still the governor of Jakarta. There was this feeling that my country was going to the right direction and I just needed to know the latest news about it. This then formed a habit to read the day-to-day progress through Kompas and a bit of Denny Siregar and Birgaldo Sinaga.

Kompas is a trusted media since the 60s, so the news is unlikely to be wrong or biased. Denny and Birgaldo were good writers, the former was a satirist and the latter always wrote the touching stories about his fight for Ahok. During the governor election, I read seword.com as well. It was good, but I couldn't help feeling that the news was skewed towards Ahok's favor. I mean, I knew Ahok was great, but he shouldn't be portrayed as an invincible man.

As we all know it, Ahok was eventually defeated and jailed. For a person who loves his country, to have a dream snuffed out like that was hard to swallow. I was dejected. I totally lost interest in doing what I did. This lasted for a while, until my visit to Endrico's house. He humorously talked about Jonru and I had a glance. The fake news was full of hatred and I couldn't bring myself to read any further. It was like, how on earth could someone write something like that? How did the person sleep at night?

As a reader, my question would be, who'd believe that? One had to be really blind or stupid to take this rubbish seriously. But much to my surprise, the followers/readers were not exactly little. That's when I realised that the social media hoax was really horrifying. If you hadn't traveled to other places before and sites such as Jonru's were your only source to outside world, you could end up believing it as the truth if you read it everyday. It's like brainwashing. Quite scary, actually.

And that was the one and only time I ever ventured out to read something that was against my conscience. These days, I browsed Katakita a couple of times per day. It had a very much pro-Jokowi content, alright, but at least I felt peaceful reading it. From time to time, I'd visit Humor Politik as well for good laugh. They did a good job in making fun of the current governor and all the political antics that happened recently in Indonesia. In a way, I think Indonesians are the grateful bunch. If we didn't get the anything good out of what was happening to us, at least we got something to laugh at.

While Indonesia may not be the most literate country (in fact, according to a Jakarta Post article dated 12-Mar-2016, Indonesia was the second least literate of 61 nations, besting only Botswana), but I tend to think that those who can read, love to read. That's good, except what we read is not always good. Oh yes, it can be very damning at times, so please be very selective!

Humor Politik. Liked!


Anda Adalah Apa Yang Anda Baca

Saya ingat hari-hari dimana Ahok masih menjabat sebagai gubernur di Jakarta. Saat itu ada perasaan bahwa Indonesia seperti menuju ke arah yang benar. Setiap hari, saya merasa ingin tahu tentang perkembangannya sehingga lambat-laun saya memiliki kebiasaan membaca berita di Kompas dan juga tulisan Denny Siregar dan Birgaldo Sinaga

Kompas adalah media yang terpercaya sejak tahun 60an, jadi beritanya bisa dijamin benar dan tidak bias. Denny dan Birgaldo adalah penulis yang bermutu. Tulisan Denny lucu dan bernada menyindir, sedangkan Birgaldo sering menulis tentang perjuangannya dalam membela Ahok. Menjelang pilkada, saya juga mulai membaca artikel di seword.com. Walaupun bagus, saya sering merasa kalau artikelnya dengan sengaja menggiring opini pembaca ke Ahok. Maksud saya, tidak salah bahwa Ahok itu orang hebat, tapi itu tidak lantas berarti dia sempurna. 

Sebagaimana yang kita ketahui, Ahok akhirnya kalah dan bahkan dipenjara. Rasanya seperti terbangun dari mimpi yang direnggut paksa dan ini susah untuk saya terima. Saya sangat kecewa dengan kenyataan yang ada dan kehilangan minat untuk melanjutkan rutinitas yang saya jabarkan di atas. Puasa berita ini berlangsung sampai kunjungan saya ke rumah Endrico. Ucapannya yang humoris tentang Jonru membuat saya tergelitik untuk mencari tahu, siapa orang ini sebenarnya. Ketika saya baca, saya sungguh terperangah. Tulisannya bukan saja berbentuk ujaran kebencian, tetapi juga tidak benar. Ada rasa sesak yang membuat saya berhenti membaca. Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, bagaimana seseorang bisa menulis seperti ini dan tidur nyenyak di malam hari?

Dari sudut pandang pembaca, pertanyaan saya adalah, siapa yang akan percaya tulisan Jonru ini? Orang tersebutlah pastilah buta atau luar biasa bodohnya untuk mempercayai sampah seperti ini. Namun pengikut/pembaca artikel-artikel ini tidak sedikit jumlahnya. Saat itulah saya jadi sadar akan bahaya berita palsu di media sosial. Masalahnya adalah, jika anda tidak pernah melihat dunia luar dan satu-satunya sumber berita anda adalah tulisan-tulisan keji seperti ini, anda akhirnya akan percaya bila tiap hari melahap berita palsu yang disuguhkan di depan anda secara rutin. Ini seperti cuci otak. Cukup mengerikan, sebenarnya. 

Dan itu adalah sekali-kalinya saya pernah mencoba membaca sesuatu yang bertentangan dengan nurani saya. Sekarang, saya masuk ke halaman Katakita beberapa kali per hari. Tulisannya cenderung pro-Jokowi, tapi setidaknya saya merasa tenang saat membaca. Dari waktu ke waktu, saya juga mengunjungi Humor Politik. Orang-orang di balik Humor Politik ini sangat kreatif dalam membuat lawakan yang terjadi di panggung politik sehingga saya seringkali tertawa geli di MRT. Humor Politik ini mengingatkan saya lagi bahwa orang Indonesia adalah orang-orang yang bisa bersyukur. Jika kita tidak memperoleh hasil yang baik dari apa yang sedang terjadi pada kita (gaberner, misalnya), setidaknya kita mendapatkan bahan tertawaan. 

Meski Indonesia bukanlah bangsa yang paling rendah angka buta hurufnya (menurut artikel Jakarta Post tanggal 12-Mar-2016, dari 61 negara, Indonesia ada di urutan nomor dua dari bawah, hanya sedikit lebih baik dari Botswana), namun saya percaya bahwa yang bisa membaca, gemar membaca. Ini hal yang bagus, cuma apa yang kita baca tidak selalu bagus. Oh ya, tulisan yang ada bisa saja sangat menjerumuskan, jadi pilihlah dengan seksama!

Katakita. Liked! 

Monday, April 16, 2018

Book Review: Ahok And The Untold Stories

When it comes to reading, there are books that I only read at home because they are very touching that I can't help crying after reading it half-way (I'm not a tough man, but in my defence, it's perfectly healthy to cry). I happened to have books from such category. One is books written by Sinead Moriarty (she surely knows how to make me laugh and cry), the others are books about Ahok.

Ahok was like a shooting star. In a very short span of time as a governor of Jakarta, he set examples and touched so many lives, especially Indonesians. He cared for his people and he showed us that things could be done differently. However, for whatever good that he tried to make, he ended up in jail instead. This is why his is such a compelling story. It was so unfair, but yet so inspiring.

This book was written by those interns at city hall. They not only saw the ex-governor with their own eyes, but they worked with him as well. It was based on firsthand observation, therefore I was very curious about it and I immediately got a help from my friend to obtain it. True enough, it didn't disappoint. From the book, I learnt more about what was going on at that time.

I already knew that Ahok was a very capable person. But it was amusing to read how he was willing to teach and be taught by others. The interns often quote him saying, "if you are smart, teach. If you are stupid, listen." This, apparently, was no exception for the man himself. Even though Ahok was publicly known to be loud, he did listen a lot from others, too.

Some of us might also remember the videos of official meeting that were uploaded on YouTube. Ahok was transparent, ever consistent in both words and actions. He was smart and quick in making decisions. Apart from revealing the impact of those videos to the civil servants, it was interesting to note that he wasn't afraid if the video captured him making mistakes. He was fully aware that he wasn't always going to be right all the time and he expected that we'd learn from his mistakes if there were any.

As the governor of Jakarta, he was a busy man. Every morning when he arrived at city hall, Ahok was greeted by the less fortunate people. He walked into all sorts of problems waiting for him to solved and he tackled them all in stride. In office, he simplified the bureaucracy to make it more efficient. The book showcased a blame game between Sanitary Office and the so-called Water Management Office due to the convoluted and overlapping responsibilities between the two. To the uninitiated, the inefficiency was mind blowing. Ahok obliterated such legacies and brought upon us the new era of bureaucracy, for example the consolidated governmental services known as Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Then of course there were chapters about budgeting and corruption. Those who worked with Ahok remembered how he scrutinised each line of the budgeting plan to ensure that it was accountable. Ahok didn't budge even when he was antagonised by the parliament members (some of them were eventually proven guilty by the Corruption Watch). He stood tall against all odds.

I am particularly impressed with Ahok's vision of Jakarta Smart City. It began with his personal habit of reading every SMS sent to him by the people of Jakarta. He was a dedicated man, but with a primitive approach. The interns then built him something that was more viable. It was a computerised system where all the messages could be read, delegated to the relevant team and actioned. If only this is continued by the current governor, Jakarta would have been a really modern city that was once envisioned by Ahok. Too bad it doesn't turn out to be that way. What a loss.

Lastly, there were also few stories about Vero. We know now that their marriage didn't last. But this was back then, when she was the wife of a governor. She did her best in her role. Reading those stories reminded me again that she was only human. Her work should be separated and acknowledged, despite the fact that she failed her marriage. Let's not condemn her but remember her good work instead.

Now, back to Ahok, how is the man not inspiring? We'll remember the good fight he had fought. To quote the words of the intern that wrote the first chapter, "it's all Ahok's fault. He made us fall in love with the government, bureaucracy and our beloved country." Don't ever stop believing...

The legendary remark on the budget planning that says, "your Grandma's understanding."
Illustration from: Ahok dan hal-hal yang belum terungkap.


Ahok Dan Hal-Hal Yang Belum Terungkap

Berbicara tentang bacaan, ada buku-buku tertentu yang hanya saya baca di rumah karena isinya sangat menyentuh dan seringkali membuat saya meneteskan air mata (saya bukan pria tangguh, tapi saya rasa menangis itu berarti sehat secara emosional). Di dalam koleksi buku-buku saya, yang termasuk kategori ini adalah karangan Sinead Moriarty (penulis ini tahu caranya membuat saya tertawa dan menangis) dan tentu saja buku-buku tentang Ahok.

Ahok tidak ubahnya seperti bintang kejora. Di dalam masa jabatannya yang singkat sebagai gubernur, dia telah memberikan banyak teladan dan menyentuh hidup begitu banyak orang, terutama orang Indonesia. Dia peduli akan nasib rakyatnya dan dia menunjukkan bahwa banyak hal bisa dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang selama ini kita yakini. Akan tetapi, untuk segala perubahan yang ia lakukan, kini ia malah mendekam di penjara. Karena inilah kisahnya sangat menggugah. Apa yang ia alami sangat tidak adil, tapi apa yang ia perbuat sangat menginspirasi. 

Buku ini ditulis oleh para karyawan yang magang di balaikota. Mereka tidak saja melihat sepak terjang Ahok dengan mata mereka sendiri, tetapi juga bekerja sama dengannya. Pengalaman langsung dari mereka inilah yang dirangkum menjadi buku, oleh karena itu saya merasa sangat tertarik dan lekas meminta teman saya untuk membelinya. This book was written by those interns at city hall. Hasilnya tidak mengecewakan. Dari buku ini, saya bisa membayangkan apa yang terjadi di kala Ahok menjabat.

Saya sudah tahu bahwa Ahok adalah orang yang berkemampuan. Justru karena itulah makanya fakta bahwa dia bersedia mengajar dan juga diajari terasa menarik. Para karyawan magang ini sering mengutip perkataan Ahok sendiri bahwa, "yang pintar mengajar, yang bodoh nurut." Ahok berbicara apa adanya dan dirinya sendiri pun bukanlah pengecualian. Meski ia terkenal banyak berbicara, siapa sangka dia pun tekun mendengar pendapat orang lain?

Beberapa dari kita juga pasti masih mengingat video-video rapat yang diunggah di Youtube oleh Pemprov DKI. Ahok senantiasa transparan dan konsisten, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dia cerdas dan cepat dalam mengambil keputusan. Buku ini juga mengisahkan tentang dampak dari video-video ini pada PNS di balaikota. Juga menarik untuk dicatat bahwa Ahok tidak takut bila dia berbuat kesalahan dan terekam oleh kamera. Dia sadar betul bahwa dia tidak selamanya membuat keputusan yang tepat dan dia berharap orang lain juga bisa belajar dari kesalahannya.

Sebagai gubernur Jakarta, Ahok adalah seorang yang sibuk. Di pagi hari saat dia tiba di balaikota, dia sudah disambut oleh mereka yang kurang beruntung nasibnya. Ahok melangkah dalam setiap masalah yang disampaikan padanya dan memberikan solusi. Di kantor, dia juga bekerja keras menyederhanakan birokrasi yang berbelit-belit. Buku ini menyorot tentang bagaimana Dinas Kebersihan dan Dinas Tata Air saling melempar tanggung jawab, suatu pemandangan yang mencengangkan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan inefisiensi kantor pemerintah. Salah satu terobosan yang dilakukan Ahok adalah mengubah sistem yang ada, misalnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 

Kemudian tentu saja ada bab-bab tentang anggaran dan korupsi. Mereka yang pernah magang dan membantu Ahok ingat tentang bagaimana dia menyisir baris demi baris anggaran untuk memastikan bahwa semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Ahok bahkan tidak takut ketika anggota dewan yang terhormat berupaya menjegalnya dengan berbagai cara (beberapa di antaranya akhirnya terbukti bersalah dan ditangkap KPK). Ahok teguh pada pendiriannya meskipun diserang dari kiri-kanan.  

Saya terkesan terutama dengan visi Ahok tentang Jakarta Smart City. Di buku diceritakan bagaimana Ahok biasa membaca setiap SMS yang dikirim warga Jakarta. Ahok memiliki dedikasi yang tinggi, tapi caranya sangat primitif. Akhirnya tim yang membantunya membuatkan sistem yang bisa menampilkan setiap SMS di layar monitor sehingga bisa dipantau dan ditindak dengan cepat. Jika saja sistem ini masih dilanjutkan oleh gubernur sekarang, tentunya hari ini Jakarta akan selangkah lebih maju. Sayang sekali sebuah sistem dengan konsep seperti ini disia-siakan begitu saja. 

Terakhir, buku ini juga memuat beberapa cerita tentang Vero. Kita tahu sekarang bahwa pernikahan Ahok dan Vero telah bubar. Tapi cerita-cerita ini adalah ketika dia masih menyandang posisi sebagai istri gubernur. Dia melakukan yang terbaik sesuai perannya. Membaca cerita tentang Vero dan mengingat apa yang telah dilakukannya, saya jadi teringat bahwa dia pun manusia biasa. Hasil karyanya pantas dikenang sebagaimana adanya dan tidaklah pantas bila dicampuradukkan dengan masalah pribadi mereka. 

Kembali lagi ke Ahok, semakin dibaca, semakin saya merasa dia sungguh menginspirasi. Dia akan selalu dikenang karena telah memberikan yang terbaik dan menjalani semuanya secara ksatria. Kalau boleh saya mengutip tulisan seorang karyawan magang, "semua ini salah Ahok. Dia membuat kita mencintai pemerintahan, birokrasi dan negara kita yang tercinta..."

Sampul depan.

Saturday, February 24, 2018

The Intolerance

I can't be too sure how many Chinese Indonesian my age share the same sentiments here, but I'm always fond of Sukarno, my first president. I first read about him almost two decades ago, not long after Suharto was toppled in 1998. Sukarno was ever charming, even in a written form. He was genuine, never shied away from expressing his view about women, from the honourable ones to whores. He loved the beauty of God's creation and he loved them all. He was a very proud man, too, and he had all the rights to do so, for only Sukarno could lead us to our independence. He was very humble at the same time and his story about the declaration of independence and what followed after that couldn't be more vivid and poignant. He was also funny, perhaps the only President whose first presidential instruction was for a street food vendor to provide him a plate of satay, a food that he enjoyed while sitting on roadside. He was that poor, but he was rich at heart, giving his entire life for the country. Our country's independence were not given to us, it was fought for, proclaimed and defended by the people of Indonesia. And at the center of it was Sukarno, the founding father and the pride of Indonesia.

Reading about Sukarno reminded me again how this country was built. Throughout his time of being jailed and exiled to many places around the archipelago, Sukarno surely had realized how diverse Indonesia would be. Right at the beginning of his autobiography, he already acknowledged that the people of Indonesia was originated from all sorts of ethnics, including Chinese. He knew it well and he wasn't a racist, therefore he believed in unity in diversity. In fact, he was so visionary and pragmatic that he chose Malay as the foundation of Bahasa Indonesia instead of Javanese, his own mother tongue and a language known for its complexity. As a result, the whole country, from Sumatra to Papua, is able to converse today.

More than that, Sukarno also came up with Pancasila, our national ideology. He might have said that he merely dug deeper to the history of Indonesia and he shouldn't claim credit of it, but Pancasila was definitely his brainchild. Now, did you ever wonder why a country with a biggest Muslims population in the world is not a country based on Islam? It was due to the existence of Pancasila. The first of the five principles, belief in the one and only God, granted our freedom in having a religion.

It was no coincidence, of course. Sukarno himself was a Muslim, but he was not blind to the facts around him. Long before there was a country called Indonesia, he already realized that it was going to be multicultural nation, one with various ethnic groups, languages, culture, religions and way of life. For the whole country to be united, it had to be done in an Indonesian way, which was respect and tolerance to others. Sukarno proved it by crushing many Islamic rebellions, including one that was led by his old friend, Kartosuwiryo.

Fast forward to today's situation, it was saddening to see such a growing intolerance. Those people who said they were defending Islam, were they genuine and thinking clearly? If it was supposed to be that way, wouldn't our founding fathers implement it already? They were the leaders of their generation, back when people were sincere and didn't expect anything in return during the struggle for independence, so why didn't they do it then? Because they had thought it through and it simply couldn't be done.

Islam is good. Any religion is good. It is only bad when a political motive is sugar-coated with religion. It gets worse when people are not using their brains to think but to swallow such belief foolishly instead. What's so great about shouting and prosecuting others when you could have been proven guilty yourself? Ain't that a shame? Eventually, isn't religion mainly about the relationship between a believer and his God? Give it a thought, get a clear conscience and let's live the Indonesian way, just like how our founding fathers intended it to be.

Bung Karno, once the voice of our people. 


Miskinnya Toleransi

Saya tidak tahu berapa banyak Tionghoa Indonesia seusia saya yang merasakan hal yang sama, tetapi saya selalu suka membaca tentang Sukarno, presiden pertama Indonesia. Pertama kali saya membaca buku di atas adalah sekitar dua puluh tahun silam, tidak lama setelah Suharto ditumbangkan di tahun 1998. Senantiasa berkharisma, kisah Sukarno bahkan terasa menarik dalam bentuk tulisan. Dia terasa tulus dan apa adanya, tidak pernah malu untuk berbicara tentang wanita, mulai dari yang berjasa besar baginya sampai kaum pelacur. Dia mencintai indahnya ciptaan Tuhan, karena itu dia menyayangi wanita. Dia juga orang yang bangga dengan dirinya dan dia sesungguhnya berhak untuk itu, sebab hanya Sukarno yang sanggup membawa Indonesia ke alam kemerdekaan. Yang menarik lagi, dia juga rendah hati. Ceritanya tentang proklamasi dan apa yang terjadi setelahnya sungguh menyentuh hati. Terakhir, dia juga lucu dan mungkin satu-satunya presiden di dunia ini yang mengeluarkan instruksi presiden yang pertama kepada seorang tukang sate. Saat itu, setelah dia diangkat menjadi presiden dengan suara bulat, dia menikmati sepiring sate di pinggir jalan sebagai Presiden Sukarno. Dia miskin harta, tapi kaya hatinya, dan segenap jiwa raganya diberikan kepada bangsanya pula. Jangan pernah lupa bahwa kemerdekaan bangsa kita itu tidak diberikan penjajah, melainkan diperjuangkan, diproklamasikan dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia. Di tengah semua itu adalah Sukarno, Bapak Bangsa dan kebanggaan Indonesia. 

Membaca tentang Sukarno mengingatkan saya kembali tentang bagaimana Republik Indonesia dibangun. Ketika dia dipenjara dan diasingkan, mulai dari Pulau Ende sampai Bengkulu, Bung Karno pastilah sudah menyadari bahwa bangsa ini sungguh majemuk. Di awal biografinya pun dia sudah mengakui bahwa apa yang kita sebut sebagai rakyat Indonesia hari ini dulunya berasal dari beragam suku, termasuk juga Tionghoa. Sukarno tahu dan paham betul akan hal tersebut, oleh karenanya dia bukan seorang yang rasis dan maka dari itu pula dia bisa mengadopsi Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa. Dia juga seorang yang praktis dan memiliki pandangan jauh ke depan, oleh sebab itu dia memilih bahasa Melayu sebagai dasar dari bahasa Indonesia. Sukarno adalah orang Jawa, tapi dia sadar bahwa bahasa ibunya sangat rumit dan demi persatuan bangsa, dipilihlah bahasa Melayu yang saat itu sudah mulai dikenal luas. Hasilnya, bangsa kita, mulai dari Sumatera sampai Papua, kini bisa bercakap-cakap satu sama lain. 

Lebih dari itu, Sukarno juga membidani lahirnya Pancasila, dasar negara kita. Di dalam bukunya dia berkata bahwa dia hanya melihat kembali kepribadian kepulauan nusantara kita ini dan dari situ terwujudlah ide Pancasila, namun tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah buah pikirannya. Kalau bukan karena dikemukakan oleh Sukarno, mungkin Pancasila tidak akan pernah ada. Sekarang, pernah anda pikirkan kenapa negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini bukanlah sebuah negara Islam? Itu karena keberadaan Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan kita kebebasan dalam menunaikan ibadah menurut kepercayaan masing-masing. 

Ini bukanlah suatu kebetulan, tentunya. Walaupun Sukarno sendiri adalah seorang muslim, tapi dia sangat cermat dengan fakta-fakta di sekelilingnya. Jauh sebelum negara bernama Indonesia ini lahir dan dikenal oleh dunia, Sukarno sudah menyadari bahwa negara ini akan terdiri dari beragam suku, bahasa, budaya, agama dan cara pandang. Jika kita hendak bersatu, maka ini hanya bisa dilakukan dengan cara Indonesia, yakni saling menghormati dan toleransi kepada sesama. Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka, Sukarno masih membuktikan kesungguhannya dengan membasmi dan menghancurkan berbagai pemberontakan, termasuk DI/TII yang dipimpin oleh kawan lamanya, Kartosuwiryo.

Jika kita lihat situasi hari ini, miskinnya toleransi terasa sangat menyedihkan. Orang-orang yang berkata bahwa mereka membela Islam, apakah mereka tulus dan berpikir dengan jernih? Jika memang Islam adalah jalan bagi bangsa ini, kenapa para bapak bangsa kita dulu tidak mendeklarasikan Indonesia sebagai negara Islam? Mereka adalah para pemimpin yang cerdas di zaman ketika orang masih tulus dan tidak mengharapkan imbalan apa pun saat berjuangan demi kemerdekaan, jadi kenapa mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam pada saat itu juga? Ini karena mereka sudah memikirkannya dan mereka tahu bahwa ini tidaklah cocok bagi bangsa Indonesia yang majemuk.

Islam itu baik. Semua agama itu mengajarkan yang baik. Yang buruk adalah niat-niat buruk politik yang dibalut dengan agama. Dampaknya akan menjadi semakin buruk ketika orang-orang tidak lagi menggunakan otaknya untuk berpikir, melainkan menelan paham yang sesat itu bulat-bulat. Yang benar saja, apa hebatnya berteriak kafir dan mempersekusi orang lain ketika satu demi satu akhirnya terbukti lebih buruk dari yang ditentangnya? Tidakkah itu memalukan? Pada akhirnya, bukankah agama itu adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya, jadi kenapa musti dipaksakan? Pikirkanlah kembali, jernihkan hati kita dan hiduplah dengan tata cara Indonesia yang penuh toleransi, seperti yang diajarkan oleh bapak-bapak bangsa kita, bertahun-tahun yang lampau...

Friday, December 8, 2017

Pemimpin Berkata

Pemimpin berkata, dia dicerca namun dia memupuk Bhinneka
Secercah harapan indah merekah
Negeriku tercinta akan berubah
Namun sekarang harapan indah mereda
Pemimpin berkata, dia dipuja-puja namun dia merusak Bhinneka
Suka berkata-kata dan bersilat lidah supaya dipuja-puja
Namun dia tidak tahu rakyat jelata menjadi sengsara

Kami tetap menjaga asa
Supaya Indonesia tetap jaya
Walaupun lewat puisi dan peribahasa
Ini supaya menjaga
Agar jangan dipenjara
Oleh orang-orang yang banyak rencana

Mengejar dan memfitnah
Itu hal biasa bagi mereka
Tidak peduli anda siapa
Membungkam siapa saja yang berbeda

Mari berharap pemimpin kembali bekerja
Untuk kejayaan Indonesia

Menyuarakan pendapat...
Foto: Alvin Alexander

Saturday, October 21, 2017

From Ahok

How often in life do you actually reach out to someone you admire and, given the circumstances, you don't really expect any reply, even though you actually wish for one? In my case, I had heard from others that Ahok did personally reply every single letter that was sent to him, so I gave it a try. It'd be great if he replied, but even if he didn't, that'd be understood, too. The least I could do was to thank the man for what he had done for us.

He made us proud, not only as Chinese, but especially as Indonesians. In a country so well-known for corruption and hypocrisy, both he and Jokowi were the glimmering hope we didn't know we had until they stepped into the limelight. After taking things for granted that Indonesia would never change, we were forced to reevaluate what we always believed thus far: so we did have such hope!

Things got interesting from then onwards. In a short period Ahok was governing Jakarta, we were shown that things in Indonesia could be done differently and in a better way. Then he was jailed for the alleged blasphemy, which was very obvious to many that it was just a dirty political circus. The hard truth of Indonesia, I guess.

In the evening of August 26, I wrote to thank the man for the inspiration and the hope that he gave us. I told him that the day I listened to his speech at the Indonesia Embassy in Singapore was one of the best moments in my life. He made me believe that it was really up to us, Indonesians, regardless what race we are, to change the course of our country for the better.

And he wasn't just all talk, but he was capable of doing it, too. He set the standard so high and led us towards it that, for once in the history of Indonesia, we surprised ourselves by achieving that. Only God knows if history will repeat, but I have faith now that it will. By then, whether Ahok will return or not, that's anyone's guess. For now, I just hoped that he was doing fine.

The letter I wrote could have ended up as a one-sided conversation. I was half-expecting that and I was prepared to have no reply, as days went by with no sign of such mail in my mailbox, so imagine how delighted I was when I actually received a reply from Ahok on October 17.

I smiled as I read his famously ugly handwriting (he even said that himself in his letter, although his handwriting was still much more readable than mine). His letter, dated September 30, talked briefly about his life in prison. He shared that he had been quite active in writing and he hoped that his book could be published by PT. Basuki Solusi Konsultindo next year. I had no idea if he was just kidding about the name of the company, haha.

I like the fact that the letter felt very upbeat and easygoing without the slightest hint of regret. The content was very positive for a person who was thrown into jail unfairly. Very infectious, refreshing and inspiring, I must say. I mean, he could have just blamed God and complained incessantly for what he went through, but no, he chose to be thankful instead. He mentioned in his letter that he was actually grateful that he was given time by God to retreat and rethink about his career instead of working as a governor until October 15. As a reader, I could sense that he had moved on. He did what he could do in the meantime while eagerly waiting to see what tomorrow would bring.

Looking back, those days when he was a governor was quite an adventure, a real life drama between good and evil. All hopes seemed lost when things took a sudden turn, but now, knowing that he's okay and taking things lightly, I feel somehow encouraged, too. The thing with Ahok is, he can be jailed physically, but his influence can't be imprisoned. He made me believe that there's such thing as greater good. Through his letter, it is as if he was trying to say, "don't stop believing in hope and doing what's right. It doesn't matter if many don't see it now, but time will tell one day."

Really, if this doesn't inspire you, I don't know what else will...

And the reply finally reached Singapore.


Dari Ahok

Di dalam hidup ini, seberapa sering anda mencoba menghubungi orang yang anda kagumi namun tidak benar-benar berpikir bahwa anda akan mendapatkan jawaban, walaupun sebenarnya anda berharap? Dalam pengalaman saya yang berikut ini, saya pernah membaca bahwa Ahok membalas setiap surat yang ditujukan padanya, jadi saya tergerak untuk mencoba. Bagus kalau misalnya dapat jawaban. Bila tiada balasan, itu pun bisa dimengerti. Paling tidak saya sudah kesampaian untuk mengucapkan terima kasih untuk apa yang telah dia lakukan. 

Jadi apa yang telah Ahok lakukan? Bagi saya, dia bukan saja membuat saya bangga menjadi orang Tionghoa. Lebih dari itu, dia membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Di negara yang terkenal dengan korupsi dan gaya hipokrit, dia dan Jokowi adalah secercah harapan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya sampai mereka melangkah ke kancah publik. Setelah bertahun-tahun lamanya percaya bahwa Indonesia tidak akan berubah, sekarang kita mau tidak mau mengevaluasi kembali sudut pandang tersebut: ternyata kita punya harapan.

Perkembangan yang terjadi menjadi semakin menarik semenjak itu. Di dalam periode yang singkat dimana Ahok menjabat sebagai gubernur, kita diberi contoh bahwa banyak hal di Indonesia bisa dilakukan secara berbeda dan lebih baik. Kemudian dia dipenjara berdasarkan sebuah tuduhan yang tidak masuk akal, yang jelas terlihat sebagai sirkus politik yang kotor. Tipikal Indonesia, saya kira. 

Tanggal 26 Agustus malam, saya akhirnya memutuskan untuk menulis dan berterima kasih pada orang ini atas inspirasi dan harapan yang telah dia berikan. Saya bercerita padanya bahwa hari dimana saya mendengarkan ceramahnya di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura adalah salah satu peristiwa terbaik dalam hidup saya. Dia membuat saya percaya bahwa jika kita ingin membawa negara kita ke arah yang lebih baik, maka semua itu tergantung kita sebagai orang Indonesia, tidak masalah apa sukunya.

Dan seperti yang kita tahu dan lihat, dia bukan hanya asal bicara, tapi juga mampu membuktikannya. Dia menciptakan standar yang tinggi, membawa kita menuju ke sana dan, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, kita terkejut sendiri karena ternyata kita bisa jika kita mau. Hanya Tuhan yang tahu apakah sejarah akan terulang, tapi saya sekarang percaya bahwa ini tidak mustahil terjadi. Apakah Ahok akan kembali nantinya, tidak ada yang tahu. Namun untuk saat ini, saya hanya berharap bahwa dia baik-baik saja. 

Surat yang saya tulis ini bisa saja menjadi percakapan satu arah. Saya sudah siap menerima kenyataan ini. Seiring dengan berlalunya hari demi hari, saya semakin melupakan kemungkinan adanya balasan, jadi bayangkan betapa terkejutnya saya ketika saya menerima surat dari Ahok pada tanggal 17 Oktober.

Saya tersenyum ketika membaca tulisan tangannya yang terkenal jelek (bahkan dia pun dengan sadar menyebutkan hal ini di dalam suratnya, walau terus-terang saja tulisannya masih lebih bagus dari tulisan saya). Suratnya yang tertanggal 30 September bercerita singkat tentang kehidupannya di penjara. Dia juga berbagi cerita bahwa dia aktif menulis dan dia berharap bahwa bukunya bisa diterbitkan tahun depan oleh PT. Basuki Solusi Konsultindo. Saya tidak tahu apakah dia hanya bercanda atau serius dengan nama perusahaannya, haha.

Apa yang saya suka dari suratnya adalah semangatnya. Tiada kesan penyesalan sedikit pun di dalam tulisannya. Isi suratnya sangat positif untuk ukuran orang yang dilempar ke penjara secara tidak adil. Untuk apa yang telah dialaminya, dia bisa saja menyalahkan Tuhan yang mengeluh panjang lebar, tetapi tidak, dia justru memilih untuk berterima kasih. Dia menulis di dalam suratnya bahwa dia bersyukur karena dibebastugaskan oleh Tuhan sehingga tidak bekerja sampai tanggal 15 Oktober dan jadinya memiliki waktu untuk memikirkan langkah ke depannya. Sebagai pembaca, saya bisa merasakan bahwa dia sudah lebih siap dari kita dalam menerima kenyataan yang terjadi ini. Selagi di penjara, dia aktif dan mengerjakan apa yang ia bisa dalam ruang lingkup yang terbatas ini, lalu menanti apa yang akan dibawa oleh esok hari.

Kalau saya lihat kembali, hari-hari dimana dia menjabat sebagai gubernur bagaikan sebuah petualangan, sebuah drama antara kebaikan dan kejahatan. Semua harapan bagaikan sirna ketika terjadi hal-hal yang di luar dugaan dan menyudutkannya hingga terpuruk, tapi sekarang, setelah tahu dia baik-baik saja dan bisa melangkah dengan enteng dan penuh harapan dalam hidup ini, saya juga merasa tergugah. Saya selalu berpikir bahwa Ahok bisa dipenjara fisiknya, tapi pengaruh positifnya tidak bisa dibendung oleh jeruji penjara. Dia membuat saya percaya dengan yang namanya kepentingan orang banyak. Lewat suratnya, dia seolah-oleh ingin berkata, "jangan pernah putus harapan dalam melakukan sesuatu yang benar. Tidak masalah jika orang-orang tidak melihatnya sekarang, tapi waktu yang akan berbicara nanti."

Jika ini masih juga tidak menginpirasi anda, saya tidak tahu apa lagi yang bisa...

Ketika surat selesai ditulis, tanggal 26 Agustus.


Thursday, May 25, 2017

Imagine

A friend of mine suddenly wrote about how Indonesia seemed to have a hope, but it is now fading away due to the bombing. Social unrest and racism that are rampant these days clearly don't help, so he is pondering where the country is led to. He seldom posts anything on Facebook, so it must have been boiling inside for quite some time before he decided to vent his frustration out.

And his thought lingers in my mind. It brings me to Imagine, both the song and the album. I remember some people telling me that the lyrics were radical as it begins with, "imagine there's no heaven." I beg to differ. If you read the whole lyrics, you'll understand why my friend's Facebook status reminds me of Imagine. It's provocative, but never radical. Imagine is as literal as it gets, which is to encourage you to imagine.

Imagine there's no religion, nothing to kill or die for. What good does the religion bring if we always end up fighting for what we believe? Will it be more peaceful without it? Imagine all the people, living life in peace.

Religion is alright, that's without doubt. However, if you are not thinking straight due to it, then something must have gone wrong along the way. If humility isn't part of it, then the interpretation is questionable. Faith is good, but not to the extent that you're are blinded into believing that you are allowed to harm or kill others in the name of God. That's rather sick, I would say.

I'm not against any religion. I believe one myself. It's something to hold onto when your whole world is shaking. It's something for you to refer to, so that you know if you are on the wrong. Most importantly, it gives you peace, because it's a personal relationship between oneself and the One above.

Personal, not something that you shout about on the street. If you are still doing otherwise, if you only care about how you dress but not the way you behave, let's not forget that one thing you can't hide is when you're crippled inside. How do you sleep at night?

Playing Imagine.

Imagine

Seorang teman tiba-tiba menulis tentang bagaimana ia merasa bangga dan berharap Indonesia bisa maju seperti Singapura ketika S&P (the Standard & Poor's 500) menaikkan peringkat investasi Indonesia, namun harapan itu sirna karena bom di Kampung Melayu. Demo dan rasisme merajalela, mau jadi apa negeri ini? Mengingat betapa dia jarang menulis status, mungkin saja perasaan ini sudah lama dipendam sebelum ia akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan rasa frustrasinya.

Buah pikirannya itu menggelitik dan mengingatkan saya kembali tentang Imagine, baik lagu maupun albumnya. Pernah ada beberapa orang berkomentar bahwa ini lagu yang radikal karena liriknya mulai dengan, "bayangkan seandainya tidak ada surga." Saya cenderung memiliki sudut pandang yang berbeda. Imagine itu provokatif, tapi tidak radikal. Imagine secara harafiah mengajak kita untuk berimajinasi, melihat dari sudut pandang yang berbeda dari apa yang selama ini didoktrinkan kepada kita.

Bayangkan jika tidak ada agama, tidak ada yang membunuh atau mati demi agama. Apa yang bagus dari agama jika pada akhirnya kita selalu bertikai? Apakah akan lebih damai bila tidak ada agama? Bayangkan semua orang hidup dalam damai.

Semua agama tentu baik adanya. Akan tetapi, jika anda tidak bisa berpikir dengan jernih karenanya, mungkin ada yang sesuatu yang salah di sini. Apabila kebersahajaan bukan dari bagian yang diajarkan, sepertinya ada yang keliru dengan penafsirannya. Iman itu baik, tapi tidak berarti anda harus membunuh atas nama Tuhan. Itu pola pikir yang sakit, saya kira.

Saya tidak menentang ajaran mana pun. Sebaliknya, saya percaya dengan agama sebagai pegangan hidup yang teruji, terutama di kala segalanya tampak labil. Saya percaya agama sebagai referensi, supaya saya tahu di kala saya salah. Lebih dari itu, ada rasa damai di hati, sebab pada hakikatnya beragama itu berarti memiliki hubungan pribadi dengan Yang Maha Kuasa.

Sifat dari beragama itu pribadi, bukan sesuatu yang digembar-gemborkan dengan teriakan di jalan. Jika apa yang anda lakukan adalah sebaliknya, bila anda hanya percaya pada penampilan luar, apa yang anda pakai, tapi bukan perbuatan anda, jangan lupa bahwa kebusukan di hati itu tidak akan tertutupi. Bagaimana caranya anda bisa tidur nyenyak kalau begitu?

Imagine
Image credit: wikipedia.com


Monday, May 1, 2017

The Bold And The Bittersweet

These are two books about Ahok, the person who is loved and hated by many. They are written by two different people in very different writing styles. Denny is known for his satire while Birgaldo tells stories as it is from his unique experience. Both books are mostly the compilations of what they'd posted on social media before, those that we read as we followed what happened in Jakarta for easily the past one year or longer than that.

I like Denny's style. He is smart and sometimes he will sugarcoat his thoughts with sarcasm that makes us laugh. The man is honest and brave enough to speak his mind. Birgaldo is a fighter who has put up a good fight to defend his ideology. His stories are often poignant and I surely loved the one he told after witnessing how Ahok's stepsister cared for her brother from a different race. When love crosses boundaries such as skin colors and religions, it is an inspiring story worth telling.

As I stay in Singapore, I got both books with a little help from my friend, but they arrived at different times and what a difference that would make! I read Denny's book in December 2016, at the height of Ahok's case, when the tension was all time high, when we were on fire. On the other hand, as I just received it the night before, I only got a chance to finish now, long after Ahok lost the election. Does it still really matter?

After the election, we were arguing about the answer of that question. A friend of mine said Ahok was a fool for doing what he's been doing. Despite the good that he had done, the poor people were easily swayed and they eventually deserted him. Another would say, why bother doing all this? The Chinese population is only 5%, so what changes did Ahok expect to bring? He should have minded his own business and made money instead.

Whatever we said, it didn't change the outcome. To me, personally, that wasn't even the point. I'm concerned that the little hope that we watched for the past two years is about to be extinguished. That is bitter to swallow, alright. But perhaps Ahok isn't meant to be the agent of change that we always hope for. May be he is just a shooting star, that he is around for a while just to show us the impossible can actually be done. He set a lot of examples that inspire many. He achieved many for us to see, from getting one million support that was championed by Teman Ahok, the transparent government, the obvious improvement, the clean campaign, the bravery he has for always attending the court hearing and now, even in his defeat, he is still a phenomenon that wins supports from all over Indonesia. If not for him, the flower power would never have happened and it's unlikely to happen genuinely anymore.

May be that's all there is for a man called Ahok. If he's not destined for another role in this republic, then it's for us to carry the torch and move on. And among us, there'll always be Denny, Birgaldo and many others who'll play their parts...

From the left: Birgaldo and Denny



  1. Tentang Ahok

Dua buku ini adalah tulisan tentang Ahok, sosok yang dicintai dan dibenci orang banyak. Buku-buku ini ditulis oleh dua orang berbeda dan dengan gaya yang berbeda pula. Denny dengan gaya satirnya yang termashyur, sedangkan Birgaldo dikenal sebagai penulis yang apa adanya, yang menulis berdasarkan pengamatannya di lapangan. Tulisan-tulisan mereka di media sosial dirangkum dan akhirnya dibukukan.

Gaya Denny enak dibaca. Seorang yang jujur dan berani mengungkapkan pemikirannya, Denny seringkali membuat pembaca tertawa lewat sindiran-sindirannya yang tajam. Birgaldo adalah seorang veteran yang telah berdiri tegak di jalan untuk membela apa yang benar menurut nuraninya. Cerita-ceritanya menyentuh dan saya menyukai apa yang dia ceritakan tentang Ahok dan kakak angkatnya. Jika ada kisah kasih sayang yang menembus batas warna kulit dan agama, itu adalah kisah inspirasional yang pantas untuk diceritakan.

Karena saya tinggal di Singapura, maka saya hanya bisa mendapatkan buku-buku ini lewat teman yang berdomisili di Jakarta. Dan sesuatu yang unik, yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, pun terjadi. Saya membaca karya Denny Desember lalu, di saat panasnya kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Akan halnya tulisan Birgaldo, buku ini baru saya terima dan selesai saya baca kemarin malam, lama setelah Ahok kalah di Pilkada. Rasanya seperti menerawang kembali untuk melihat sebuah harapan yang sirna. Apakah masih ada gunanya?

Setelah Pilkada, saya dan teman-teman berargumentasi tentang pertanyaan tersebut. Seorang teman berkata bahwa Ahok sungguh bodoh karena membela orang miskin. Setelah apa yang dia lakukan, tetap saja orang miskin terbujuk-rayu oleh pihak lain dan meninggalkannya. Yang lain pun berujar, populasi Tionghoa di Indonesia cuma lima persen, jadi bisa apa seorang Ahok? Seharusnya dia berbisnis dan cukup mencari uang saja.

Apa pun yang kita diskusikan, semua itu tidak mengubah kenyataan bahwa Ahok kalah di Pilkada. Bagi saya secara pribadi, pahit rasanya untuk menerima bahwa secercah harapan yang saya rasakan selama dua tahun ini akan dipadamkan begitu saja. Akan tetapi, seperti kata Ahok, kekuasaan itu Tuhan yang berikan dan Dia pula yang akan mengambilnya, jadi mungkin saja perannya memang hanya sampai di sini. Ahok bagaikan sebuah komet, yang beredar hanya sebentar untuk menunjukkan pada kita, bahwa yang rasanya tidak mungkin itu sebenarnya bisa dikerjakan. Dia mencapai begitu banyak untuk kita teladani, mulai dari dukungan satu juta KTP, pemerintahan yang transparan, peningkatan kualitas kerja, sarana dan lingkungan, kampanye yang bersih dan dibiayai oleh rakyat, ketaatan dan keberaniannya dalam menjalani persidangan dan sekarang, bahkan setelah kalah pun ia adalah fenomena yang memenangkan banyak dukungan dari seluruh Indonesia. Tidak pernah sebelumnya ada gerakan bunga yang spontan untuk seorang gubernur dan rasanya tidak akan ada lagi yang seperti ini.

Mungkin hanya itulah peran seorang Ahok: sebatas memberikan inspirasi dan teladan. Jika ia tidak lagi menjabat di Republik ini, tanggung jawab kita adalah melanjutkan apa yang sudah ia kerjakan. Di antara kita akan ada orang-orang seperti Denny dan Birgaldo yang akan memainkan perannya dalam mengawal bersama...