Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Technology. Show all posts
Showing posts with label Technology. Show all posts

Thursday, March 14, 2024

The Business Trip

I've joined the workforce since year 1998. My first job was at Hotel Kartika in Pontianak and I worked as a stock-keeper. Because Wisma Siantan Indah was owned by the same boss, I had to deliver goods to the inn across the river. My first and quite regular business trip, if I could call it that since it happened in the same town. 

Back to where it all started.

The pattern repeated when I moved to Jakarta and worked at Kalbe Farma. The company's factory is in Cikarang and it has many branches, so I'd go to offices in Jakarta such Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati and many more. But my first and proper business trip had to be the visit to Sukajadi office in Bandung. My colleague Surijanto drove me there for an easy job: replacing a faulty network router. 

Then came the Medan trip in 2005, the first time I ever took a two-hour flight. I also had the first overseas trip to Singapore and Hong Kong for business purpose that year. Since I was never a brilliant network engineer, I'm pretty sure I was selected simply because I had a passport ready with me plus the fact that I was able converse in English (and Chinese to a certain extent), haha. 

Lunch with Juniper team in Boat Quay, Singapore. 

When I moved to Singapore and worked at Ong First, I was also sent to Kuala Lumpur and Bangkok for business trips with the worst arrangement ever: a day trip! So I had to fly out and return to Singapore on the same day. I met clients right after I landed and went back to the airport again immediately.

14 years into my current job, I flew once in a blue moon to Jakarta and Kuala Lumpur for work. The last one happened a week ago and it got me thinking about the pros and cons of such trips. All this while, the nature of my job didn't really require me to travel. I love travelling, but based on few trips that I did, I could say that business trip is my least favourite kind of trip. 

With colleagues at KL office. 

Yes, I like meeting people, especially putting faces to the names I normally work with. But other than that, business trip doesn't offer much liberty because you are clearly there for work. Imagine visiting a new city but you don't have a chance to explore. So no, not exactly a fan. Given the choice, I'd rather pay for the trip myself and have the full freedom to travel properly. 



 Perjalanan Bisnis

Saya sudah mulai bekerja sejak tahun 1998, begitu saya lulus SMA. Profesi pertama saya berkaitan dengan bagian pengadaan barang di Hotel Kartika Pontianak. Karena Wisma Siantan Indah juga dikelola oleh pemilik yang sama, maka saya juga secara berkala mengantarkan barang-barang ke penginapan yang berada di seberang sungai. Meski masih dalam kota yang sama, boleh dikatakan itulah "perjalanan bisnis" dalam tiga tahun pertama saya di dunia kerja. 

Kembali ke Kartika di tahun 2023.

Pola serupa ini juga berulang ketika saya pindah ke Jakarta dan bekerja di Kalbe Farma. Perusahaan obat ini memiliki pabrik di Cikarang dan banyak kantor cabang. Di Jakarta, saya mengunjungi kantor-kantor di Rawagelam, Pulo Lentut, Tanah Abang, Fatmawati dan masih banyak lagi. Akan tetapi perjalanan bisnis saya  untuk pertama kalinya terjadi saat saya ke kantor di Sukajadi, Bandung. Di masa sebelum ada jalan tol, kolega saya Surijanto yang menyetir dan kita ke Bandung untuk tugas yang tergolong enteng: mengganti router yang rusak. 

Kemudian ada lagi perjalanan ke kantor cabang Medan di tahun 2005. Untuk pertama kalinya saya menaiki penerbangan yang berdurasi dua jam lamanya. Saya juga diberangkatkan ke Singapura dan Hong Kong di tahun yang sama. Terus-terang saya bukanlah pakar jaringan komputer, jadi sepertinya saya terpilih semata-mata karena saya memiliki paspor dan bisa berbahasa Inggris, plus Mandarin seadanya, haha. 

Makan siang di Boat Quay, Singapura, bersama tim dari Juniper.

Sewaktu saya hijrah ke Singapura dan bekerja di Ong First, saya sempat pula ditugaskan ke Kuala Lumpur dan Bangkok dalam rangka mengunjungi CIMB Bank dan Bangkok Bank, tapi pergi-pulang di hari yang sama. Saya harus bergegas menemui klien begitu tiba dan kembali ke bandara setelah misi tercapai. Sungguh melelahkan dan tidak menyenangkan. 

Memasuki tahun ke-14 di pekerjaan yang saya tekuni sekarang, sesekali saya pergi ke Jakarta dan Kuala Lumpur karena urusan kantor. Perjalanan bisnis terkini terjadi seminggu lalu dan membuat saya berpikir tentang pro dan kontra bepergian dalam rangka bisnis. Sejauh ini, pekerjaan saya cenderung tidak memerlukan saya untuk bertugas ke luar, namun berdasarkan pengalaman yang ada, saya bisa katakan bahwa saya tidak menyukai perjalanan bisnis. 

Bersama para kolega di kantor KL.

Ya, saya senang bertemu dengan mereka yang selama ini hanya saya kenal sebatas nama. Namun ada rasa tidak bebas karena perjalanan bisnis itu memang dalam kapasitas pergi bekerja. Bayangkan jika kita pergi ke tempat yang baru dan tidak punya kesempatan untuk jalan-jalan. Dari sini saya bisa menyimpulkan, kalau saya bisa memilih, saya lebih suka bayar sendiri dan berjalan sepuas hati. 




Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Saturday, February 4, 2023

The Plastics II: Debit Cards

I had always loved the plastics since I got my first one in 2001, but the craze only started when I moved to Singapore. I'd been collecting credit cards since then. After almost two decades of doing the same thing, I'd naturally expect it to stay that way. Hence it was amusing when the scope changed recently. It expanded to debit cards as well, after I met my friend STV at Hilary's Christmas party

Talk about debit cards, I had Wise since it was still called TransferWise. I applied for it because the card design looked cool, but I never really paid attention to the usage. Then I got myself the Amaze card because it was highly recommended by Franky, the guy with a plenty of brilliant financial advices. It had been my go-to card for traveling and foreign exchange transactions for months, until the night STV shared the comparison between Amaze and YouTrip. He was of the opinion that YouTrip offered better exchange rates these days for selected currencies.

Now, I won't go in-depth on this topic. You could easily google it and find more qualified sources that showed the comparison of Amaze, Youtrip and other similar cards. I'd like to share my experience in testing out the cards instead. 

There was a reason why I ignored debit cards for the longest time. I disliked the fact that it immediately deducted your bank account the moment you used it. This was also the reason why Amaze card worked for me, because even though it was a debit card, I could link it to credit cards and I never had to worry if I still had any balances left or not.

Anyway, after that fateful night, I ended up trying out and comparing the big four in Singapore: Wise, Amaze, YouTrip and Revolut. I also explored less known cards such as Wirex, UOB Mighty FX, BigPay and DelytePay. That's when I learnt that some are really suitable for travelling purpose while others not so. 

The big four: YouTrip, Amaze, Revolut and Wise.

First things first, the account opening. The process for the big four were brilliant and seamless. Wirex was equally hassle-free, too. The application for Mighty FX, the only one from the bank that I tried, felt old-fashioned. It was as good as opening many accounts and it took weeks before the debit card was issued. BigPay application didn't work out well, too. It was stuck under the review status for more than a week, until I sent an email to give it a nudge. The customer service was surprisingly responsive, though. As for DelytePay by Matchmove, the interface worked well for account opening, but there was this lingering feeling that it was small fintech company. I mean, I'd usually receive a card in a mail with my address printed on it, but it was handwritten this round. Much to my chagrin, my name is also not engraved on the card.

In general, card activation is done in a similar method via mobile app. This is why it was quite shocking that Wise switched to a rather painstaking way for card activation. I don't even remember it was that difficult when I first had my TransferWise card. What happened was, the Wise card activation could only be done by checking the balance on the ATM. But what it didn't specify was, it could only be done using POSB ATM. Quite frustrating and I felt like I was doing User Acceptance Test for them. The other method of card activation was even more ridiculous. I was asked to use PIN to do a transaction, but this isn't even the practice in Singapore. I had travelled around the world quite a fair bit and only in Indonesia I was asked to use PIN.

Next, top-up. The best is, of course, Amaze by InstaRem. In term of practicality, no top-up is required for Amaze card as it will charge directly to a credit card that is linked to it. Revolut is right behind it on the second place. I like the fact that it leverages on Google Pay. Then, depends on the cards, some actually will incure charges when using Visa to top-up, but no extra charges when using Master (BigPay is an exception here). Wirex has fees for both Visa and Master whereas Wise still has the option to use Paynow. UOB Mighty FX relies on One Account, just like the traditional banking system. DelytePay is the weirdest among all as it has to be topped up at 7-Eleven.

In term of the interface, I like Revolut the best. It was well-thought, simple to understand and nicely animated. It is also the only one with a child account feature, just like what Get was doing before it went dysfunctional in August 2022. The rest were all right. I tried the Contact Us feature of almost all the cards, too. Again DelytePay felt like it was lagging behind because others already had a rather comprehensive FAQ and many ways for users to reach out.

Last but not least, not all are meant to be travel money cards. Only Wise, Revolut, Amaze and YouTrip easily fall into this category. Wirex is designed for cryptocurrency trading and its debit card is more of a by-product. Mighty FX felt like a half-hearted attempt to compete with others. BigPay is nowhere near the big four and DelytePay is clearly not on the same level playing field. 

I don't know if it's just me being out of touch or what, but as I discovered this, I realized that when it comes to travelling, credit cards seem to be lagging behind while these debit cards are competing to offer the best FX rates. The next trip will be quite different for me. Can't wait to put them in good use real soon!

Mighty FX, Wirex, DelytePay and BigPay.



Kartu Debit

Saya memperoleh kartu kredit pertama saya di tahun 2001 dan saya mulai mengumpulkan beraneka kartu kredit sejak pindah ke Singapura. Setelah hampir dua dekade lamanya  menekuni hobi ini dan melakukan hal yang sama, saya tertegun sendiri ketika cakupannya berubah baru-baru ini. Setelah bertemu dengan teman saya STV di pesta Natal Hilary, saya kini sibuk berburu kartu debit.

Berbicara tentang kartu debit, saya memiliki Wise dari sejak namanya masih TransferWise. Saya bikin kartu ini karena desainnya yang bagus, tapi saya hanya mencoba fiturnya belakangan ini. Di pertengahan tahun 2022, saya lantas mengajukan aplikasi kartu Amaze karena Franky sangat merekomendasikan kartu ini (dia selalu memiliki banyak nasehat bagus tentang hal finansial). Semenjak itu, kartu Amaze selalu saya pakai saat bepergian keluar negeri atau untuk transaksi yang menggunakan mata uang selain SGD. Namun itu semua berubah setelah STV memaparkan tentang perbandingan antara Amaze dan YouTrip. Menurut STV, YouTrip menawarkan kurs yang lebih bagus untuk mata uang tertentu. 

Saya tidak akan menjelaskan lebih rinci tentang hal ini, sebab anda bisa google dan cari tahu dari sumber yang lebih terpercaya tentang perbandingan antara Amaze, Youtrip dan kartu-kartu serupa. Apa yang ingin saya ulas di sini adalah pengalaman saya saat menguji-coba aneka kartu debit ini.

Ada alasan kenapa saya mengabaikan kartu debit dalam dua puluh terakhir ini. Saya tidak suka dengan konsepnya yang langsung memotong uang di rekening begitu kita bertransaksi. Satu-satunya alasan kenapa saya suka kartu debit Amaze adalah fiturnya yang langsung bertransaksi berdasarkan kartu kredit yang kita hubungkan sebagai sumber saldo. Dengan demikian saya tidak perlu memikirkan apakah saya masih memiliki dana yang tersisa di rekening kartu debit saya. 

Nah, setelah percakapan dengan STV, saya lantas mencoba empat nama besar yang mulai mencuat di Singapura: Wise, Amaze, YouTrip dan Revolut. Saya juga mengetes nama-nama yang jarang terdengar, namun sempat muncul di media sosial atau Google. Kartu-kartu tersebut adalah Wirex, UOB Mighty FX, BigPay dan juga DelytePay. Dari percobaan ini, saya pun mendapatkan ide bahwa beberapa kartu ini memang dirancang untuk liburan sedangkan yang lain beda kegunaannya. 

Empat besar di Singapura: YouTrip, Amaze, Revolut dan Wise.

Hal pertama yang saya coba adalah pembukaan rekening. Proses untuk empat nama besar tergolong sangat praktis dan tidak bertele-tele. Wirex pun bisa dikatakan ringkas. Akan halnya Mighty FX, satu-satunya kartu keluaran bank yang saya coba, terasa agak ketinggalan zaman. Kesannya seperti membuka banyak rekening dan butuh waktu beberapa minggu sebelum saya akhirnya menerima kartu debit. Pengajuan kartu BigPay pun sempat tersendat juga. Statusnya selalu under review sampai saya kirimkan email untuk bertanya lebih lanjut. Tapi pelayanan pelanggannya tergolong cukup responsif. Terakhir, DelytePay dari Matchmove, memiliki kesan perusahaan kecil. Biasanya kartu yang saya terima dikirim dengan amplop yang alamatnya tercetak secara komputerisasi, tapi yang satu ini masih ditulis tangan. Saya juga agak kecewa karena kartu yang saya terima sama sekali tidak mencantumkan nama saya. 

Secara keseluruhan, aktivasi kartu boleh dikatakan nyaris serupa dan lewat app. Inilah alasannya kenapa metode Wise sungguh mengejutkan dan repot. Seingat saya, aktivasi kartu TransferWise pertama saya pun tidak sesulit ini. Apa yang terjadi adalah, aktivasi kartu Wise hanya bisa dilakukan dengan cara mengecek saldo lewat ATM. Apa yang tidak dijelaskan secara spesifik adalah, metode ini hanya bisa dilakukan lewat ATM POSB. Saya sempat merasa frustrasi karena merasa seperti sedang membantu Wise menguji sistem. Metode lainnya bahkan lebih konyol lagi: transaksi menggunakan PIN. Padahal tidak ada yang menggunakan metode ini di Singapura. Sepanjang pengalaman saya dalam mengunjungi berbagai negara, hanya Indonesia yang memiliki pilihan menggunakan PIN saat pembayaran menggunakan kartu. 

Yang berikutnya adalah pengisian saldo. Yang terbaik tentu saja  Amaze dari InstaRem. Begitu praktis karena saldo tidak perlu diisi setelah kita menghubungkannya dengan kartu kredit. Revolut juga lumayan gampang karena terhubung dengan Google Pay. Tergantung jenis kartunya, ada yang terkena biaya bila mengisi saldo dengan Visa, tapi gratis jika kita menggunakan Master (pengecualiannya adalah BigPay yang juga gratis meski pakai Visa). Wirex memungut biaya untuk pengisian saldo dan Wise masih memiliki alternatif transfer tanpa biaya lewat Paynow. Mighty FX terasa seperti sistem tradisional karena masih mengandalkan rekening bank One Account. Yang paling tidak lazim adalah DelytePay karena saldo harus diisi di 7-Eleven.

Dari aspek aplikasi, saya paling suka Revolut. Aplikasinya mudah dimengerti dan memiliki animasi yang menarik perhatian serta informatif. Revolut juga satu-satunya yang memiliki rekening untuk anak, mirip seperti apa yang ditawarkan oleh produk Get sebelum kartu debitnya sama sekali tidak bisa digunakan lagi sejak Agustus 2022. Aplikasi kartu lainnya boleh dikatakan lumayan. Fitur Contact Us pun saya coba untuk hampir semua kartu. Sekali lagi DelytePay terasa ketinggalan karena yang lainnya memiliki FAQ yang komprehensif dan pelayanan pelanggan yang responsif. 

Yang terakhir dan paling penting adalah, tidak semua kartu dirancang sebagai kartu yang bagus kursnya untuk liburan. Hanya Wise, Revolut, Amaze dan YouTrip yang masuk di kategori ini. Wirex lebih dominan di jual-beli kripto dan kartu debitnya terasa seperti produk sampingan. Mighty FX terasa seperti usaha setengah hati untuk bersaing dengan produk lain yang serupa. BigPay masih jauh dari empat besar dan DelytePay jelas beda level. 

Jujur saya merasa seperti pemain baru di dunia kartu debit, tapi setelah saya uji dan alami, saya merasa bahwa untuk fasilitas liburan, kartu kredit ternyata kini kalah jauh dari kartu-kartu debit yang bersaing dalam menawarkan kurs paling kompetitif. Sungguh rasanya tidak sabar lagi untuk saya pakai lebih lanjut di liburan berikutnya!

Mighty FX, Wirex, DelytePay dan BigPay.

Monday, January 23, 2023

Paradigm Shift

Now here's something that I went through a couple of times in life, but only realized what it meant recently. It also got to do with the fact that I suddenly got this inexplicable interest in the phrase paradigm shift. Simply couldn't get rid of it from my mind. It felt so cool, sounded almost like paradise lost, and I couldn't help thinking that it would make a great title for my next blog post.

Anyway, this story began with a chronic addiction I had with the plastics. All this while, I always loved collecting credit cards, but I also spent some time digging into debit cards as well recently. This was triggered by the comparison between InstaRem and Youtrip debit cards that I had with a friend known as STV when we met at Hilary's Christmas party last year.

You see, prior to that, I never really paid attention to debit cards. To me, they were pretty inconvenient. But suddenly, when it came to travelling, credit cards seemed to be lagging behind while these debit cards were competing to offer the best FX rates. It was so game-changing that I had to start reading about it.

That got me thinking about two other things that happened roughly a week ago, when a friend of mine asked me about moving data to cloud. Not long after that, the same guy also did a survey in our group chat to gather the statistics of Spotify users among us. 

With regard to the former, I did exactly that about two years ago. I lived through all the changes I needed to know about the data storage, from a diskette to Apple's Time Capsule. I saw how those things were the state-of-the-art until the day they became things of the past. I remember when it suddenly made sense to use cloud and the rest is history. 

Same goes for Spotify. I was an ardent supporter of CD until I set up Google Home and tried out the music apps. It felt so practical that it changed the way I listened to music. I could be in the living room, bedroom or even on the go and the music would just follow. I never looked back since then.

This is the paradigm shift I was talking about. Just like many people, I also had this habit of clinging to the good old ways that I knew and loved, the ways I knew would work. But in this ever changing world, there'll always be technologies that are mature enough to change the way you know it and it's not necessary a bad thing. What I learnt here is, if you dared to give it a try, it might change your life forever. The choice is always yours. The question now is, will you do something about it? 

My buddy from Miyagi-Do started moving data to cloud. 



Paradigma Yang Bergeser

Pengalaman berikut ini adalah sesuatu yang sudah saya lalui beberapa kali, tapi belakangan ini saya sadari apa hikmah sebenarnya. Cerita kali ini juga berkaitan dengan frase paradigm shift yang entah kenapa terasa memiliki daya tarik sendiri. Mungkin karena terdengar mirip dengan paradise lost dan saya jadi berpikir bahwa ini akan menjadi judul yang bagus untuk tulisan saya. 

Awal kisah ini bermula dari kebiasaan saya dalam mengumpulkan kartu kredit. Ini sudah merupakan hobi dari sejak lama, tapi belakangan ini saya jadi membaca lebih lanjut tentang kartu debit juga. Semua ini dipicu oleh percakapan dengan teman saya STV mengenai perbandingan antara kartu InstaRem dan Youtrip sewaktu saya bertemu dengannya di pesta Natal di rumah Hilary tahun lalu.  

Sebelum itu, saya tidak pernah serius memperhatikan kartu debit. Bagi saya, kartu debit ini sangat tidak praktis. Namun perkembangan terkini menunjukkan bahwa kartu kredit tertinggal jauh dari kartu debit yang berlomba-lomba menawarkan kurs terbaik bagi mereka yang senang jalan-jalan. Saya jadi tertarik untuk menyelidiki lebih jauh lagi. 

Hal ini lantas mengingatkan saya tentang beberapa hal yang terjadi baru-baru ini, ketika seorang teman bertanya tentang cara memindahkan data ke cloud. Teman ini juga mengadakan survei di grup SMA untuk melihat siapa saja teman yang kini menggunakan Spotify. 

Menyimpan data di cloud adalah sesuatu yang telah saya lakukan sejak dua tahun silam. Saya sudah melewati beraneka perubahan tempat penyimpanan data, mulai dari disket sampai Time Capsule yang dijual oleh Apple. Saya lihat sendiri bagaimana teknologi yang dulunya paling mutakhir itu tersisih menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman. Saya juga ingat saat saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke cloud. Ada kesan bahwa memang sudah waktunya. 

Sama halnya juga dengan Spotify. Saya merupakan pendukung keras CD musik, sampai akhirnya saya memasang Google Home di rumah dan mencoba berbagai apps untuk musik. Tiba-tiba semua terasa begitu praktis sehingga mengubah cara saya mendengarkan musik. Saya bisa berada di ruang tamu, di kamar atau bahkan bepergian dan musik akan selalu melantun di telinga. Saya tidak pernah lagi memutar CD sejak saat itu. 

Jadi hal-hal di atas adalah apa yang saya maksudkan dengan paradigma yang bergeser. Seperti halnya dengan banyak orang lain, saya juga memiliki kebiasaan untuk bergantung pada cara yang saya tahu dan kenal baik dalam melakukan sesuatu. Kendati begitu, perlu diingat bahwa di dunia yang selalu berubah ini, akan selalu muncul teknologi yang akhirnya cukup matang untuk mengubah pola hidup kita dan ini bukanlah hal yang buruk. Apa yang saya pelajari dari pengalaman ini adalah, jika anda berani mencoba, pada akhirnya anda mungkin menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidup anda. Pilihan tersebut ada di tangan anda. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah anda tergerak untuk melakukan sesuatu? 

Thursday, July 7, 2022

Not All Apps Are Created Equal

I kid you not! I had the title lingering in my mind for the past few days, as if it begged to be written! It was so amusing that I couldn't help thinking about it. This story started with an incident that happened few days ago, when a friend that was pretty active in our WhatsApp group chat suddenly contacted me via Messenger. She asked me to top up her prepaid phone. When I mentioned that in our group, another friend said she was asked to provided the SMS OTP. Then a friend in Bali was asked to lend her money. Needless to say, we knew immediately that her Facebook account was hacked. The issue was sorted out quickly. 

But how did we go from the experience above to the idea that not all apps are created equal? In order to understand this, let's go back to the very beginning, to the dawn of the internet. I was old enough to be a young man during this exciting time in Pontianak. Internet cafes were thriving and it was hard to get seats on Saturday night. Every youngster would be there to play mIRC. We'd be logging in to channels such as #khuntien and #bawel, getting to know girls. Though we could be banned if we accidentally said something that was deemed as abusive, we couldn't go wrong with the opening line: "ASL, please." 

For those who were born after the internet, it might sound weird that we found this thrilling. You had to realize that just a year before, we were hanging out at Telkom's public phone booths, holding a stack of coins while conversing with girls we tried to impress. It was unglam and we had to suffer from mosquito bites. Going from analog conversation like that to asking Age, Sex, Location to strangers was beyond wild! The internet was a miracle, mIRC was a godsend and ASL was the universal internet slang that ruled them all! Good times! Got me no girlfriends, though. Only one or two pen pals, haha.

Then there was ICQ. I just had to mention this, even though it wasn't as popular as mIRC. In fact, I knew it only from Jun Fui, a fellow computer lab assistant and a geeky friend of mine. I never used ICQ for chatting purpose, but it did one thing that was quite valuable at that time: it could send SMS to the mobile phone. Yes, SMS. Short Message Service containing only 160 characters. Back when you barely had enough money to top up your prepaid number, free SMS was too good to be true. While it might seem silly by today's standard, being able to send a couple of SMSes for free per day was a luxury back then!

When I went to Jakarta few years later in 2002, the internet had significantly improved in just a short period of time. I was now using Yahoo! Messenger on a desktop computer. I think it was the first chat app that introduced emojis to me. Cool stuff. Now people could know that I was smiling when I replied them. Then I switched to Google Talk when I moved to Singapore because... the girl I loved also used it, haha. One more that was worth mentioning during this period was MSN Messenger. I used it because some Singaporean friends used it, too. 

Then came the time when the three messengers above were made available on mobile phone. There was an app that allowed us to log in to all three. But this coincided with the rise of BBM. With a native app on a phone that was so widely used, especially in Indonesia, third-party messengers seemed redundant. When BlackBerry was riding high, BBM was all I needed. Looking back, I liked the idea of BBM pin. Nobody could add you without your permission, haha.

Skype appeared around the same time. The voice call feature was its main attraction. I remember those days when I always had to buy the prepaid cards for long distance calls to Indonesia. Skype eliminated this costly need. Suddenly it was free to make a call! So there was a period of time when Yani and I used this quite regularly. I remember staying in Eunos, getting ready for a call at 8pm Singapore Time. It was a date!

Then came WhatsApp that changed it all. It started small, as if it was a BBM wannabe that used phone number instead of pin. But then it got better. One-to-one chat, ticked. Group chat, ticked. Voice call ticked. Video call, ticked. Group call, ticked. File sharing ticked. By then, it had become the ultimate communication tool that we must have. BBM's days were numbered and I remember the fateful day when I had to say goodbye to the most beloved app during its heyday.

And that brought us back to Messenger. If you observed the apps that I described above, each of them was quite revolutionary and it served its purpose. But in a world where WhatsApp was the benchmark, Messenger looked like a sad little app with not much use. Both had pretty similar features, but nobody I knew really used Messenger. The recent case got me wondering, perhaps the only time the app became useful was when it inadvertently alerted us that the person's Facebook account had been hacked. How ironic. So it's true that not all apps are created equal...

PS: yes, I know there were still other apps such as Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat, Viber, and many more, but I never really used those. I remember reading it somewhere that Chinese had WeChat, Japanese had Line and South Koreans had KakaoTalk, but only Indonesians had the time to use them all to chat with the same people, haha.  

Those logos we saw before...




Tidak Semua Aplikasi Diciptakan Setara

Percaya atau tidak, beberapa hari ini judul di atas selalu muncul di benak saya, seakan-akan meminta untuk diceritakan. Agak mengherankan juga, sebenarnya. Cerita kali ini dimulai dengan sebuah peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, ketika seorang teman yang cukup aktif di grup WhatsApp tiba-tiba menghubungi saya lewat Messenger. Dia ingin agar saya mengirimkan pulsa untuknya. Sewaktu saya pos ini di grup, seorang teman lain langsung bercerita bahwa dia juga dimintai SMS OTP. Kemudian seorang teman di Bali juga ternyata diminta untuk meminjamkan uang. Kita langsung tahu bahwa akun Facebook teman yang satu ini telah dibajak. Isu ini pun segera ditindaklanjuti. 

Akan tetapi apa hubungan kejadian di atas dengan ide bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara? Untuk mengerti lebih lanjut, mari kita kembali ke awal munculnya internet di Pontianak. Saat itu saya adalah seorang pemuda di periode yang gegap-gempita. Internet cafe bertaburan di mana-mana dan penuh-sesak di malam Minggu oleh muda-mudi yang ingin bermain mIRC. Kita sibuk di channel #khuntien dan #bawel untuk mencari pacar. Walau kita bisa didepak kalau salah bicara, tapi sudah pasti aman kalau memulai perkenalan dengan, "ASL, please." 

Bagi yang lahir setelah zaman internet, mungkin sulit untuk memahami kenapa hal seperti ini bisa terasa seru. Anda harus menyadari bahwa setahun sebelumnya, angkatan saya masih berkumpul di telepon umum kantor Telkom sambil menggenggam setumpuk koin untuk menelepon gadis yang diincar. Ini jelas kalah pamor, ditambah lagi banyak nyamuk. Peralihan dari pengalaman seperti ini ke internet, lalu bertanya Age, Sex, Location pada orang asing, rasanya seperti dahsyat sekali. Internet adalah sebuah keajaiban, mIRC adalah kiriman Tuhan dan ASL adalah istilah universal yang menjembatani perkenalan! Masa-masa yang menyenangkan. Tapi saya tidak dapat pacar. Hanya dapat satu atau dua sahabat pena, haha. 

Lantas muncul ICQ. Saya wajib sebutkan yang satu ini, meskipun ICQ tidak sepopuler mIRC. Saya sendiri baru tahu aplikasi ini dari Jun Fui, sesama asisten lab komputer dan juga teman saya yang kutu-buku. Saya tidak menggunakan ICQ untuk chatting, tapi untuk satu fitur yang bisa dilakukan oleh aplikasi ini: mengirim SMS ke HP. Ya, SMS. Short Message Service yang hanya berisi 160 karakter. Di zaman tatkala saya sering kekurangan uang untuk membeli pulsa, SMS gratis itu bagaikan berkat. Walau mungkin terlihat konyol sekarang, bisa mengirimkan beberapa SMS gratis per hari adalah suatu kemewahan tersendiri di masa itu!  

Sewaktu saya pindah ke Jakarta di tahun 2002, internet sudah jauh lebih maju. Kini saya menggunakan Yahoo! Messenger di komputer. Seingat saya, dari aplikasi inilah saya menggunakan emoji untuk pertama kalinya. Ini adalah hal kecil yang luar biasa. Sekarang pembaca bisa tahu kalau saya sedang tersenyum saat merespon komentarnya. Kemudian, setelah pindah ke Singapura, saya menggunakan Google Talk karena... wanita yang sukai juga menggunakannya, haha. Satu lagi dari masa ini yang perlu saya sebutkan adalah MSN Messenger. Saya juga pakai ini karena banyak teman-teman Singapura yang menggunakannya.

Lalu tiba era di mana tiga aplikasi di atas bisa digunakan di telepon genggam. Jadi ada satu aplikasi yang bisa sambung ke Yahoo! Messenger, Google Talk dan MSN Messenger. Kedengarannya memang praktis, tapi semua ini terjadi ketika BBM mulai populer. Dengan aplikasi yang sudah tersedia di telepon yang digunakan oleh begitu banyak orang, terutama di Indonesia, tiga aplikasi di atas jadi seperti ekstra dan tidak begitu diperlukan. Di era BlackBerry, satu-satunya yang saya perlukan adalah BBM. Jikalau saya lihat kembali lagi sekarang, saya suka dengan konsep pin BBM. Orang lain tidak bisa semena-mena menghubungi anda, apabila tidak ada permisi dari anda, haha. 

Skype juga muncul di saat BBM menyapu bersih aplikasi lainnya. Fitur telepon lewat internet adalah atraksi utamanya. Saya ingat betul hari-hari di mana saya perlu membeli kartu untuk sambungan langsung internasional. Kemunculan Skype mengurangi biaya dari keperluan ini. Tiba-tiba saja kita bisa menelepon secara gratis. Jadi ada periode di mana saya dan Yani cukup rutin menggunakan aplikasi ini. Saya ingat saat itu saya tinggal di Eunos. Jadi kita cukup janjian, misalnya telepon jam 8 malam waktu Singapura, dan kini bisa berbicara langsung! 

Sesudah itu muncul WhatsApp yang mengubah segalanya. Di awal kiprahnya, WhatsApp mirip seperti tiruan BBM yang menggunakan nomor telepon sebagai ganti pin. Kemudian WhatsApp kian berkembang. Chat perorangan, bisa. Chat secara group, bisa. Panggilan suara, bisa. Panggilan video, bisa. Panggilan lebih dari satu orang, bisa. Kirim file, juga bisa! Akhirnya WhatsApp menjadi andalan sehari-hari. BBM pun pudar. Saya ingat betul dengan hari-hari terakhir dari aplikasi yang kalah saing ini. 

Dan cerita di atas membawa kita kembali ke Messenger. Bila anda perhatikan setiap aplikasi yang saya jabarkan di atas, setiap aplikasi ini cukup revolusioner dan memainkan peran penting di zamannya. Tapi di dunia di mana WhatsApp kini jadi patokan, Messenger terlihat mengenaskan. Dua-duanya memiliki fitur yang mirip, tapi dari semua yang saya kenal, tidak ada seorang pun yang benar-benar menggunakan Messenger. Insiden di atas membuat saya membayangkan, sekali-kalinya Messenger terasa berguna adalah saat akun Facebook kena bajak. Sungguh ironis. Jadi benar bahwa tidak semua aplikasi diciptakan setara...

NB: ya, saya tahu masih banyak aplikasi lain seperti Line, WeChat, Telegram, KakaoTalk, Snapchat atau Viber, tapi saya tidak menggunakan semua itu. Satu hal yang saya pernah saya baca dan ingat adalah, orang Cina punya WeChat, orang Jepang punya Line dan orang Korea ada KakaoTalk, tapi hanya orang Indonesia yang punya waktu menggunakan semua aplikasi ini untuk chat dengan orang yang itu-itu juga, haha.  

Sunday, April 10, 2022

Through The Looking Glass

This story began with a really bad news for BlackBerry fans like me: OnwardMobility, a company that promised to deliver a 5G BlackBerry phone, decided to fold. I was so disappointed. The last hope for BlackBerry's revival was gone!

From OnwardMobility.

I had been sticking with Titan Pocket, the BlackBerry wannabe, since October 2021 while patiently waiting for the real deal to return. Since it wasn't going to happen and the dream was over, I switched to my favourite back-up plan: Google Pixel. It was no secret that I loathed the subpar camera of Titan Pocket, especially when I took pictures at night. With that in mind, if I were to change my phone, I knew I had to go for the best one there was.

In the meantime, I'd been doing my Strava time for a while. I enjoyed the activity and I would, from time to time, take the pictures of the nice views that I saw. The result taken with Titan Pocket thus far was never that nice. The color was so dull, it was laughable. But that was I had and after five months, the poor quality became a norm to me.

A picture from one fine afternoon.

Imagine my surprise when I took one with Google Pixel 6 in one late afternoon, as I passed by the pub where I once had a drink with Endrico and Ardian. It was spontaneous and effortless, as I just simply snapped it as I walked, but yet the photo was so gorgeous. It looked unbelievably zen that it somehow reminded me of the Carpenters' song: "and when the evening comes, we smile..."

Later on that night, I took another picture. It was actually quite dark, but the result was still something pretty amazing. It had just the right amount of brightness and vivid color. I liked what I saw and I wished to share them as well. That's when I thought of posting at most four pictures for each Strava time!

And when the evening came.

The idea was to show the many sides of Singapore that really caught my eyes. My Strava time had given me chances to explore the sides of Singapore I hadn't seen before. It also allowed me to connect the dots. One example that happened recently was Tanglin Road. Just realized that it led to Alexandra Road, which was quite a walking distance from Orchard. I enjoyed discovering parts of the city that I never knew before and got me saying, "oohhh."

I loved the fact that Singapore was not only beautiful and clean, but also so thoughtfully and thoroughly developed. On top of that, it still had its fair share of surprises. Oh yes, I even bumped into a group of boarlets in Hillview! And as excited as I was to see them roaming in the city, I detoured a bit and avoided them, haha.

The wild boars!

Singapore was the sum of many things: the green hills, the lush parks, cultural places, the skyscrapers in the CBD areas, etc. But what did I like the most? I liked it best when the water, the bright blue sky, the greeneries and the high-rise buildings blended seamlessly in one beautiful landscape. Love capturing it through the looking glass of Google Pixel!

PS: this story was still written using BlackBerry Key2. The great feeling of typing on it was still irreplaceable!

My favorite view!



Lewat Lensa Kamera

Cerita kali ini dimulai dari kabar buruk bagi penggemar BlackBerry seperti saya: OnwardMobility, sebuah perusahaan Amerika yang menjanjikan BlackBerry 5G, mendadak gulung tikar di bulan Februari. Saya sungguh merasa kecewa. Kebangkitan BlackBerry yang saya tunggu-tunggu mendadak sirna begitu saja.

From OnwardMobility.
 
Saya telah dengan sabar menggunakan imitasi BlackBerry yang bernama Titan Pocket sejak October 2021 sambil menantikan peluncuran BlackBerry terbaru. Ketika impian ini buyar, saya akhirnya mengeksekusi rencana cadangan saya: Google Pixel. Bukan rahasia lagi kalau saya tidak suka dengan hasil jepretan Titan Pocket, apalagi di malam hari. Berbekal ketidakpuasan ini di benak saya, saya ingin menggunakan kamera telepon Android terbaik bila saya membeli yang baru. 

Di saat yang sama, saya juga sudah menekuni rutinitas Strava untuk beberapa bulan lamanya. Saya menikmati aktivitas ini dan dari waktu ke waktu, saya suka mengambil foto pemandangan yang saya temui. Sejauh ini, foto Titan Pocket tidak bagus dan seperti luntur warnanya. Akan tetapi selama lima bulan terakhir, hanya itu yang saya punya dan lambat-laun saya jadi terbiasa melihat kualitas fotonya yang buruk.

Foto di suatu senja.

Bayangkan betapa terkejutnya saya ketika saya dengan iseng memotret dengan Google Pixel 6 di suatu senja saat saya sedang Strava dan melewati tempat di mana saya, Endrico dan Ardian pernah minum bersama dulu. Aksi saya ini spontan dan saya mengambil gambar selagi berjalan, namun tak disangka bahwa fotonya terlihat memikat. Fotonya tampak begitu tenang dan damai, mengingatkan saya pada lirik lagu Carpenters: "and when the evening comes, we smile..."

Di malam yang sama, saya kembali memotret. Saat itu sebenarnya cukup gelap, tapi hasil fotonya masih sangat mengesankan. Pencahayaannya cukup dan warnanya pun menonjol. Saya suka dengan apa yang saya lihat dan jadi ingin membagikannya di media sosial. Di saat itulah saya jadi berpikir untuk mengunggah maksimal empat foto setiap kali saya Strava. 

Ketika malam tiba. 

Foto-foto ini menampilkan sisi kota Singapura yang menarik perhatian saya. Aktivitas Strava memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi bagian Singapura yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya juga akhirnya jadi tahu setiap sudut kota. Sebagai contoh, Tanglin Road. Selama ini saya hanya tahu bahwa kawasan Tanglin itu di dekat Orchard, namun baru-baru ini saya temukan bahwa jalan ini mengarah ke Alexandra Road. Ada rasa kepuasan tersendiri saat tahu bahwa, "ohh, ternyata tembus ke sini."  

Eksplorasi ini mengingatkan saya kembali bahwa Singapura bukan hanya sebuah kota yang indah dan bersih, tapi juga dibangun dengan perencanaan yang matang di setiap jengkalnya. Meskipun demikian, kota ini masih saja menyimpan kejutan. Oh ya, saya bahkan sempat berpapasan dengan tiga ekor babi hutan di daerah Hillview! Melihat binatang liar di tengah kota adalah suatu pengalaman unik, meskipun saya harus memutar sedikit lebih jauh supaya aman, haha. 

Babi hutan!

Singkat kata, Singapura ada perpaduan dari banyak pemandangan, mulai dari bukit yang hijau, taman yang rindang, aneka tempat budaya sampai pencakar langit di daerah perkantoran dan lain-lain. Tapi apa yang paling saya sukai? Pemandangan favorit saya adalah aliran air, langit biru, hijaunya daun dan gedung-gedung tinggi yang menyatu menjadi satu pemandangan yang indah dan rapi. Saya suka melihat dan mengabadikannya dari balik lensa Google Pixel!

PS: cerita ini masih ditulis dengan BlackBerry Key2. Nikmatnya belum tergantikan!

Pemandangan favorit saya.

Sunday, January 9, 2022

Strava Time!

This story began with an attempt to prank a friend of mine. He was suddenly so keen in living a healthy lifestyle that he kept posting his Strava results to encourage us. I thought of joining this Strava thing just to catch him by surprise, because I'd be the last person he knew that would participate in this. 

Little did I know he'd be the one that had the last laugh. Everything just fell into places that I became enamoured by the Strava exercise. While I was never a fan of jogging, I always enjoyed walking since my younger days in Pontianak. I often did it with my friend Parno back then.

The bright blue sky at the end of Singapore. 

It made even more sense to do it in Singapore, because it was a city built with pedestrians in mind. So nice to walk, so many things to see. And just because I had lived here for the past 16 years, it didn't mean I had seen everything. It turned out that there were things you'd only see if you slowed down to appreciate them. 

Then of course there was the map. I never knew this before, but throughout this exercise, I found that I had this quirky fondness of looking at Google Maps, following the routes and reminiscing what I saw along the trails. For some strange reasons, it felt satisfying and memorable.

Making use of the many routes on Google Maps.

It took some trial and error to get the formula right for me. I first used Google Maps just to make sure that I was on the right track. After that, I realized I could look at the MRT map, choose two stations and check the distance on Google Maps to see if it was roughly about 5KM. If you were wondering why 5KM, that's because it could be covered within one hour of walking, which was just nice. Then, while doing that, I figured out why not following the path shown by Google, too?

it sounded like a plan, huh? But I still lost my way from time to time (if you see a pointy line or two jutting out from the trails, it meant I had taken a wrong turn). Mistakes did happen when I didn't enlarge the map to see the route correctly, haha. But apart from the user problem, I also learnt it the hard way that what Google showed was not always correct or the best route ever. It did show me routes that were meant for private access (the first Kranji trail led me to the front gate of a dormitory and the route to West Coast brought me to Anglo-Chinese Junior College and SIT) and I had to detour. When I was walking to Harbourfront, I decided to walk along Keppel when Google showed another route via Kampong Bahru.

Can you spot where I made the wrong turns?

That minor technical issue aside, it was really nice to walk in Singapore. Some routes such as Woodlands to Canberra and Farrer Park to Serangoon were almost like a straight line, very easy and relaxing. Some were more challenging and they led me to places I had never been before. I walked under the bridges, passed by the park connectors, the residence, the cemetery, the lakes and reservoir, the dams, the hills (and I gasped for air as I hiked), the marina, an island that was still green with forest and even some small alleys that went up and down and somehow reminded me of Hong Kong.

It was quite an experience, I'd say. One that I really loved. But as much as I'd like to say that the pavement was always there for pedestrians, I accidentally figured out that it wasn't true in at least two occasions. Both happened to be nearby new MRT stations for Thomson-East Coast line, Orchard and Great World, that were still under construction. There was suddenly no walkway when reaching these two, haha.

Got lost in Kanji!
Photo by Lawrence.

But in the end, it was about having some exercise that was sorely lacking in my life. At least there was one now that I would do willingly. And the result? I had one T-shirt that I seldom wore because it was too tight. But when I tried it again recently, I remember telling my wife that it fitted much better now. So yeah, it looked like this might continue. Strava time!



Waktunya Strava!

Cerita ini dimulai dari upaya untuk mengerjai teman saya. Dia tiba-tiba beralih ke gaya hidup sehat dan sering mengunggah hasil olahraganya lewat aplikasi Strava untuk mendorong kita berolahraga juga. Saya lantas iseng menggunakan Strava hanya untuk membuatnya kaget, soalnya saya mungkin adalah orang terakhir di benaknya yang bakal turut berolahraga. 

Akan tetapi tidak pernah saya bayangkan kalau dia mungkin yang tertawa paling akhir. Maksud hati mau menggoda teman, tapi malah jadi suka sendiri dengan Strava. Saya bukanlah tipe yang menyukai jogging, tapi saya selalu menikmati aktivitas berjalan kaki dari sejak waktu saya berada di Pontianak. Saya sering berjalan kaki ke mana-mana bersama teman saya Parno dulu. 

Langit biru di ujung Singapura.

Semua ini terasa lebih masuk akal lagi untuk dilakukan di Singapura, sebab kota ini memberikan perhatian khusus bagi pejalan kaki dalam rancangan tata kotanya. Sangat cocok untuk berjalan, sangat banyak pula yang bisa dilihat. Meski saya sudah tinggal di sini selama 16 tahun, ini tidak berarti saya sudah melihat semuanya. Ternyata masih ada banyak yang bisa dilihat jika saya berjalan dan mengamati pemandangan di sekeliling saya. 

Dan tentu saja kita harus berbicara tentang peta. Saya tidak pernah tahu akan hal ini sebelumnya, namun dari aktivitas Strava, saya jadi menyadari bahwa saya memiliki kebiasaan yang agak unik dan aneh. Saya suka melihat Google Maps, mengikuti rutenya dan mengingat kembali apa yang saya lihat selama berjalan kaki. Pengalaman ini terasa memuaskan dan berkesan. 

Menggunakan Google Maps untuk rute Strava.

Proses menggunakan peta ini melibatkan beberapa uji coba sebelum saya menemukan cara yang pas untuk saya. Awalnya saya menggunakan Google Maps untuk memastikan bahwa saya tidak salah jalan. Setelah itu saya sadari bawa saya bisa melihat peta MRT, memilih dua stasiun dan melihat jaraknya di Google Maps, apakah berkisar 5KM. Jika anda ingin tahu kenapa patokan saya adalah 5KM, ini karena jarak tersebut bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan dan durasi ini terasa pas bagi saya untuk berolahraga. Dari sini saya lantas berpikir, karena Google tahu jaraknya, jadi saya ikuti saja rutenya. 

Kedengarannya seperti rencana yang bagus, bukan? Namun saya masih saja tersesat dari waktu ke waktu (jika anda melihat garis yang menonjol dan terlihat tidak lazim di rute Strava, itu artinya saya salah jalan). Kesalahan kadang terjadi karena saya tidak memperbesar peta untuk melihat rutenya dengan jelas, haha. Selain kesalahan pengguna, ada kalanya Google sendiri yang tidak beres. Terkadang rutenya melibatkan jalur privat yang tidak bisa diakses (rute pertama Kanji membawa saya ke depan kompleks asrama dan rute ke West Coast mencakup kawasan Anglo-Chinese Junior College dan SIT yang tidak dibuka untuk umum) dan akhirnya saya harus berputar mengambil jalur lain. Ketika saya menuju Harbourfront, saya memutuskan untuk berjalan menyusuri Keppel walaupun Google menunjukkan rute lewat Kampong Bahru.

Bisakah anda lihat dimana saya salah belok?

Terlepas dari masalah teknis di atas, berjalan kaki di Singapura adalah suatu kenikmatan tersendiri. Beberapa rute seperti dari Woodlands ke Canberra dari dari Farrer Park ke Serangoon hampir seperti satu jalur yang lurus, gampang dan santai untuk ditempuh. Ada pula yang lebih menantang dan membawa saya ke tempat-tempat yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya melewati kolong jembatan, taman, perumahan, kuburan, danau dan waduk, dam, bukit (dan saya agak terengah-engah saat jalan menanjak), marina, hutan di pulau dan juga gang-gang kecil yang naik turun dan mengingatkan saya dengan Hong Kong.

Ini adalah pengalaman yang menarik. Lewat pengalaman ini, saya juga menyadari bahwa meski saya selalu ingin mengatakan kalau trotoar di Singapura tidak pernah putus bagi pejalan kaki, ternyata asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Setidaknya ada dua kesempatan dimana saya dikejutkan oleh penemuan tak terduga ini. Dua peristiwa ini terjadi dekat stasiun MRT Thomson-East Coast line yang sedang dibangun, Orchard and Great World. Ketika saya sedang berjalan, tiba-tiba trotoarnya hilang, haha. 

Tersesat di tengah hujan di Kranji!
Foto oleh Lawrence.

Pada akhirnya, semua ini adalah tentang olahraga yang benar-benar minim dalam hidup saya. Sekarang minimal ada satu aktivitas yang bisa saya tekuni dengan senang hati. Hasilnya? Saya memiliki sebuah kaos yang jarang saya pakai karena terlalu ketat, namun ketika saya coba lagi baru-baru ini, saya ingat kalau saya bergumam pada istri saya bahwa kaos ini terasa lebih pas sekarang. Jadi, ya, kemungkinan ini akan berlanjut terus. Waktunya Strava!