Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Favorites. Show all posts
Showing posts with label Favorites. Show all posts

Thursday, February 16, 2023

Reinventing Oneself

It must have been established by now that I love the plastics. While each of them is unique in its own way, I always have the soft spot for Diners Club. The story of its origin, the unusual name, its glorious past as the first and how the mighty had fallen... I just love every bit of it. 

Things looked gloomy for Diners and I thought it would stay that way, hence imagine my surprise when I saw the changes. Not only the mobile app was modernized and the company name was changed to DCS Card Centre, but it also released a new card under the UnionPay logo! 

When I got mine (obviously), I found it odd that this was purely a UnionPay card. I reckon the company wanted to show what it meant when the name was changed to Card Centre, but it could have retained the Diners network to broaden the acceptance. It'd be interesting to have a card that worked as both Diners and UnionPay.

Anyway, while it wasn't perfect, Diners' decision to reinvent itself was bold and commendable. It wasn't something that happened very often and it reminded me of the day BlackBerry exited the phone business. Good for the company to focus on security business and be profitable from it, but bad for those who loved the phone like me. 

As I traced back, fundamental changes did happen to things I like, even to an icon as popular as Godzilla. After the disastrous Godzilla 1998, Toho decided to try again with the Americans. The result was Monsterverse that eventually delivered Godzilla vs. Kong in 2021. For the uninitiated, a similar film was first produced by Toho in 1962 and it was wildly popular. To be able to watch a modernized version of it was like a dream came true. I was so impressed when I watched it in the cinema that I couldn't help thinking this is how as Godzilla movie should be done. I remember that particular moment vividly.  

And then we had the Beatles, the master of reinventing themselves. They were so good at it, so ahead of its time, that peers like the Beach Boys and the Rolling Stones were left behind. From Please Please Me to Let It Be, they never sounded the same. Just when the Beach Boys produced Pet Sounds, the Beatles topped the bill with Sgt. Pepper's. Rolling Stones could only hope for the best with Their Satanic Majesties Request. 

But of course not everyone could be like the Beatles. They are the benchmark, the perfection that people like us will always try to emulate and achieve. As for Godzilla, it's about the willingness to try even though we fail the first time. BlackBerry serves as a reminder that we can evolve into something different in order to survive, even though it may not be something that others know and love. And Diners, whatever they do now is definitely an improvement. It got me thinking that when you are already at the bottom of the pit, the only way to go from here onwards is up if we want to reinvent ourselves...

DCS, formerly known as Diners Club. 



Mengubah Diri

Dari berbagai artikel roadblog101.com sejak tahun 2017, rasanya sudah sering diceritakan bahwa saya memang suka koleksi kartu kredit. Setiap logo kartu memiliki keunikan sendiri, tapi saya selalu memiliki perasaan sentimentil terhadap Diners Club. Asal mulanya, namanya yang tidak lazim, sejarahnya sebagai kartu kredit pertama, sampai terpuruknya reputasi Diners sekarang. Saya suka semuanya.

Situasi terlihat sulit bagi Diners yang kalah saing dan saya kira Diners akan selalu terlihat ketinggalan zaman. Jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika Diners tiba-tiba berubah. Bukan saja perusahaannya berganti nama dan mobile app-nya pun berubah, tapi Diners juga mengeluarkan kartu baru dengan logo UnionPay! 

Ketika saya mendapatkan kartu saya, ada rasa heran kenapa kartu ini murni UnionPay. Saya menerka bahwa kartu ini dikeluarkan sebagai UnionPay karena perusahaan ini ingin menunjukkan kenapa namanya diganti jadi DCS Card Centre yang berarti pusat kartu, tapi saya sempat menyangka bahwa kartu ini akan tetap mempertahankan jaringannya sendiri. Akan sungguh menarik bila kartu ini bisa dipakai di jaringan UnionPay dan Diners.

Kendati tidak sempurna, aksi nyata yang ditunjukkan Diners untuk berubah adalah sesuatu yang berani dan patut dikagumi. Ini tidak sering terjadi dan mengingatkan saya kembali pada hari di mana BlackBerry memutuskan untuk keluar dari bisnis telepon genggam. Bagus untuk perusahaannya untuk sepenuhnya fokus pada bisnis keamanan komputer, tapi tidak bagus untuk pencinta telepon BlackBerry seperti saya. 

Ketika saya melihat kembali, perubahan mendasar seperti ini terjadi pada beberapa hal yang saya sukai, bahkan sesuatu yang sudah begitu ikonik dan populer seperti Godzilla. Setelah Godzilla 1998 yang gagal total, Toho memutuskan untuk mencoba lagi dengan produser film Amerika. Hasil kerja sama dari sejak Godzilla 2014 ini akhirnya melahirkan Godzilla vs. Kong di tahun 2021. Bagi yang tidak tahu, film serupa diproduksi oleh Toho di tahun 1962 dan sukses besar. Bisa menyaksikan kembali versi modern dari pertarungan Godzilla dan Kong sungguh bagaikan impian yang menjadi kenyataan. Saya begitu terkesan sampai berpikir bahwa seperti inilah film Godzilla seharusnya digarap. Saya ingat betul pikiran tersebut terlintas di benak saya saat di bioskop.

Dan kemudian ada the Beatles yang senantiasa berubah menjadi lebih baik dan menciptakan sesuatu yang baru. Mereka begitu pakar dalam hal ini, begitu jauh di depan, sampai-sampai grup lain seperti Beach Boys dan Rolling Stones tertinggal di belakang. Dari Please Please Me sampai Let It Be, the Beatles tidak pernah terdengar sama. Sewaktu Beach Boys merilis Pet Sounds, the Beatles menandinginya dan keluar sebagai pemenang dengan Sgt. Pepper's. Rolling Stones hanya bisa mengekor di belakang dengan Their Satanic Majesties Request

Akan tetapi tentu saja tidak semua bisa menjadi seperti the Beatles. Mereka adalah standar dan inspirasi bagi orang-orang seperti saya yang selalu mengejar dan mencapai impian seperti mereka. Akan halnya Godzilla, perlu dicatat bagaimana mereka mencoba lagi meski gagal di kali pertama. Kalau BlackBerry adalah sebuah kisah nyata bagaimana evolusi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda kadang diperlukan agar tidak lenyap oleh waktu, meskipun perubahan itu bukan lagi sesuatu yang digemari khalayak ramai. Dan apa pun yang mereka lakukan di Diners sekarang jelas merupakan peningkatan. Ini adalah contoh, bilamana kita sudah di bawah, maka satu-satunya yang akan terjadi bila kita mau berubah adalah peningkatan dan kemajuan...

Tuesday, September 5, 2017

That Comedy Show

I finished That '70s Show recently, the third sitcom I ever completed so far. At first, because I'd heard about it many times, I thought of having a peek at one episode just to satisfy my curiosity. However, it was so good that I was hooked on it immediately. The casting and characterization were right from the beginning. When the show first started, Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie and Fez (a foreign kid with an unknown origin, haha) were unbelievably young, they definitely cut it as high school students. That aside, the series actually featured the parents prominently and I was surprised that I was okay with that. In fact, I think the coolest character of the show was Red Forman. I was very much impressed that the bad guy in RoboCop could be that funny. The only problem I had with That '70s Show was how it was marred by the problem of actors leaving the show. Even the main character, Eric Forman, left and only came back for a good 10 minutes on the last episode. Anyway, it was a small issue as compared with the fun I had throughout that '70s ride. 

Since That '70s Show was the third, what was the first, then? Well, I got a long history with sitcom and it was started with Friends. Still the greatest show on earth, I guess. My friend Ardian and I watched it during our college days in Pontianak and it was constantly discussed and heavily referenced in our conversation. I watched the latter half of the series, including the last one, in Jakarta, sharing the fun with my colleague Rusli this time. Then we were Pheng iuthe Teochew version of Friends, and as a bunch of bachelors living together in Singapore, we would spent time watching the rerun of Friends (oh yeah, we reran it ourselves, as I owned the complete set) at night in our living room. Years later, Emily, a name of my favorite character in Friends, ended up as the middle name of my daughter. 

Friends and How I Met Your Mother.

What's so special about Friends that it was deeply entrenched in me? Well, the show was about the hilarious and lovely friends (Joey and Chandler were the funniest, Phoebe was weird, Monica was loud and we rooted for the love story between Ross and Rachel) as they went thru stages in life, certainly something that I could relate with. Another plus point that I always loved from Friends was the friendly hugging, something that we Asians don't normally do. The simple gesture went along way to show that as friends, after things are said and done, we forgive and forget. It was in line with what the theme song was singing about: I'll be there for you.

After Friends, the next one that came into the picture was How I Met Your Mother. While the title might not sound convincing, it did convey the whole premise of the show: one long story about how the titular character, Ted, together with Barney, Robin, Marshall and Lily, met the mother. It was like an updated and modernized version of Friends, with Ted and Robin filling in the shoes of Ross and Rachel. Also worth mentioning is Neil Patrick Harris as Barney Stinson, whose performance was legen... wait for it... dary! He was just awesome, thanks to his over-the-top antics, the Playbook, Bro Code and so forth. He was also inspirational. I mean, only Barney could say stuff like, "when I get sad, I stop being sad and be awesome instead." As crazy as it sounded, I actually laughed and agreed with that. While it didn't say I'll be there for you, it was definitely brimming with optimism.

Now, as I wrote this, I realized that what interesting here is the thin red line among those three. While I was progressing up and down from a bunch of friends who hung out at the cafe, drinking coffee (Friends) to a bunch of friends who hung out at the bar, drinking beer (How I Met Your Mother), to a bunch of friends who hung out at the basement and weren't old enough to drink beer (That '70s Show), the idea behind it remains the same. All of them were about the friendship, the love and the fun in life. If a person's character is ever defined by what one likes, watches and is influenced by, this may explain why I am who I am today...


Pertunjukan Komedi Itu

That '70s Show adalah sitcom ketiga yang saya tonton sampai habis baru-baru ini. Pada mulanya, saya cuma coba-coba satu episode untuk menghilangkan rasa penasaran saya, terutama karena saya sering mendengar tentang serial komedi ini. Setelah menyelesaikan satu judul pertama, ternyata saya malah menjadi ketagihan. Para aktor yang membintangi seri ini sangat pas dalam memerankan karakternya. Eric, Donna, Hyde, Kelso, Jackie dan Fez (pelajar asing yang tidak jelas asal-usulnya, haha) masih sangat muda di awal cerita, sehingga terlihat meyakinkan sebagai murid SMA. Di samping itu, serial ini juga unik karena menampilkan para orang tua secara konstan sebagai bagian dari setiap cerita. Saya tidak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya, tetapi saya ternyata menyukainya dan favorit saya adalah Red Forman. Pemerannya adalah orang yang membintangi penjahat di film RoboCop dan saya sangat terkesan bahwa dia bisa melucu dalam perannya yang tegas sebagai seorang ayah. Jika ada kekurangan That '70s Show, maka itu adalah masalah perginya aktor-aktor dari serial tersebut. Bahkan tokoh utamanya, Eric Forman, pergi dan kembali hanya untuk 10 menit di episode terakhir. Untung saja secara keseluruhan ceritanya masih tetap memikat. 

Nah, jika That '70s Show adalah yang ketiga, apa judul sitcom pertama yang pernah saya tonton? Saya telah menonton sitcom sejak puluhan tahun silam, dimulai dari Friends. Sewaktu kuliah di Pontianak, saya dan teman saya Ardian mengikuti serial ini dan kita sering berbagi cerita yang telah kita tonton. Ketika saya pindah ke Jakarta, saya lanjut menonton Friends hingga usai, kali ini bersama Rusli, kolega saya. Setelah itu, sebagai bagian dari kumpulan bujangan yang tinggal serumah di Singapura, kita secara kolektif bahkan sempat memerankan Pheng iuFriends versi Tiochiu. Di malam harinya, kita akan berkumpul di ruang tamu untuk menyaksikan pemutaran ulang serial Friends (oh ya, kita putar ulang sendiri, karena saya memiliki DVD Friends, satu set komplit). Bertahun-tahun kemudian, saya menamai anak saya Emily berdasarkan karakter favorit saya di Friends. 

That '70s Show di Netflix

Sebenarnya apa yang istimewa dari Friends sehingga serial ini benar-benar mengakar pada diri saya? Saya rasa karena topik yang diangkat, dimana serial ini menyoroti kehidupan enam orang sahabat yang lucu dan benar-benar dekat satu sama lain. Ada Joey dan Chandler yang paling lucu, Phoebe yang nyentrik, Monica yang nyaring dan tentu saja Ross dan Rachel, pasangan ideal. Bersama-sama mereka mengarungi setiap jenjang kehidupan, sesuatu yang tentunya relevan buat saya. Hal lainnya yang menarik dari Friends adalah budaya mereka dalam berpelukan sebagai teman, sesuatu yang jarang dilakukan oleh orang Asia. Saya selalu merasa bahwa cara menunjukkan simpati yang sederhana ini sebenarnya sangat luar biasa dampaknya, dimana setelah kita bersalah baik dalam perkataan maupun perbuatan, kita memaafkan dan melupakannya. Ini juga jelas senada dengan tema yang diusung di lagunya, bahwa saya akan selalu hadir untukmu.

Setelah Friends, yang saya tonton berikutnya adalah How I Met Your Mother. Walau terdengar konyol, judul ini betul-betul mewakili inti dari serial tersebut: satu cerita panjang dimana tokoh utamanya, Ted, bersama-sama dengan Barney, Robin, Marshall dan Lily, bertemu dengan Sang Ibu. Serial ini bagaikan versi baru dan modern dari Friends, dimana Ted dan Robin seperti menggantikan peran Ross dan Rachel. Yang juga wajib disebutkan di sini adalah akting Neil Patrick Harris sebagai Barney Stinson yang legendaris. Dia bukan saja luar biasa lucu di sini, tapi juga inspirasional. Hanya Barney yang bisa berkata, "ketika saya sedih, saya berhenti merasa sedih dan memilih untuk merasa keren." Walau kedengarannya gila, tapi kalau Barney yang berucap, rasanya bisa dimaklumi dan susah dibantah. Dengan segala kekonyolannya, serial ini sungguh terasa optimis. 

Sekarang, selagi saya menulis ini, saya jadi menyadari adanya benang merah antara tiga serial ini. Bermula dari sekumpulan teman yang nongkrong di kafe dan minum kopi (Friends), saya lanjut dengan sekumpulan teman yang nongkrong di bar dan minum bir (How I Met Your Mother) dan sekumpulan teman yang nongkrong di ruang bawah tanah dan masih terlalu muda untuk minum bir (That '70s Show), namun ide yang melatarbelakangi semua ini selalu sama. Semuanya selalu bercerita dengan persahabatan, cinta dan kegembiraan dalam hidup. Jika karakter seseorang sedikit banyak ditentukan dari apa yang ia sukai, ia tonton dan apa yang mempengaruhinya, mungkin ini bisa menjelaskan kenapa karakter saya seperti ini...

Wednesday, August 16, 2017

The King Of Comedy

There are people and things in life that have special places in your heart, thanks to the good times they brought. I, for one, have that imaginary pedestal for the pantheon of the all-time greats. Some, such as the Beatles and Bruce Lee, you already know. I had also written about the King of Monsters and the King of Pop. Then of course we, too, have the King of Comedy.

The name is Stephen Chow. I first saw him on TV3, a Malaysian TV channel, when I was in primary school. It was an old Cantonese drama series and Chow was portraying this underdog character. I liked him immediately, for he was unusually funny. Then I realized that he also acted in several movies that were shown in the cinema. That was when my Stephen Chow cinematic experience really began, and it started with All's Well, End's Well, where he acted as the youngest brother of Raymond Wong and Leslie Cheung.

Chow was funny in that movie, alright, but he had to share the screen time with others. It was the next one, Royal Tramp, that established him as my all time favorite. He was Wai Siu-bo and his character knew no kungfu, so what he did to survive the ancient China throughout the whole movie was to talk his way thru. His antics, his expression, his nonsense and the way he laughed were totally unseen in 1992, so it was extremely hilarious. I didn't really understand Chinese (yes, in Pontianak, it was screened in Chinese instead of Cantonese) and had to rely on subtitle, but Chow was so engaging that I couldn't help it but laughing all the way.

The Laser Disc era came not long afterwards and I had my chances to catch the movies that I missed or wasn't shown in theaters. I remember watching My Hero only to find out that it wasn't a comedy. It was weird to see the funny man acting seriously, like it was so out of character for him to do so. I eventually realized that he actually started as a quite serious film actor, so with the exception of some movies such as Dragon Fight (which was more of a Jet Li movie with Stephen Chow in it), I naturally skipped his earlier flicks.

From the left: CJ7; Tricky Brains; Justice, My Foot!; The Lucky Guy; Out of the Dark; The God of Cookery.

As the 90s was flooded with Stephen Chow movies, you either liked him or hated him. I was always fond of comedy, so with nonstop hits such as the God of Gamblers series, Flirting Scholar, King of Beggars and many more, Stephen Chow was my hero. It was actually an odd choice, considering that many of my friends would prefer the so-called good looking ones, such as Andy Lau or any of the Four Heavenly Kings, but to me, Chow was simply the best. I remember how happy I was when I managed to find Out of the Dark, a rather rare Stephen Chow movie, and I cycled back that night to my grandfather's house with one hand carrying the Laser Disc, a very bulky item for one who rode a racing bike! We also had good memories watching a couple of movies at Endrico's house, most notably the God of Cookery (the scenes where he was beaten up by 18 Luohans were classic!) and the Lucky Guy (the floor sweeper who transformed into an idiotic looking Bruce Lee was memorable).

Chow was also the main reason why I bought Tangan Dewa, a Hong Kong manhua series that was translated into Bahasa Indonesia. To be able to see all these stars appeared together was pretty much unthinkable, so the manhua was an absolute godsend, though as it progressed, the quality of the story actually deteriorated over time, haha. Nevertheless, I must have been inspired by it that I wrote my own fan fiction many years later. I called it Hong Kong Heroes, with Stephen Chow as one of the main leads (Andy Lau, Jackie Chan, Jet Li and Chow Yun Fat were also in the story). It was as good as compiling the best elements of their movies into a book, while pitting our heroes against the Hollywood actors, with Stephen Chow using his card rubbing technique in the final showdown. But of course I had to mention his famous sleight of hand, didn't I?

The admirable thing about Stephen Chow was, he didn't stay where he was. As I grew older, his movie grew deeper, too. I tend to think that the turning point was the God of Cookery. It actually had a rather dark theme, but it was cleverly sugarcoated with comedy. His next attempt as both director and screenwriter, the King of Comedy, went to show that he was halfway there. By the time Shaolin Soccer arrived, it felt like, for the first time, a Stephen Chow movie. The result was really something that only Stephen Chow could think of and do. The comical story that combined soccer and kungfu was a stroke of genius. The CGI was brought in, not to compete with Hollywood, but to enhance the storytelling. At the same time, he still played the naive loser that we all knew and loved, with jokes that made us laugh so hard that some could really end up crying those happy tears. Just when I thought that would be his best film ever, he brought it to another level with Kungfu Hustle. That would be his ultimate masterpiece. It didn't shy away from introducing everything Chinese to the world, but at the same time, it was universal enough to be accepted by the non-Asian audience.

Asian Hero 2003.
Image by: time.com

Sadly, that would be the last time he acted as the main character. The next one, CJ7, still featured Chow, but in a very much diminished role. The movie itself was quite alright, though. As I watched it at the Cathay, Singapore, I remember thinking that making this movie was actually a brilliant move. Kungfu Hustle reigned supreme that it was impossible to do anything to top that, so by switching to a different genre, there would be nothing to compare about. 

Chow totally quit acting afterwards. He did a full time behind-the-scene jobs instead, starting from producer, screenwriter to director. His last few entries had the look and feel of Stephen Chow, but having other people in his stead was just plain weird. He was so unique and original that his actors ended up looking like his wannabes, because you couldn't help thinking it should be him that played those roles. Let's just hope that he'll be back one day, because he's sorely missed!



Sang Raja Komedi

Di dalam hidup ini, terkadang ada orang atau hal tertentu yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Bagi saya pribadi, ada banyak tokoh-tokoh yang saya kagumi. Beberapa di antaranya, seperti Bruce Lee dan the Beatles, sudah menjadi rahasia umum. Saya juga telah menulis tentang Sang Raja Monster dan Sang Raja Pop. Kali ini akan kita bahas Sang Raja Komedi.

Namanya adalah Stephen Chow. Saya pertama kali melihatnya di TV3, saluran TV Malaysia, ketika saya masih di Sekolah Dasar. Saat itu ia tampil di drama bahasa Kanton, memainkan peran pembantu yang tidak terlalu penting. Karena gayanya yang tidak biasa dan lucu, saya langsung menyukainya. Kemudian saya sadari bahwa dia juga membintangi beberapa film yang ditayangkan di bioskop. Film pertama yang saya tonton adalah All's Well, End's Well, dimana ia berperan sebagai adik bungsu Raymond Wong dan Leslie Cheung.

Chow tampil menggelitik di film tersebut, tetapi dia hanyalah salah satu dari tiga tokoh utama. Film berikutnya, Royal Tramp, adalah film yang membuat saya mengidolakannya. Dia adalah Wai Siu-bo dan karakter Cino kuno yang ia perankan ini sama sekali tidak bisa kungfu, jadi dia hanya mengandalkan omong kosongnya untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Sikap dan ekspresinya yang kocak serta cara tertawanya yang khas adalah hal yang tidak pernah terlihat sebelumnya di tahun 1992, sungguh lucu dan konyol. Saya tidak begitu mengerti Mandarin (ya, di Pontianak, filmnya ditayangkan dalam bahasa Mandarin, bukan Kanton) dan harus bergantung pada terjemahan Bahasa Indonesia, tapi Chow berhasil membuat saya terpingkal-pingkal.

Era Laser Disc tiba tidak lama setelah itu, sehingga saya memiliki kesempatan untuk menyewa film-film yang tidak sempat saya tonton sebelumnya. Saya ingat betul film berjudul My Hero yang lucu gambar depannya, tetapi ternyata bukan film komedi. Agak janggal rasanya melihat pria yang seharusnya lucu malah berakting dengan serius. Saya lantas menyadari bahwa Chow memulai karirnya sebagai aktor film serius, jadi selain beberapa film seperti Dragon Fight (yang lebih terasa seperti film Jet Li karena Chow hanyalah pemeran sampingan), saya dengan sengaja melewatkan film-film yang diproduksi di awal karirnya.

Tahun 90an dibanjiri film Stephen Chow karena dia bisa merilis dua sampai tiga film per tahun. Karena saya menggemari komedi, dengan film-film seperti serial God of GamblersFlirting ScholarKing of Beggars dan masih banyak lagi, Stephen Chow jelas menjadi bintang favorit saya. Di masa itu, mengidolakan Stephen Chow mungkin terasa agak aneh, sebab biasanya teman-teman lebih mengagumi mereka yang lebih tampan, misalnya Andy Lau atau anggota Empat Raja Langit lainnya. Kendati begitu, bagi saya, Chow tetap yang terbaik. Saya ingat betapa girangnya hati ketika saya berhasil menemukan Out of the Dark di tempat penyewaan Laser Disc, film Chow yang tergolong langka, dan saya bersepeda di malam itu, pulang dengan satu tangan membawa piringan laser yang sebenarnya terlalu besar untuk pengendara sepeda balap. Selain itu, kita juga memiliki kenangan menonton beberapa film Chow di rumah Endrico, misalnya the God of Cookery (adegan dimana Chow dihajar berulang kali oleh 18 Lohan betul-betul klasik!) dan the Lucky Guy (penyapu lantai yang tiba-tiba berubah menjadi Bruce Lee bertampang idiot itu takkan pernah terlupakan).

Tangan Dewa.
Image credit: tokokomikantik.com

Chow juga merupakan alasan utama kenapa saya membeli Tangan Dewa, serial komik Hong Kong yang diterbitkan di Indonesia. Hanya di komik inilah kita bisa melihat para bintang tenar berkumpul, jadi ini komik wajib punya (walaupun kualitas ceritanya makin lama makin parah, wahaha). Bertahun-tahun kemudian, mungkin karena dipengaruhi oleh komik ini, saya juga menulis cerita fiksi yang bernama Hong Kong Heroes. Bintang utamanya tentu saja Stephen Chow dan empat bintang besar lainnya, Andy Lau, Jackie Chan, Jet Li dan Chow Yun Fat. Cerita ini boleh dikatakan kompilasi dari berbagai elemen terbaik dalam film masing-masing aktor. Lima tokoh ini pun diadu dengan para bintang Hollywood. Puncaknya adalah Chow melawan Al Pacino dalam pertandingan kartu, dimana ia menggunakan teknik menggosok kartunya. Sebagai penggemar, tentu saja saya harus menulis tentang teknik judinya yang tersohor ini, bukan?

Menarik untuk dicatat juga bahwa Stephen Chow adalah satu dari segelintir bintang yang selalu berusaha untuk maju. Seiring dengan bertambahnya umur, film Chow yang saya tonton pun terasa berubah alurnya. Saya cenderung berpikir bahwa semuanya bermula dari the God of Cookery. Tema ceritanya agak kelam, tapi dengan pintar dibungkus dengan komedi. Upaya berikutnya sebagai sutradara dan penulis naskah, the King of Comedy, terasa mulai agak matang, tetapi belum sempurna. Baru ketika Shaolin Soccer tiba, penggemar pun merasakan seperti apa rasanya menonton sebuah film Stephen Chow.

Karya monumental ini memiliki kesan yang kental bahwa hanya Stephen Chow yang bisa memproduksinya. Ya, hanya Chow yang bisa menggabungkan sepak bola dan kungfu menjadi sebuah cerita komedi. Efek yang dipakai di film tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Hollywood, tetapi pas untuk menguatkan kesan komedi yang ada. Di film tersebut, Chow berperan sebagai pecundang polos yang sudah kita kenal baik dan sukai, lengkap dengan leluconnya yang membuat kita terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. Shaolin Soccer sudah bisa dikatakan sebagai karya terbaiknya, tetapi bukan Stephen Chow namanya kalau ia berhenti sampai di situ saja. Ketika Kungfu Hustle dirilis, kita disuguhi dengan tontonan yang tiada duanya. Film ini memiliki nuansa Cina tempo dulu, tetapi dibuat dengan memikirkan penonton asing sehingga orang non-Asia pun bisa menikmatinya.

Sangat disayangkan bahwa Kungfu Hustle menjadi film terakhir dimana ia menjadi bintang utama. Film selanjutnya, CJ7, masih menampilkan Chow, tetapi hanya sebatas pemeran pembantu. Film tersebut lumayan bagus. Ketika saya menyaksikannya di bioskop the Chatay di Singapura, saya sempat berpikir bahwa keputusan untuk membuat film ini sebenarnya sangat bijak. Kungfu Hustle boleh dikatakan sebagai sebuah adikarya sehingga sulit untuk melampauinya. Dengan beralih ke tema yang berbeda, kritik film pun tidak akan bisa membandingkannya.

Chow berhenti berakting setelah CJ7. Perannya pun kini sebatas produser, sutradara atau penulis naskah. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa karya terakhirnya masih memiliki kesan film Stephen Chow, tapi sepertinya ada yang kurang saat melihat orang lain memainkan peran yang seharusnya ia lakoni. Masalahnya adalah Chow sangat identik dengan komedinya yang khas, sehingga siapa pun yang kemudian membintanginya akan terlihat seperti penjiplak. Semoga saja suatu hari nanti dia akan kembali, sebab sudah hampir sepuluh tahun lamanya kita tidak melihat dia beraksi!

Hong Kong Heroes.




Wednesday, July 26, 2017

The Gauls

I always wanted the Smurf in the first place. I remember reading the Black Smurfs at my cousin's house and suddenly the blue creatures that were roughly three apples tall were the coolest thing ever. I asked my Dad to buy me the Smurf comics and he said yes, so imagine my horror when he brought back a comic book with a front cover depicting a shorty and a fatso, both with thick mustache, running away from people who chased them.

How my Dad ended up thinking this was a Smurf comic, I really had no idea. Only God knows if Dad ever understood what Smurf really was. I was pissed and sulking, but eventually decided to flip through the pages. What I saw got me chuckled. Realizing that it wasn't as bad as I originally thought, I read it from the start. It was one hell of a story, unlike anything I'd ever seen before. Very wild, very funny. By the time I finished reading, I got a big smile on my face. I knew I wanted more.

That was how I got accidentally introduced to Asterix. The book I described above was Asterix in Britain, the third from the list of Asterix books, Bahasa Indonesia edition. There were around 20 books listed on the back cover, so I made it my mission to hunt them down one by one since then. I lost the whole stack once because a friend who borrowed conveniently forgot to return them. I started collecting Asterix for the second time afterwards, this time up to Asterix and the Secret Weapon, only to lose them all again some time in the future. That was just my luck, I guess!

Anyway, what is more important is the story itself. I was a primary four student when I first read Asterix. With the imagination of a 10-year-old boy, I read the story as it was and laughed at the funny gags: the dynamics between Cetautomatix and Assurancetourix, the ensuing fights among the villagers that were always triggered by the mere mention of the fish, they were hilarious. The brilliant puns that came with the character names were also amusing. As I was reading the Bahasa Indonesia version, while the names maintained its distinct spelling (for example, the Roman names would always have the suffix -us), they were very much localized to Bahasa Indonesia, ie. a Roman centurion called Nasibungkus (which meant a package of rice) or a Norman named Jagojotos (which meant good in fighting). The four below are personal favorites:


The story was always funny, alright, but sometimes there were some parts that I didn't really understand then. For example, when Asterix went to Spain and met a guy who suddenly attacked the windmills for no apparent reason, the scene felt disconnected. Another thing that got me wondering was the inconsistent art (the art work on Asterix the Gladiator, which was released as first book in Indonesia, was much better than the second book, Asterix the Gaul) and the characters that appeared in one book, but not appearing in the next one (the villagers such as Agecanonix and Cetautomatix were featured in Asterix and Caesar's Gift, but not found in Asterix and the Big Fight). I also remember thinking how odd the story was when I read Asterix and the Great Divide. There was something unusual with it and not in a good sense, but I couldn't figure out why at that time.

It was only much later on in life that I realized the book release in Indonesia never followed the original sequence, which explained why the art work could suffer a setback and certain characters would be missing from time to time. Now I also understand those weird scenes that seemed to be disjointed. The guy who attacked the windmills in Asterix in Spain was Don Quixote. Goscinny and Uderzo were smart artists with great attention to details that they would insert some cultural references into the story. For example, back to Asterix in Britain, I eventually noticed that the Beatles also had a cameo role there. As for Asterix and the Great Divide, it was the first story written by Uderzo, who normally played the role of illustrator, after Goscinny died during the production of Asterix in Belgium (hence the pouring rain, a homage from the illustrator to his writer). No wonder the story was rather awkward and wasn't as good.

All those fantastic memories aside, it's worth mentioning that Asterix played an undeniable significant role in expanding my horizon. For the fact that I was growing up in a small town called Pontianak long before internet existed, it was thru Asterix that I became aware of those foreign countries, especially France. Asterix was my window to the world. As a reader, I would follow Asterix throughout his adventures that brought him to as far as America and India. Best learning experience ever!

Those who had gone thru the same experience as mine surely knows what I'm talking about. Asterix was there for us, something that we grew up with. This is the reason why the release of a new Asterix book is always a good news. It's like a blast from the past. The latest one, Asterix and the Chariot Race, just came out on November 2, featuring Monalisa as well as the origin of Venice and pizza. Excited? I'm definitely thrilled, and partially tempted to collect them all again from the scratch. May be third time is a charm!

The latest Asterix - Kindle version.

Orang Galia

Pada awalnya yang saya inginkan adalah Smurf. Saya ingat ketika saya membaca komik berjudul Smurf Hitam di rumah sepupu saya dan sejak itu saya merasa makhluk biru setinggi tiga buah apel ini adalah yang paling saya sukai di kala itu. Saya lantas meminta ayah saya membelikan komik Smurf dan dia menyanggupinya. Saya kira dia tahu apa itu Smurf, jadi bayangkan betapa kagetnya saya ketika dia membawa pulang komik bergambar yang menampilkan pria pendek dan pria gendut berkumis yang berlari menghindari orang-orang yang mengejar mereka. 

Saya gagal paham mengapa yang seperti ini bisa disangka sebagai Smurf oleh ayah saya. Walau agak kesal, saya memutuskan untuk membuka komik tersebut. Apa yang saya lihat membuat saya tergelitik. Ternyata tidak seburuk yang saya sangka, jadi saya mulai membacanya. Cerita komik ini sungguh berbeda, liar dan lucu, dan setelah saya selesai membaca, saya tersenyum sendiri. Saya tahu saya mau membaca kisah berikutnya. 

Itu adalah sepenggal kisah bagaimana saya secara tidak sengaja berkenalan dengan Asterix. Komik yang saya deskripsikan di atas adalah Asterix di Inggris, buku ketiga dalam daftar judul buku Asterix edisi bahasa Indonesia. Ada sekitar dua puluhan judul tertera di belakang buku dan saya tertarik untuk mengumpulkannya. Koleksi saya yang pertama hilang karena tetangga saya lupa mengembalikannya. Saya lalu mengoleksinya untuk kali kedua, kali ini sampai Mawar dan Pedang Bermata Dua, tapi koleksi tersebut hilang lagi! Memang nasib. 

Akan tetapi yang lebih penting untuk dibahas di sini adalah isi ceritanya. Saya duduk di kelas empat SD saya pertama kali membaca Asterix. Dengan imajinasi anak berumur 10 tahun, saya membaca cerita apa adanya dan dibuat tertawa oleh apa yang tampak jelas di depan mata: kocaknya hubungan Assurancetourix dan Cetautomatix, pertarungan antar penghuni desa yang kerap kali dimulai dari ikan Ordralfabetix, semua itu sungguh kocak. Di versi Indonesia yang saya baca, meski nama tokoh-tokohnya masih menggunakan pola tertentu (misalnya orang Romawi selalu memiliki akhiran -us), tapi namanya sudah lokal, misalnya komandan tentara Romawi yang bernama Nasibungkus, orang Normandia yang bernama Jagojotos, orang Jerman yang bernama Pabrik dan masih banyak lagi.

Cerita Asterix selalu lucu, tapi saat saya, masih kecil terkadang ada beberapa bagian yang tidak saya mengerti. Misalnya saja, saat Asterix pergi ke Spanyol dan bertemu dengan orang yang tiba-tiba menyerbu kincir angin tanpa alasan jelas. Bagian tersebut terasa tidak berkaitan dengan cerita. Hal lain yang membuat saya bingung adalah kualitas gambarnya yang tidak konsisten (ilustrasi di Asterix Gladiator, buku pertama yang diterbitkan di Indonesia, lebih bagus dari buku kedua yang berjudul Asterix Prajurit Galia). Selain itu, beberapa karakter, contohnya Agecanonix dan Cetautomatix tampil di Hadiah Dari Caesar, tetapi tidak muncul di Pertarungan Antar Kepala Suku. Saya juga merasa aneh ketika membaca tentang Desa Belah Tengah. Ada sesuatu yang tidak biasa dengan ceritanya, tetapi saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang terasa aneh ini.

Bertahun-tahun kemudian baru saya sadari bahwa buku yang dirilis di Indonesia tidak pernah mengikuti urutan terbit yang benar sehingga gambarnya terlihat mengalami kemunduran dari buku yang satu ke buku yang lain. Sekarang saya juga mengerti beberapa adegan yang dulunya terasa janggal. Pria Spanyol yang menyerang kincir angin itu adalah Don Quixote. Goscinny dan Uderzo adalah pasangan penulis dan ilustrator jenius yang seringkali memasukkan referensi budaya asing ke dalam cerita, misalnya saja the Beatles dalam kisah Asterix di Inggris. Akan halnya Desa Belah Tengah, itu adalah cerita pertama yang ditulis oleh Uderzo setelah Goscinny meninggal saat mereka sedang mengerjakan Asterix di Belgia (dan peristiwa tersebut ditandai dengan hujan di satu pertiga bagian terakhir buku ini). Pantas saja ceritanya terasa aneh dan tidak sebagus biasanya.

Terlepas dari semua kenangan ini, perlu disebutkan juga peran Asterix dalam membuka wawasan saya tentang dunia. Saya tumbuh di kota kecil bernama Pontianak dan jauh sebelum internet ada, saya mengenal negeri-negeri nun jauh di sana, terutama Perancis, lewat Asterix. Sebagai pembaca, saya turut serta bersama Asterix dalam petualangan yang membawanya berkelana sampai sejauh Amerika dan India. Sungguh pengalaman belajar terbaik! 

Sesama penggemar Asterix tentu tahu apa yang saya bicarakan. Asterix adalah bagian dari hidup, oleh karena itu setiap kali edisi terbaru Asterix beredar adalah kabar baik. Yang terbaru, Asterix and the Chariot Race (saya belum tahu apakah ini juga akan dirilis di Indonesia), baru saja diterbitkan tanggal 2 November lalu. Ceritanya lumayan, ada Monalisa, Venesia, pizza dan Pompeii, haha. Terus terang saya jadi tergoda lagi untuk mengoleksi Asterix. Mungkin saya akan lebih beruntung di kali ketiga!

Koleksi Asterix terbaru di Kindle.

Monday, July 3, 2017

The Wonderland

A friend of mine, a Hong Kong citizen these days, is into everything vintage. He got himself an old TV and games from all those years ago. Then we reminisced a bit about the good old days and the games we were playing then, including Final Fight and Cody's infinite combo. While it's true that we can have the same arcade games via MAME, we tend to agree that experience can't be replicated.

During our formative years in Pontianak, there was this place called Orbit Wonderland. It was basically a gaming arcade that made it big after the release of Street Fighter II. It was a rowdy place that none of the parents would be too happy to hear that their children were associated to it, but it was the amusement centre that most of the boys would like to go to. Visited by boys from all walks of life, the place was as dangerous as it got. Bikes might get stolen and, if you were a little Chinese boy, the risk could be doubled: you could be threatened, extorted or beaten up.

I experienced both the threat and extortion. The first one was a verbal abuse followed by lousy options, which was to lose the game or got beaten up by the opponent's older brother, which was actually nowhere to be seen. That was how Ryu could ever lose to Honda, played by this boy who couldn't play at all. The second trouble left me visibly shaken and costed me IDR 500, which was a lot of money for a Primary School student (I could have played five times as each game only required one coin of IDR 100). I was outside Orbit early in the morning, waiting for the place to open, when this juvenile delinquent approached me and emptied my pocket.

Orbit Wonderland could be an intimidating place to visit, alright, but we kept coming back for more, even when we had game consoles at home. One good reason to visit the arcade was because it offered exciting games with graphics better than any game consoles at that time. Even the arcade version of Tetris looked much better than, let's say, Nintendo's version. And Orbit Wonderland had many more of these, from aircraft games such as 1942 to those from beat 'em up games like Golden Axe and Double Dragon, the game that started the craze for this genre. However, frequenting Orbit was addictive simply because of the thrill we had there. You either got excited to see those masters playing or you were the master yourself, with a lot of audience watching behind you.

The word master was used a form of respect among the gamers. The masters were those who were really good in gaming, especially the fighting games, from standards such as Street Fighter II or King of Fighters to the exotic ones like Art of Fighting or Samurai Showdown. It was always quite a show when things began to heat up after the banter and suddenly one master was challenging another. That was when we all gathered to watch. You could sense the excitement in the air! While we're still on this subject, one other thing worth mentioning is the benefit of befriending the masters. When we got unwanted challenges in fighting games (normally it came from a bully) and we were losing, the masters would always be happy to sit in and help out. In a wild world out there, one gotta be street-smart. Calling a master was valid for a kid who wanted to defend his IDR 100 and prolong his playing time!

Now, my days in Orbit Wonderland began when my elder cousin brought me there. I saw the original Street Fighter at that time, so it must be in the late 80s that I first got hooked. I was never a master in fighting games, so I played only the less popular fighting games such as World Heroes or Fatal Fury 2 and those beat 'em up games, such as Captain Commando or Warriors of Fate.

Cody and Guy, Final Fight
Image owned by gamefaqs.com

A particular favorite of mine, the one I got really good at, was Final Fight. IDR 100 would normally bring me to the last stage, right before Belger appeared. I'd use Cody if I played alone, but was flexible enough to use Guy or Haggar if the second player knew what to do with Cody (Agus Yanto was my preferred partner in Final Fight and we often played together, spending a coin or two before we went across the street to eat what was locally known as Shanghai ice). It's important to emphasize that whoever that used should Cody know what to do with the most versatile character in the game or else, both players would get slaughtered by the enemies. If I happened to play alongside some dumbass, I'd be definitely screwed, especially when I used Haggar.

Final Fight was a game with a rhythm to follow. You went step by step, fully expecting who'd come up and you beat the hell out of them. When you went too fast or a step too far than you should, all hell broke loose. With Andore waiting for his chance to grab you, El Gado stabbing you and Wong Who running amok, you'd have to be very good to survive the riot and took control of the situation. This was where the infinite combo would come handy.

The infinite combo, usually performed by either Guy or Cody, was actually a system glitch. It was done by turning away from the enemies after punching them rapidly. Such a sudden move would reset the combo sequence, fast enough for the player to resume and carry on punching while the enemies were still recovering. This was how one could get very far, because neither the bosses or the henchmen could escape this routine (strictly speaking, only a few such as Poison or Axl could walk away from the infinite combo).

Back to the conversation I had with my friend, I was referring to this infinite combo when we talked about Final Fight. Thanks to how the joystick was designed, the infinite combo could be done effortlessly at the arcade, but it was a feat to repeat at home. The gaming experience was never the same once you played at Orbit Wonderland. That was true, at least for me, even after I played Neo Geo, which was supposed to be identical as those latest games at the arcade then. The atmosphere and satisfaction just couldn’t be replicated.

As we finally grew up, Orbit Wonderland lost its charm and eventually closed down. Kids these days will never know the fun we had back then. When I moved to Singapore, I saw a gaming arcade at Bugis and gave it a try for old time's sake. I was playing Street Fighter (can't remember what version that was now) but my Ryu was quickly wiped out by somebody else's Zangief. It was so embarrassing it became a wake up call that I should have retired long ago. That part of my life ended the day Orbit ceased operation. All good things must come to an end, I guess. That was the last time I ever went to the arcade.

At the gaming arcade with Endrico, Singapore 2005


Orbit Wonderland

Teman saya, seorang warga Hong Kong sekarang, menyukai segala sesuatu yang bernuansa zaman dulu. Baru-baru ini dia membeli sebuah TV tua dan video game yang populer bertahun-tahun silam. Kita lantas bernostalgia tentang beberapa game yang kita mainkan dulu, salah satunya adalah Final Fight yang terkenal dengan tinju balik Cody (nanti saya jelaskan lagi tentang istilah ini, haha). Kesimpulannya, walau kita bisa memainkan game klasik lewat MAME, kita tidak mengulang pengalaman yang serupa.

Di masa kecil kita di Pontianak, ada satu tempat yang bernama Orbit Wonderland. Tempat ini adalah pusat permainan video game, istilahnya ding-dong atau bobo (jangan tanya kenapa disebut bobo). Orbit menjadi sangat populer setelah dirilisnya Street Fighter II. Suasananya ramai dan riuh. Tidak ada orang tua yang senang anaknya bermain ke Orbit, tapi hampir setiap anak ingin bermain ke wahana tersebut. Dikunjungi oleh bocah laki-laki dari berbagai kalangan, Orbit tidaklah tergolong aman. Sepeda mungkin saja dicuri dan kalau anda adalah bocah Tionghoa, resiko anda bisa berlipat ganda. Anda mungkin diancam, dirampas uangnya atau bahkan dihajar.

Saya mengalami ancaman dan perampasan. Yang pertama adalah ancaman verbal yang disertai dengan pilihan konyol, yakni mengalah dalam game Street Fighter II atau dihajar oleh abang pelaku yang sebenarnya tidak terlihat di mana pun.  Kemlangan kedua terus-terang membuat saya gemetar dan kehilangan Rp. 500, jumlah yang cukup besar untuk anak SD (saya bisa bermain lima kali karena satu permainan hanya senilai Rp. 100). Saat itu saya berada di halaman Orbit, menunggu tempat ini dibuka. Tiba-tiba saja saya dihampiri oleh seorang berandalan yang langsung mendesak saya untuk mengosongkan isi kantong. 

Meskipun tidak aman, kita tetap kembali ke Orbit Wonderland. Menarik untuk dicatat bahwa tidak sedikit dari kita yang memiliki video game di rumah, tapi tetap saja kita ke sana. Satu alasan utamanya adalah karena Orbit menawarkan game yang berbeda dan lebih bagus gambarnya. Bahkan Tetris di Orbit terlihat lebih menarik dari versi Nintendo. Orbit memiliki beraneka game, mulai dari game pesawat seperti 1942 sampai game pertarungan seperti Golden Axe dan Double Dragon. Akan tetapi yang paling membuat kita ketagihan mengunjungi Orbit adalah asyiknya suasana di sana. Anda bisa terkagum-kagum melihat seorang master bermain atau anda sendiri adalah sang master dengan banyak penonton di belakang anda. 

Julukan master adalah bentuk penghormatan antara sesama pemain game. Yang namanya master itu adalah mereka yang jago bermain game, biasanya game pertarungan, mulai dari yang standar seperti Street Fighter II atau King of Fighters sampai game eksotik seperti Art of Fighting atau Samurai Showdown. Pertunjukan dadakan ini biasa dimulai dari candaan ringan yang akhirnya diselesaikan dengan berlaga lewat game. Anda bisa merasakan tegangnya suasana saat pertandingan berlangsung! Hal lain yang patut dikenang tentang berteman dengan para master ini adalah, ketika kita ditantang (biasanya oleh mereka yang suka menindas) dan kita dalam posisi kalah, master biasanya dengan sukarela membantu kita mengalahkan lawan. Di dunia anak-anak yang penuh tantangan dan marabahaya, kita harus cerdas dalam menyikapi situasi. Meminta bantuan master adalah hal yang wajar bagi bocah yang ingin mempertahankan seratus rupiah miliknya!

Hari-hari saya di Orbit Wonderland bermula ketika sepupu saya membawa saya berkunjung. Saya ingat bahwa saat itu Street Fighter yang pertama baru dirilis, jadi mungkin kisaran akhir tahun 80an. Saya tidak pernah menjadi master dalam game pertarungan, jadi biasanya saya hanya main game yang kurang populer seperti World Heroes atau Fatal Fury 2 untuk menghindari resiko ditantang. Game lainnya yang kadang saya mainkan adalah Captain Commando dan Warriors of Fate.

Cody dan Guy, Final Fight
Foto dari gamefaqs.com

Favorit saya, satu-satunya game yang boleh dikatakan saya kuasai, adalah Final Fight. Rp. 100 biasanya akan membawa saya ke level terakhir, tepat sebelum kemunculan Belger. Saya menggunakan Cody ketika bermain sendiri, namun saya juga bisa menggunakan Guy atau Haggar dengan leluasa bila pemain lainnya tahu apa yang harus dilakukan dengan Cody. Agus Yanto adalah rekan saya dalam Final Fight dan kita sering bermain bersama, menghabiskan satu atau dua koin sebelum pergi menikmati es Shanghai di seberang jalan. Penting untuk ditekankan bahwa yang menggunakan Cody hendaknya bisa benar-benar bermain. Kalau tidak, dua-duanya bisa celaka dan terbantai oleh musuh. Jika saya bermain bersama mereka yang tidak mengerti apa-apa, kecil kemungkinan saya akan selamat, apalagi jika saya menggunakan Haggar.

Final Fight adalah game yang teratur ritmenya. Anda maju selangkah demi selangkah dan menghabisi musuh yang muncul. Jika anda dengan maju dengan gegabah, semua musuh akan bermunculan dan sulit bagi kita untuk keluar dari keroyokan Andore yang datang menerjang dan El Gado yang beraksi dengan pisaunya sementara Wong Who menabrak ke sana kemari. Anda harus benar-benar sakti untuk bisa selamat dari kerusuhan tersebut dan mengambil alih situasi. Di sinilah tinju balik berperan besar. 

Tinju balik yang bisa dilakukan baik oleh Cody maupun Guy ini sebenarnya adalah kesalahan pemrograman. Pemain bisa melakukannya dengan cara berpaling dari musuh setelah melakukan pukulan bertubi-tubi. Gerakan mendadak ini akan membuat rangkaian pukulan kembali ke titik awal, dan pas waktunya bagi pemain untuk mengulang gerakan yang sama sebelum musuh pulih dari efek pukulan. Dengan cara inilah kita bisa bermain sampai jauh, sebab hampir semua musuh tidak bisa lolos dari serangan maut ini (hanya Axl dan Poison yang bisa menjauh dari tinju balik). 

Kembali lagi ke percakapan saya dengan teman, inilah tinju balik yang saya maksudkan ketika kita berbincang tentang Final Fight. Karena keunikan rancangan kontrol pemain di Orbit, tinju balik bisa dikerahkan dengan lancar, namun sulit untuk dilakukan dengan kontrol video game biasa di rumah. Inilah alasannya kenapa pengalaman bermain game yang sama tidak bisa terulang di mana pun. Bahkan Neo Geo yang seharusnya sama dengan game Orbit Wonderland pun terasa beda karena tidak memiliki suasana Orbit Wonderland.

Ketika saya beranjak dewasa, kepopuleran Orbit Wonderland pun perlahan-lahan memudar. Anak-anak zaman sekarang tidak akan mengerti betapa hebohnya pengalaman kita dulu. Ketika saya pindah ke Singapura, saya sempat mencoba bermain lagi di ding-dong yang ada di Bugis. Saya bermain Street Fighter saat itu dan Ryu saya dengan cepat ditaklukkan oleh Zangief yang dimainkan oleh orang lain. Sejak saat itu, saya sadar bahwa sudah seharusnya saya pensiun sejak lama. Kunjungan tersebut akhirnya mengakhiri kenangan masa kecil yang penuh dengan gegap-gempita itu...

Di ding-dong bersama Endrico, Singapura, tahun 2005.

Tuesday, June 20, 2017

The Best Instant Noodles Ever

I once saw the Amazon reviews of Indomie on Facebook and they were so hilarious. I mean, it's easy for Indonesians to take it for granted because Indomie has always been there for almost half a century, but to read those comments from whom I could only guess as Americans, they were amusingly funny, innocent and refreshing at the same time. The reviews were written as if it was a revelation to them, that an instant ramen (yeah, more often than not, they called it ramen) could taste this good. And the converts warn pre-believers that there is no turning back. Once you have a bite, you'll get addicted for life!

It brought me to my personal experience, back in the early 80s. I remember that there were two flavors, chicken and prawn, but the latter one didn't last, which was too bad, because I kind of liked it. These noodles were served with soup. Later on, the dry version, Indomie Goreng, appeared. Almost 50 years later, it still reigns supreme. Indomie Goreng is simply the best, easily one of the very few good things that are done right in Indonesia. The name Indomie, which stands for Indonesia and Mie (or noodles in English), says it all and it doesn't disappoint.

Fast forward to many years later, I visited the Cupnoodles museum, (and, yes, for some strange reason, the name was actually spelled as one word) in Yokohama. There was a documentary shown here, explaining how Momofuku Ando invented the instant chicken ramen. He was there when his wife fried tempura and it suddenly dawned on him that he could preserve the ramen in a similar way. Nissin was born afterwards, but Ando wasn't done yet. After observing how the Americans would always be on the go, he got an idea of noodles in a styrofoam cup, complete with the foldable plastic fork: the cup noodles.

Indomie was also found on the display at the museum. I'm not sure if I should, but I remember feeling proud when I saw it. I had come so far and yet I saw something that was so familiar. If I recall correctly, there was also some sort of information saying that Indonesia was in the top ten list of the instant noodles business and dominated the market share, especially in Africa. Quite an achievement, isn't it?

Back to Indomie itself, how good it is if we compare it with other brands, be it domestic of overseas? Well, I wasn't kidding when I wrote about Indomie Goreng. It is so good that it's in a league of its own. The soupy ramen category may be slightly competitive, but if you put Nissin, Myojo, Maggi, Supermi and Indomie on the table, I would still pick and cook Indomie. Call me biased or what, but to me, Indomie beats the rest. No questions asked.

Indomie Goreng, my style!

I think it's safe to say that every Indonesian grows up eating Indomie. Back in the days, I ate it so often that my Mum knew which style of cooking that I like the most from a plate of Indomie Goreng. The key ingredient of our family recipe is the egg. The noodles shouldn't be cooked too long so it will still be chewy. Once the noodles are strained, then it's time to put the egg in and stir it up together with the noodles. Mum would have the egg boiled up to 75% done whereas if I did it myself, I would leave it half done, creating a foamy and sticky effect on the noodles. Both are equally tasty! For the soupy version, normally I'd ask my wife to do it as her cooking style comes with boiled egg that blends perfectly fine with the soup, some veggies and, if I got lucky, there'll be slices of meatballs, too.

Now I let you in for a big secret. I've been holding back from introducing Indomie to my daughters. You know, it's me trying to be a good parent, blah, blah, blah, but when we were in Bintan recently, there weren't really many choices of food as my elder daughter is a picky eater. She's always fond of Ajisen Ramen, so I was actually curious about her reaction on Indomie. Against my better judgment, I prepared Indomie cup noodles for her to try and, as expected, she loved it. I smiled, but I wasn't proud, really! Parents, don't do the same! There's no turning back! You've been warned!


Mie Instan Terbaik Di Dunia

Suatu ketika, ketika saya sedang melihat Facebook, ada yang iseng menampilkan review para pembeli yang berbelanja Indomie online lewat Amazon. Saya tergelak ketika membacanya karena geli dengan kesaksian orang-orang bule ini tentang Indomie. Terkadang, sebagai orang Indonesia, gampang bagi kita untuk melupakan bagaimana rasa ketika kita pertama kali mencicipi Indomie karena mie instan ini sudah hampir 50 tahun lamanya berada di pasaran. Komentar orang-orang Amerika ini memberikan sudut pandang berbeda, polos dan lucu, terlebih lagi karena kesannya seperti keberhasilan dalam membongkar rahasia besar yang selama ini tidak pernah terungkap di dunia Barat. Mereka seakan tidak percaya bahwa mie instan bisa seenak ini. Testimoni yang ada bagaikan memperingatkan mereka yang belum pernah mencoba, bahwa tidak ada jalan untuk bertobat. Sekali dicicipi, yang makan akan terjerumus seumur hidup!

Bacaan ini mengingatkan saya kembali akan pengalaman pribadi saya di awal tahun 80an. Saya ingat bahwa ketika itu hanya dua rasa, ayam dan udang, namun rasa udang tidak diproduksi lagi sekarang. Sayang juga, karena saya suka yang rasa ini. Indomie versi awal ini dimasak dan disajikan dengan kuah. Indomie Goreng, versi kering tanpa kuah, muncul setelah itu dan sampai hari ini popularitasnya tidak pernah pudar. Indomie Goreng adalah yang terbaik dan salah satu dari sedikit hal baik yang sukses dan mengharumkan nama Indonesia. Nama Indomie, yang terdiri dari kata Indonesia dan Mie, jelas tidak mengecewakan.

Bertahun-tahun kemudian, saya mengunjungi museum Cupnoodles di Yokohama. Yang menarik di sana adalah dokumentasi pendek dimana Momofuku Ando menemukan cara membuat mie ayam instan. Ternyata dia mendapatkan inspirasi dari istrinya yang sedang menggoreng tempura dan tiba-tiba ia tersadar bahwa ia bisa membuat ramen menjadi lebih awet dengan cara yang sama. Nissin akhirnya lahir setelah itu, namun Ando belum selesai berkiprah. Setelah mengamati bagaimana orang Amerika selalu makan sambil berjalan dan beraktivitas, dia mendapatkan ide tentang mie dalam gelas styrofoam, lengkap dengan garpu plastik yang bisa dilipat: mie gelas. 

Indomie juga dipajang di museum tersebut. Saya merasa bangga ketika saya melihatnya. Saya datang dari jauh dan sesuatu yang saya kenal baik menunggu saya di situ. Jika saya tidak salah ingat, di museum juga tertera informasi bahwa Indonesia termasuk dalam peringkat 10 besar di dunia bisnis mie instan dan menguasai pangsa pasar, terutama di Afrika. Prestasi yang lumayan, bukan? 

Kembali ke Indomie itu sendiri, seberapa enak mie instan ini jika kita bandingkan dengan merek lain yang tersedia di dalam dan luar negeri? Saya jelas tidak sedang bercanda sewaktu menulis tentang Indomie Goreng. Yang satu ini benar-benar enak sehingga tiada banding. Kompetisi di kategori kuah mungkin lebih memiliki banyak penantang, tapi jika anda menaruh Nissin, Myojo, Maggi, Supermi dan Indomie di atas meja, saya masih tetap akan mengambil dan memasak Indomie. Mungkin saya bias, tapi bagi saya, tidak dapat dipungkiri bahwa Indomie masih lebih lezat dari yang lain.

Indomie kuah dengan telur dan bakso.

Saya rasa tidak berlebihan jika saya berkata bahwa setiap orang Indonesia menikmati Indomie dalam setiap fase hidupnya. Ketika saya masih kecil, Mama saya sering membuatkan Indomie Goreng dengan cara yang paling saya sukai. Kuncinya adalah telur. Agar masih terasa kenyal saat digigit, mie tidak boleh direbus terlalu lama. Setelah airnya ditiriskan, masukkan telur dan kocok sampai merata dengan mie. Kalau Mama yang masak, hasilnya adalah mie bercampur telur yang sudah 75% matang, tapi saya sendiri cenderung memasak yang versi setengah matang, sehingga hasilnya seperti berbusa dan lengket. Dua-duanya sedap untuk disantap! Untuk versi sup, saya suka masakan istri saya, karena dia biasanya dia menambahkan telur yang direbus bersama kuah, sayur dan beberapa butir bakso. 

Sekarang saya beritahukan anda sebuah rahasia besar. Selama ini saya tidak pernah memperkenalkan Indomie pada anak-anak saya. Ya, karena konon Indomie itu kurang sehat, tidak bergizi dan lain-lain, tapi ketika kami mengunjungi Bintan baru-baru ini, tidak banyak makanan yang tersedia di resort dan putri saya yang sulung juga sangat pemilih dalam soal makanan. Dia selalu menggemari Ajisen Ramen, jadi saya sebenarnya penasaran juga dengan reaksinya terhadap Indomie. Saya akhirnya menyiapkan Popmie untuk dia coba dan, seperti yang saya duga, dia menyukainya. Saya tersenyum, tapi sebagai orang tua, saya tidak merasa bangga. Tidak ada jalan untuk bertobat baginya. Dia sekarang menjadi penggemar Indomie!

Di pelabuhan Bintan, sambil menunggu feri ke Singapura, dia menikmati pop mie keduanya.

Saturday, May 27, 2017

Our Favorite Author

If you ever read the story of our Paris trip, I did mention that the original destination was supposed to be Dublin. When I planned it, I thought of going to Ireland (the basic idea was either to depart from or arrive at John Lennon airport because I'd like to get the passport stamp) and, while we were there, I was hoping that with a little luck and effort, we could meet our favourite author.

Her name, if you still remember, is Sinéad Moriarty. How did we get to know her again? Well, years ago, we were at the National Library in Singapore, browsing around, when my then-girlfriend picked up a novel titled In My Sister's Shoes. To think that it could be any other book but no, she took that one instead. Pure luck? May be, but we fell in love with Moriarty since then.

After reading that book, I did a little bit of research and realized that this was actually her fourth book. The first three were a trilogy about a married woman who tried very hard to get pregnant, then decided to go for adoption and eventually had another baby of her own. Very funny. In fact, these were ones of the few with a lighter mood and, with the exception of In My Sister's Shoes, I have been collecting every single book written by her from that moment on.

The thing with Sinéad Moriarty is, she is very good in making people care about the characters she wrote and she's pretty generous in her effort. Those supporting characters were well developed and there were also times when she actually had several main characters in one novel. This made a rich story but yet didn't feel like overcrowded. Brilliant, indeed. When I read her books, it was as if I couldn't stop before I finished it. The only other time I had the similar feeling was when I read Harry Potter.

Moriarty also did a good job in depicting illnesses like cancers, autism or anorexia, real things in life that we may hear before, but never really understand. Such topics, wrapped in a family drama that came with all sorts of other problems in life, ie. money, sex and so forth, resulted in very engaging stories that one surely could relate with. Personally, I love reading it once in a while (or rather once a year, whenever there's a new release from Sinéad Moriarty) because it's a good reminder that I've been blessed with a good wife and two lovely kids. Yeah, sometimes we are so busy that we forget to appreciate what we actually have.

Her latest novel, The Good Mother, was rather heavy and sad. It had its good moments, but as I went along with it, I knew something awful was inevitable. I'm not exactly the toughest man ever, so this book, admittedly, got me teary quite a fair bit. If you also have problems holding back your tears, you've been warned! The ending was beautiful, though. I would say this is one of her best ones, but then again, most of them are pretty enjoyable. 

Except Pieces of My Heart, perhaps. The story was alright but the ending, if I remember correctly, was rather a cliffhanger. Quite a disappointment, really. 

A personal favourite? That must be the novel from last year, the one called The Way We Were. It was very unique, unlike any other subjects she touched before. It was actually about a husband who was presumed dead and came back three years later only to find that his family had moved on. A very delicate situation! Definitely worth reading it!

Anyway, if you are keen on reading, you may want to add her books into your catalogue, too. And, if this is ever read by Moriarty one day, I'd just like to say, "keep writing because we'll be waiting! You got at least two fans from Indonesia, a place far, far away from Ireland!"

Our collection...




Penulis Favorit Kami

Jika anda pernah membaca cerita saya tentang perjalanan ke Paris, tempat yang ingin saya kunjungi sebenarnya Dublin, bukan Paris. Ketika saya membuat rencana perjalanan, saya berpikir bahwa kita bisa ke Irlandia (untuk mendapatkan cap paspor di bandara John Lennon, intinya kita harus terbang dari luar ke Liverpool atau sebaliknya) dan kalau beruntung, mungkin kita bisa bertemu dengan penulis favorit kami.   

Namanya adalah Sinéad Moriarty. Bagaimana kita bisa sampai membaca karyanya? Bertahun-tahun silam, kita berada di Perpustakaan Nasional Singapura dan pacar saya mengambil sebuah buku berjudul In My Sister's Shoes dari rak buku. Kebetulan? Mungkin saja. Tapi sejak saat itu kita jadi menyukai karangan Moriarty. 

Setelah membaca buku tersebut, saya melakukan sedikit riset dan menyadari bahwa buku yang kami baca adalah judul ke-4 yang ditulisnya. Tiga buku pertama adalah sebuah trilogi tentang seorang istri yang berusaha untuk hamil, kemudian mencoba untuk adopsi dan akhirnya memiliki bayi sendiri. Lucu ceritanya, boleh dikatakan yang paling bernuansa komedi bila dibandingkan dengan judul-judul lainnya. Saya mulai membeli bukunya sejak saat itu dan selain In My Sister's Shoes, saya punya semuanya.

Hebatnya Moriarty dalam menulis adalah kemampuannya dalam membuat pembaca peduli dengan karakter-karakter yang ditulisnya. Dia bahkan memberikan peran dan latar belakang untuk para pemeran pembantu. Di beberapa bukunya, dia memiliki lebih dari satu pemeran utama sehingga unik ceritanya. Hal ini membuat ceritanya padat, tapi tidak berkesan ramai. Ketika saya membaca bukunya, seringkali saya tidak bisa berhenti sampai saya selesai membaca. Ini perasaan serupa yang saya alami saat membaca Harry Potter.

Moriarty juga luar biasa dalam mendeskripsikan penyakit seperti kanker, autisme atau anorexia, hal-hal nyata yang mungkin pernah kita dengar, tapi tidak begitu kita mengerti. Topik-topik seperti ini dikemas dalam drama keluarga yang disertai berbagai masalah seperti uang, sex dan lain-lain sehingga ceritanya terasa seperti sesuatu yang bisa kita terima dengan mudah. Secara pribadi, saya suka membaca cerita seperti ini karena secara tidak langsung saya diingatkan kembali bahwa saya memiliki seorang istri dan dua putri yang baik. Ya, kadang kita mungkin terlalu sibuk sehingga lupa menghargai apa yang kita miliki.  

Karangan terbarunya, The Good Mother, agak berat dan sedih. Walau awalnya terasa riang, namun saat saya terus membaca, saya tahu bahwa sesuatu yang buruk tidak akan terelakkan. Saya bukan tipe pria tangguh, jadi buku ini membuat saya terbawa cerita dan turut bersedih dengan apa yang terjadi. Jika anda tidak sanggup menahan air mata yang berlinang karena perasaan sedih, anda harus siapkan tisu! Akhir dari ceritanya sangat menyentuh. Saya rasa ini adalah salah satu tulisan terbaiknya, namun rata-rata tulisannya memang enak dibaca. Satu-satunya pengecualian adalah Pieces of My Heart. Ceritanya lumayan, tapi akhir ceritanya agak menggantung dan mengecewakan.  

Favorit saya adalah buku yang diterbitkan tahun lalu, The Way We Were. Ide ceritanya sungguh berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Novel yang satu ini bercerita tentang suami yang dikabarkan meninggal di Afrika. Ketika ia kembali tiga tahun kemudian, ia menyadari bahwa keluarganya telah menerima fakta bahwa dia meninggal dan menyesuaikan diri tanpa kehadirannya. Situasi yang luar biasa dan menarik untuk dibaca!

Singkat kata, jika anda suka membaca, anda mungkin ingin menambahkan buku karangannya dalam koleksi anda. Dan jika tulisan ini dibaca oleh Moriarty, saya hanya ingin berkata, "tetaplah menulis karena kami akan menunggu! Anda memiliki dua penggemar dari Indonesia, sebuah negeri yang jauh dari Irlandia!