Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Reviews. Show all posts
Showing posts with label Reviews. Show all posts

Monday, April 8, 2024

Book Review: Around The World In Eighty Days

I have heard of Jules Verne since I was a kid, probably from the Donald Duck comics that I read. Around the World in Eighty Days was not unheard of, too, but I never read it before. I watched the Jackie Chan's version recently and, for some reason, I couldn't get the name Passepartout out of my head, so I borrowed the book from the library

Now, first thing first, it's quite interesting to read a book written a couple of centuries ago. It's like traveling back in time to the world they knew, which could be quite different than ours now. As this is about traveling, some cities are immediately recognized while others, such as hamlet of Kholby, had to be googled. For someone who never travelled the world, Jules Verne's description of the cities was fascinating. I personally like the paragraph describing Singapore in those days. 

Character-wise, you won't find much depth, apart from the fact that Fogg and Passepartout were the typical British and French. But who needs much characterization when the story is about traveling the world? This is where it shines. For a book written in 19th century, it's still pretty much engaging for a modern-day reader. It certainly has nice, unexpected twists and turns. The ending was brilliant as well. 

I can only say that you can't use the whimsical, diluted Jackie Chan's version as a reference for the book. The stories are quite different and the book is much better. Go read Around the World in Eighty Days. It's a classic, but not in a boring way like Marco Polo's the Travels

PS: and it's inspiring, too. I am now toying with the idea of getting Hard Rock Cafe's t-shirts around the world in two weeks! The route is Singapore, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapore. It's possible, though crossing all timezones in such a short span may have unforseen repercussions, haha. We shall see!




Keliling Dunia Dalam 80 Hari

Saya sudah mengenal nama Jules Verne dari sejak kanak-kanak, mungkin dari majalah Donal Bebek yang saya baca. Keliling Dunia Dalam 80 Hari pun sering terdengar pula, tapi belum pernah saya baca. Baru-baru ini saya menonton versi Jackie Chan dan semenjak itu nama Passepartout sering terngiang dan saya ucapkan, jadi saya pun pinjam bukunya dari perpustakaan

Hal menarik pertama dari buku yang ditulis beberapa abad silam ini adalah pengalaman menembus waktu ke dunia Jules Verne yang berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang. Karena buku ini intinya adalah tentang berkelana, beberapa nama kota masih sama dan yang lain, misalnya dusun Kholby, harus dicari di Google. Untuk orang yang tidak pernah keliling dunia, deskripsi Jules Verne memang mengagumkan. Saya sendiri suka dengan paragraf tentang Singapura di masa lampau. 

Tentang penokohan, Jules Verne tidak mengembangkan karakter tokoh-tokohnya secara mendalam. Kita cuma sebatas tahu bahwa Fogg dan Passepartout adalah tipikal orang Inggris dan Perancis. Namun karena ini adalah buku tentang petualangan, siapa juga yang peduli dengan karakter? Untuk buku yang ditulis di abad 19, ceritanya masih memiliki daya tarik. Alurnya penuh dengan kejutan. Akhir ceritanya pun bagus. 

Saya hanya bisa berkomentar bahwa anda tidak bisa menggunakan versi Jackie Chan yang konyol sebagai referensi. Buku dan film ini berbeda ceritanya dan karangan Jules Verne jelas lebih bagus. Baca saja Keliling Dunia Dalam 80 Hari. Sungguh sebuah karya klasik, tapi tidak membosankan seperti kisah petualangan Marco Polo

Catatan kaki: dan buku ini juga sangat menginspirasi. Saya jadi bermimpi untuk mengelilingi dunia membeli kaos Hard Rock dalam dua minggu. Rutenya adalah Singapura, Dubai, Tunis, Madrid, Santiago, Panama City, Los Angeles, Sydney, Singapura. Rute ini mungkin untuk ditempuh, tapi melewati semua garis waktu dalam tempo dua minggu mungkin memiliki dampak tak terduga. Kita lihat saja nanti, haha...

Thursday, November 30, 2023

Book Review: The Art Of War

I don't read much this year. Apart from my regular Time magazine, I only read one book so far: the Rape of Nanking. Now that I looked back, I was actually surprised that another book I picked up right after that also had its Chinese connection, haha.

It got to do with the chat I had recently. I mean, people used the phrase the art of war lightly, so often that it finally piqued my curiosity to find out what the book was all about. And no, I didn't go for the interpreted versions as I didn't wish to know about how people thought the book would be applicable in real life. I went for the second best instead: the book as it was written in Chinese by Sun Tzu, plus an English translation, as I can't read Chinese.

Upon reading it, the word prose came to mind. It was written eloquently, or at least that's what I gathered from the English translation. It explained actions and consequences, ie. B happened due to A, and left no room for arguments. 

The funny feeling I had was, what Sun Tzu wrote felt like something I already knew, but never thought of it that way before I read it. I'm not sure if I could convey it positively, but he was the master of stating the obvious! 

Sun Tzu's Art of War is a thin book, but not an easy reading. The book was as dry as a classic literature could be (my only other reference and comparison was the Travels by Marco Polo). And art of war was literally about war. But the way it was worded, it was so insightful that it could be about anything else in life. 

It's also a type of book that you should read again and again, because you'll get different inspirations under different circumstances. It's challenging to do so, though. I clearly can't do that. It's just not the type of book I'll revisit willingly. My key takeaways after the initial reading? It's okay to flee if it's a fight you can't win!





Ulasan Buku: Seni Perang Sun Tzu

Saya tidak membaca banyak buku tahun ini. Selain berlangganan dan membaca majalah Time, satu-satunya buku yang saya baca sejauh ini adalah the Rape of Nanking. Tak pernah saya sangka kalau buku berikutnya juga berkaitan dengan Cina, haha. 

Buku kali ini ada hubungannya dengan apa yang sering saya jumpai. Teman-teman begitu gampangnya mengutip nama Sun Tzu dan istilah art of war dalam percakapan di grup, sampai-sampai saya akhirnya tergerak untuk mencari tahu, apa sebenarnya isi buku ini. Dan saya tidak mencari versi tafsiran pengarang tentang buku ini. Saya tidak mau tahu tentang apa yang mereka pikirkan setelah membaca buku ini, jadi saya pun mencari pilihan terbaik yang kedua: buku yang isinya asli tulisan Sun Tzu dan dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris karena saya tidak bisa membaca tulisan Cina. 

Saat membaca, kata prosa pun muncul di benak saya. Tulisannya terasa cerdas dan penuh arti, atau setidaknya itu yang saya rasakan dari terjemahan bahasa Inggrisnya. Sun Tzu menjelaskan tentang aksi dan konsekuensi dari hukum sebab akibat. Penjelasannya tepat sasaran dan tidak memberikan ruang untuk bantahan. 

Ada satu perasaan lucu yang agak sukar untuk dijabarkan saat membaca buku ini. Entah kenapa rasanya apa yang disampaikan Sun Tzu bukanlah sesuatu yang tidak saya ketahui, namun terus-terang saya tidak berpikir sampai ke situ sebelum saya membacanya. Sun Tzu sungguh seorang pakar pernyataan yang tidak terbantahkan. 

Karangan Sun Tzu ini tipis bukunya, tapi tidak gampang untuk dibaca. Buku ini adalah sebuah literatur dan agak membosankan (mirip seperti the Travels yang ditulis oleh Marco Polo, satu-satunya referensi saya tentang buku yang ditulis ratusan tahun silam). Dan Seni Berperang ini memang tentang perang, tapi cara penulisannya membuat ide Sun Tzu bisa ditafsirkan ke dalam berbagai aspek kehidupan. 

Selain itu, buku ini juga merupakan tipe yang seharusnya dibaca berulang kali, sebab anda akan mendapatkan inspirasi yang berbeda ketika menghadapi masalah yang berbeda. Namun sulit untuk melakukan hal tersebut karena saya tidak berminat. Buku ini tidak termasuk kategori yang ingin saya baca ulang. Jadi apa yang saya petik dari buku ini? Kita harus kabur kalau ini bukanlah perang yang bisa kita menangkan! 


Saturday, April 15, 2023

Book Review: The Rape Of Nanking

I can't remember when I first heard of the Nanjing Massacre, but it felt like I had known about it for the longest time. Must have read it on Wikipedia years ago. The Memorial Hall in Nanjing was one of the best museums I ever visited. Right at the end of the gallery, I saw the words from survivor Li Xiuying hanging on the wall: remember history, but not with hatred. Not only it summed up what the museum was all about, but it was also a powerful reminder, one that I still vividly remember today. 

Fast forward to five years later, I happened to read about the Nanjing Massacre again on Time magazine recently. It somehow brought me back the time when I passed by the statue of Iris Chang as I exited the museum. She died young, tragically killed herself as he was suffering from depression. For those who never heard of her, Iris was the author of a book called the Rape of Nanking. And this is how I ended up borrowing the book from the library.

The Rape of Nanking.

Now, throughout the years, I had heard about how influential the book was. But none of this prepared me for what I was about to read. It was fast-paced and structured. Informative and disturbing at times due to the graphic description of the events. 

It opened with historical moments in Japan that preceded the war. Once the prelude ended, it was like sitting on the front seat to watch how the Japanese troops made their way to Nanjing. A killing spree that happened next left not much to imagination. The choice of words used to describe the atrocities were beyond what I had ever read before! 

It was one hell of a massacre, all right. But amidst the chaos and brutality, hope lingered and kindness did shine. Then came the aftermath and the story finally drew to a close as it examined the attempts to cover up and erase the event from history. 

The whirlwind of information ended as fast as it came. Iris' storytelling style was as smooth as it could be. If not for its content, I would have called it an easy reading. But it isn't and it's never meant to be one. It is supposed to be a reminder, that no matter how bleak or shameful it was, the massacre did happen. Just like the slogan in the museum said, "bear history in mind, cherish peace."

When we visited the museum in Nanjing.

But history aside, what's the key takeaway for me? All this while, I couldn't reconcile the two contradicting facts about the wartime Japanese troops' cruelty and the politeness of Japanese people when I visited the country. This book finally gave me the answer.

Almost a hundred years ago, the Japanese soldiers believed the emperor was divine and they lived solely to serve the emperor. If they themselves were worthless, then the Chinese were just a bunch of pigs that they could slaughter without blinking. That's the danger of a doctrine gone wrong. As I lived through the '98 riots and ethnic violence of Dayak-Madura, it's a plausible explanation that I can accept. 



 Ulasan Buku: Pemerkosaan Nanking

Saya tidak ingat lagi kapan pertama kalinya saya mendengar tentang Pembantaian Nanjing, tapi rasanya saya sudah lama tahu akan hal ini. Mungkin saya baca di Wikipedia bertahun-tahun silam. Memorial Hall di Nanjing boleh dikatakan sebagai salah satu museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Di akhir galeri, saya melihat kata-kata dari Li Xiuying, korban yang selamat dari pembantaian: ingat sejarah, tapi tidak dengan dendam. Ucapannya itu menyimpulkan museum tersebut dengan baik dan juga menjadi nasehat yang selalu saya ingat hingga hari ini. 

Lima tahun setelah kunjungan ke Nanjing, saya kebetulan membaca lagi kisahnya di majalah Time. Saya jadi terkenang dengan saat saya melewati patung Iris Chang saat saya keluar dari museum. Dia meninggal muda, bunuh diri karena depresi. Bagi yang tidak tahu siapa dia, Iris adalah pengarang buku the Rape of Nanking. Saya lantas meminjam buku karangannya dari perpustakaan

Permerkosaan Nanking, karya Iris Chang.

Nah, sebelum ini, saya sudah sering dengar tentang pentingnya buku ini. Namun apa yang saya ketahui tidak membuat saya siap dengan apa yang saya baca. Cepat dan terstruktur, deskripsi di buku ini juga sangat detil dan mengerikan. 

Tulisan Iris dibuka dengan sejarah di Jepang sebelum perang dimulai. Setelah itu, pembaca bagaikan duduk di kursi depan dan menyaksikan langsung bagaimana tentara Jepang menyerbu ke Nanjing. Pembantaian yang terjadi dijabarkan dengan detil, sampai-sampai tidak sulit untuk membayangkannya lagi. Kata-kata yang dipakai untuk melukiskan kekejaman Jepang benar-benar berbeda dengan kalimat dari buku-buku yang biasa saya baca.

Di tengah kebrutalan Jepang yang menimbulkan kekacauan, masih tersisa harapan dan kebaikan dari orang-orang asing yang bertahan di Nanjing dan mendirikan suaka untuk membantu dan melindungi orang Cina. Kemudian perang usai dan cerita pun diakhiri dengan pengamatan terhadap upaya menghilangkan jejak kekejaman ini dari catatan sejarah. 

Gaya Iris dalam bercerita tergolong enak untuk dibaca, meski berat dan bertubi-tubi informasinya. Kalau bukan karena topiknya, saya bisa menyebutnya sebagai bacaan santai. Akan tetapi buku ini lebih merupakan rangkuman catatan dan peringatan bahwa tidak peduli seberapa kelamnya sejarah, pembantaian ini pernah terjadi. Ini sejalan dengan slogan di museum, "ingatlah sejarah, hargai perdamaian." 

Ketika kita berkunjung ke museum di Nanjing.

Di samping sejarah, apalagi yang saya dapatkan dari buku ini? Selama ini, saya selalu sulit membayangkan kenapa laskar Jepang di zaman perang sungguh kejam sementara keramahan orang Jepang saat saya datang sebagai turis sama sekali tidak tertandingi? Buku ini akhirnya menjawab pertanyaan saya. 

Hampir 100 tahun silam, tentara Jepang percaya bahwa kaisar adalah titisan dewa dan mereka hidup untuk melayani kaisar. Jika nyawa mereka sendiri tidak berharga, maka orang-orang Cina lebih rendah lagi martabatnya, hanya sekumpulan babi yang patut dijagal. Inilah bahaya dari doktrin yang keliru. Karena saya pernah melewati Kerusuhan '98 dan perang etnis Dayak-Madura, saya bisa menerima penjelasan ini. 

Sunday, August 14, 2022

Book Review: Zhuan Falun

I would categorise myself as an avid reader. There were times when I happened to read something unusual such as Hotel K and I still ended up finishing it at my regular reading speed, which was about a month per book. But for the first time ever in God knows how long, I actually struggled reading a book that it took me seven months to finish it. I put three new books from my favorite author aside because of this one!

I didn't really follow how this topic came about, but when I joined the conversation in our chat group, they were already talking about the controversial book. My friend Jimmy insisted that it was a good book and he challenged everyone to read it instead of just making comments based on what they might have heard. When I said I would read it, he imposed on me the condition that the book had to be read at least twice. I shot back that he must watch the eight-hour Beatles Anthology series twice as well.

Thus began the deal. The book was easily obtained from amazon.com. Once I got it, I immediately understood why he said many people he knew had had given up after few pages. The book was indeed controversial that it challenged the belief system one might have known his or her entire life. As an example, I had a Catholic background and I believed in Christianity. When we had the introduction of Buddhism during one of my talkshow sessions, I found myself subconsciously resisting what I heard.

This book was much more provoking than that, so the immediate response I had in mind was, "what an utter nonsense!" But we had a deal, so I took the empty glass approach. I knew nothing about this book, but I didn't need to judge it. I'd just read it and see what it was about. Once I adopted this mindset, the experience was not as revolting as before. But still it wasn't a pleasant reading experience. It was not engaging and it tended to be boring at times.

The author was Master Li. Throughout the book, he explained his version of qigong. I often associated this to a slow-moving exercise done by a bunch of old people in the park. Alternatively, I'd think of Jet Li doing some fancy moves in his movies. At the vaguest level, I seem to recall that it was practiced for healing purpose. But according to Master Li, this was a low level understanding of qigong.

His ultimate version of qigong was a very complex stuff involving karma, third eye and many Chinese jargons. Oh yes, he said stuff like de (the good substance), gong (the energy) fashen (the protective aura) and many more. These words were not translated in English that after a while, I just couldn't recall what they actually meant. It just reminded me of the word smurf, which could mean anything.

He then brought it up a notch by referencing heavily on Buddhism, Taoism and Chinese history. He talked about the enlightenment of Shakyamuni, which was all right. But then there were stuff like each Buddha owning one heaven, which meant there were multitudes of heavens. He also told the story about how he defeated the snake demon from Ming Dynasty. On one of the chapters, he talked about the same soul that lived in multiple dimensions and affected one another. Reading all this, I couldn't help thinking of Marvel's multiverse, starring Dr. Strange.

I mentioned earlier that I struggled reading the book. It was this mind-boggling part that deterred me from reading it. Certain parts of his preaching that reminded us not to show off and be righteous, they were fine. But most of the parts, such as the explaining he was the only who could install the wheel of Falun into somebody, were beyond my comprehension. I'm an IT guy and my idea of installation involved the next and install buttons.

It was a relief when I finished reading the book. I wanted to say that it was seven month of my life that I wouldn't get back, but I couldn't. If anything, it had been an unusual journey. Not life-changing like the Beatles, but it was definitely a glimpse of how astonishing that people would actually subscribe to this. But then again, perhaps the same would be said by the non-believers. 

As for our deal, I am quite certain that I'm not going to read it twice. It was, to put mildly, an exhausting experience. I'd like to resume those new books by Sinead Moriarty that I was supposed to read. And talk about the Beatles Anthology, Jimmy didn't watch it. He simply said that I didn't send him the DVD box set. Oh, but I will. Just wait for it! 

Zhuan Falun and the Beatles Anthology.



Ulasan Buku: Zhuan Falun

Saya cenderung berpendapat bahwa saya ini bisa dikatakan tergolong kutu buku. Bahkan di saat membaca buku dengan topik yang bukan pilihan saya pun, misalnya Hotel K, masih juga saya lahap dengan kecepatan membaca yang sama, kira-kira sebulan per buku. Tapi untuk pertama kalinya entah sejak kapan, saya berjuang keras dalam tujuh bulan terakhir untuk menyelesaikan satu buku. Bahkan tiga buku terbaru karangan penulis favorit saya jadi tertunda untuk dibaca karena buku yang satu ini. 

Saya tidak ingat bagaimana asal mula topik ini, namun ketika saya bergabung dalam percakapan yang sedang berlangsung di grup SMA, teman-teman sudah berbicara tentang buku yang kontroversial ini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang bagus dan dia menantang yang lain untuk membaca dulu sebelum berkomentar panjang-lebar hanya karena apa yang mereka dengar. Ketika saya berkata bahwa saya akan membacanya, dia menekankan bahwa saya harus membacanya dua kali. Saya lantas berujar, kalau begitu dia juga harus menonton serial the Beatles Anthology yang berdurasi delapan jam sebanyak dua kali. 

Terjadilah perjanjian baca-nonton ini. Buku ini kemudian saya dapatkan dari amazon.com. Begitu saya terima dan baca, saya langsung menyadari kenapa Jimmy berkata bahwa banyak kenalannya yang menyerah setelah membaca beberapa halaman pertama. Buku ini sungguh kontroversial dalam arti bertolak-belakang dengan apa yang mungkin telah dipercaya pembaca sepanjang hidupnya. Sebagai contoh, saya dibesarkan di lingkungan dan pendidikan Katolik dan saya juga percaya Kristen. Ketika seorang teman berbagi cerita tentang pengenalan agama Budha di acara obrolan santai yang saya selenggarakan, terus-terang saya juga tanpa sadar merasa sulit untuk percaya dengan pemaparannya. 

Dan buku ini jauh lebih provokatif. Apa yang langsung terpikir di benak saya adalah, "omong kosong macam apa ini." Tapi karena kita sudah berjanji, saya lantas menggunakan pendekatan cangkir kosong. Saya beranggapan bahwa saya tidak tahu apa-apa dan saya tidak perlu menghakimi apa yang ditulis di buku. Saya hanya perlu membaca dan mencari tahu, tentang apa buku ini sebenarnya. Begitu saya mengadopsi pemikiran ini, pengalaman membaca buku Zhuan Falun tidak lagi seburuk sebelumnya. Ya, memang masih tidak menyenangkan seperti buku lain yang biasa saya baca, tapi ini cenderung karena terasa membosankan.  

Penulis buku ini adalah Master Li. Lewat buku ini, dia memaparkan tentang qigong menurut versinya. Selama ini saya sering berpikir bahwa qigong ini olahraga pelan yang sering diperagakan sekumpulan orang tua di taman. Selain itu, hal yang sama juga mengingatkan saya tentang film Jet Li. Dan kalau saya tidak salah ingat, sepertinya pernah saya baca bahwa qigong ini semacam pengobatan tradisional yang menyembuhkan. Akan tetapi menurut Master Li, semua itu adalah pemahaman tingkat rendah tentang qigong

Versi qigong menurut Master Li sangatlah kompleks dan melibatkan karma, mata ketiga serta banyak istilah Mandarin. Oh ya, dia menggunakan kata-kata seperti de (substansi baik), gong (energi) fashen (aura pelindung) dan masih banyak lagi. Kata-kata ini, terutama yang jarang muncul, cenderung tak diingat artinya ketika muncul lagi bab berikutnya. Saya justru jadi teringat tentang kata smurf yang bisa berarti apa saja, tergantung kalimatnya.

Master Li kemudian membahas lebih dalam lagi dengan menggunakan banyak referensi Budhisme, Taoisme dan sejarah Cina. Dia berbicara tentang pencerahan yang dialami oleh Sakyamuni dan sampai sejauh ini masih bisa saya terima. Tapi dia kemudian membahas tentang satu Budha memiliki satu surga dan potensi keberadaan begitu banyak surga. Dia juga bercerita tentang bagaimana dia akhirnya memusnahkan siluman ular yang telah hidup dari sejak zaman Dinasti Ming. Di bab lainnya, dia berkisah tentang jiwa manusia yang hidup di berbagai dimensi dan mempengaruhi satu sama lain. Yang terbayang setelah membaca semua itu adalah kisah multiverse yang baru-baru ini muncul di film Marvel dan menampilkan Dr. Strange. 

Saya sampaikan di awal cerita bahwa saya berjuang untuk membaca buku ini. Adalah hal-hal yang mencengangkan di atas yang membuat saya enggan membaca lebih lanjut. Bagian di mana dia menasehati pembaca untuk tidak pamer dan bijak dalam menyikapi hidup adalah sesuatu yang bisa dicerna. Namun lebih banyak hal-hal yang sulit saya pahami, misalnya hanya dia yang bisa melakukan instalasi roda Falun ke tubuh seseorang. Bagi saya yang berprofesi di bidang IT, instalasi bisa dilakukan siapa saja dan hanya melibatkan tombol next dan install

Ada rasa lega setelah usai membaca. Ada pula niat untuk berkata bahwa tujuh bulan ini terbuang sia-sia, tapi sejujurnya tidak begitu. Ini adalah sebuah pengalaman yang unik. Tidak mengubah hidup saya seperti halnya the Beatles, tapi cukup memberikan gambaran tentang kenapa ada saja orang yang bisa percaya hal seperti ini. Di satu sisi, saya jadi berpikir bahwa hal yang sama pun bisa dikatakan oleh mereka yang tidak percaya dengan Yesus. 

Mengenai perjanjian kita di atas, saya tidak melihat kemungkinan bahwa saya akan membaca buku ini lagi untuk kedua kalinya. Bila saya simpulkan, membaca buku ini adalah sebuah pengalaman yang melelahkan. Lebih baik saya lanjut membaca tiga buku karangan Sinead Moriarty yang sudah saya beli. Dan, hei, bicara tentang the Beatles, Jimmy tidak menonton dokumenternya. Alasannya karena saya tidak mengirimkan DVD the Beatles kepadanya. Oh, kalau begitu akan saya kirimkan. Tunggu saja!

Thursday, January 13, 2022

Book Review: Renegades - Born In The USA

I'm always a fan of Obama. Like the way he speaks. Smart, funny and eloquent. His life story was interesting, too. Read one from the time before he became a president and another that told about his presidency. Both were great books, so naturally, when I saw one about him and Bruce Springsteen, I was interested.

I'm also a big fan of music, but for some strange reason, I never listened to Springsteen apart from few snippets such as two verses he sang in We Are the World and a song called Streets of Philadelphia. I knew he was the Boss, but that was pretty much it. Hence I was wondering how he and Obama could come up with this book. What brought them together?

Out of curiosity, I checked out the library and got the book. It turned out to be a coffee-table book, large and lavishly illustrated. The content was originally a podcast series that was turned into a book. After reading the first few pages, it was obvious that they came together because of one vision: America.

Yes, this book was very... American. It gave you an idea of how it was like to be an American. It gave you an idea of what it meant for the two of them to be Americans. Bruce supported Obama during his campaign and they gradually became friends simply because they believed in the same America.

Born in the USA, as Bruce put it. But reading this as a non-American, I couldn't help feeling that the topic wasn't very engaging. There were things that I couldn't comprehend and after a while, I grew tired of it. As a result, this was one the few books that I glanced through instead of properly reading it. I paid attention only to certain topics, like the parts where Bruce talked about performing with a Beatle (George Harrison) and a Rolling Stone (Mick Jagger) by his sides. It was an achievement for a boy from New Jersey!

Can't say I learnt much about Obama from this book, but I certainly picked up a thing or two about Bruce. No, I'm still not a fan of his songs, but I'm quite impressed with his lifelong friendship with Clarence Clemons. That was probably the most inspiring story about America from the book. Other than that and those nice photos, it was not a great Obama book...

The book and the podcast on Spotify.



Ulasan Buku: Renegades - Born In The USA

Saya selalu menggemari Obama. Saya suka caranya berbicara. Begitu pintar, lucu dan fasih sehingga enak didengar. Kisah hidupnya pun tak kalah menarik. Saya baca buku-bukunya, mulai dari sebelum dia menjabat sampai kisah kepresidenannya. Dua buku yang bagus, maka dari itu saya jadi ingin baca saat melihat buku baru yang menampilkan Obama dan Bruce Springsteen. 

Saya juga suka musik, tapi selama ini tidak pernah benar-benar mendengarkan karya Bruce. Yang pernah saya dengar cuma suara Bruce di We Are the World dan lagu berjudul Streets of Philadelphia. Saya tahu julukannya adalah the Boss, tapi cuma sebatas itu yang bisa saya ceritakan. Oleh karena itu saya jadi penasaran, kenapa dia dan Obama bisa muncul di buku yang sama.

Saya lantas mencari bukunya di perpustakaan. Ternyata bukunya jenis coffee-table book yang berukuran besar dan memiliki banyak gambar. Isi buku ini adalah percakapan yang ditayangkan sebagai podcast, kemudian dibukukan. Setelah beberapa halaman, saya menyadari bahwa mereka bisa berbincang karena visi yang sama tentang Amerika. 

Ya, buku ini sangat bernuansa Amerika. Buku ini memberikan gambaran tentang bagaimana rasanya menjadi orang Amerika. Buku ini juga bercerita tentang apa yang Bruce dan Obama rasakan sebagai orang Amerika. Akan halnya kenapa mereka bisa muncul bersama, ini karena Bruce mendukung Obama di masa kampanye dan mereka akhirnya menjadi teman karena persamaan visi tentang Amerika.

Born in the USA, demikian judul lagu Bruce. Tapi sebagai pembaca yang bukan warga Amerika, saya merasa topik ini kurang mengena. Ada hal-hal yang tidak saya pahami dari cerita mereka, sebab saya bukan orang Amerika, dan akibatnya buku ini terasa agak membosankan. Alhasil buku ini menjadi satu dari sedikit buku yang hanya saya baca selintas dengan cepat. Saya hanya serius membaca di bagian tertentu, misalnya saat Bruce bercerita tentang pengalamannya tampil bersama seorang Beatle (George Harrison) dan seorang Rolling Stone (Mick Jagger) di sampingnya. Ini adalah sebuah prestasi bagi pemuda dari New Jersey!

Tidak banyak yang saya dapatkan tentang Obama dari buku ini, tapi ada satu-dua hal yang saya pelajari tentang Springsteen. Saya masih tidak menyukai lagu-lagunya, tapi saya terkesan dengan persahabatannya dengan Clarence Clemons. Bisa jadi persahabatan mereka ini adalah cerita yang paling memberikan inspirasi tentang Amerika. Di luar kisah ini dan foto-foto yang bagus, saya merasa bahwa ini bukanlah buku Obama yang menarik...

Monday, December 20, 2021

Book Review: Journey To The West

While it's true that Pontianak is a small town that only had its first KFC outlet in year 2000 (and it still doesn't have McDonald's today), I'd say it was lively enough for us to grow up there in the 80s. When I compared notes, it turned out that our childhood was comparable with friends that grew up in Singapore. In my case, even though I was from Pontianak, I probably watched, read and played more than my fellow Singaporeans.

One of the things we had back then was something called parabolic antenna. Installed on a roof, it enabled us to receive overseas TV channels from Malaysia to China. Every night, I'd be sitting in front of TV with my mother to watch Journey to the West. It was in Chinese and I didn't understand the language, but it was still a fascinating show for a boy who was born in the year of the Monkey.

Around the same time, I also read the comics books in Bahasa Indonesia. The format was unusual, therefore memorable. It had two pictures per page and one paragraph of narration under each picture. Back in the days before Tiger Wong and the available comics were only DC, Marvel or European stuff such as Asterix and Tintin, this one became my earliest exposure of Chinese cultures. 

In a way, I guess you can't be Chinese without knowing about Journey to the West at all. It was featured so prominently throughout the years in every phase of my life, be it on TV, comics (most notable was the first arc of Dragon Ball) or films. Even Stephen Chow had two spoofs or more about the Monkey King. When I saw the English version of the novel at the book shop, I was so curious I simply couldn't help searching for it at the library.

Now that I'm in my forties, I had a better understanding about Chinese cultures, including the historical journey of Xuanzang to India. Re-reading the book again, albeit the abridged version, gave me a rather interesting insight about this classic. This was indeed a brilliant novel!

It was basically a three-part story which began with the birth of Monkey. It quickly established how powerful he was, culminating with the Monkey wrecking havoc in heaven and it ended with his downfall. The second part was the journey to the west that started 500 years later. While each chapter wasn't the same, I couldn't help feeling that was rather formulaic. You could see the pattern in each story, i.e. Xuanzang was captured and Wukong would save him either by defeating the demons or seeking assistance from the deities. The last part was about the time they reached India.

It was an easy reading and the first part was the most interesting one. The translation was as good as it could be, though it would help if it used the pinyin for names of the deities instead. For example, it took me quite some time to figure out that the Divine Kinsman was actually Erlang Shen, haha. The storytelling was smart, emphasized by the excellent choice of words used here, especially the poetry. The interaction among disciples, particularly Wukong and Bajie, were the source of amusement. 

It was also interesting to learn how Taoism, Buddhism and, to a certain extent, Confucianism coexisted and were incorporated into the story. It was through the reading of this book that I first realized all the gods from Jade Emperor to Nezha were actually from Taoism, which was native to China. This is why journey to the west happened: because they wanted to obtain the real teachings of Buddha in India.

Overall, it was a fun reading. As I read on, suddenly the scenes that I watched in the past kept flashing back. I remember when Wukong tried to jump out of Buddha's palm, the time he was defeated by Hong Hai-er, the turtle that shook them off while they crossed the river and many more. Good times! 

Journey to the West.



Ulasan Buku: Perjalanan Ke Barat

Pontianak mungkin hanyalah sebuah kota kecil, yang sedemikian kecilnya sehingga baru memiliki KFC di tahun 2000 (dan sampai hari ini pun belum ada McDonald's), tapi saya rasa tetap saja memiliki cukup banyak hiburan bagi generasi yang tumbuh di tahun 80an. Ketika saya mencari tahu tentang masa kecil teman-teman di Singapura, ternyata apa yang saya lewati cukup sebanding dengan pengalaman mereka. Bahkan boleh dikatakan kalau sebenarnya saya lebih banyak menonton, membaca dan bermain game bila dibandingkan dengan mereka yang berada di Singapura. 

Salah satu keunggulan kita yang tinggal di Pontianak pada saat itu adalah antena parabola. Antena yang dipasang di atap rumah ini memungkinkan kita untuk menangkap siaran dari Malaysia sampai Cina. Setiap malam, saya akan duduk di depan TV bersama ibu saya untuk menonton Perjalanan ke Barat. Film seri ini ditayangkan dalam Bahasa Mandarin. Walaupun saya tidak mengerti, tontonan ini tetap saja menarik bagi anak yang lahir di tahun monyet. 

Di saat yang sama, saya juga membaca komiknya yang berbahasa Indonesia. Formatnya tidak begitu lazim, karena itu saya ingat betul. Komik ini memiliki dua gambar per halaman dan setiap gambar memiliki narasi satu paragraf. Jauh sebelum Tiger Wong, di zaman yang hanya memiliki komik DC, Marvel dan bacaan dari Eropa seperti Asterix dan Tintin, komik Perjalanan ke Barat ini mengenalkan saya pada budaya Cina. 

Saya rasa boleh dikatakan bahwa tidak mungkin bagi orang keturunan Cina untuk sama sekali tidak mengetahui tentang kisah Perjalanan ke Barat. Dalam setiap jenjang kehidupan saya, cerita ini senantiasa terdengar, baik dalam bentuk film seri di TV, komik (dan yang paling terasa kemiripannya waktu itu adalah kisah pertama Dragon Ball) serta film-film bioskop yang dibintangi oleh Stephen Chow. Sewaktu saya melihat buku dalam versi bahasa Inggris baru-baru ini, saya jadi tergelitik untuk mencari bukunya di perpustakaan.

Sekarang, di usia 40an, saya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang budaya Cina, termasuk sejarah petualangan Xuanzang ke India. Setelah membaca kembali buku ini, meskipun hanya versi ringkasnya, saya bisa merasakan betapa buku ini sebuah karya klasik. 

Berdasarkan alur cerita, sebenarnya kisah ini bisa dibagi tiga. Bagian pertama adalah tentang lahirnya Kera Sakti dan petualangannya yang mengguncang langit dan surga. Sepak-terjang Wukong akhirnya dihentikan oleh Budha dan dia dihukum 500 tahun lamanya. Setelah Wukong dibebaskan oleh Xuanzang, bagian kedua yang mengisahkan perjalanan ke India yang pun dimulai. Setiap bab memang berbeda isinya, tapi ada kesan bahwa ceritanya ditulis berdasarkan pola yang sama. Pokoknya Xuanzang selalu ditangkap dan Wukong akan menolongnya, baik dengan cara membasmi siluman ataupun meminta bantuan dewa-dewi. Bagian terakhir adalah tentang perjumpaan dengan Budha di India. 

Kisah Perjalanan ke Barat ini gampang dibaca dan saya rasa bagian pertama adalah yang paling lucu dan heboh. Terjemahan bahasa Inggrisnya pun bagus dan akan lebih baik lagi kalau penerjemah menggunakan nama asli dewa-dewi yang diceritakan. Sebagai contoh, saya harus mencari cukup lama di internet untuk menemukan bahwa Divine Kinsman itu sebenarnya Erlang Shen, haha. Gaya bahasanya bagus, terutama karena penggunaan kata-kata yang cocok di bagian puisi.

Yang tidak kalah menariknya adalah cerita tentang Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme. Lewat buku ini, saya baru diingatkan kembali bahwa banyak dewa-dewi, misalnya Raja Langit dan Nezha, adalah bagian dari ajaran Taoisme yang berasal dari Cina. Inilah alasannya kenapa Perjalanan ke Barat terjadi: karena Xuanzang ditugaskan untuk mengambil kitab suci Budha di India.

Secara keseluruhan, ini adalah bacaan yang santai dan lucu. Saat membaca, saya pun teringat lagi dengan berbagai adegan yang pernah saya tonton sebelumnya. Saya jadi ingat dengan adegan saat Wukong melompat dari tapak Budha, saat dia dikalahkan oleh Hong Hai-er, tentang kura-kura yang marah dan membuat kitab basah di sungai dan masih banyak lagi. Pokoknya berkesan! 

Wednesday, September 15, 2021

Book Review: Forrest Gump

Certain characters can be so iconic that you'll immediately think of the actors that played them. This is one of the cases. The moment I started reading this book, I immediately thought of Tom Hanks. In my mind, the way he talked in the movie became the voice that narrated the novel I read.

The story began with a feeling that probably I should watch Forrest Gump again. After spending 2 hours 23 minutes on Netflix, I did some reading about the movie I just watched and was reminded that it was based a novel with the same name. It was written by Winston Groom and originally published in 1986. 

I learnt that the novel was quite different than the movie, so I got curious and browsed the library collection. Got my copy and, the moment I started reading, I just had to smile. Told in a first-person narrative, the wording was full of spelling and grammatical errors. The way it was written hinted that the person who told the story was retarded. If you had watched the movie before, you'd immediately think of Tom Hanks as Forrest Gump.

Some familiar characters such as Jenny Curran and Bubba were featured in the story. Their portrayals in the book and movie were quite similar. Lieutenant Dan, on the other hand, was slightly different than his movie counterpart. Forrest himself was very much aware that he was an idiot, but yet he could do the impossible such as solving mathematical problems, playing harmonica or defeating many chess grandmasters.

One of the highlights in the movie, moments he met people like Elvis and John Lennon, was not in the book. Both the book and the movie did tell about Forrest in Vietnam and his meetings with US presidents, but the time he joined NASA space program, the few years he was stranded in Papua New Guinea or his adventure as a wrestler could only be found in the novel. 

I'm not sure if i'd like the book if I never watched the movie, but I had to say that I chuckled a lot in the train when I read it on my way to and from office. Because he was an idiot, the way he viewed things were quite funny and innocent at the same time. Overall, a good reading and a great reminder that even a fool had a chance to succeed in this world, as long as he did it wholeheartedly!

Forrest Gump: the movie and the book.



Ulasan Buku: Forrest Gump 

Karakter-karakter tertentu bisa sangat identik dengan pemerannya sehingga anda langsung teringat dengan aktornya. Contohnya Forrest Gump. Begitu saya mulai membaca, Tom Hanks pun muncul di benak saya. Novel yang saya baca mengingatkan saya dengan gaya bicaranya. 

Cerita kali ini dimulai dengan suatu perasaan yang mengingatkan saya kembali untuk menonton Forrest Gump. Setelah menghabiskan 2 jam 23 menit di Netflix, saya iseng membaca tentang film yang baru saja saya tonton. Saya pun teringat kembali bahwa film ini diangkat dari novel. Ditulis oleh Winston Groom, cerita fiksi ini diterbitkan di tahun 1986. 

Berdasarkan apa yang saya baca, novel ini konon agak berbeda dengan filmnya. Saya pun jadi ingin tahu dan mulai mencari bukunya di perpustakaan. Saya dapatkan bukunya dan jadi tersenyum sendiri saat mulai membaca. Kisah yang diceritakan dalam sudut pandang orang pertama ini banyak kesalahan penulisan yang disengaja. Gaya penulisannya pun memberikan kesan bahwa yang sedang bercerita ini adalah orang idiot. Bila anda sudah pernah menonton filmnya, pasti langsung teringat dengan Tom Hanks yang berakting sebagai Forrest Gump. 

Beberapa karakter di film seperti Jenny Curran dan Bubba juga muncul di novel dan hampir sama pula kisahnya. Yang agak berbeda itu Lieutenant Dan. Forrest di novel sangat menyadari bahwa dia adalah orang bodoh, tapi seringkali tanpa sadar bisa mengerjakan hal yang mustahil, misalnya matematika, bermain harmonika dan mengalahkan para pecatur tangguh. 

Salah satu bagian yang menarik di film, saat Forrest bertemu dengan Elvis dan John Lennon, tidak ada di buku. Kisahnya di Vietnam dan pertemuannya dengan presiden Amerika ada di buku dan film, tapi pengalamannya sebagai astronot dan pegulat serta petualangannya di Papua Nugini hanya ada di novel. 

Saya tidak tahu apakah saya akan menyukai buku ini kalau saya tidak pernah menonton filmnya, tapi saya akui bahwa saya berulang kali tertawa sendiri di kereta dalam perjalanan ke dan pulang kantor. Secara keseluruhan, buku ini menarik untuk dibaca dan juga mengingatkan kita kembali bahwa orang bodoh pun bisa sukses di dunia ini kalau dia berupaya sepenuh hati! 

Saturday, July 31, 2021

Book Review: A Promised Land

This book is thick! If you read the blog post called Reading: Not Just a Hobby that was published in March, you'd have noticed this book lying next to a bowl of KFC porridge, haha. I couldn't finish reading it then. Had to return the book to the library and waited for my turn to borrow it again. Was on queue for about three months and finally got it when June was ending. 

Now, was it any good? Prior to this, I happened to read another book Obama wrote called Dreams from My Father. The previous book told about his childhood and younger days,  so A Promised Land was like the next chapter of his life, when he started campaigning and became president. It was like picking up where I left off.

I liked how Obama began the book with life before presidency. You could see how his life totally changed the moment he became POTUS. I mean, White House is not just an office. He really lived there with his family and everywhere he went, he was followed by Secret Service agents and reporters. It was a strange life with not much freedom that I don't think was envied by many. 

Then there were events that became movies, namely The Big Short, Captain Phillips and Deepwater Horizon. The subprime mortgages was explained based on what his saw and experienced right before the financial crisis happened. As a president, he never thought he had to deal with the pirates of Somalia. Certainly didn't see that one coming! Finally, there was the BP oil spill.

It was fun to read about Obama's overseas trips and how he described the countries and his counterparts. His description about China was interesting. He had a good impression about Singapore and I liked it when he mentioned about Indonesia from time to time. But it came to the Middle East, the US foreign policies were such a mess. As a non-American, I couldn't help feeling that the US had this habit of interfering other country's affair. More often than not, it didn't end well. Libya was a good example of how disastrous it could be.

Talk about being a non-American, it was interesting to learn the relationship between Democrats and Republicans. You'd think that a country as advanced as the US would know how to put aside their differences and worked together, but that wasn't always the case. In fact, it was kind of rare. Apart from certain exceptional figures such as John McCain, Republicans had this tendency to block whatever Obama was doing, haha. The relationship among Senate, House and President was also rather convoluted from the perspective of an outsider.

Overall, it was a good book that offered a glimpse of how busy a US President was. Talk about the responsibilities he had and the challenges he faced, Fox News, Republican, Putin and even Donald Trump certainly didn't make it easy for Obama, haha. But still, the book was a great reminder of how cool Obama was. His conscience was clear. If that didn't make him a great president in the eyes of some Americans, at the very least he was a very decent human being that ever became the president of the most powerful nation on earth. 

Books by Obama.




Ulasan Buku: A Promised Land

Buku ini tebalnya lebih dari 700 halaman! Kalau anda sempat membaca artikel berjudul Membaca: Bukan Sekedar Hobi, anda pasti melihat buku ini tergeletak di samping bubur KFC, haha. Saat itu saya tidak sempat membaca sampai habis, jadi terpaksa saya kembalikan ke perpustakaan karena tidak bisa diperpanjang. Buku baru ini banyak peminatnya dan saya harus menunggu kira-kira tiga bulan lamanya dan baru mendapatkan giliran lagi di akhir bulan Juni. 

Apakah ini buku yang bagus? Setahun sebelumnya, saya membeli buku berjudul Dreams from My Father yang juga ditulis oleh Obama. Buku ini bercerita tentang masa mudanya di Amerika, Indonesia dan Kenya. Nah, buku A Promised Land ini bagaikan kelanjutan dari buku yang saya sebutkan barusan. Kisahnya tentang masa kampanye dan periode pertamanya sebagai presiden. 

Saya suka dengan cara Obama mengawali ceritanya dengan kehidupan sebelum menjadi presiden. Pembaca jadi bisa membayangkan bagaimana hidupnya berubah drastis setelah dia menjadi POTUS. Gedung Putih itu ternyata bukan sekedar tempat kerja, tapi juga rumah dan tempat tinggal presiden dan keluarganya. Semenjak menjabat, setiap langkahnya selalu diikuti oleh agen rahasia dan wartawan. Hilang sudah kebebasannya. Rasanya tidak seperti kehidupan yang membuat orang lain iri. 

Setidaknya ada tiga peristiwa dalam periode pertama ini yang kemudian diangkat menjadi film-film berjudul The Big Short, Captain Phillips dan Deepwater Horizon. Obama bercerita tentang asal-mula krisis ekonomi dari apa yang dilihat dan dialaminya sebelum dan selagi menjabat. Sebagai presiden, tidak terbayangkan olehnya bahwa dia harus berurusan dengan bajak laut Somalia. Dan kemudian ada pula bencana tumpahnya minyak bumi di Teluk Meksiko.

Seru rasanya membaca tentang kunjungan kerja Obama ke luar negeri. Pendapatnya tentang Cina sangat menarik. Dia juga terkesan dengan Singapura dan ada rasa senang saat membaca cerita singkatnya tentang Indonesia. Akan tetapi terasa pula bahwa politik luar negeri Amerika itu menimbulkan kekacauan di negara-negara Timur Tengah. Ada kesan bahwa Amerika itu suka ikut campur urusan negara lain. Hasilnya seringkali malah tambah ricuh. Libia adalah contoh hilangnya kestabilan dalam negeri setelah Amerika mendepak Gaddafi. 

Sebagai orang luar, hubungan antara Demokrat dan Republican itu cukup rumit dan membingungkan. Saya sempat menyangka bahwa negara liberal semaju Amerika pastilah bisa mengesampingkan perbedaan pendapat dan bekerja sama, namun kenyataan seperti itu jarang terjadi. Hanya beberapa tokoh yang berjiwa besar seperti John McCain yang bisa membedakan kepentingan partai dan rakyat. Alhasil, Republican sering menghambat dan menolak kebijakan Obama, haha. 

Secara keseluruhan, buku ini menawarkan gambaran yang gamblang tentang betapa sibuknya kehidupan seorang Presiden Amerika. Berat tanggung jawabnya, banyak pula tantangannya. Fox News, Republican, Putin dan bahkan Donald Trump silih berganti mendatangkan kesulitan baginya. Tapi di sisi lain, kita diingatkan kembali dengan sosok Obama yang kharismatik. Sebagai seorang politisi, nuraninya masih jalan. Jika itu tidak membuatnya menjadi presiden yang hebat di mata rakyatnya sendiri, setidaknya dia tetap dikenang sebagai pemimpin yang apa adanya dari sebuah negara adidaya. 

Wednesday, June 30, 2021

Book Review: The Reason I Jump

Autism is often a thing you have heard before, but never really care about until you encounter it in the form of someone you love dearly. Autistic people are neither stupid nor deranged, but they view the world and react so differently that they are typically misunderstood. When they did things that didn't seem to make any sense, the general response would be, "what are they thinking?"

It's a question not many can answer, so when a movie called The Reason I Jump was in cinema, my wife and I went to watch. The film began with a rather strange narration, then split into a few sections showing the lives of five individuals who lived with autism spectrum disorder. 

The movie was unusual, probably not recommended for the uninitiated as it could be quite depressing. But it also offered an explanation of... literally the reason they jumped. The key here was Naoki Higashida. At age 13, he managed to write a book about what he thought and felt as an autistic kid. The movie was sort of adapted from his book.

After watching the show, I was so curious that I immediately checked the library collection and reserved the book. And what an intriguing book it was! Most of the pages were in Q&A format. They were questions commonly asked by normal people and, through his answers, Naoki gave the readers a glimpse of how his brain and body worked.

It was interesting to see how he actually processed an image, for example a rainy day. It was quite touching to learn that inside his heart, he could be emotional just like any of us. It was painful to read that he couldn't help it when his body behaved differently, so much different than what he had in mind. It wasn't an easy reading, but coming from an autistic kid, it was an eye-opener. More than that, it showed that beyond the odd behaviours, there was a soul longing to be accepted and loved. 

And the fact that he could write all this and some short stories, especially the last one, was a proof that there was a beautiful mind trapped inside the body. It could be a bumpy and challenging journey to meet the real person beneath this autistic demeanour. This book was a great reminder for the readers not to give up and lose hope. 

The book and the movie poster.



Ulasan Buku: Alasan Saya Melompat

Autisme adalah sesuatu yang mungkin sering anda dengar, tapi tak pernah dimengerti sampai anda menemukannya sendiri dalam bentuk orang yang anda sayangi. Orang-orang autis tidaklah bodoh atau tidak waras, tapi cara mereka memandang dunia dan tingkah mereka begitu berbeda sehingga seringkali disalahpahami. Ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak jelas artinya, tak jarang kita berpikir, "apa sebenarnya yang mereka pikirkan?" 

Ini adalah satu pertanyaan sulit yang hanya bisa dijawab oleh orang autis, jadi ketika film berjudul The Reason I Jump ditayangkan di bioskop, saya dan istri pun pergi menonton. Film ini dimulai dengan narasi yang terdengar aneh, lalu menampilkan kisah lima muda-mudi yang autis. 

Film ini tidak lazim dan barangkali tidak disarankan bagi orang awam karena berat materinya dan menyedihkan pula. Akan tetapi film ini juga menawarkan sebuah penjelasan tentang... kenapa mereka melompat. Kuncinya di sini adalah Naoki Higashida. Di usia 13 tahun, dia menulis buku tentang apa yang dia pikirkan dan rasakan sebagai bocah yang autis. Film ini merupakan adaptasi dari bukunya. 

Seusai menonton, saya menjadi sangat ingin tahu sehingga saya segera mengecek koleksi perpustakaan dan memesan buku tersebut. Saat saya dapatkan dan baca, ternyata unik bukunya. Sebagian besar isinya ditulis dalam format Q&A. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah apa yang biasa muncul di benak orang normal dan lewat jawabannya, Naoki menjelaskan cara kerja pikiran dan tubuhnya sebagai orang autis.

Menarik rasanya saat mengetahui bagaimana Naoki memahami apa yang sedang dilihatnya, misalnya saat hujan. Saya jadi terenyuh sewaktu membaca tentang apa yang dirasakannya, sebab dia pun ternyata memiliki perasaan. Ada rasa sedih pula saat Naoki bercerita tentang perbuatan dan prilaku yang luar kendalinya. Baginya, semua itu terjadi begitu saja dan dia tidak bisa mencegahnya. Ini bukan buku yang gampang dibaca, tapi sangat membuka wawasan. Buku ini juga mengingatkan kembali bahwa di balik semua tingkah laku yang aneh itu, ada seorang bocah yang berharap diterima dan dicintai apa adanya.

Fakta bahwa dia bisa menulis semua ini dan juga beberapa cerpen lainnya, terutama yang terakhir, menunjukkan bahwa ada sebuah kecerdasan yang terkurung dalam tubuh yang autis. Butuh perjuangan untuk bisa bertemu dengan sosok sejati dari pengidap autisme yang sulit dimengerti ini. Bilamana anda merasa lelah, buku ini bisa menguatkan anda kembali supaya tetap tegar dan tidak putus asa.  

Tuesday, May 11, 2021

Muhammad Ali: A Memoir

I'm not sure about kids these days, but if you were my age, you couldn't be living on this planet and never heard of Muhammad Ali. He was that famous! The problem is, we were born at the end of his career. By the time we became aware of him, he was not even half the man he used to be. In fact, the first time I saw him on TV was during the opening of the Olympics in Atlanta. He was this slow-moving, middle aged man with shaky hands that lighted up the cauldron.

Then I listened to I'm the Greatest, a song written by John for Ringo. I learnt that the song title was inspired by Ali's catchphrase, but that was pretty much it. Many years later, Ali was the headline news on Time magazine when he passed away in 2016. I read about that, but I only became a fan after I watched a snippet of his first interview on Michael Parkinson's talk show. He was funny, charismatic and provocative at times. 

When the movie called Ali appeared on Netflix, I gave it a try. I liked what I saw and Will Smith was great, but it turned out that the real deal was even better. I was blown away when I watched What's My Name: Muhammad Ali on HBO. The documentary told the story from the beginning till the day he retired and suffered from Parkinson's disease. 

Ali was, to quote the man himself, the greatest. When he first started, the way he boxed was exactly the way he said it: "float like a butterfly, sting like a bee." He kept his hands so low and danced around Sonny Liston. Outside the ring, he was a showman, ever entertaining. He talked big and rhymed, but he also walked the talk. Even when he lost, he was still as charming as ever. He beat the undefeated George Foreman when nobody thought he could do so. He was also the first boxer who won world heavyweight championship three times. Then the Parkinson's disease took almost everything away from him. It was really sad to see him shaking uncontrollably and losing his ability to speak. In a way, it was ironic.

As usual, after being inspired by a story, I often looked for the book. At first I wanted to read his autobiography, but the book was sort of doctored, so I chose the memoir by Michael Parkinson instead. The TV presenter looked back and reminisced the four interviews he had with Ali at different times of his life. It was like remembering an old friend, full of fondness, but also honest, bittersweet and poignant, a loving tribute for a man who was once known as the Greatest. Recommended for those who never saw Ali during his prime!

The Greatest.



Muhammad Ali: Sebuah Memoar 

Jika anda seumuran dengan saya, rasanya tidak mungkin bahwa anda tidak pernah mendengar nama Muhammad Ali. Yang problem itu, generasi kita lahir di penghujung karirnya. Ketika kita tahu ada orang yang namanya Muhammad Ali, dia sudah jauh berbeda dengan sosok di masa jayanya. Saya sendiri pertama kali melihatnya di televisi saat Olimpiade Atlanta. Dia adalah pria setengah baya yang bergetar tangannya dan berjalan pelan sambil membawa  obor di acara pembukaan olimpiade. 

Setelah itu saya mendengar lagu I'm the Greatest yang ditulis oleh John untuk Ringo. Saya pernah baca bahwa judul lagu ini berasal dari slogan Ali, namun hanya sebatas itu yang saya tahu. Bertahun-tahun kemudian, Ali muncul di sampul majalah Time tatkala dia meninggal di tahun 2016. Saya sempat baca artikelnya, tapi saya baru menjadi penggemar sesudah menonton cuplikan wawancaranya di acara Michael Parkinson. Ternyata Ali itu lucu, karismatik dan juga provokatif gaya bicaranya. 

Ketika film berjudul Ali muncul di Netflix, saya pun coba tonton. Saya suka ceritanya dan Will Smith cocok memerankan Ali, tapi siapa sangka orang aslinya lebih dahsyat lagi? Saya terkesan saat menonton dokumenter What's My Name: Muhammad Ali di HBO yang mengisahkan tentang asal-mula Ali sampai masa pensiunnya. Penyakit Parkinson yang dideritanya pun diceritakan di sini. 

Mengutip apa yang ia sendiri katakan, Ali adalah yang terhebat. Di awal karirnya, gayanya dalam bertinju persis seperti yang ia jabarkan: "lincah seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah." Tangannya senantiasa berada di bawah, seakan-akan ia menantang lawan untuk memukulnya. Gerak kakinya juga sangat gesit saat menghadapi Sonny Liston. Di luar ring, dia piawai dalam bertutur-kata. Dia membuat lawannya jengkel tapi membuat penonton tertawa. Dia berani sesumbar dan pandai pula berpantun meremehkan lawan, tapi dia memiliki kemampuan untuk membuktikan ucapannya. Bahkan di saat kalah pun dia masih terdengar hebat. George Foreman yang tak terkalahkan pun tumbang saat beradu jotos dengannya, padahal saat itu tidak ada yang yakin bahwa Ali yang lebih tua akan menang. Ali juga menjadi petinju pertama yang menjadi juara dunia kelas berat sebanyak tiga kali. Lalu penyakit Parkinson merenggut hampir semua kebanggaannya. Sedih rasanya melihat tangannya bergetar tak terkendali. Dia juga kehilangan kemampuannya dalam berbicara. Sungguh ironis. 

Seperti biasa, bilamana saya terinspirasi oleh suatu cerita, saya suka baca bukunya. Tadinya saya hendak membaca otobiografinya, tapi ulasan buku tersebut tidak terlalu bagus, bahkan ada pendapat bahwa Ali sendiri tidak terlibat dalam penulisannya. Akhirnya saya pilih memoar karangan Michael Parkinson. Pembawa acara TV ini mengenang kembali wawancara bersama Ali di empat masa yang berbeda dalam hidupnya. Tulisannya terasa seperti bercerita tentang seorang teman lama, kadang sedih dan kadang gembira, namun juga jujur dan apa adanya. Sungguh sebuah persembahan yang pantas untuk orang yang dulunya dikenal sebagai yang terhebat. Cocok bagi pembaca yang tidak pernah melihat kedashyatan sosok seorang Ali sebagai petinju!

Saturday, February 13, 2021

Book Review: A Long Way Home

I once said that India is probably the most fascinating country that I never visited thus far. The movies I saw and the books I read told me about the exotic cultures and great food that are equalled only by the harsh living conditions and poverty. They just don't add up and I can't help feeling that India is a place where one will need to be there in order to experience it properly. This is why I want to visit the country one day.

But despite the hardship, the story of India is also often a story of hope. A year ago, I read about a man who cycled from to Europe for love. This year, I had a chance to read this one. It started with a friend of mine telling me about a movie called Lion starring Dev Patel. The story was somewhat familiar, I think it was on the news years ago. I gave it a try and was blown away by it. The film was beautiful and it left me wanting more. That's when I browsed the library collection and found the book.

In essence, the book was divided into three parts. The first section was about Saroo's childhood in India. He was a poor boy from Ganesh Talai, an impoverished village in Madhya Pradesh. When he was five, he went to Burhanpur with his brother Guddu and he accidentally boarded a train that traveled to Kolkata. 

That was like more than one thousand kilometers away from his house and in India, it meant he ended up in a foreign land where people spoke a different language and nobody there had heard of Ginestlay. Needless to say, he became a homeless kid roaming the streets, eating whatever he could find and encountering near-death experiences. Lucky for him, he was eventually picked up by an adoption agency. 

Thus began the second chapter of his life. Saroo was adopted by the Brierleys and he moved to Hobart, Tasmania. His adoptive mother, played by Nicole Kidman in the movie, was an amazing person who chose to adopt less fortunate children when she could actually have her own kids. This selfless act saved his life. Saroo then grew up as an Australian, but at the back of his head, he never really forgot his family back in India. 

With the help of Google Earth, he started searching for his village. It was a gargantuan task. His vague childhood memories clearly didn't help as it never occurred to him that his hometown was very far from Kolkata. In fact, because he was illiterate, he got many names wrong, including his own. What he pronounced as Ginestlay and Berampur, were actually Ganesh Talai and Burhanpur. No wonder he never found them!

It took him three years and close to 10,000 hours to be on the right track. And even when he finally made it, 25 years had passed and he couldn't be sure that his mother was still there. But that's the thing with India. When all hope seemed lost, miracle happened and story ended with the closure Saroo was looking for. It was as happy as it could be, but not without a tragedy. 

The movie was good and it showed you a glimpse of India, but certain parts of the story were changed and/or omitted. If you'd like to hear from the man himself, pick up this book and read. It is an easy reading and most importantly, it will remind you that kindness and miracle still exist regardless how hard the life is...

The book and the film on Netflix.




Ulasan Buku: Perjalanan Panjang Ke Rumah

Dua tahun lalu saya pernah menulis bahwa India adalah negara paling menarik yang belum pernah saya kunjungi. Film-film yang saya tonton dan buku-buku yang saya baca mengisahkan tentang negeri dengan budaya yang eksotis dan makanan lezat. Negeri yang sama juga terkenal dengan kehidupannya yang keras dan kemiskinannya yang sulit dipercaya. Sungguh fakta yang bertolak belakang! Karena inilah India perlu dikunjungi. Negara ini perlu dialami sendiri dan tidak bisa sekedar diketahui dari film dan buku. 

Meskipun parah kesejahteraannya, India juga merupakan sebuah cerita tentang harapan. Setahun yang lalu, saya membaca tentang kisah seorang pria Indian yang bersepeda ke Eropa demi cinta. Tahun ini saya berkesempatan membaca buku ini. Awalnya ada teman yang bercerita tentang film Lion yang dibintangi oleh Dev Patel. Sepertinya saya pernah baca kisah ini di berita beberapa tahun silam. Saya lantas mencoba filmnya dan saya sungguh terkesan, sehingga saya pun mencari tahu lebih lanjut. Akhirnya saya temukan bukunya di perpustakaan

Secara singkat, buku ini bisa dikatakan terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah tentang masa kecil Saroo di India. Dia adalah bocah miskin di Ganesh Talai, sebuah perkampungan kumuh di negara bagian Madhya Pradesh. Sewaktu berumur lima tahun, dia pergi ke Burhanpur bersama abangnya Guddu. Di sana ia secara tidak sengaja menaiki kereta ke Kolkata. 

Kolkata itu kira-kira 1.500 kilometer jauhnya dari Ganesh Talai. Ketika ia turun dari kereta, dia tiba di negeri asing dimana orang-orangnya tidak lagi berbahasa Hindi. Tidak seorang pun yang tahu di mana sebenarnya Ginestlay. Alhasil, bocah miskin ini pun menjadi anak jalanan yang mengorek sampah untuk makan dan berkali-kali hampir mati karena berbagai kemalangan yang menimpanya. Nasib baik akhirnya membawa Saroo ke panti anak-anak yatim piatu. 

Dari sinilah babak kedua hidupnya bermula. Dia diadopsi oleh keluarga Brierley dan pindah ke Hobart, Tasmania. Ibu angkatnya yang diperankan oleh Nicole Kidman di film adalah seorang wanita luar biasa yang memilih untuk mengadopsi anak-anak yang malang nasibnya, padahal dia sebenarnya bisa saja melahirkan anak sendiri. Perbuatan baik ini akhirnya mengubah nasib sang bocah. Saroo tumbuh dewasa menjadi warga Australia, tapi di benaknya senantiasa terlintas kenangan tentang keluarganya di India. 

Dengan menggunakan Google Earth, Saroo mulai mencari kampungnya. Ini adalah sebuah misi yang boleh dikatakan mustahil, sebab India memiliki banyak kota yang hampir sama namanya. Ingatan masa kecilnya tidak banyak membantu dan malah menyesatkan, sebab tidak terpikir olehnya bahwa rumahnya sangat jauh dari Kolkata. Karena dia tidak sekolah di masa kanak-kanaknya di India, banyak nama yang dia salah sebut. Bahkan namanya sendiri pun keliru. Apa yang dia ucapkan sebagai Ginestlay dan Berampur sebenarnya Ganesh Talai dan Burhanpur. Pantas saja dia tidak pernah menemukan tempat asalnya.

Butuh tiga tahun dan hampir 10.000 jam lamanya bagi Saroo untuk menemukan jalan pulang. Ketika dia akhirnya berhasil, 25 tahun sudah berlalu dan dia tidak tahu pasti apakah ibunya masih tinggal di kampung yang sama. Tapi inilah uniknya India. Ketika harapan hampir pupus, keajaiban terjadi dan cerita ini berakhir nyaris seperti apa yang Saroo dambakan. Ada kegembiraan yang luar biasa, tapi tak luput pula dari tragedi yang tidak terduga. 

Filmnya bagus dan memberikan gambaran seperti apa kehidupan miskin di India, tapi ada pula bagian cerita yang diubah dan juga dihilangkan. Jika anda ingin mendengar cerita seutuhnya dari Saroo, maka buku ini adalah pilihan yang lebih tepat. Gampang dibaca ceritanya, tapi yang lebih penting lagi adalah hikmahnya. Buku ini akan mengingatkan anda kembali bahwa sesulit apa pun hidup ini, masih ada kebaikan dan keajaiban bagi mereka yang membutuhkannya...