Total Pageviews

Translate

Showing posts with label Travel. Show all posts
Showing posts with label Travel. Show all posts

Monday, June 16, 2025

Life Events: Travel

There is this little known feature called Life Events on Facebook. It's not new and I had used it a long while ago, but I started updating the Travel section of it again recently. I did it in a simpler way this round: just the name of the destination, the arrival date and a photo of mine. 

Soon I got hooked by what I did here. There's something about figuring out the details that I so enjoyed doing. Cross-checking the dates on Swarm and Timeline on Google Maps, browsing the old photos on Google Cloud and verifying when they were taken, the activities were amusing!

It became more difficult as I progressed further back in time, though. My Swarm check-ins were only up until July 2014. Google Timeline ended around the same time, too. I had reached year 2010 now. I reckon this could only go as far back as the time I started using digital cameras circa 2004. Anything older than that would be difficult to track.

As I did this, I learnt a couple of things about my life, too. For a person who fancied traveling, it had been a life well-traveled. The past three years had been fun, about 20 destinations a year, covering Asia, Europe and Australia. I had lesser trips before COVID-19 due to numerous reasons: family matters, work, and probably the hassle of obtaining visa, too, since I used to be an Indonesian passport holder. In hindsight, they all made sense.

On top of that, the Life Events gave me a chance to look back at the travel companions as well. Or the lack of it. Yes, even travelling solo was also an option at times! All this brought back the good times I had with each and every group: good friends of mine, some random colleagues, my family, parents. It also gave me an idea of what I haven't done. How about a trip with the cousins? We've been talking about it.

But most importantly, it gave me the perspective of how long I had been doing this. Counting from the day I applied for the passport myself and went to Kuching with Parno, it had been 25 years since then. It had been a long journey from my early 20s to mid 40s, one that was filled with all the places I had been, all the people I had traveled with, all the memories and laughter that were created along the way. 

Maybe I had been blessed, considering that I was never a smart person to begin with. I don't know. But given the Life Events I had gone through for the past two and a half decades, I do know this: I've lived a life well-lived. Even if I had to fail tomorrow, at the very least I already had a good run for 25 years. To me, life is never about how long you live, but how good the quality is.  

My point is, if you are ever too busy preparing for the future that you fail to live your life today, then perhaps it's time to stop and re-examine it again. If you noticed you had missed so much, if you hadn't been achieving your dreams for quite some time, if it felt like you had been living only for someone else, then life probably had taken a wrong turn. Time to fix that. Like I said earlier, I am not very smart. If I could do it, I reckon a lot of people can do it, too. 

The Life Events.


Life Events: Travel

Di Facebook ada sebuah fitur bernama Life Events yang mungkin jarang diketahui oleh banyak orang. Ini bukanlah fitur baru dan sudah pernah saya gunakan bertahun-tahun silam, namun belakangan ini saya perbaharui lagi khusus di bagian Travel. Kali ini cara saya lebih ringkas dari sebelumnya: hanya nama tujuan, tanggal ketibaan dan juga sebuah foto saya. 

Ternyata saya jadi kecanduan dengan apa yang saya lakukan ini. Saya suka mencari tahu detil liburan saya. Saya bandingkan tanggalnya di Swarm dan Timeline di Google Maps, lalu saya cari pula foto-foto di Google Cloud dan verifikasi tanggalnya. 

Apa yang saya kerjakan ini menjadi kian rumit seiring dengan lamanya tahun yang sudah berlalu. Informasi di akun Swarm saya hanya sampai bulan July 2014. Google Timeline pun berakhir di periode yang hampir sama. Saya sudah update hingga tahun 2010 sekarang. Saya perkirakan mungkin cuma bisa sampai pada saat saya pertama kali menggunakan kamera digital pada tahun 2004. Liburan yang terjadi sebelum era digital akan lebih susah dilacak. 

Dalam proses pengerjaan ini, saya belajar beberapa hal tentang hidup saya. Sebagai orang yang suka berjalan-jalan, sebagian besar hidup ini sudah saya lakoni sesuai dengan keinginan saya. Tiga tahun terakhir sangat ekstensif, kira-kira 20 destinasi per tahun, mencakup Eropa, Asia dan Australia. Liburan saya jauh lebih sedikit di zaman sebelum COVID-19 dikarenakan berbagai hal: urusan keluarga, pekerjaan dan juga mungkin disebabkan oleh perlunya visa, karena saya dulu memegang paspor Indonesia.  

Di samping itu, fitur Life Events juga memberikan saya kesempatan untuk melihat kembali teman seperjalanan saya. Atau absennya teman seperjalanan, karena perjalanan seorang diri pun bisa menjadi opsi. Semua ini membawa kembali masa-masa gembira bersama setiap kelompok yang bepergian bersama saya: teman-teman karib, para kolega yang tidak begitu saya kenal sebelumnya, keluarga dan juga orang tua saya. Hal yang sama juga memberikan ide tentang apa yang belum saya lakukan. Bagaimana pula dengan liburan bersama para sepupu? Kita kini mulai membicarakannya. 

Namun yang paling penting adalah perspektif yang saya dapatkan. Berapa lama sudah saya menjalani hidup seperti ini. Mulai dari hari saya memohon paspor dan berangkat bersama Parno ke Kuching, 25 tahun sudah berlalu semenjak itu. Ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dari usia awal 20an sampai pertengahan 40an. Sebuah petualangan yang dipenuhi dengan aneka tujuan yang saya kunjungi, orang-orang yang berlibur bersama saya, serta kenangan dan tawa yang tercipta sewaktu kita berjalan-jalan. 

Mungkin saya diberkati, terutama bila mengingat kembali bahwa saya bukanlah orang pintar. Saya tidak tahu pasti. Tapi berdasarkan Life Events yang telah saya lewati selama dua setengah dekade, saya tahu pasti hal berikut ini: saya sudah hidup sepenuh hati. Bahkan jika saya harus gagal di keesokan hari, setidaknya saya sudah menjalani 25 tahun yang penuh cerita dan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Bagi saya, hidup ini bukan tentang berapa lama kita hidup, tapi sebagus apa kualitasnya semasa kita hidup. 

Maksud saya, bilamana anda terlalu sibuk dengan persiapan untuk masa depan sampai-sampai anda tidak menikmati hari ini, mungkin sudah waktunya anda berhenti dan memeriksa kembali pola hidup anda. Jika anda melewatkan banyak hal yang seharusnya bisa anda nikmati, jika anda tak ingat kapan terakhir kali anda mewujudkan impian anda, jika anda sampai merasa bahwa anda hanya hidup demi orang lain, mungkin hidup anda telah salah langkah. Sudah waktunya untuk memperbaiki kesalahan ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tidak terlalu pintar. Jikalau saya bisa, saya rasa pasti banyak orang yang bisa melakukan hal serupa.

Sunday, June 15, 2025

Another First Impression

The previous entry for the First Impression series was released five years ago. The story ended with Myanmar. I still traveled quite a fair bit before COVID-19 happened, but even though some of the destinations were new to me, they were still in the same countries I visited before. It was only in late 2022 that I began visiting some places that were entirely new to me.

The first was India, represented by Kolkata. I finally went to the most fascinating country that I had never visited thus far! I chose Kolkata because it was near and there was a direct flight from Singapore. It was a right choice, and a right amount of India for a first timer! 

The chaos and creation in Kolkata!

At Mullick Ghat Flower Market, I experienced information overload. The colors, the smells, the noises, never before my senses worked so hard to process them all! And the deeply entrenched Hinduism. I remember standing next to the railway, watching the ritual happening in the river. It occured to me that long before Jesus was born, the Indians had already been doing this. Incredible India, indeed!

Once upon a time in Geneva.

Then it was another trip to Europe after that. It had been seven years since my first and only visit. And Geneva was a great reminder of Europe's elegant culture and lifestyle, that people on this side of our planet lived differently than us. It was a far cry from the breakneck speed we had in Asia. We talked about work-life balance, but they lived it. It was all the more true when we reached Interlaken, where the scenery seemed like something lifted out of a fairy tale. 

Having fun in Vaduz.

Liechtenstein was the next country I visited the moment I crossed the Swiss border. It was smaller than Singapore and, with the absence of airports and harbors, it was kind of hard to think of it as a real country. That's why I forwent Hard Rock Hotel in Davos and visited Vaduz instead. It was like a wonderland, place you couldn't be sure that it existed, but yet there it was, a fully functioning country by itself, haha. 

Austria, on the other hand, was a serious business. I would described it as rowdy. It was like, after leaving Switzerland, you somehow sensed that you gotta be more careful here. I vaguely remember Innsbruck, so the impression mainly came from the few days I had in Salzburg

Salzburg, the birthplace of Mozart.

In hindsight, the impression was, perhaps, biased. Salzburg happened right at the tail end of the trip, when the magic of Europe had faded away. After seeing too many old towns by the river, I just felt fatigued, and Salzburg was one too many, I guess. 

The Taiwan trip happened one year later. Despite its disputable status as a country, Taiwan felt more like Japan than China. Hence it felt quite unique. The whole time I was in Taipei, I couldn't help feeling that it was like traveling 101. It was so safe and easy to go around the city. Suitable for a family trip, but it got boring after a while. 

The family trip to Taiwan.

Now, the latest country I visited was Australia. I don't know if Perth is a good reference for one to say something about Australia, but I did enjoy my time here. It was probably the nearest major city in a Western country to Singapore. The city was safe and slow paced, but modern enough for my liking. I remember walking alone in one drizzling afternoon, thinking that it'd be fun to explore cities like this with my friends.

In Swan Valley, Perth.

So there you go, another five or six countries that I managed to visit when the world opened up again after COVID-19. Next stop: USA! Year: 2026! Event: World Cup! Let's see what tomorrow will bring! Until that happens, one can always dream and plan towards it! 



Kesan Pertama Yang Berikutnya

Episode terakhir dari serial Kesan Pertama diterbitkan lima tahun silam. Saat itu cerita diakhiri dengan kunjungan ke Myanmar. Saya masih sempat berlibur ke sana-sini sebelum COVID-19 melanda, tapi meski baru tujuannya, negaranya sudah pernah saya datangi. Kesempatan mengunjungi negara lain barulah terwujud lagi di penghujung tahun 2022. 

Negara tersebut adalah India yang diwakili oleh Kolkata. Akhirnya saya berhasil mengunjungi negara paling mengesankan yang belum pernah saya kunjungi hingga sejauh ini. Saya memilih Kolkata karena tidak terlalu jauh dan memiliki penerbangan langsung dengan Singapore Airlines. Kolkata adalah pilihan yang tepat dan pas pula kadar dan nuansanya untuk turis yang pertama kali ke India! 

Hirup-pikuk di Kolkata!

Di Pasar Bunga Mullick Ghat, saya mengalami sensasi kebanyakan info. Aneka warna, berbagai aroma dan juga suara-suara yang gaduh memaksa indera saya bekerja jauh lebih keras dari apa yang pernah saya rasakan sebelumnya! Dan budaya Hindu yang begitu kental di sana sangatlah mencengangkan. Saya ingat betul saat berada di samping rel kereta dan menyaksikan ritual yang diselenggarakan di sungai. Tiba-tiba saja terbayang oleh saya bahwa orang India sudah melakukan hal ini jauh sebelum Yesus lahir. Memang dahsyat! 

Suatu ketika di Jenewa.

Setelah India, yang berikutnya adalah liburan ke Eropa. Tujuh tahun telah berlalu semenjak kunjungan saya yang pertama dan sekali-kalinya. Jenewa di Swiss adalah tempat yang istimewa untuk mengingat kembali, betapa elegan budaya dan pola hidup orang Eropa. Kehidupan mereka di bagian planet ini berbeda dengan Singapura yang cepat pergerakannya. Semua ini kian nyata ketika kita tiba di Interlaken yang pemandangannya seperti cerita dongeng. 

Menjelajahi Vaduz.

Liechtenstein menjadi negara selanjutnya yang saya kunjungi begitu saya melewati perbatasan Swiss. Negara ini lebih kecil dari Singapura dan tak memiliki bandara serta pelabuhan pula. Inilah alasannya kenapa saya merelakan Hard Rock Hotel di Davos dan pergi ke Vaduz, ibukota Liechtenstein. Tempatnya seperti negeri fantasi, tempat yang seharusnya tidak ada, tapi nyata dan berfungsi sepenuhnya sebagai suatu negara, haha.

Austria, di sisi lain, adalah perkara serius. Saya suka menjabarkannya dengan sebutan kasar dan terkesan tidak aman. Berbeda jauh dengan Swiss. Begitu anda berada di Austria, anda bisa merasakan kalau anda harus lebih hati-hati di sini. Saya tidak memiliki kesan mendalam tentang Innsbruck, jadi apa yang saya deskripsikan di atas lebih condong berdasarkan pengalaman saya di Salzburg

Salzburg, tempat kelahiran Mozart.

Bila dilihat kembali, kesan saya mungkin agak bias. Kunjungan saya ke Salzburg terjadi di penghujung liburan, tatkala pesona Eropa telah memudar. Sesudah melihat begitu banyak kota tua di pesisir sungai, saya merasa cukup dan hal inilah yang paling terasa di Salzburg. Dengan demikian, kesannya pun tidak terlalu baik. 

Liburan keluarga keTaiwan.

Setahun kemudian, kita pergi ke Taiwan. Terlepas dari statusnya sebagai suatu negara atau bukan, Taiwan terasa lebih mirip Jepang daripada Cina, sehingga unik kesannya. Selama saya berada di Taipei, rasanya seperti liburan pemula. Begitu aman dan gampangnya kita berkeliling kota. Cocok untuk liburan keluarga, tapi agak membosankan juga. 

Di Swan Valley, Perth.

Hingga saat ini, negara terakhir yang saya kunjungi adalah Australia. Saya tidak tahu apakah Perth adalah referensi bagus untuk berkomentar tentang Australia, tapi saya menikmati hari-hari saya di sini. Ini adalah kota orang kulit putih terdekat dari Singapura. Aman dan lamban pola hidupnya, tapi modern seperti selera saya. Saya ingat saat berjalan di suatu sore yang mendung dan rintik-rintik. Saat itu saya berpikir, sepertinya seru juga kalau menjelajahi kota seperti ini bersama teman-teman. 

Dalam tiga tahun, lima atau enam negara dikunjungi setelah COVID-19 berakhir. Pemberhentian berikutnya: Amerika Serikat! Tahun: 2026! Acara: Piala Dunia! Entah apa yang akan terjadi di hari esok! Tapi apa pun itu, kita selalu bisa bermimpi dan mengerjakan rencana kita! 

Monday, May 12, 2025

Priorities And Effort

This story began last year, when I visited my ex-colleagues at Kalbe Farma in last November. Out of the blue, Yerry video-called Pak Chandra. Upon seeing the wrinkles on his face, I recalled my younger days, too, when he was kind enough to include me in the trip to Bali. At that time, Pak Chandra was roughly about my age now. Two decades had passed since then. 

Visiting Kalbe in November 2024.

Pak Chandra said he'd like to meet me again and I politely said okay. When the conversation ended, his words lingered for a couple of months like an unfulfilled promised. Then came the last push I needed: the death of a doctor that worked together with us before at Kalbe. This got me thinking that if any moment could be our one last time, I might as well take it while I could. As we exited the Pink City in Jaipur, I finally texted Pak Chandra and confirmed that, yes, we should meet in May. 

And since we were going to meet, I thought it'd be fun to throw a few more people in, too. The IT colleagues that used to hang out with Pak Chandra and I. We had good times then, so why didn't we meet again? It had been a long while since the last time we did that, so I formed a group and added the core members in on the same day.

The meet up in 2010. Patno was the one with his face covered.

Thus began the planning. Looking back, it was kinda awkward and typical, though. First reaction was, we were in January and May was still a long way to go. As we headed to May, I asked for meeting places. Only Pak Chandra and Patno responded. It was consistently like that until the day we actually met at Pagi Sore. Only the two of them turned up. 

As we sat down, Pak Chandra mumbled it was too much that none had a courtesy to call and inform their whereabouts. As the only one who suggested where to eat, he said he simply responded to my questions. If the rest thought it was too far for them, they should have said something. And I smiled. That's the GA Manager I knew. Age clearly didn't diminish his outspokenness. 

Probably the only picture of Pak Chandra and I. 

When I stole a glance at my phone, I saw my ex-colleagues texted me. One said he was in office, the other said he was in Bekasi and the restaurant was too far for him. To think that that this was not a last minute plan, so one had easily more than four months to make a necessary arrangement. And I came from another country, if we wanted to talk about the distance.

Anyway, I did achieve what I set out to do. It was nice to listen to the quirky humor of Patno again. Most importantly, I got to meet Pak Chandra. We talked about the past and things that happened after I left. It gave me perspective of how far I had come. It felt good. 

Unexpectedly, I also learned a new lesson: priorities and effort. The experience was an eyeopener that to some who thinks you are a priority, they will make an effort. The same logic is also true for the exact opposite. You know where you stand in term of their priorities.



Prioritas Dan Upaya

Cerita kali ini dimulai tahun lalu, sewaktu saya mengunjungi para mantan kolega di Kalbe Farma pada bulan November. Tiba-tiba saja Yerry menelepon Pak Chandra lewat WhatsApp Video. Saat melihat rambut putih tipis dan kerutan di wajah beliau, saya terkenang masa saya di Kalbe, terutama saat Pak Chandra mengajak saya untuk turut berlibur ke Bali. Pada saat itu Pak Chandra mungkin seumuran dengan saya sekarang. Dua puluh tahun sudah berlalu semenjak itu. 

Mengunjungi Kalbe di bulan November 2024.

Pak Chandra berkata bahwa dia ingin bertemu lagi dengan saya dan permintaannya saya iyakan dengan sopan. Tatkala percakapan berakhir, kata-katanya terngiang tak ubahnya seperti janji yang belum ditepati. Tak berapa lama setelah itu, terjadi satu peristiwa yang mendorong saya untuk mewujudkan pertemuan kita: terdengar kabar bahwa seorang dokter kenalan kita di Kalbe telah meninggal. 

Kejadian ini membuat saya berpikir bahwa bila setiap saat bisa menjadi pertemuan terakhir, maka sudah sepatutnya saya melakukan sesuatu selagi saya bisa. Tatkala mobil yang saya tumpangi keluar dari kawasan Pink City di Jaipur, saya menghubungi Pak Chandra dan konfirmasi bahwa kita akan makan siang di bulan Mei. 

Dan mumpung kita akan bertemu, saya kira akan seru juga bila kita berkumpul lagi bersama para mantan rekan kerja lainnya. Ada banyak masa ceria yang dilalui bersama sewaktu di Kalbe dulu, jadi kenapa kita tidak bertemu lagi? Sudah lama sekali sejak kita berkumpul untuk terakhir kalinya, jadi saya pun lekas membentuk grup dan menambahkan beberapa anggota inti di hari itu juga. 

Pertemuan di tahun 2010. Patno agak ketutupan wajahnya. 

Jadi rencana pun mulai digarap. Namun bila dilihat lagi sekarang, polanya agak janggal dan sungkan. Reaksi pertama adalah, berhubung kita masih di bulan Januari dan Mei masih lama, jadi kenapa tergesa-gesa. Dan ketika bulan mulai silih berganti, saya bertanya lagi, di restoran mana kita akan berkumpul. Hanya Patno dan Pak Chandra yang merespon. Polanya konsisten seperti itu sampai di hari kita bertemu di Pagi Sore. Hanya mereka berdua yang datang. 

Saat kita duduk, Pak Chandra bergumam bahwa seharusnya yang lain memberikan kabar kalau tidak bisa hadir. Sewaktu Pak Chandra mengusulkan aneka restoran, seharusnya pula yang lain berkomentar apabila mereka keberatan. Dan saya tersenyum. Pensiunan manajer bagian Umum ini masih sama seperti dulu. Usia jelas tidak memudarkan gaya bicaranya yang blak-blakan. 

Saat saya mencuri pandang di WhatsApp saya, terlihat dua DM yang masuk. Satu berkata bahwa dia ada di kantor dan yang lain berujar bahwa dia ada di Bekasi dan lokasi restoran yang berada di Alam Sutera terlalu jauh baginya. Padahal kalau dipikirkan lagi, ini bukan rencana dadakan. Setiap orang punya waktu lebih dari empat bulan untuk melakukan persiapan yang diperlukan. Dan saya datang dari luar negeri kalau mau bicara soal jarak jauh yang perlu ditempuh. 

Mungkin satu-satunya foto yang ada Pak Chandra dan saya. 

Terlepas dari itu, saya sendiri mencapai apa yang saya rencanakan: sebuah janji yang terpenuhi. Saya senang mendengar humor Patno lagi. Dan tak kalah pentingnya pula, saya bisa bertemu Pak Chandra lagi. Kita berbicara tentang masa lalu dan apa yang terjadi setelah saya meninggalkan Kalbe. Semua ini memberikan perspektif, betapa jauh sudah saya melangkah dalam hidup. 

Secara tak sengaja, saya juga belajar satu pelajaran baru: tentang prioritas dan upaya. Pengalaman ini membuka wawasan saya bahwa bilamana anda adalah prioritas bagi seseorang, niscaya dia akan berupaya. Konsep yang sama juga berlaku sebaliknya. Anda jadi tahu, di mana sebenarnya posisi anda dalam prioritas orang lain... 

Sunday, May 4, 2025

Vientiane Revisited

When I was visiting Glover Garden and admiring the late afternoon view of Nagasaki, I was reminded again of some places I had visited before. Yes, cities such as Liverpool, Hiroshima, Nanning and Vientiane. At that time, I couldn't help thinking that it could be the one and only time I saw them. Once in a lifetime should be enough. 

But yet from time to time, life did provide a reason for me to return. A year ago, my friend Eday gave me a free trip and I finally returned to Phuket after 13 years. This year turned out to be a time for Vientiane. 15 years after my first and only visit, I came back because of Hard Rock Cafe Vientiane.

In Vientiane. Again!

There are direct flights now (four seats per row, first time seeing this). Back then I had to fly via KL. When I landed, there was this déjà vu feeling that I walked this path at Wattay Airport before. It felt nostalgic, like it was done a lifetime ago. So Bernard and I took the picture there to commemorate the moment. 

As we headed to our hotel, Vientiane felt like a city lost in time. 15 years of progress couldn't do much to change the laid-back image of the capital city of Laos. Yes, there was development done and city looked slightly better than before. It even had Loca and Loca Pay, the local equivalent of Grab and Alipay. But when I recorded the videos and shared them with my high school friends in our group chat, the general comments were how similar Vientiane was with my hometown Pontianak.

Hard Rock, as seen from our hotel.

Except it was quieter, I'd say. That whole mindset of even my hometown was much more crowded that I had since the first visit still remained. But at least the city was clean and safe. And we had a walk. First destination was Hard Rock Cafe, which was so unbelievably near to our hotel, Doubletree by Hilton. The t-shirts collections were much better than Rock Shops in Tianjin and New Delhi!

Based on our itinerary that was created by Perplexity AI, we didn't have anything to do that afternoon, so we walked towards Major Platinum Cineplex. As we headed there, I passed by Wat Sisaket that I visited with Benny 15 years ago. Right in front of us, I saw Patuxai, a monument that has a similar design as Arc de Triomphe in Paris. When we made our final turn, there was Talat Sao in the corner of the junction. The only plaza that existed during my first visit was still there, though it looked much more rundown than before. 

Bernard felt like having Koi in Laos.

We were supposed to watch Thunderbolt* at 16:20, but little did I know that it'd be a Hollywood movie with a local language. As I wasn't ready to see superheroes speaking Thai/Lao, we opted for a latter show at 18:30. We spent our time exploring Parkson and ate at Pizza Company instead. One thing stood out was the waiters/waitresses. Most, if not all, looked underage!

Now, excluding Malaysia and Indonesia, I had also watched movies in Phuket (Green Lantern, 2011) and Bangalore (Indiana Jones and the Dial of Destiny, 2023). Each offered a unique experience and the one in Vientiane was no exception. The movie started 15 minutes earlier and it was rebooted again at 18:30 to cater for the rest of audience! Only in Laos, ladies and gentlemen!

Naem khao for supper. It felt like fried rice with something crispy.

The movie ended at around 9 PM and the mall was closed by the time we were out from the cinema. Called our ride using Loca and, before the night ended, we had our supper and two bottles of Beerlao at Muzaik Restaurant and Bar right across where we stayed. 

And since this was Laos, the next day began very late in the morning as there wasn't a need for the rush. After our breakfast, we returned to our rooms before we started sightseeing. Our first stop was the post office because I had this tradition of sending postcards. From there, we headed to Pha That Luang, a Buddhist stupa in the centre of the city. 

Visiting Pha That Luang.

Vientiane felt hotter than Singapore, so soon after that, we headed to Senses, a high end spa at Crowne Plaza. By the time we were done with relaxation, sun had started setting. We made our way to Kong View for early dinner and another round of Beerlao. There we stayed, busy chasing away the flies as we ate, until the night came and Thailand at the other side of Mekong River lighted up. The night ended with a quick stroll at the Night Market and cocktails at Hard Rock Cafe.

The next day was yet another slow morning. As a matter of fact, given the hot weather, we weren't sure if we wanted to go to the Buddha Park that was located 26 KM away from our hotel. When I showed the map to Bernard, he became convinced that we should go to Nong Khai because the First Thai-Lao Friendship Bridge in Thanaleng was nearer. 

Waiting for the shuttle bus to Thailand.

So we crossed the border and went to Thailand instead. Since Thailand had just implemented the digital arrival card in early May, it took us some time to enter because we had to queue for the computer and fill in the form. For some reasons, Airsim took a while to work, therefore we queued. Luckily it wasn't a busy border. 

Once we passed through the immigration, the atmosphere immediately felt different. Unlike the sleepy Vientiane, Nong Khai felt like a bustling bigger city. We headed to Tha Sadet Market as I'd like to have a glimpse of life on this side of Mekong River. 

At the Thai side of Mekong River.

We walked towards Tha Sadet Pier that used to be a Thai border in Nong Khai and had a tea break there. While we were sitting and enjoying the river view, people came to set up their stalls. Few hours later, the whole stretch turned into Nong Khai Walking Street. We explored the whole area and eventually called Grab to return to the Thai border. 

When we reached Laos, it turned out that I had insufficient fund due to the low balance on my Revolut card. As a result, not only I failed paying for the earlier trip, but I also breached my Loca limit and was unable to hail a ride now. I contacted Loca support via WhatsApp and within minutes, they completed the verification and solved my issue. Very impressive! Something that I didn't expect from Laos.

Back to Laos again.

The final night ended with us hanging out at Hard Rock Cafe yet again. I ordered November Rain for the band to play. The total cost for the night was LAK 842,960, which was equal to SGD 51.47. On average, the conversion rate was about LAK 16,500 per SGD 1. 

The next day, after breakfast, we flew back to Singapore. Looking back, 15 years later, Vientiane still didn't have much to do that we were basically done with it in two days. I'm glad that we made it to Nong Khai spontaneously on the third day! It was something new and exciting!

Crossing to Nong Khai.




Kembali Ke Vientiane

Beberapa tahun silam, ketika saya berada di Glover Garden dan mengagumi sore menjelang senja di Nagasaki, mendadak terpikirkan oleh saya bahwa pemandangan yang saya lihat itu mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya. Ya, kota-kota seperti Liverpool, Hiroshima, Nanning and Vientiane, setelah dikunjungi sekali, sepertinya tak ada lagi alasan untuk kembali ke sana. 

Namun dari waktu ke waktu, hidup ini memberikan kesempatan kedua. Setahun silam, teman saya Eday memberikan liburan gratis dan saya akhirnya kembali ke Phuket setelah 13 tahun. Tahun ini ternyata giliran Vientiane. 15 tahun setelah kunjungan saya yang pertama, saya kembali lagi karena Hard Rock Cafe Vientiane. 

Kembali ke Vientiane lagi.

Ada penerbangan langsung sekarang (hanya empat kursi per baris, pertama kali saya lihat yang seperti ini). Dahulu kala, saya harus transit di KL. Ketika saya tiba, ada perasaan déjà vu bahwa saya sudah pernah menjejakkan kaki di Bandara Wattay. Ada rasa nostalgia seakan-akan semua ini terjadi di kehidupan sebelumnya. Lantas Bernard dan saya berfoto di tempat yang sama. 

Dalam perjalanan ke hotel, Vientiane terlihat seperti kota yang terperangkap oleh waktu. Pembangunan selama 15 tahun terakhir tidak mampu mengikis kesan terbelakang yang kentara di ibukota Laos ini. Ya, memang betul kotanya terlihat memiliki beberapa bangunan baru. Sekarang Laos bahkan memiliki Loca dan Loca Pay, teknologi yang serupa dengan Grab dan Alipay. Namun  ketika saya merekam video dan membagikannya pada teman-teman di grup SMA, mereka berpendapat bahwa kotanya mirip dengan Pontianak

Hard Rock, dilihat dari Doubletree by Hilton.

Tapi lebih sepi, menurut saya. Dan ide bahwa kampung halaman saya bahkan terasa lebih ramai, sebuah pemikiran yang muncul sejak saya pertama kali ke Laos, masih terasa. Kendati begitu, setidaknya Vientiane bersih dan aman. Dan kita berjalan kaki. Tujuan pertama adalah Hard Rock Cafe yang berada di seberang hotel kita, Doubletree by Hilton. Koleksi kaosnya lebih banyak dari Rock Shop di Tianjin dan New Delhi.

Berdasarkan rute yang dibuat dengan Perplexity AI, kita tidak memiliki acara apa-apa di sore itu, jadi kita pun berjalan ke Major Platinum Cineplex. Selama perjalanan, kita melewati Wat Sisaket yang pernah saya singgahi bersama Benny 15 tahun yang lalu. Di depan saya ada Patuxai, monumen yang menyerupai Arc de Triomphe di Paris. Kemudian ada pula Talat Sao di persimpangan jalan. Satu-satunya plaza saat saya pertama kali ke Vientiane, Talat Sao masih berdiri hari ini, walaupun sudah terlihat kian tidak terawat.  

Bernard kangen dengan Koi in Laos.

Tiba di bioskop, kita seharusnya menonton Thunderbolt* jam 16:20, tapi ternyata filmnya berbahasa lokal. Saya belum siap menyaksikan para pahlawan super berbincang dalam bahasa Thai/Lao, jadi kita memilih pertunjukan jam 18:30 yang berbahasa Inggris. Setelah membeli tiket, kita melihat-lihat di Parkson dan makan di Pizza Company. Satu yang janggal di sini, para pelayannya terlihat seperti masih di bawah umur! 

Selain di Malaysia dan Indonesia, saya juga pernah menonton film di Phuket (Green Lantern, 2011) dan Bangalore (Indiana Jones and the Dial of Destiny, 2023). Setiap pengalaman ini unik adanya dan yang di Vientiane pun ada kesan tersendiri. Filmnya mulai 15 menit lebih awal, trus mendadak diulang lagi pada pukul 18:30 untuk para penonton yang baru saja masuk. Hanya di Laos yang ada seperti ini! 

Naem khao, semacam nasi goreng di Laos. Enak juga rasanya.

Film berakhir sekitar jam sembilan malam dan mal sudah tutup tatkala kita keluar dari bioskop. Setelah memanggil jemputan dengan Loca, kita kembali ke hotel dan makan malam plus Beerlao di Muzaik Restaurant and Bar yang terletak di seberang hotel. 

Dan karena ini adalah Laos, aktivitas di hari berikutnya baru dimulai setelah hari menjelang siang. Kita tidak tergesa-gesa di sini. Setelah sarapan, kita bahkan kembali ke kamar untuk bersantai sejenak. Setelah itu barulah kita menuju ke kantor pos. Dari sana, kita lanjut ke Pha That Luang, kuil Budha di tengah kota. 

Mengunjungi Pha That Luang.

Vientiane terasa lebih panas dari Singapura, jadi kita pun berteduh di Senses, spa di Crowne Plaza. Sesudah kita selesai dengan relaksasi, matahari mulai terbenam. Kita mampir ke Kong View untuk makan malam dan satu ronde Beerlao lagi. Sambil makan dan juga sibuk mengusir lalat, kita berada di sana sampai malam tiba dan Thailand yang berada di seberang sungai Mekong menyala terang. Kemudian kita beranjak ke Pasar Malam dan juga koktail di Hard Rock Cafe.

Keesokan paginya pun berjalan lamban. Berhubung cuaca yang panas, kita tidak yakin apakah Buddha Park yang terletak 26 KM jauhnya dari hotel adalah tujuan yang tepat. Ketika saya menunjukkan peta kepada Bernard, dia sepakat bahwa sebaiknya kita ke Nong Khai saja karena Jembatan Persahabatan Thai-Lao Pertama di Thanaleng lebih dekat jaraknya. 

Menunggu bis dari Laos ke Thailand.

Jadi kita pun menyeberang perbatasan dan pergi ke Thailand. Karena Thailand baru memberlakukan kartu kedatangan digital pada awal Mei, kita pun antri komputer untuk mengisi formulir. Airsim tak langsung berfungsi normal di Thailand sehingga saya tak bisa menggunakan ponsel. Untunglah perbatasan Nong Khai tidak tergolong ramai.  

Setelah melewati imigrasi, suasananya terasa berbeda. Berbeda dengan Vientiane yang lamban, Nong Khai lebih terasa seperti kota besar yang aktif. Kita menuju ke Pasar Tha Sadet karena saya ingin melihat bagaimana kehidupan di seberang Laos. 

Di sungai Mekong di bagian Thailand.

Kita berjalan sampai ke Tha Sadet Pier yang dulunya digunakan sebagai perbatasan Thai di Nong Khai dan minum teh sejenak di sana. Ketika kita duduk mengamati, warga setempat mulai berdatangan menyiapkan tempat dagangan mereka. Beberapa jam kemudian, deretan kios bermunculan memadati Nong Khai Walking Street. Kita mengeksplorasi kawasan tersebut dan akhirnya kembali ke perbatasan Thailand dengan Grab. 

Sewaktu tiba di Laos, ternyata saldo saya di kartu Revolut tidak cukup. Alhasil saya gagal membayar transaksi sebelumnya dan saldo saya yang negatif menembus limit Loca sehingga tak lagi bisa memanggil jemputan. Saya lantas hubungi Loca lewat WhatsApp dan dalam hitungan menit, verifikasi selesai dan masalah pun beres. Sungguh mengesankan! Efisiensi tak terduga di Laos. 

Kembali ke Laos again.

Di malam terakhir, kita kembali bersantai di Hard Rock Cafe lagi. Kali ini saya pesan lagu November Rain untuk dimainkan grup lokal yang bermusik di panggung. Total makan dan minum di malam itu adalah LAK 842.960, setara dengan SGD 51,47. Nilai tukar mata uang Laos LAK 16.500 per SGD 1. 

Keesokan paginya, setelah sarapan, kita pulang ke Singapura. Kalau dilihat kembali, tak banyak yang berubah di Vientiane dalam 15 tahun terakhir. Dalam tempo dua hari, kita bisa dikatakan selesai dengan Vientiane. Untung saja kita spontan ke Nong Khai di hari ketiga. Pengalaman ini baru dan seru! 

Menyeberang ke Nong Khai.

Saturday, April 26, 2025

11 Hours In Tianjin

I had only one reason to visit Tianjin: Hard Rock Cafe. This had been the plan since the first time I went to Beijing, but timing was an issue then. Learning from the past failure, it was different this round. 

Together with my colleague Fulton, I landed in Beijing two days earlier. This gave me the ample time to enjoy one night in Beijing before heading to Tianjin on the following morning. Departing from Beijing South Railway Station, I arrived in Tianjin about 10 AM. As we had about an hour before Hard Rock opened, we had our breakfast at McDonald's: a bowl of porridge!

At Tianjin Station.

After that, we headed to the metro station, bought our one way ticket and headed to Tianta. The metro station was linked to Luneng CC Plaza and it turned out that Hard Rock Cafe Tianjin was part of the mall. The Rock Shop was tiny and it had only limited selection. It didn't take long for me to get what I came here for. 

As we were paying at the cashier, Fulton figured out that Alipay could be used for metro ticket payment. It is amazing how integrated China is these days! We went for a bit of supermarket browsing, then jumped into the metro to go to Wudadao, which was one of the highlights according to AI.

Visting Minyuan Stadium.

The nearest metro station was still about 15 minutes walk to Wudadao. When we reached there, we only saw Minyuan Stadium. And, well, it was a stadium. The appreciation lasted only for a few seconds before we started wondering what Wudadao actually was. After a quick ice cream waffle, we circled the stadium and saw the map. So Wudadao is apparently a large area encompassing five lanes and housing a lot of colonial buildings. 

It would have taken us the whole afternoon if we really did the sightseeing, so we opted for lunch and left Wudadao instead, haha. On our way out, I saw Post Coffee, a unique combination of coffee stall and post office, similar to the one I saw in Chongqing. I quickly dropped by for a decade old tradition

The view from Dagu Bridge.

From Wudadao, AI recommended us to walk along the riverbank. Fulton refined the suggestion by heading to the last subway station before Tianjin Station, then it wouldn't be a long walk and yet we could still explore the riverside a bit. We did a slight detour for Pop Mart at the Tee Mall, then we crossed Dagu Bridge and headed to the Century Clock.

Tianjin Station is next to the clock. It was around 3 PM when we got there and we thought we would reach Beijing in no time. Much to my surprise, the next available tickets were the ones departing at 8.38 PM! Well, either that slot or train rides at later timing. I immediately secured them, then we headed to McDonald's to let the reality sink in. Once we had a break and accepted that we'd be here for another four hours, we decided to make good use of our time and walked towards the Ancient Culture Street.

Fulton explored the Ancient Culture Street.

It took us about an hour of walking at the riverside before reaching our destination. The experience somehow reminded me of Shanghai. It might be the river, I reckon. And I suddenly had a fatigue. It's like, after visiting four China cities in one year, Tianjin as the fifth one somehow looked pretty similar. 

And exploring the Ancient Culture Street clearly didn't help. It only enhanced the impression that cities in China are basically having the same layout: high rises buildings, the long and winding river, ancient street or town for tourists. After one round, we hopped onto the subway and returned to the train station. The last meal I had was spicy! But my last memory of Tianjin? Our business class seats! 

Fulton grinning on his business class seat.



11 jam Di Tianjin

Saya cuma memiliki satu alasan untuk mengunjungi Tianjin: Hard Rock Cafe. Ini sudah menjadi rencana saya sejak kunjungan pertama ke Beijing, tapi ternyata ada kendala waktu. Belajar dari pengalaman tersebut, kali ini beda pengaturannya. 

Bersama kolega saya Fulton, saya mendarat di Beijing dua hari lebih awal. Dengan demikian saya memiliki banyak waktu sebelum berangkat ke Tianjin pada keesokan paginya. Dari Beijing South Railway Station, saya tiba di Tianjin kira-kira jam 10 pagi. Karena masih ada satu jam sebelum Hard Rock buka, kita makan pagi di McDonald's: semangkuk bubur dan kopi pahit!

Di Stasiun Tianjin.

Setelah itu, kita naik metro menuju Tianta. Stasiun metro ini tersambung ke Luneng CC Plaza. Hard Rock Cafe Tianjin ternyata merupakan bagian dari mal. Rock Shop-nya mungil dan terbatas koleksinya. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan apa yang saya mau. 

Selagi kita melakukan pembayaran di kasir, Fulton menemukan bahwa Alipay bisa digunakan untuk membayar metro. Integrasi sistem di Cina memang luar biasa! Setelah mampir sejenak ke supermarket, kita kembali menaiki metro menuju Wudadao, salah satu destinasi turis menurut AI

Mengunjungi Minyuan Stadium.

Stasiun metro terdekat masih berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki ke Wudadao. Saat tiba di sana, yang kita lihat hanyalah Minyuan Stadium. Dan, berhubung ini cuma stadion, apresiasi kita luntur dalam beberapa detik. Jadi Wudadao itu sebenarnya apa? Saya beli es krim sejenak, lalu kita berjalan mengitari stadion dan menemukan peta. Di situ terlihat bahwa Wudadao adalah sebuah kawasan lima jalur yang memiliki banyak bangunan peninggalan zaman kolonial. 

Butuh setengah hari bila kita hendak melihat semuanya, jadi kita memilih makan siang dan pergi, haha. Dalam perjalanan keluar, saya melihat Post Coffee, kombinasi warung kopi dan kantor pos, mirip seperti yang saya lihat di Chongqing. Saya lekas mampir menunaikan tradisi

Pemandangan dari Dagu Bridge.

Dari Wudadao, AI menganjurkan agar kita berjalan di samping sungai. Fulton menyarankan bahwa sebaiknya kita naik metro dulu sampai ke pemberhentian terakhir sebelum Stasiun Tianjin, baru jalan dari situ sehingga tidak terlalu jauh. Menuruti usulnya, kita juga sempat singgah sebentar ke Pop Mart di Tee Mall, lalu berjalan melewati Dagu Bridge dan menuju ke Century Clock.

Tianjin Station berada tepat di samping Century Clock. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore saat kita sampai di sana. Berjalan santai menuju loket, saya sudah membayangkan bahwa kita akan segera tiba di Beijing. Siapa sangka tiket berikutnya adalah jam 8:38 malam? Pilihan kita cuma itu atau yang lebih malam lagi. Saya lekas membeli, kemudian kita duduk sejenak di McDonald's untuk meresapi kejutan yang baru saja terjadi. Setelah menerima kenyataan bahwa kita masih akan luntang-lantung di Tianjin selama empat jam, kita memanfaatkan waktu kita untuk mengunjungi Ancient Culture Street.

Di Ancient Culture Street.

Kita berjalan di samping sungai sekitar sejam lamanya sebelum mencapai destinasi. Pengalaman ini entah kenapa mengingatkan saya pada Shanghai. Mungkin karena sungainya. Dan mendadak saya merasa lelah dengan Cina. Rasanya seperti, setelah mengunjungi empat kota Cina dalam setahun, Tianjin sebagai kota ke-lima terlihat sama saja. 

Dan eksplorasi di Ancient Culture Street tidak membantu. Keberadaan kita di sana yang menguatkan kesan bahwa kota-kota di Cina memiliki tata kota yang sama: gedung-gedung tinggi, sungai yang panjang dan berkelok, kota lama atau jalan kuno untuk turis. Setelah satu putaran, kita naik metro dan kembali ke stasiun kereta. Makan malam saya terasa pedas nian. Tapi kenangan saya yang terakhir di Tianjin? Kursi kelas bisnis di kereta! 

Fulton tersenyum di kursi kelas bisnis.