Total Pageviews

Translate

Monday, February 22, 2021

The Gas Stove

I wrote about my high school chat group last year. The WhatsApp group was fun, but admittedly quite tense in its early years. You got people saying the wrong things, temper would flare and before you knew it, someone had already left the group. With all kinds of characters grouped into one and the egos unchecked, that was bound to happen.

But it'd been almost six year since the group's troubled infancy and by now, the group had been matured and so were the dynamics. By natural selection, the members filled in roles such as a fake CEO, a morning newscaster nobody really cared about, a tiny bully, a factual uncle-man or a good doctor. If this was not unique enough, we even got a controversial man who always abused the 😂 emoji! Then there was me, the one they nicknamed the gas stove.

The gas stove.

So what did the gas stove do? In short, I heated things up and burnt them down real quick, haha. It was neither a friendly nor a noble role, but hey, somebody gotta be the antagonist. Otherwise, it'd be a boring group. The whole idea of it was to make the group more lively. While I might appear as a nuisance, what I did helped bringing random topics that involved many people. Due to this, they ended up participating in the conversation, too. 

As a big fan of Stephen Chow and comedy in general, I was naturally cheeky. It wasn't difficult for me to pick up any lines and turn them upside down. My trademark would be, "nobody/everybody always blablabla these days," where blablabla was a placeholder for something nonsensical. Alternatively, it'd be, "want to know something blablabla?" The blablabla was normally something over the top. The basic guideline was to oppose anything in any way. If you felt confused, this favorite sketch of mine might be able to paint the picture:


Why did I do all this? What was in it for me, actually? Well, life could be stressful. I'd been serious when I was working the whole day. Being a parent required attention and energy, too. All this was tiring. Hence whenever I could, I'd just blow off steam by doing something I loved. And I had always loved nonsense. It cheered me up. The group was my outlet that allowed me to simply be myself. 

The question now was, was my role as pseudo-antagonist well-received? I couldn't say that I never offended some throughout my long, illustrious career. But there was a time when I was missing in action for few days last year due to one big IT issue and they actually missed me. Some friends even pinged me personally to find out what happened. It was heartwarming to learn that the chat group could use a little bit of nuisance they knew and loved...


Kompor Gas

Tahun lalu, saya menulis tentang grup WhatsApp yang beranggotakan teman-teman SMA. Grup ini menyenangkan, tapi tak luput dari ketegangan, terutama di tahun-tahun pertama. Begitu ada yang salah bicara, yang lain lantas tersinggung, lalu cekcok dan meninggalkan grup. Ini sulit terelakkan mengingat begitu banyak karakter berbeda yang terhimpun dalam satu grup. 

Akan tetapi grup ini sudah berjalan hampir enam tahun lamanya dan sekarang menjadi lebih matang serta mengerti satu sama lain. Masing-masing anggota memiliki peran tersendiri. Ada yang menjadi CEO palsu, ada pembaca berita tidak penting di pagi hari, ada tukang buli yang mungil, ada encek yang bijak, ada pula dokter yang baik dan masih banyak lagi. Kalau semua ini masih belum cukup unik, kita bahkan memiliki pria kontroversial yang sering memaksakan penggunaan emoji yang satu ini: 😂! Kemudian ada saya yang dijuluki kompor gas. 

Kompor gas.

Jadi apa yang dilakukan oleh kompor gas? Secara singkat, saya menggoreng isu dan mengadu-domba secara jenaka, haha. Ini bukan peran yang baik, tapi setiap grup perlu pemeran antagonis. Kalau tidak, pasti membosankan grupnya. Apa yang saya kerjakan membuat grup menjadi lebih hidup. Secara sepintas, saya sering terlihat menyebalkan, tapi saya membawa beraneka topik yang mengikutsertakan banyak orang sehingga mereka pun bisa berpartisipasi dalam percakapan. 

Sebagai penggemar berat Stephen Chow dan komedi, pada dasarnya saya memang iseng. Tidak sulit bagi saya untuk berkomentar apa saja yang bertolak belakang dengan apa yang disampaikan. Gaya khas saya yang berlogat Jakarta/Melayu biasanya seperti ini: "hari gini dak ada yang/semua orang blablabla," dimana blablabla adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu saya juga sering menggunakan kalimat, "mau tau yang lebih blablabla?" dan blablabla biasanya sesuatu yang hiperbola. Prinsipnya adalah menyampaikan sesuatu yang kontradiktif. Jika anda masih bingung, gambar berikut ini mungkin bisa memberikan penjelasan: 


Kenapa saya melakukan semua ini? Apa untungnya buat saya? Hidup ini penuh dengan hal yang bikin stres. Saya sudah serius sepanjang hari selama bekerja. Sebagai seorang ayah di rumah, saya juga perlu memusatkan perhatian untuk anak. Semua ini melelahkan. Oleh karena inilah saya melepaskan kepenatan ini dengan melakukan sesuatu yang saya sukai. Dan saya suka segala sesuatu yang konyol dan menggelitik karena hal-hal ini membuat saya gembira. Keberadaan grup ini menjadi sarana bagi saya untuk menjadi diri saya sendiri. 

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah peran saya sebagai antagonis jadi-jadian diterima dengan baik oleh teman-teman? Saya tidak bisa menyangkal bahwa ada beberapa yang tersinggung oleh saya, haha. Kendati begitu, di tahun lalu, ketika saya menghilang beberapa hari karena masalah besar di kantor, ternyata grup merasa kehilangan. Beberapa teman bahkan menghubungi saya secara pribadi untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang telah terjadi. Kesimpulannya, saya merasa tersentuh karena grup teman-teman SMA ini ternyata membutuhkan seorang yang menjengkelkan di tengah-tengah mereka...

Saturday, February 13, 2021

Book Review: A Long Way Home

I once said that India is probably the most fascinating country that I never visited thus far. The movies I saw and the books I read told me about the exotic cultures and great food that are equalled only by the harsh living conditions and poverty. They just don't add up and I can't help feeling that India is a place where one will need to be there in order to experience it properly. This is why I want to visit the country one day.

But despite the hardship, the story of India is also often a story of hope. A year ago, I read about a man who cycled from to Europe for love. This year, I had a chance to read this one. It started with a friend of mine telling me about a movie called Lion starring Dev Patel. The story was somewhat familiar, I think it was on the news years ago. I gave it a try and was blown away by it. The film was beautiful and it left me wanting more. That's when I browsed the library collection and found the book.

In essence, the book was divided into three parts. The first section was about Saroo's childhood in India. He was a poor boy from Ganesh Talai, an impoverished village in Madhya Pradesh. When he was five, he went to Burhanpur with his brother Guddu and he accidentally boarded a train that traveled to Kolkata. 

That was like more than one thousand kilometers away from his house and in India, it meant he ended up in a foreign land where people spoke a different language and nobody there had heard of Ginestlay. Needless to say, he became a homeless kid roaming the streets, eating whatever he could find and encountering near-death experiences. Lucky for him, he was eventually picked up by an adoption agency. 

Thus began the second chapter of his life. Saroo was adopted by the Brierleys and he moved to Hobart, Tasmania. His adoptive mother, played by Nicole Kidman in the movie, was an amazing person who chose to adopt less fortunate children when she could actually have her own kids. This selfless act saved his life. Saroo then grew up as an Australian, but at the back of his head, he never really forgot his family back in India. 

With the help of Google Earth, he started searching for his village. It was a gargantuan task. His vague childhood memories clearly didn't help as it never occurred to him that his hometown was very far from Kolkata. In fact, because he was illiterate, he got many names wrong, including his own. What he pronounced as Ginestlay and Berampur, were actually Ganesh Talai and Burhanpur. No wonder he never found them!

It took him three years and close to 10,000 hours to be on the right track. And even when he finally made it, 25 years had passed and he couldn't be sure that his mother was still there. But that's the thing with India. When all hope seemed lost, miracle happened and story ended with the closure Saroo was looking for. It was as happy as it could be, but not without a tragedy. 

The movie was good and it showed you a glimpse of India, but certain parts of the story were changed and/or omitted. If you'd like to hear from the man himself, pick up this book and read. It is an easy reading and most importantly, it will remind you that kindness and miracle still exist regardless how hard the life is...

The book and the film on Netflix.




Ulasan Buku: Perjalanan Panjang Ke Rumah

Dua tahun lalu saya pernah menulis bahwa India adalah negara paling menarik yang belum pernah saya kunjungi. Film-film yang saya tonton dan buku-buku yang saya baca mengisahkan tentang negeri dengan budaya yang eksotis dan makanan lezat. Negeri yang sama juga terkenal dengan kehidupannya yang keras dan kemiskinannya yang sulit dipercaya. Sungguh fakta yang bertolak belakang! Karena inilah India perlu dikunjungi. Negara ini perlu dialami sendiri dan tidak bisa sekedar diketahui dari film dan buku. 

Meskipun parah kesejahteraannya, India juga merupakan sebuah cerita tentang harapan. Setahun yang lalu, saya membaca tentang kisah seorang pria Indian yang bersepeda ke Eropa demi cinta. Tahun ini saya berkesempatan membaca buku ini. Awalnya ada teman yang bercerita tentang film Lion yang dibintangi oleh Dev Patel. Sepertinya saya pernah baca kisah ini di berita beberapa tahun silam. Saya lantas mencoba filmnya dan saya sungguh terkesan, sehingga saya pun mencari tahu lebih lanjut. Akhirnya saya temukan bukunya di perpustakaan

Secara singkat, buku ini bisa dikatakan terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah tentang masa kecil Saroo di India. Dia adalah bocah miskin di Ganesh Talai, sebuah perkampungan kumuh di negara bagian Madhya Pradesh. Sewaktu berumur lima tahun, dia pergi ke Burhanpur bersama abangnya Guddu. Di sana ia secara tidak sengaja menaiki kereta ke Kolkata. 

Kolkata itu kira-kira 1.500 kilometer jauhnya dari Ganesh Talai. Ketika ia turun dari kereta, dia tiba di negeri asing dimana orang-orangnya tidak lagi berbahasa Hindi. Tidak seorang pun yang tahu di mana sebenarnya Ginestlay. Alhasil, bocah miskin ini pun menjadi anak jalanan yang mengorek sampah untuk makan dan berkali-kali hampir mati karena berbagai kemalangan yang menimpanya. Nasib baik akhirnya membawa Saroo ke panti anak-anak yatim piatu. 

Dari sinilah babak kedua hidupnya bermula. Dia diadopsi oleh keluarga Brierley dan pindah ke Hobart, Tasmania. Ibu angkatnya yang diperankan oleh Nicole Kidman di film adalah seorang wanita luar biasa yang memilih untuk mengadopsi anak-anak yang malang nasibnya, padahal dia sebenarnya bisa saja melahirkan anak sendiri. Perbuatan baik ini akhirnya mengubah nasib sang bocah. Saroo tumbuh dewasa menjadi warga Australia, tapi di benaknya senantiasa terlintas kenangan tentang keluarganya di India. 

Dengan menggunakan Google Earth, Saroo mulai mencari kampungnya. Ini adalah sebuah misi yang boleh dikatakan mustahil, sebab India memiliki banyak kota yang hampir sama namanya. Ingatan masa kecilnya tidak banyak membantu dan malah menyesatkan, sebab tidak terpikir olehnya bahwa rumahnya sangat jauh dari Kolkata. Karena dia tidak sekolah di masa kanak-kanaknya di India, banyak nama yang dia salah sebut. Bahkan namanya sendiri pun keliru. Apa yang dia ucapkan sebagai Ginestlay dan Berampur sebenarnya Ganesh Talai dan Burhanpur. Pantas saja dia tidak pernah menemukan tempat asalnya.

Butuh tiga tahun dan hampir 10.000 jam lamanya bagi Saroo untuk menemukan jalan pulang. Ketika dia akhirnya berhasil, 25 tahun sudah berlalu dan dia tidak tahu pasti apakah ibunya masih tinggal di kampung yang sama. Tapi inilah uniknya India. Ketika harapan hampir pupus, keajaiban terjadi dan cerita ini berakhir nyaris seperti apa yang Saroo dambakan. Ada kegembiraan yang luar biasa, tapi tak luput pula dari tragedi yang tidak terduga. 

Filmnya bagus dan memberikan gambaran seperti apa kehidupan miskin di India, tapi ada pula bagian cerita yang diubah dan juga dihilangkan. Jika anda ingin mendengar cerita seutuhnya dari Saroo, maka buku ini adalah pilihan yang lebih tepat. Gampang dibaca ceritanya, tapi yang lebih penting lagi adalah hikmahnya. Buku ini akan mengingatkan anda kembali bahwa sesulit apa pun hidup ini, masih ada kebaikan dan keajaiban bagi mereka yang membutuhkannya... 

Monday, February 8, 2021

The Colleagues

At which stage do colleagues become friends? In my opinion, it's when you start meeting them outside the office regularly to do something else such as coffee break, lunch or dinner, drinks and even travel together. This happens in life sometimes.

With Phil, Keenan, Franky and Steven.

Now, there's no doubt that I'm very close with my high school friends. But even though I enjoy chatting with them, we don't hang out together everyday. On daily basis, I interact with a few ex-colleagues from Ong instead. 

I came to realize this when I was with these colleagues-cum-friends at The Coffee Bean earlier this year. As we sat down and chuckled while listening to the phrase best digital bank in the world for the fourth time in two hours, it dawned on me that I'd known these guys for more than a decade. We wouldn't stay in contact for so long if we were just colleagues. Only friends do that.

With Franky and Hendra, when we were in Ong.

I remember the time when we actually worked together. I don't think we were that close. I mean, I knew Hendra and Afuk from Jakarta office and of course there was some sense of camaraderie if you were a fellow Indonesian. It was all the more true with Franky, since he was at the same Singapore office. Bernard was my boss, my mentor and, in a country where things were new and foreign to me, he was like an older brother I never had. Isaac was always friendly and he was the first colleague from Ong that I ever travelled with. I didn't really know Keenan then as we seldom crossed path. As for Steven, he was the dealing head of Insti Desk and he didn't smile, so I actually found him scary, haha. Then there was the slow-talking Jerold that joined IT team later on. 

I remember the outings we had back in the days, be it BBQ or even trips to Batam. The events were fun but no, they didn't bring us together. All this happened only after Ong and I think it was the courtesy of Franky. Prior to that, Bernard, Isaac, Jerold and I had this regular meetup dubbed Gratitude. Minus Jerold, we even had a trip to Kuching with Keenan. But it was Franky who brought us together. 

The last Gratitude with Jerold and Isaac. 
Photo by Isaac. 

It all started with that trip to Yogyakarta. It was fun, so fun that the next trip was planned. But the funnier part is, despite the togetherness, all of us actually never hang out together. Whether it was the visit to Jogja, the short getaway to Batam, Hendra's wedding in Bali, the Malang/Bromo trip or the Bon Jovi concert in Jakarta, there was always more than one member missing, haha. In fact, the only time Jerold ever traveled with any of us was, perhaps, that trip to Surabaya and Madura.

From top left, clockwise: With Keenan and Bernard in Kuching. Isaac took the photo.
With Hendra, Keenan, Steven, Franky and Bernard in Yogyakarta.
With Franky, Bernard, Steven and Phil in Batam.
With Jerold in Madura.
Attending Bon Jovi concert with Franky, Hendra and Steven.
That trip to Malang and Bromo that I didn't join. Afuk was there, though.


Only God knows why it turned out to be like that. Oh yeah, talk about God, there's this guy named Phil and nicknamed God. He is the only one that was not from Ong. I first knew him in 2011. Originally a friend of Bernard, he's the one that popularized the word envy in a funny way.  He fitted in right away. With him around, we get to use phrases like God is down there, God's blessing or God is omnipresent, haha.

The first envy comment. The year was 2012.

Looking back, the last 10 years had been great. I wasn't born here in Singapore, but I am lucky to have these people I can call friends. We can talk about life and about work. We can also have some fun eating, drinking and travelling together. That is, indeed, a God's blessing. No pun intended...

With Isaac, Phil, Bernard and Keenan.
Photo by Isaac.



Kolega Yang Menjadi Teman

Kapan kiranya rekan kerja berubah menjadi teman? Menurut pendapat saya, perubahan ini terjadi ketika anda mulai bertemu dengan mereka di luar kantor secara rutin untuk aktivitas seperti menikmati makan siang dan kopi, makan malam dan minum, serta berlibur bersama. Kebersamaan yang mengubah rekan kerja menjadi teman ini terkadang terjadi di dalam kehidupan.

Bersama Phil, Keenan, Franky dan Steven di Starbucks.

Saya sendiri dikenal dekat dengan teman-teman SMA. Kendati saya senang berbincang dengan mereka lewat grup WhatsApp, kita tidak kumpul setiap hari. Dari Senin sampai Jumat, saya justru lebih sering berinteraksi dengan beberapa mantan rekan kerja dari Ong, tempat saya bekerja dulu.

Saya menyadari kebersamaan ini tatkala saya berada di Coffee Bean di awal tahun ini. Selagi kita duduk dan mendengarkan kalimat bank digital terbaik di dunia untuk keempat kalinya dalam dua jam terakhir, saya lantas teringat bahwa saya sudah mengenal orang-orang di sekitar saya ini lebih dari 10 tahun lamanya. Kita tidak akan rutin bertemu kalau hanya sekedar kolega. Hanya teman yang melakukan hal seperti ini. 

Bersama Franky dan Hendra, sewaktu kita bekerja di Ong.

Saya terkenang dengan saat kita bekerja di kantor yang sama. Sejauh saya bisa mengingat, kita tidak seakrab ini. Saya kenal Hendra dan Afuk dari kantor Jakarta, dan sebagai sesama orang Indonesia, tentunya ada rasa solidaritas tersendiri. Hal serupa terasa lebih nyata lagi dengan Franky yang juga bekerja di kantor pusat di Singapura. Bernard adalah bos sekaligus mentor bagi saya yang saat itu baru setahun di Singapura. Isaac adalah seorang yang ramah dan juga orang pertama dari Ong yang berlibur bersama saya. Saat di Ong, saya hanya sekedar kenal dengan Keenan. Akan halnya Steven, dia adalah pimpinan dealer bagian Institusi yang jarang tersenyum, jadi terlihat agak menakutkan, haha. Kemudian Jerold pun bergabung menjadi rekan satu tim saya di IT. 

Saya ingat beberapa acara sewaktu bekerja di Ong, mulai dari BBQ sampai liburan ke Batam. Ya, acaranya memang seru, tapi kita tidak dekat saat itu. Setelah Ong, barulah keakraban ini terjalin dan semua ini adalah berkat Franky. Sebelumnya, Bernard, Isaac, Jerold dan saya seringkali menyelenggarakan acara makan malam bersama yang kita namakan Gratitude. Selain itu, kita bertiga (tanpa Jerold) pun berlibur ke Kuching bersama Keenan. Adalah Franky yang membuat kita berbaur menjadi satu grup yang lebih besar. 

Gratitude terakhir bersama Jerold dan Isaac. 
Foto oleh Isaac. 

Semuanya dimulai dari liburan ke Yogyakarta. Liburan itu menyenangkan, begitu serunya sampai kita pun merencanakan liburan berikutnya. Namun yang lebih lucu sebenarnya adalah, meski kita tergabung dalam satu grup, tidak pernah sekali pun semua anggotanya berkumpul bersama. Baik wisata ke Jogja, akhir pekan di Batam, pernikahan Hendra di Bali, liburan ke Malang dan Bromo, maupun konser Bon Jovi di Jakarta, selalu saja adalah dua atau tiga orang yang tidak ikut, haha. Sesekalinya Jerold pernah berlibur bersama kita adalah sewaktu saya dan dia ke Surabaya dan Madura

Dari atas kiri, searah jarum jam: Bersama Keenan dan Bernard di Kuching. Isaac yang memotret.
Bersama Hendra, Keenan, Steven, Franky dan Bernard di Yogyakarta.
Bersama Franky, Bernard, Steven and Phil di Batam.
Bersama Jerold di Madura.
Menonton konser Bon Jovi bersama Franky, Hendra dan Steven.
Liburan ke Malang dan Bromo yang tidak saya ikuti. Afuk ada di foto.

Hanya Tuhan yang tahu kenapa seperti itu. Oh ya, bicara tentang Tuhan, ada satu dari kita yang bernama Phil dan dijuluki God. Dia adalah satu-satunya yang tidak berasal dari Ong. Awalnya dia adalah teman Bernard. Saya pertama kali bertemu dengannya di tahun 2011. Dialah yang mempopulerkan kata envy dengan nuansa komedi sehingga tidak terkesan negatif. Karena kehadirannya, kita jadi bisa menggunakan kalimat bercabang yang konyol seperti God is down thereGod's blessing atau God is omnipresent, haha.

Komentar envy pertama di tahun 2012.

Kalau saya lihat kembali, 10 tahun terakhir sangatlah menyenangkan berkat kehadiran mereka. Saya tidak lahir di Singapura, tapi saya beruntung memiliki orang-orang yang bisa saya panggil dengan sebutan teman ini. Kita bisa berbicara tentang hidup dan pekerjaan. Kita bisa pula makan, minum dan jalan-jalan bersama. Jujur saya katakan tanpa maksud iseng, sungguh ini adalah God's blessing...

Bersama Isaac, Phil, Bernard dan Keenan.
Foto oleh Isaac.