Total Pageviews

Translate

Showing posts with label General. Show all posts
Showing posts with label General. Show all posts

Saturday, April 8, 2023

The Details

I told you about my creative process a while ago. Turning ideas into something tangible is what I do. It's fun. So addictive. But one thing I didn't tell you previously, the defining factor that was equally exciting, is the fact-checking process.

Oh yes, I'm really proud of the roadblog101's accuracy. My memory is pretty good that it enables me to tell story the way it happened. More often than not, I remember the events vividly. But names of places sometimes eluded me, especially when they sounded so foreign. This is when the fact-checking began.

At the sake bar I was looking for. 

The recent Japan trip series reminded me again how I normally did this. In this particular story, I was searching high and low for the name of the sake bar I went with Eday. As the place was an integral part of the story, I'd like to include it. But even enlarging Asakusa region on Google Maps didn't help! I still couldn't find it.

Then I remember that I paid the bill using my debit card. I searched for the payment record and I found a long, odd name in one word. As I couldn't read Japanese, I didn't even realize that the name was actually truncated. But it was sufficient for me to use it as a keyword. The moment I googled it, the name appeared: Sake no Daimasu Kaminarimon. It worked!

Timeline on Google Maps.

Another trick I learnt from writing the Japan series is how to make use of Timeline on Google Maps. Now, I'm not sure how many of you are aware of this, but Google is tracking our movement. I could actually open Google Maps and click the Timeline menu to see where I had been from morning till evening, let's say, two weeks ago. It'd show me the whole day route I took. By using this, I could ensure that similar events didn't get mixed up. 

Then of course there is my all-time favorite: Swarm. I've told you this before on a separate story, but let's summarize it here. This app is extremely useful in searching for the places I had been. I can use the keyword I roughly remember, I can search based on the city and I can even zoom into the map to find the location.

A Swarm check-in.

Lastly, and this perhaps works only for me, I actually used the Hard Rock t-shirt as a marker in my mind. For example, the Fukuoka t-shirt reminds me of the visit to Madura, the Paris t-shirt was memorable because I wore it during the trip to Karawang and so forth. Most, if not all t-shirts, were closely associated to a certain event in my life.

So there you go. This is how I got the details right. But why bother? Well, the answer is, because it's the right thing to do. It doesn't matter if the readers check the facts or not. But on a personal level, it is fun. Quite often it is one head-scratching moment, I'll admit, but when you figure it out, it is like, "eureka!"

And I enjoy that feeling.

Visiting Madura.





Detil Cerita

Saya sudah bercerita tentang proses kreatif saya dalam menulis beberapa waktu lalu. Mengubah ide menjadi sesuatu yang bisa dibaca adalah sesuatu yang saya lakukan. Seru dan bikin ketagihan pula. Namun satu hal yang tidak saya jabarkan sebelumnya, yang tidak kalah serunya juga, adalah proses memeriksa kembali fakta cerita. 

Oh ya, saya sangat bangga dengan keakuratan roadblog101. Daya ingat saya tergolong bagus sehingga memungkinkan saya untuk bercerita sesuai dengan kejadian. Saya bisa mengingat rangkaian peristiwa dengan baik. Yang kadang agak menyulitkan itu adalah nama tempatnya, terutama yang berbau asing. Di kala seperti inilah proses pengecekan fakta dimulai.  

Di sake bar yang saya cari-cari.

Liburan ke Jepang baru-baru ini mengingatkan saya kembali, bagaimana saya mengerjakan proses ini. Di salah satu episode, saya mencari nama bar sake yang saya kunjungi bersama Eday. Karena tempat ini adalah bagian integral dari cerita, saya ingin memasukkan namanya. Akan tetapi saya tidak bisa menemukannya, meski sudah saya perbesar kawasan Asakusa di Google Maps. 

Kemudian saya teringat bahwa saya membayar tagihan tersebut dengan kartu debit. Saya cari data pembayarannya dan menemukan sebuah kata yang panjang dan mirip bahasa Jepang. Karena saya tidak mengerti bahasa Jepang, saya bahkan tidak tahu bahwa namanya terpotong. Kendati begitu, apa yang saya temukan ini cukup untuk dijadikan sebagai kata kunci. Begitu saya cari, namanya pun muncul: Sake no Daimasu Kaminarimon!

Timeline di Google Maps.

Trik lain yang saya pelajari dari kisah Jepang ini adalah cara menggunakan Timeline di Google Maps. Saya tidak tahu apakah anda pernah menyadari bahwa Google sebenarnya memantau pergerakan kita setiap hari. Dengan demikian, saya bisa membuka open Google Maps Dan memilih menu Timeline untuk melihat di mana saja saya seharian berjalan, misalnya dua minggu silam. Dengan demikian saya tidak akan keliru dalam bercerita bilamana ada dua peristiwa yang nyaris serupa terjadi dua hari berturut-turut. 

Kemudian ada pula favorit saya dalam memastikan nama tempat: Swarm. Sudah pernah saya ceritakan apa sebenarnya Swarm ini, tapi mari kita rangkum lagi. Applikasi ini sangat berguna untuk mencari tempat yang sudah dikunjungi. Saya tinggal gunakan kata kunci yang saya ingat, saya bisa cari berdasarkan nama kota dan bisa pula saya lacak berdasarkan peta lokasi.

Swarm.

Terakhir, dan yang satu ini mungkin hanya bisa diterapkan oleh saya sendiri, adalah kaos Hard Rock yang identik dengan tempat-tempat tertentu. Misalnya kaos Fukuoka selalu mengingatkan saya pada Madura, kaos Paris berkaitan dengan kunjungan ke Karawang dan sebagainya. Hampir semua kaos ada kenangan tersendiri.

Jadi demikian caranya bagaimana saya bisa mendapatkan detil yang akurat. Kalau pertanyaannya adalah, apa perlu sampai segitunya? Jawabannya adalah karena ini adalah hal benar untuk dilakukan. Tidak masalah apakah pembaca mengecek ulang nama tempatnya atau tidak. Namun di sisi yang lebih personal, semua ini asyik untuk dikerjakan. Ya, seringkali sampai bikin garuk kepala, apa nama tempatnya ini, tapi begitu ditemukan, rasanya seperti, "eureka!"

Dan saya suka perasaan itu.

Di Madura.


Sunday, February 12, 2023

After Two Times

And I thought I wouldn't do it anymore! It was mentally draining the first time I went through it! But I did it and much to my surprise, I finished it faster than before. I took about six months to read the book. The second time wasn't that tough, though. Finished reading it within a month.

Confused? Let's put things in perspective. About a year ago, a friend of mine came up with the phrase at least twice. This happened after the heated discussion in our group chat. To paraphrase what he said, after reading about 600 books, he was still of the opinion that this was the best, life-changing book ever. But it wasn't easy to read, for it was so controversial. And instead of explaining what the book was all about, he brushed us off by saying we must read it ourselves, at least twice.

I took up the challenge and to a certain extent, he was right about the content of the book. It was hard to read. If you asked me, it felt like reading a badly written multiverse story mixed with the wisdom of ancient Chinese and Buddhism. It was just a bunch of things that I either wasn't interested in, didn't believe or failed to understand. Hence it was quite a torture to continue reading it. 

So why did I pick it up again? It was simply driven by the desire to fulfill what I set out to do the time I took up the challenge: to read it twice. I did promise that and I felt obliged to keep my words, even though I felt like giving up after reading it the time. I also wanted to know if it really made a difference if I read it twice. It also helped that, since I already knew what to expect from the book, it didn't feel overwhelming anymore. The first time I read it, there was this feeling that I couldn't believe I was reading such a mumbo jumbo. 

Anyway, back to whether there would be any differences if I read it twice or not, the answer is no. I didn't believe it the first time and this round, I subconsciously blocked the information that felt like utter nonsense. It just wasn't my cup of tea. Unless there was an epiphany, I doubted that things would be any difference if I read it for the third or fourth time.

However, I did learn two things from reading it twice. First of all, one might have missed some parts of the book that one read half-heartedly. You might have noticed it only if you re-read it again. The second thing was, what we were feeling at the time of reading. Our emotional state played a part here. This is when things suddenly felt relevant, as if they spoke to us directly at that particular moment. 

And this is exactly what the Beatles mean to me. I've listened to the songs not only twice, but many times for the past 27 years. I remember when I was sad and brokenhearted, Let It Be was my favourite. When I felt optimistic, I could relate with Here Comes the Sun. It is ever-changing, depends on the mood. So that's what reading does to us. It's not like the book is so magical that it provides an answer to our problem, but it's our mind that is deliberately finding something to cushion the emotion we are feeling. And this is especially true when we are feeling down.

So no, the controversial book is not doing any wonders. Even a bible is just an ordinary book if you don't believe in it. But the concept of experiencing things twice or more to better understand them is agreeable. But based on the test I just did, I have to add on that it'll only work well if you love it and believe in it. So, to quote the Beatles, all you need is love...

The clarity of it, after two times!




Setelah Dua Kali

Dan saya sempat mengira bahwa saya tidak akan mengulanginya lagi! Rasanya sungguh cape mental saat pertama kali saya membacanya. Namun saya coba lagi dan di luar dugaan, saya selesaikan lebih cepat dari sebelumnya. Sebelumnya saya butuh waktu enam bulan untuk menamatkan buku ini, tapi kali ini cuma kurang-lebih sebulan. 

Bingung? Saya ulangi lagi, kali ini lengkap dengan konteksnya. Kira-kira setahun yang lalu, teman saya memulai istilah minimal dua kali. Ini terjadi setelah diskusi sengit di grup SMA. Kalau saya jabarkan kembali apa yang terjadi, teman saya ini berpendapat bahwa setelah dia membaca sekitar 600 buku, yang satu ini masih merupakan buku terbaik yang bisa mengubah hidup seseorang. Akan tetapi, lanjutnya, buku ini tidak gampang dibaca karena sangat kontroversial. Dan bukannya menjelaskan apa sebenarnya isi buku ini, dia malah bungkam dan bersikeras bahwa kita harus baca sendiri bukunya, minimal dua kali.   

Saya terima tantangan tersebut dan ternyata dia tidak asal bicara tentang isi buku ini. Memang susah untuk dicerna. Menurut saya, rasanya seperti membaca cerita multiverse yang ditulis secara amatiran, lalu dikemas dengan budaya Cina kuno dan Budhisme. Buku ini merupakan perpaduan topik yang tidak menarik perhatian saya, yang juga tidak saya percayai dan sekaligus gagal paham. Ini alasannya kenapa buku ini sulit untuk dibaca.

Lantas kenapa saya baca lagi baru-baru ini? Saya terdorong untuk menyelesaikan apa yang saya mulai tahun lalu: baca dua kali. Singkat kata, walaupun saya sempat merasa tidak sanggup lagi saat saya selesai membaca untuk kali pertama, namun seiring dengan berlalunya waktu, saya jadi tergerak lagi untuk menepati aturan main tersebut. Lebih dari itu, saya juga ingin tahu, apa benar ada bedanya setelah membaca dua kali. Di kali kedua, tak ada lagi rasa sulit percaya bahwa ada yang sampai mengarang buku seperti ini. Pokoknya berbeda dengan kali pertama yang sungguh mengejutkan akal dan pikiran.  

Oh ya, kembali lagi ke rasa ingin tahu saya tentang apakah ada perbedaan setelah membaca dua kali, jawaban saya adalah tidak ada. Saya tidak percaya isi buku ini di kali pertama dan sekarang ini, saya tanpa sadar memblokir informasi yang terasa di luar nalar saya. Saya kini bisa berkesimpulan bahwa ini bukanlah buku yang tepat untuk saya. Tidak ada gunanya membaca berulang-kali. 

Kendati begitu, saya menyadari dua hal saat membaca dua kali. Yang pertama, kita mungkin tanpa sadar melewatkan beberapa bagian buku yang kita baca dengan setengah hati. Bagian ini mungkin baru kita perhatikan setelah kita baca ulang. Yang kedua adalah, apa yang kita rasakan saat sedang membaca. Emosi kita pada saat itu mempengaruhi kita dalam mencerna bacaan. Ini penjelasannya kenapa sesuatu tiba-tiba terasa relevan, seakan-akan kalimat tersebut berbicara langsung pada kita di saat itu juga.

Dan inilah alasannya kenapa the Beatles memiliki arti penting bagi saya. Saya tidak hanya dua kali mendengarkan lagu-lagu tersebut, namun berkali-kali dalam 27 tahun terakhir ini. Ketika saya sedih dan patah hati, saya merasa dihibur oleh lagu Let It Be. Ketika saya merasa optimis, saya merasa tergugah oleh Here Comes the Sun. Semua ini ada momen tersendiri, tergantung perasaan saya pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi saat kita membaca. Bukan bukunya yang tiba-tiba menyediakan jawaban untuk masalah yang kita hadapi, tapi pikiran kita yang mencari solusi untuk meringankan beban emosi yang sedang kita rasakan. 

Jadi buku kontroversial ini tidaklah sakti. Bahkan kitab suci pun hanya merupakan buku biasa kalau anda tidak percaya. Akan tetapi konsep mengalami sesuatu minimal dua kali supaya kita lebih mengerti, ini benar adanya. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya ini, saya bisa tambahkan bahwa konsep ini hanya akan berhasil untuk hal-hal yang kita sukai dan percaya. Jadi, kalau boleh saya mengutip the Beatles, all you need is love...


Sunday, December 11, 2022

The Love-Hate Relationship

I once wrote about the bathroom singer. That's pretty much how I would rate myself as a singer. Never brilliant, but could do well enough to carry a tune. More than that, I loved performing. I liked the sensation of how I was carried away and moved by the music. But yet I always hated the countdown that preceded show. It was dreadful, like a slow walk to the hanging pole. 

The story this time started when Dinner and Dance was announced a while ago, probably back in August. I could roughly tell how my fate would be. It was kind of my thing, so when a department was expected to participate, I knew that it was just a matter of time before I was nominated involuntarily. I knew for sure that the inevitable would come and true enough, closer to the date, that exactly what happened.

I'd grumble and say things like, "it's hard to earn this month's salary," but yet the artistic side of me would rise to the challenge. Observational comedy was what I did best (been doing that since I started writing my second short story back in 1996), long before I knew it was a real thing popularized by Jerry Seinfeld. So I wrote the scenario based on our day-to-day activities and the culture in office. The moral of the story was, if we wanted to make a change, we had to start with ourselves, hence the lyrics from Man in the Mirror were relevant. And since misery loves company, I dragged some colleagues to join the play, haha.

Back with the mic stand on stage!

I went to India for a short break and then came back for the rehearsal twice a week. Each session would last half an hour or 45 minutes. The first one was table read, something that I learnt after watching many comedy series. The actors would read their lines and once they were comfortable with it, I recorded the dialogues. By doing so, they just had to mime and act. There wasn't a need to memorize the lines anymore.

The rehearsal was actually quite fun. Lots of giggling. The craziest thing was, up till the time we tried out the whole thing on stage, we still had members that failed to attend the final rehearsal. The most stressful part had to be those trying times when I coached a fellow colleague to sing. I don't think I did a good job, which was why I resorted to a lousy mixing of pre-recorded vocals for my colleague instead, trying my best to make it less disastrous, haha.

Then came the moment when we took the stage. I remember saying repeatedly to my colleagues that I was 34 the last time I did this. I never expected to do this again in my 40s, when I was so much older than before. I had this mixed feeling. Partially excited but mostly numb after being nervous for too long that I just wanted to get it over and done with.

The playful banter after the show.

Thus began what was dubbed as the longest six minutes of our lives. The skit didn't go pretty well. I was told later on that nobody could actually hear the dialogues and therefore they didn't know what it was all about. But it felt right the moment I stepped onto the stage. I knew this feeling from long ago, so familiar, slowly coming back to me. I sang the first few lines as I looked around, still very much aware of my surroundings. I remember putting the mic on the stand. But then I heard the beats of the drums. The whole thing became so electrifying that I just had to follow the rhythms. 

Some people asked if my act was rehearsed. It wasn't. The performance was spontaneous. When you were a fan spending countless hours imitating your idol in front of the mirror back in your younger days, all this would just come naturally when the music played. You just knew it by heart. And that's what I did.

I couldn't say if I did great. As always, I couldn't even bring myself to watch the video recording again. But I could tell you this much: it was a journey, not necessary to my liking, but by the end of the day, I am glad that we did it. It's just funny how things you disliked could also be rewarding at the same. Apparently there was such a thing called love-hate relationship in life. Strange indeed!

With the whole team.




Antara Suka Dan Benci

Suatu ketika saya pernah menulis tentang penyanyi di kamar mandi. Seperti itulah penilaian saya tentang kapasitas saya sebagai penyanyi. Tidak hebat, tapi tidak sumbang dalam bernyanyi. Lebih dari itu, saya suka aksi panggung ketika tampil di pentas. Ada semacam sensasi yang selalu membuat saya terbuai dan tergerak oleh musik. Masalahnya adalah masa penantian sebelum hari-H. Rasanya tegang dan bikin mual, seperti tengah berjalan pelan menuju ke tiang gantungan. 

Cerita kali ini dimulai ketika acara Dinner and Dance diumumkan beberapa waktu lalu, kalau tidak salah di bulan Agustus. Kira-kira saya sudah bisa menerka nasib saya. Seni pertunjukan adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan saya, jadi kalau departemen saya harus berpartisipasi, maka hanya masalah waktu saja sebelum saya ditunjuk untuk menciptakan sesuatu. Saya tahu hari itu akan tiba dan benar saja, ketika acara kian mendekat, apa yang saya khawatirkan pun terjadi. 

Saya pun menggerutu dan bergumam, "gaji bulan ini sungguh susah untuk diperoleh," namun sisi artistik saya sesungguhnya tertantang untuk melakukan sesuatu. Komedi berdasarkan pengamatan adalah sesuatu yang sudah saya lakukan dari sejak saya mulai menulis, jauh sebelum saya tahu bahwa ini ada sesuatu yang dipopulerkan oleh Jerry Seinfeld. Jadi saya pun menulis skenario berdasarkan kehidupan dan budaya di kantor. Moral dari cerita adalah, jika kita ingin membuat perubahan, maka kita harus mulai dari diri sendiri. Oleh karena itulah lirik lagu Man in the Mirror terngiang-ngiang di benak saya. Dan karena penderitaan selalu membutuhkan teman, maka saya libatkan kolega lain untuk turut serta, haha.

Kembali ke panggung lagi setelah delapan tahun!

Saya ke India dalam rangka liburan singkat dan mulai serius menggelar latihan dua minggu sekali setelah saya kembali ke kantor. Setiap sesi berlangsung selama setengah jam atau 45 menit. Yang pertama kita lakukan adalah membaca naskah bersama, suatu proses yang saya pelajari setelah menyaksikan banyak serial komedi. Para pemeran ini membaca dialog mereka dan saya rekam setelah nadanya terdengar seperti percakapan biasa. Dengan demikian mereka cukup berkomat-kamit dan beradegan sesuai dialog. Tak perlu lagi untuk menghafalkan dialog masing-masing.

Latihan ini sebenarnya cukup seru juga. Banyak tawa dan canda. Yang paling sulit untuk dipercaya adalah, sampai saat-saat terakhir mencoba pentas pun masih ada peserta yang tidak hadir. Namun hal yang paling memusingkan adalah melatih kolega untuk bernyanyi. Dari apa yang saya dengar, saya jadi merasa tidak becus jadi pelatih. Akhirnya saya putuskan untuk merekam suaranya dengan vokal asli dari lagu supaya hasilnya tidak terlalu hancur, haha. 

Kemudian tibalah waktunya bagi kita untuk naik ke panggung. Saya ingat saat berguyon degan kolega bahwa terakhir kali saya melakukan pertunjukan serupa adalah delapan tahun silam, saat saya berusia 34 tahun. Tidak terbayang bahwa saya akan kembali lagi ke panggung di usia 40an. Kegelisahan yang berkepanjangan membuat saya kini mati rasa. Pokoknya saya hanya ingin jalani pertunjukan ini secepat mungkin dan segera kembali ke meja makan. 

Obrolan santai setelah pertunjukan.

Kemudian mulailah apa yang saya dan rekan-rekan kerja sebut sebagai enam menit terpanjang dalam hidup kita. Drama yang saya tulis tidak menuai tawa seperti yang saya harapkan. Belakangan ini baru saya ketahui kalau penonton kesulitan mendengar dialognya sehingga mereka tidak paham apa ceritanya. 

Akan tetapi positif rasanya ketika saya melangkah ke panggung. Saya tahu perasaan yang tidak asing ini, seperti sesuatu yang saya kenal dari masa lalu. Ketika saya menyanyikan beberapa baris pertama, saya masih memandang penonton dengan sedikit tegang. Saya tahu bahwa saya akan baik-baik saja saat saya letakkan mikrofon di penyangganya. Lantas saya dengar ketukan drum di lagu. Segala sesuatu mendadak terasa begitu menggetarkan sehingga saya pun bergerak mengikuti lagu. 

Beberapa orang bertanya apakah saya berlatih untuk aksi panggung saya. Jawabannya adalah tidak. Semua itu terjadi secara spontan. Bila anda adalah seorang penggemar Michael Jackson yang di masa mudanya menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin untuk meniru gerakan idola anda, maka anda bisa bergerak tanpa sadar begitu terbawa oleh irama lagu. Itulah yang saya lakukan. 

Bersama para peserta satu tim.

Saya tidak bisa berkomentar apakah penampilan saya memukau. Terus-terang saya bahkan tidak pernah menonton kembali rekaman videonya, sebab konyol rasanya. Tapi saya dengan jujur katakan hal berikut ini: apa yang saya lalui ini adalah sebuah perjalanan yang tidak begitu saya sukai, namun pada akhirnya saya senang semua ini terjadi. Lucu rasanya ada hal yang begitu kontradiktif. Tidak disukai, namun di saat yang sama juga memuaskan. Ternyata ada yang namanya hal di antara rasa suka dan benci... 

Saturday, December 3, 2022

Writing 101

One great thing about ghostwriting is I end up reading what others have in mind. From time to time, what I read might get me thinking. When I did it recently, I came across this interesting topic about ideas and the process that molded them. This then led to a short discussion about how I had subconsciously applied the same concept on my writing style. 

Prior to this, I never thought of it that way, too. Inspired by all the greats that came before me, I'd romanticized the process by saying things like I was only a medium that picked up ideas and translated into something real. I always loved how vague the description sounded. It was like a pure nonsense that was artistically sugarcoated, haha. 

A friend of mine encouraged me to dig deeper. After some soul-searching, apparently there was indeed a distinct pattern that I always followed. But because I had been writing for the longest time, everything felt natural and seamless that the pattern wasn't immediately recognizable. 

The process often started with me toying with an idea, thinking how great it would be for me to pour it into writing. But regardless how excited I was, it was rare for me to act on it immediately. I'd wait instead to see if I still could remember them few days later. The habit was influenced by the Beatles: they only wrote songs they could remember and the result was great.

If an idea passed the test, it was quite a high chance that it'd be written. The more I entertained the idea, the better it got. It became a story I could roughly envision. Perhaps the idea matured as time went by. Perhaps I was just simply convinced that since it outgrew the initial excitement, it must be an idea worth telling. 

Thus began the writing process, best done on a BlackBerry and I had been doing it since 2017. My favorite part was the opening. We were taught at school to start with the classic line once upon a time, but I learnt eventually we had so much more freedom than that. You just had to tell it the way you liked it.

I'd normally take my own sweet time to have the satisfaction of telling the origin of the story, which was often a series of events linked together. And it was actually good to be in my 40s. I had lived long enough that some stories could start way back from 20 years ago or more! It was an amazing experience to look back only to realize that it finally happened.

Now, during the opening, I normally left behind a faint trace of unanswered question. Then I would proceed with the content. This was the part where I actually told the story. It didn't have to be long. It just had to be right. I'd have plenty of ideas to begin with, but by the time I finished writing, only the relevant points would make it to the final cut. Experience probably played a part here. You just instinctively knew what mattered for the story. Certain things that were fancy but immaterial would be filtered out automatically.

Then came the closure where you tied up loose ends. You got to conclude what the content had delivered so far. This was the part where it answered the original question I left dangling on the top, explaining how it was resolved by the content and what this was all about. 

Now that you had come so far, did you see how the pattern worked here? No? Okay. If you observed paragraphs 1, 2 and 3, that's my opening. You see how I playfully told the story before getting into the content? Then I subtly inserted the one thing in question: the distinct pattern that I discovered. What happened next was the content that ran all the way until the one before this paragraph. And here, the last bit of it, is where I had my closure by explaining how writing 101 according to Anthony really worked and this finally ended the story. Get it? Splendid!

Once upon a time...



Cara Menulis

Satu hal yang bagus dari profesi penulis bayangan adalah proses membaca apa yang ada di benak orang lain. Dari waktu ke waktu, apa yang saya baca lantas membuat saya berpikir. Baru-baru ini, ketika saya menulis berdasarkan sudut pandangan orang lain, saya menemukan topik tentang ide dan proses yang membentuk ide tersebut. Berkaitan dengan hal ini, saya berdiskusi dengan teman bahwa saya pun tanpa sadar menerapkan hal yang sama saat menulis.  

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir serius tentang hal ini. Terinspirasi oleh para penulis handal sebelum saya, saya suka mendramatisir prosesnya dengan menjelaskan bahwa saya hanyalah medium yang dilintasi oleh inspirasi, yang kemudian saya tuangkan menjadi tulisan. Saya suka deskripsinya yang puitis tapi tidak jelas dan terasa seperti omong-kosong yang disamarkan secara artistik, haha. 

Seorang teman berpendapat bahwa mungkin saya hendaknya mengamati lebih lanjut lagi. Setelah introspeksi, saya temukan bahwa ternyata memang ada semacam pola yang selalu saya ikuti. Namun karena saya sudah menulis dari sejak lama, proses ini bergulir secara otomatis dan tidak lagi terasa. 

Tulisan saya sering berawal dari ide yang terngiang-ngiang di benak saya dan ingin rasanya saya tulis. Meski saya merasa terpacu oleh ide baru ini, saya jarang mengeksekusinya secara langsung. Saya justru cenderung menunggu beberapa waktu untuk melihat lagi, apakah saya masih bisa mengingat ide ini. Pengaruh ini berasal dari the Beatles: mereka hanya menulis lagu yang bisa mereka ingat dan hasilnya pun bagus. 

Bila ide tersebut berhasil melewati tes ini, maka kemungkinan besar akan saya tulis. Semakin saya pikirkan, semakin mantap pula idenya dan perlahan-lahan berubah menjadi satu cerita yang bisa saya bayangkan dari awal hingga akhir. Mungkin ini dikarenakan idenya menjadi semakin matang. Bisa juga karena saya merasa yakin bahwa jika ide ini sukses melewati kegembiraan sesaat yang saya rasakan saat mendapatkan inspirasi, maka ini adalah ide yang layak untuk diceritakan. 

Selanjut mulailah proses menulis yang paling nyaman untuk dikerjakan di BlackBerry, satu hal yang membuat saya ketagihan sejak tahun 2017. Bagian favorit saya dalam menulis adalah bagian pembukaan. Kita dulu diajarkan di sekolah untuk memulai cerita dengan pada suatu ketika, namun saya temukan bahwa ada kebebasan dalam menulis. Anda hanya perlu bercerita sesuai dengan cara yang anda sukai. 

Saya memiliki kebiasaan untuk bercerita panjang-lebar dalam mengulas asal mula cerita yang seringkali merupakan rangkaian dari berbagai peristiwa. Dan ada bagusnya pula telah berumur dan mencapai usia 40an. Kini saya sudah hidup cukup lama sehingga beberapa cerita bahkan bisa berawal dari kejadian sejak 20 tahun silam atau lebih! Adalah suatu pengalaman yang menakjubkan saat saya melihat kembali bahwa hal dari masa lalu akhirnya terwujud. 

Nah, di bagian pembukaan ini, saya sering menyisipkan satu pertanyaan yang belum terjawab, lalu saya mulai masuk ke bagian cerita sesungguhnya. Ini adalah cerita berdasarkan topik yang saya pikirkan. Tidak harus panjang, yang penting harus pas. Pada awalnya saya mungkin memiliki banyak hal yang ingin saya bahas, tapi setelah selesai, hanya bagian yang relevan yang akhirnya tertuang ke dalam cerita. Pengalaman mungkin ada pengaruhnya di sini. Secara naluriah saya tahu apa yang penting bagi cerita. Hal-hal kecil yang menarik tapi bukan merupakan bagian integral akan tersisih dengan sendirinya dari cerita. 

Kemudian tibalah bagian akhir di mana saya menuntaskan bagian-bagian yang masih belum terjawab. Cerita yang sudah membawa pembaca sampai sejauh ini perlu diakhiri dengan kesimpulan. Caranya adalah dengan menjawab pertanyaan yang saya samarkan dari sejak awal. Bagian penutup ini menjabarkan bagaimana semua ini diselesaikan oleh cerita barusan. 

Sampai sejauh ini, apakah anda temukan pola yang saya pakai? Tidak? Baiklah, saya jelaskan. Jika anda amati paragraf 1, 2 dan 3, itu adalah bagian pembukaan. Anda lihat bagaimana saya dengan santai berkisah sebelum memasuki inti cerita? Saya juga diam-diam menyelipkan satu pertanyaan, yakni pola yang hendak saya ceritakan.  Kita lantas memasuki isi cerita yang terus berlanjut hingga paragraf di atas. Di bagian terakhir ini, saya menutup cerita dengan menjelaskan bagaimana cara menulis menurut Anthony adalah satu pola dan cerita pun tamat. Mengerti sekarang? Bagus! 


Sunday, October 16, 2022

Larry And Jerry

I told you five years ago that I was from the Friends generation. It was the show that I grew up with. I remember discussing the story with Ardian and with Rusli later on when I moved to Jakarta. I still re-watched the sitcom many times since then, from the time when I was staying with my housemates till Netflix days. 

But being a fan of sitcom (oh yes, I also loved How I Met Your Mother, That '70s Show, The Big Bang Theory and Modern Family that came after Friends), of course I've heard of Seinfeld. It was widely regarded as one of the greatest and most influential sitcoms of all time. When it became available on Netflix, I naturally tried it out. 

To be frank, I was hesitant at first. I mean, this series started in 1989, five years before Friends. The show got to be so dated and, after watching it, I wasn't wrong about that. What surprised me was the jokes. It was still very fresh, even by today's standard, that it made me laugh hysterically. Season 1 wasn't that great, though. In fact, it had only five episodes. It got better from season 2 onwards. The moment all the characters, especially Kramer, were fully established, that's when the fun really began.  

By the way, unlike Friends, there were only four of them: Jerry Seinfeld (arguably the one with the weakest acting skill, haha), Elaine Benes (not the Rachel-kind of pretty, but much funnier), George Costanza (easily the best from the start) and Cosmo Kramer (my favorite). The supporting roles, most notably Newman (Jerry's nemesis) and Frank Costanza (George's father) were equally hilarious. Guest stars were brilliant, too. Love Marisa Tomei, Teri Hatcher and Courteney Cox (oh yes, Monica from Friends acted in one episode, too). 

The most surprising discovery was, perhaps, the origin of many jokes I'd seen in the subsequent series that came after Seinfeld, including Friends. It turned out that many were recycled from Seinfeld. The moment I saw them, I recognized them immediately and I was amazed to see that it was said and done by Seinfeld first. That's how genius Larry David and Jerry Seinfeld were. They created a show that became the template for the future. 

My love for Seinfeld brought me to Curb Your Enthusiasm. The show featured Larry living his life years after Seinfeld and in season 7, he actually did a Seinfeld reunion within the show. It was a unique concept that I gotta watch and I did exactly that. It was great to see the main cast of Seinfeld again after the controversial finale that ended the original series, but most importantly, that's how I got to know Curb and Larry. 

It was often said that the character of George Costanza was based on Larry (and funny that he tried and failed to play George in Curb Your Enthusiasm, haha). But apart from cameos and voiceovers, Larry's role was limited to mainly behind the scenes. Through Curb, I discovered the humor of Larry David as he acted as a fictional version of himself. It was unusual and a bit dark, as in annoyingly funny, which explained why the last two seasons of Seinfeld felt different after his departure. 

I started Curb Your Enthusiasm because of Seinfeld and in the beginning, I watched only episodes featuring Seinfeld characters. But the show grew on me, so I started from season 1 recently. It was great, though I had to say that it was kind of weird to see David Schwimmer in Curb during the same time Friends ended. He looked exactly like Ross, but he was David here in another show called Curb, haha. 

Anyway, why am I telling you all this? You see, it was like how I discovered the Beatles. It was a gem we didn't know it existed. People our age normally stick with stuff we grow up with. We rarely go back further in time, but that means we would miss out the great stuff that were Larry and Jerry. The accidental discovery I had was a good news I'd like to share. In the world where people are fascinated by horrible things such as Dahmer, I'd like to assure you that there are better shows to watch out there...

Seinfeld and Curb Your Enthusiasm.



Larry Dan Jerry

Lima tahun silam, saya pernah bercerita bahwa saya berasal dari generasi Friends. Ini adalah sitcom paling terkenal di masa remaja saya. Saya ingat saat-saat bertukar cerita dengan Ardian tentang episode terbaru Friends dan juga dengan Rusli ketika saya pindah ke Jakarta. Semenjak itu, saya masih menonton sitcom tersebut berulang-kali, mulai dari sejak di Eunos bersama teman-teman serumah sampai ketika Friends ditayangkan di Netflix. 

Sebagai penggemar sitcom (oh ya, saya juga menyukai How I Met Your Mother, That '70s Show, The Big Bang Theory dan Modern Family yang muncul setelah Friends), tentunya saya pernah mendengar tentang Seinfeld. Saya tahu reputasinya sebagai sitcom paling sukses dan berpengaruh sepanjang masa. Ketika serial ini muncul di Netflix, saya pun akhirnya coba menonton. 

Jujur saya katakan bahwa awalnya saya ragu. Maksud saya, serial ini pertama kali dirilis tahun 1989, lima tahun sebelum Friends. Dengan demikian, sudah pasti terlihat ketinggalan zaman. Setelah saya tonton, saya tidak keliru tentang hal ini, namun yang mengejutkan saya adalah leluconnya. Serial ini tetap terasa lucu di tahun 2022. Saya bahkan sampai terpingkal-pingkal dan tertawa lepas. Season 1 yang hanya terdiri dari lima episode boleh dikatakan masih tidak begitu bagus, namun semuanya kian mantap di season berikutnya. Ketika potensi semua karakternya terealisasi, terutama Kramer, kejenakaan Seinfeld pun tidak terbendung lagi.

Berbeda halnya dengan Friends, Seinfeld hanya memiliki empat tokoh utama: Jerry Seinfeld (yang boleh dikatakan paling buruk aktingnya karena dasarnya dia adalah komedian dan bukan aktor, haha), Elaine Benes (yang tidak secantik Rachel tapi jelas lebih lucu), George Costanza (yang paling konyol dan diperankan dengan baik oleh Jason Alexander) dan Cosmo Kramer (favorit saya). Para pemeran pendukung, terutama Newman (musuh bebuyutan Jerry) dan Frank Costanza (ayah George) juga luar biasa kocaknya. Bintang tamunya pun bagus, misalnya Marisa Tomei, Teri Hatcher dan Courteney Cox (ya, Monica dari Friends juga tampil di satu episode). 

Akan tetapi yang paling mencengangkan adalah asal-mula lelucon dari berbagai sitcom yang muncul setelah Seinfeld, termasuk juga Friends. Ternyata banyak lelucon yang diambil dan didaur ulang dari Seinfeld. Begitu saya tonton, saya langsung ingat dengan adegan serupa di sitcom lainnya. Siapa sangka Seinfeld yang lebih dulu mencetuskan semua itu. Larry David dan Jerry Seinfeld memang jenius. Mereka menciptakan sesuatu yang kemudian menjadi standar bagi serial-serial yang bermunculan setelah Seinfeld. 

Kesukaan saya akan Seinfeld lantas memperkenalkan saya pada Curb Your Enthusiasm. Serial ini bercerita tentang kehidupan Larry bertahun-tahun setelah Seinfeld sukses. Dan di season 7, dia menulis episode reuni Seinfeld di serial Curb. Konsep ini sungguh unik dan akhirnya saya tonton. Senang rasanya bisa melihat para pemeran Seinfeld lagi setelah episode terakhir Seinfeld yang kontroversial. Dari sinilah saya tahu tentang Curb dan Larry. 

Saya sering dengar bahwa karakter George Costanza ditulis berdasarkan Larry David (dan konyol rasanya melihat Larry mencoba berperan sebagai George dan gagal di Curb Your Enthusiasm, haha). Di Seinfeld, Larry hanya muncul sesekali secara sekilas dan perannya lebih cenderung di balik layar karena dia adalah penulis cerita. Lewat Curb, saya pertama kalinya melihat sisi humoris Larry saat dia berperan sebagai versi fiktif dari dirinya. Humor Larry tidak lazim dan agak kelam sehingga karakternya lucu karena cenderung menyebalkan. Saya lantas jadi mengerti kenapa nuansa di dua season terakhir Seinfeld terasa agak berbeda setelah Larry berhenti dari serial ini. 

Saya mulai menjajal Curb Your Enthusiasm karena Seinfeld dan pada awalnya, saya hanya menonton episode yang menampilkan karakter Seinfeld. Lambat-laun saya jadi suka dan saya akhirnya mulai lagi dari season pertama baru-baru ini. Ceritanya kocak, walau agak aneh juga rasanya melihat David Schwimmer di Curb di saat bersamaan dengan tamatnya Friends. Dia terlihat persis seperti Ross, tapi David menjadi dirinya sendiri di serial lain bernama Curb, haha. 

Jadi kenapa sebenarnya saya bercerita panjang lebar tentang Seinfeld dan Curb Your Enthusiasm? Ini karena rasanya seperti saat saya menemukan the Beatles. Orang-orang seusia kita biasanya hanya tahu hal-hal yang populer saat kita remaja. Kita jarang melihat kembali lebih jauh lagi dan ini berarti kita tidak tahu tentang hal-hal menakjubkan seperti Larry David dan Jerry Seinfeld. Penemuan secara tidak sengaja inilah yang ingin saya bagikan. Di dunia di mana orang cenderung terhipnotis oleh kisah-kisah negatif seperti Dahmer, saya ingin meyakinkan anda bahwa masih ada tontonan lain yang lebih layak... 

Sunday, October 9, 2022

The Translator

The thing with knowing a foreign language or two is, you may end up doing a bit of translation here and there, especially if you have lived as long as four decades. My Mandarin was sufficient only to order some food while my French was barely enough to let me introduce myself, at least for now. But both my English and Bahasa Indonesia (it's kinda hard to tell which one is my primary language these days) were not bad at all that I did quite a fair bit of translation regularly for the past six years.

Yes, I did it first and foremost on Roadblog101, hence it was bilingual for those posts that were written by me. I think I was once questioned whether I used Google Translate to convert it to Bahasa. The answer is no. I always write in English, which is a much more versatile language and fun to write in, then I translate it into Bahasa. While it might not be immediately obvious to many, they were two different things. The first one was a creative process by putting thoughts into words. The latter one was almost like re-writing what I read so that the message was conveyed properly in Bahasa. It was an art by itself. Google Translate was all right, but it still couldn't imitate someone's style of writing.

Apart from that, I also helped translating the sermon slides recently. I couldn't help noticing that it wasn't as easy as it looked. The choice of words or phrases could be so peculiar at times that there was no way to translate them directly. More often than not, they got me thinking, why were they written like that? What did the writer actually want to say? I wouldn't say translating other people's work was enjoyable, but it was still doable. Just like when I did the ghostwriting. It was a chore, not a hobby.

The worst of them all was the live translation, apparently. It was quite an experience that I went through recently, so much so that it inspired me to look back and wrote this. I'm never good in verbal communication to begin with and I stutter from time to time. That, plus being a first timer doing a live translation for a fast-talking preacher, was one helluva rollercoaster! 

I remember thinking that it'd be computer-like, processing English and churning out Bahasa in real time. But of course the reality would be less than ideal. A human brain simply couldn't catch up! The moment I was stuck with a word, I'd be three or four sentences behind. That was also made worse by the habit of subconsciously trying to be a regular churchgoer. I'd sit back and try to relax only to realize that I was the translator. Needless to say, I felt like having butterflies in my stomach throughout the session, haha.

But the weirdest experience had to be the time when I was a translator for a foreigner who went through a divorce letter with his soon-to-be ex-wife's lawyer. It was horrible. I sympathized the guy who seemed to be on the losing side, but I had to be impartial and I answered truthfully only when I was asked. I couldn't give any advice or speak my mind. For a wage of SGD 50, the work was mentally exhausting!

Looking back, good to know that translating from English to Bahasa and vice versa was something that I could do. Perhaps I could put that in my resume, haha. But the process was often not something that I enjoyed. It was just done out of necessity or curiosity. In the meantime, I reckon I'd just stick with the IT job...




Penerjemah

Bilamana anda menguasai satu atau dua bahasa asing, anda mungkin pernah menerjemahkan sesuatu, terlebih lagi bila anda sudah hidup lebih dari 40 tahun. Mandarin saya pas-pasan, hanya cukup untuk memesan makanan, sedangkan bahasa Perancis saya untuk saat ini hanya sampai pada tahap memperkenalkan diri. Akan tetapi Inggris dan bahasa Indonesia saya cukup mantap (dan agak susah dibedakan, mana yang sebenarnya merupakan bahasa utama saya sekarang ini) sehingga saya sering alih bahasa dari Inggris ke Indonesia dalam enam tahun terakhir ini. 

Ya, bila anda simak Roadblog101, anda akan melihat bahwa artikel saya ditulis dalam dua bahasa. Seingat saya, pernah ada yang bertanya apakah saya menggunakan Google Translate untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Jawabannya adalah tidak. Saya selalu menulis dalam bahasa Inggris yang terasa lebih luwes dan menyenangkan untuk digunakan, kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 

Mungkin banyak yang tidak tahu, tapi dua hal ini adalah proses yang berbeda. Ketika saya mulai menulis dalam bahasa Inggris, apa yang terjadi adalah sebuah proses kreatif yang menuangkan sebuah pemikiran menjadi rangkaian kata. Selanjutnya yang terjadi adalah semata-mata menulis kembali apa yang saya baca supaya intinya tersampaikan dengan baik dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan seni tersendiri. Google Translate memang berguna, tapi alat bantu ini tidak bisa meniru gaya tulisan seorang pengarang.

Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir ini saya juga membantu menerjemahkan presentasi khotbah gereja. Yang paling terasa adalah fakta bahwa proses ini tidak segampang apa yang saya duga sebelumnya. Ada kalanya kata atau frase dalam presentasi tidak bisa diterjemahkan secara langsung. Kalau sudah begitu, terkadang saya jadi bertanya, kenapa bagian ini ditulis seperti itu? Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya? Menerjemahkan karya orang lain adalah sesuatu yang tidak begitu saya nikmati, namun tetap bisa saya kerjakan. Sama halnya dengan menulis untuk orang lain. Rasanya seperti pekerjaan, bukan hobi.  

Dan pengalaman terburuk sejauh ini adalah menerjemahkan secara langsung ketika pembicara sedang berceramah. Baru-baru ini saya alami peristiwa ini, begitu berkesan sampai-sampai menjadi inspirasi cerita kali ini. Saya tidak pandai berbicara menjabarkan sesuatu dan kalau dipaksakan, kadang terbata-bata. Hal ini, ditambah lagi dengan pengalaman pertama menjadi penerjemah untuk seorang pembicara yang cepat penuturannya, rasanya seperti sedang menaiki wahana rollercoaster

Sebelum mulai, yang terpikir di benak saya adalah sebuah proses seperti komputer yang menerima input dalam bahasa Inggris dan langsung menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Tapi tentu saja kenyataannya tidak akan semulus itu. Kinerja otak manusia tidak bisa mencerna data yang datang bertubi-tubi. Begitu saya tersangkut di satu kata, tiga atau empat kalimat pun terlewatkan dalam sekejap. Selain itu, saya sering kali tanpa sadar mencoba menyimak sebagai pendengar. Begitu saya duduk santai, lantas saya sadari bahwa saya adalah penerjemahnya. Rasanya tegang dan bikin mual, haha.  

Namun pengalaman teraneh adalah saat menjadi penerjemah untuk orang asing dan menjelaskan padanya apa isi surat cerai yang disampaikan oleh pengacara dari pihak istrinya. Sungguh tidak mengenakkan. Saya bersimpati pada pria yang dituntut ini, tapi saya tidak boleh memihak dan hanya bisa menjawab apa adanya ketika ditanya. Saya tidak bisa memberikan nasehat atau berbicara menurut pendapat saya. Untuk upah sebesar SGD 50, pekerjaan ini sungguh membuat cape mental! 

Kalau saya lihat kembali, menarik untuk diketahui bahwa menerjemahkan sesuatu dalam Inggris ke bahasa Indonesia dan juga sebaliknya adalah sesuatu yang bisa saya kerjakan. Mungkin saya bisa masukkan ini dalam pengalaman kerja saya, haha. Kendati begitu, seringkali prosesnya tidak begitu saya nikmati. Saya cenderung melakukannya karena perlu atau karena ingin tahu. Untuk sementara ini, mungkin saya tetap berkutat di bidang IT dulu saja...

Wednesday, September 28, 2022

Cobra Kai

I watched the original Karate Kid for the first time on Netflix a few months ago. I have to say that despite the hype, it wasn't a very good movie. It felt dated and low budget. I also had this impression that the movie seemed to end abruptly. But as someone who grew up in the 80s, the movie was a cultural phenomenon even in a place as remote as Pontianak. Well, the crane kick was, at the very least. The stance, it was world-famous. 

Years after I moved out from Pontianak, I saw a glimpse of Jackie Chan's Karate Kid. It didn't impressed me either. The one that caught my attention was the bits and pieces in How I Met Your Mother, a sitcom series that I enjoyed very much. Barney Stinson loved the Karate Kid, but instead of the protagonist, he liked the blonde one that many would deem as the bad guy in the movie. The scenes, especially in an episode called the Bro Mitzvah, were hilarious. Legend has it that the spoof renewed the interest in the Karate Kid and eventually inspired the birth of Cobra Kai.

In a way, it probably did. The story of Cobra Kai, especially the first season, was uniquely told from the perspective of Johnny Lawrence, a former bully from the Karate Kid and now a loser in his 50s. As far as I'm concerned, I didn't know any other series that did this and that made it all the more interesting. It took its time to tell just the right amount of story in a 30-minute format per episode. Enough to make you care about the characters. 

Johnny wasn't that smart, especially lacking in IT knowledge and he was as stubborn as hell (and these qualities made him unintentionally funny at times). Yet you'd believe that he was on the road to redemption, thanks to the accidental situation he was put into. You'd want to find out more and couldn't help clicking the next episode button! It was just that addictive, it'd get you hooked!

Now, if Johnny was supposed to the good guy, what happened to Daniel LaRusso then? He was not necessary a bad guy here because the world could apparently use two good guys, but he was having a hard time to believe that his former enemy would redeem himself. He certainly had his doubts after seeing the sign of Cobra Kai! Here was a dojo that taught the students to strike first, strike hard and no mercy! And Daniel surely had the first-hand experience with that kind of teaching!

As if the bad blood between the two wasn't good enough, the series also introduced the future generation in the form of Miguel, Robby, Samantha and others. They were given chances to shine or, to quote Johnny, to be badass. The writers put much effort on fleshing out their stories that by the end of it, you just gotta root for them! 

But apart from expanding to the future, the series also managed to look back and blend in perfectly with its past. The creators did it nice and slow, giving us the blast from the past bit by bit, season by season. By bringing back many characters from the Karate Kid series such as John Kreese, Ali, Chozen, Kumiko, Terry Silver, Jessica Andrews, Mike Barnes and many more, it became a universe of its own. Forget DCU, MCU, MonsterVerse or multiverse! Miyagi-verse certainly kicked ass!

I never cared much about the Karate Kid series before, but Cobra Kai was so old school and loveable. They didn't try very hard to create fighting scenes like Ip Man, but it just worked for the show. It was also so rich with Easter eggs, poking fun on mistakes they did during the Karate Kids. They also weren't afraid to rely on the good things they did back then. They built those up and gave the audience the moments we didn't know we had been waiting for. Many, such as Ghostbusters or Star Wars, had tried to have some form of continuity with their past, present and future, but none worked as well as Cobra Kai.

Right after I finished season 5, I watched again from the beginning. It was one helluva brilliant show, and it only got better as it progressed. The rewatch felt like rediscovering why I fell in love with the series a few years ago. The final battle with Terry Silver could have been the ultimate ending for the series, but no, it seems like they still have one more season to go and end this once and for all. Cobra Kai never dies!

PS: can't believe I can't get Coors Banquet here in Singapore!

Badass.



Cobra Kai

Baru-baru ini saya menonton Karate Kid di Netflix untuk pertama kalinya. Harus saya katakan bahwa meski sering terdengar namanya, filmnya tidaklah begitu bagus. Kesannya seperti film usang dan rendah anggarannya. Adegan tamatnya pun terasa terburu-buru. Namun sebagai seseorang yang tumbuh besar di tahun 80an, film ini merupakan fenomena budaya, bahkan di tempat terpencil seperti Pontianak. Paling tidak kita tahu tendangan bangaunya. Posenya memang terkenal. 

Bertahun-tahun kemudian, saya sempat melihat sekilas versi Jackie Chan. Karate Kid baru ini pun tidak mengesankan. Yang menarik perhatian justru referensi Karate Kid di How I Met Your Mother, salah satu serial komedi favorit saya. Barney Stinson menyukai Karate Kid, tapi bukan tokoh utamanya, melainkan pemuda pIrang yang sebenarnya merupakan musuh bebuyutan jagoan di film. Cerita tentang Karate Kid, terutama di episode yang berjudul Bro Mitzvah, luar biasa kocak. Konon berawal dari sinilah daya tarik terhadap Karate Kid kembali membumbung dan akhirnya menjadi inspirasi lahirnya serial Cobra Kai.

Cerita Cobra Kai, terutama di season pertama, sangat unik karena diceritakan dari sudut pandang Johnny Lawrence, anak muda jahat dari Karate Kid yang kini menjadi seorang pecundang di usia 50an. Sejauh yang saya tahu, sepertinya tidak ada serial lain dengan alur cerita seperti ini dan oleh karenanya sangat menarik. Ceritanya dibangun dengan pas dan proposional dalam format 30 menit per episode. Cukup untuk membuat penonton menjadi peduli dengan tokoh-tokohnya. 

Johnny tidaklah terlalu pintar, terutama dalam masalah IT. Dia pun keras kepala. Kombinasi semua ini membuatnya lucu tanpa disengaja dalam berbagai adegan, namun juga membuat anda bersimpati dengannya, bahkan penasaran bagaiamana situasi dan kondisi yang dilewatinya akan membawanya kembali ke jalan yang benar. Saya jadi selalu ingin tahu kelanjutannya dan tanpa sadar kerap kali menekan menu next episode! Begitu serunya cerita, sampai-sampai yang nonton jadi ketagihan.

Nah, kalau Johnny menjadi orang baik sekarang, lantas bagaimana dengan Daniel LaRusso? Dia tetap baik seperti semula dan jauh lebih sukses hidupnya sekarang, tapi dia masih sulit untuk percaya bahwa musuhnya ini bisa bertobat. Dia jelas ragu, terlebih lagi setelah dia melihat logo Cobra Kai! Ini dojo yang mengajarkan murid-muridnya untuk menyerang dulu, serang yang keras dan tanpa ampun! Daniel tentu takkan lupa dengan pengalamannya akan doktrin ini! 

Apabila perseteruan antara dua orang ini masih belum cukup, serial ini juga menampilkan anak-anak muda seperti Miguel, Robby, Samantha dan yang lain. Setiap tokoh ini juga memiliki alur cerita tersendiri yang memberikan mereka kesempatan untuk tampil memukau atau, mengutip kata Johnny, menjadi badass. Penulis serial ini tidak setengah dalam hati dalam bercerita sehingga penonton pun jatuh hati dengan mereka! 

Selain ekspansi ke masa depan, Cobra Kai juga kembali ke kisah masa lalu dan memanfaatkannya dengan baik. Idenya cemerlang, perlahan tapi pasti memberikan kita sedikit demi sedikit tokoh dari Karate Kid, mulai dari John Kreese, Ali, Chozen, Kumiko, Terry Silver, Jessica Andrews, Mike Barnes dan masih banyak lagi. Di era perfilman di mana kita mengenal DCU, MCU, MonsterVerse atau multiverse, Miyagi-verse memiliki tempat tersendiri di hati penonton.

Saya tidak pernah peduli dengan serial Karate Kid sebelum ini, tapi Cobra Kai menampilkan tahun 80an dalam kemasan modern sehingga begitu mempesona. Serial ini tidak menampilkan adegan pertarungan sebagus Ip Man, tapi apa adanya dan pas di cerita. Selain itu, ceritanya pun kaya dengan referensi masa lalu. Para penulisnya juga menggali kembali berbagai elemen cerita lama, membangun cerita baru dan memberikan hasil akhir yang tanpa sadar penonton nantikan. Banyak yang telah mencoba teknik ini, misalnya Ghostbusters atau Star Wars, tapi tidak ada yang sesukses Cobra Kai.

Setelah saya menyelesaikan season 5, saya langsung tonton ulang lagi dari awal. Memang bagus kisahnya, dan kian bagus ketika cerita berkembang dan bergulir. Menonton ulang serial ini membuat saya menemukan kembali, kenapa saya suka cerita ini beberapa tahun silam. Sempat saya kira bahwa pertarungan terakhir dengan Terry Silver adalah akhir dari Cobra Kai, tapi tampaknya mereka masih memiliki satu season lagi sebelum benar-benar usai! Cobra Kai takkan mati! 

PS: sulit dipercaya bahwa saya tidak bisa mendapatkan Coors Banquet di Singapura!

Sunday, September 25, 2022

Fight Back To School

Looking back, I believe I did know to a certain extent that Asterix was originally a comic written in French. However, the language was so rarely spoken in Pontianak that the only exposure I had up till the 90s was comment allez-vous. It was a joke in Stephen Chow's God of Gamblers III: Back to Shanghai. 

The next exposure of French language would come from my friend Parno. During the presentation of his final paper in English, Parno replied to the lecturer with a confidence only he would have, "I don't know the answer in English, but I know how to phrase it in French." His reply was so hilarious and stunning at the same time. The fellow students burst into laughter while the lecturer was caught by surprise and didn't exactly know how to react to this unexpected response. 

J'adore! Paris, 2016.

Since that moment onward, only Parno would speak French from time to time. When we wrote a rap song called Everyday I Go To School, he threw in je ne sais pas in a tone that sounded humorous. Then of course there was this favorite word of his: j'adore. It was so memorable and closely associated to him that I actually stopped and took the picture when I saw the word on a Dior advertisement in Paris.

It was only when I moved to Singapore that I heard of French more frequently than before. I couldn't help noticing that there were a lot of French people in the trading industry. They were literally everywhere. I remember telling my friend Keenan during our lunch at Bonchon Chicken that perhaps we should pick up French, too. 

Talking about French lessons over a Korean meal.

That was in 2019 and I was toying with the idea of learning French from that moment on. COVID-19 came not long after that and went away earlier this year, but the idea lingered. A few months ago, when I met a French of Lao origin, I mentioned that I had always wanted to learn French. The name Alliance Française popped up, I checked it out and I enrolled myself. And I was a student again for the first time in forever. I took the Mandarin class when I was living in Jakarta and almost 20 years had passed since then.

Studying language in 2022 turned out to be a very different experience than what I had gone through before. The lesson was conducted via Zoom. The whiteboard, audio and video were well-supported by today's technology. It was a far cry from those days at Longman, an English course I had back in Pontianak, when listening to an English conversation from a cassette tape was a luxury that came once in a blue moon. Also gone were the days of flipping a thick dictionary. Not only we could easily google the meaning, we could also listen to the pronunciation of the word. On top of that, you could find free French lessons on Spotify, too.

Heading to Alliance Française.

Another interesting fact was how the perspective and experience of an adult helped me in learning a new language. As a kid below six, I recalled that picking up new languages was a very natural and effortless thing to do (I spoke Hakka, Teochew and Bahasa Indonesia pretty fluently). Throughout my teenage years, English was a struggle until the Beatles came along. But now, as an adult, I was surprised to discover that the approach was somehow quite methodical.

I reckon it got to do with the experience I went through in life. In my case, I did a lot of troubleshooting in IT, so I'd often observe and register the patterns of the French language. For example, I noticed that it tended to skip the pronunciation of the last letter of a word. If we used chinois and chinoise as references (the former was masculine whereas the latter was the feminine form of the word Chinese), you'd hear the letter s when pronouncing chinoise. Little things such as this did help me in learning French.

The podcast on Spotify.

But of course as a language, French could be pretty intimidating. While most of the alphabets had the same pronunciation as Bahasa, there was no way I could figure out how to pronounce words such as quatre or cinq at a first glance. The was also no way to tell the masculine or feminine form of a noun, except by memorizing it. Those challenges aside, it had been quite fun, though. Unlike English, French seemed to be more relax in term of the structure of the sentences. You could just put a question mark at the end of what would have been a positive sentence in English and you'd be doing just fine.

So what had I learned so far? 
Bonjour. Comment allez-vous? Je m'appelle Anthony. Et vous? Je suis Singapourien et j'ai 42 ans. Je suis née en Indonésie. J'habite à Singapour. J'aime le cinéma, la musique et la lecture. Je parle indonésien, anglais, chinois et français. Au revoir, à bientôt.



Kembali Ke Sekolah

Jikalau dilihat kembali, saya tahu bahwa komik Asterix itu aslinya ditulis dalam bahasa Perancis. Kendati begitu, bahasa ini sangat jarang terdengar di Pontianak sehingga yang saya ingat dari sejak kecil sampai tahun 90an hanyalah comment allez-vous. Ini adalah lelucon dalam film Stephen Chow yang berjudul God of Gamblers III: Back to Shanghai. 

Wawasan tentang bahasa Perancis selanjutnya datang dari teman saya Parno. Di saat makalah bahasa Inggrisnya diuji, Parno menjawab pertanyaan dari dosennya dengan rasa percaya diri yang hanya dimiliki oleh Parno seorang: "saya tidak bisa ungkapkan dalam bahasa Inggris, tapi bisa saya jabarkan dalam bahasa Perancis." Jawabannya begitu konyol dan mencengangkan. Para mahasiswa tertawa geli dan dosen pun terkejut, tidak tahu bagaimana harus menanggapi respon tak terduga ini. 

J'adore! Paris, 2016.

Sejak saat itu, hanya Parno yang terkadang bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Ketika saya dan Parno menulis lagu rap berjudul Everyday I Go To School, dia bergumam, "je ne sais pas," dengan intonasi yang datar dan lucu. Kemudian ada lagi kata favoritnya: j'adore. Begitu berkesan dan identik dengannya, sampai-sampai saya berhenti dan memotret iklan Dior ini di Paris

Tatkala saya pindah ke Singapura, bahasa Perancis pun mulai sering terdengar. Di dunia jual-beli saham tempat saya bekerja, ada banyak orang Perancis. Mereka ada di mana-mana, sampai suatu ketika saya akhirnya berkomentar pada teman saya Keenan saat kita sedang makan Bonchon Chicken di Boat Quay bahwa mungkin ada baiknya kita mulai belajar bahasa Perancis juga. 

Berbincang tentang kursus bahasa Perancis sambil menyantap makanan Korea.

Ide tersebut melintas di benak saya di tahun 2019. COVID-19 datang melanda tak lama setelah itu dan perlahan-lahan lenyap sejak awal tahun ini, tapi minat saya untuk belajar tetap ada. Beberapa bulan silam, saya kebetulan bertemu dengan seorang Perancis yang merupakan keturunan Laos. Saya katakan padanya bahwa saya ingin belajar, lalu direkomendasikan olehnya untuk mencoba di Alliance Française. Segera saya daftar dan akhirnya saya kembali ke bangku sekolah. Terakhir saya ambil kursus Mandarin itu saat saya tinggal di Jakarta dan hampir 20 tahun telah berlalu semenjak itu.

Belajar bahasa di tahun 2022 adalah satu pengalaman yang sungguh berbeda dengan apa yang saya lalui sebelumnya. Kelasnya diselenggarakan lewat Zoom. Papan tulis, audio dan video pun sangat didukung oleh teknologi masa kini. Jauh berbeda dengan masa di Longman, sebuah tempat kursus di Pontianak. Saat itu, mendengarkan percakapan bahasa Inggris lewat kaset adalah sebuah peristiwa langka. Kebutuhan untuk membolak-balik kamus pun hilang sudah. Sekarang ini saya cukup mencari terjemahannya di Google. Saya bahkan bisa dengarkan cara pengucapannya! Selain itu, pelajaran gratis juga bisa dengan gampang dicari di Spotify sekarang.

Menuju ke Alliance Française di kawasan Newton.

Satu hal menarik yang juga saya rasakan sekarang adalah betapa sudut pandang dan pengalaman orang dewasa sangat membantu dalam belajar bahasa. Sebagai anak kecil yang berumur kurang dari enam tahun, belajar bahasa tidaklah merupakan masalah. Saya bisa berbicara Hakka, Teochew dan Bahasa Indonesia dengan lancar. Di usia remaja, bahasa Inggris terasa susah sampai saya bertemu dengan the Beatles. Sekarang, sebagai orang dewasa, saya terkejut saat menyadari bahwa cara belajar saya menjadi lebih metodik. 

Saya yakin ini ada hubungannya dengan pengalaman yang saya dapatkan dalam hidup. Dalam hal ini, saya sering memecahkan masalah IT di kantor, jadi saya cenderung mengamati pola bahasa Perancis yang saya pelajari. Sebagai contoh, bahasa ini cenderung mengabaikan bunyi huruf terakhir dalam suatu kata. Jika kita gunakan chinois dan chinoise sebagai referensi (yang pertama adalah versi maskulin sedangkan yang kedua adalah bentuk feminim dari kata Cina), anda akan mendengar huruf s saat mengucapkan chinoise. Hal-hal kecil seperti ini cukup membantu saat saya belajar bahasa Perancis.  

Podcast di Spotify.

Namun tentu saja sebagai bahasa, Perancis tergolong sulit. Meski hampir semua abjadnya memiliki lafal yang sama dengan bahasa Indonesia, saya tidak akan tahu cara baca quatre or cinq dalam pandangan pertama. Bahasa Perancis juga tidak ada struktur untuk membedakan apakah kata benda ini adalah maskulin atau feminim. Ini hanya bisa dihafalkan. Walau ada tantangan seperti yang disebutkan di atas, bahasa Perancis juga bisa dikatakan lebih santai dalam hal struktur kalimat. Anda cukup letakkan tanda tanya di ujung kalimat yang sebenarnya merupakan kalimat positif dalam bahasa Inggris dan jadilah kalimat tanya. 

Jadi apa yang sudah saya pelajari sampai sejauh ini? 
Bonjour. Comment allez-vous? Je m'appelle Anthony. Et vous? Je suis Singapourien et j'ai 42 ans. Je suis née en Indonésie. J'habite à Singapour. J'aime le cinéma, la musique et la lecture. Je parle indonésien, anglais, chinois et français. Au revoir, à bientôt.