Total Pageviews

Translate

Showing posts with label General. Show all posts
Showing posts with label General. Show all posts

Sunday, February 23, 2025

Ocipala

When I had a chat with my friend Eday last Saturday morning, he said something interesting: I am quick in response when it comes to ocipala stuff. I was tickled by that term he used. Not only because that was a right description from someone who knows his friend well, but the term he used was also hilariously funny. 

Out of curiosity, I checked it out using AI. Neither Perplexity, Deepseek, ChatGPT, Gemini nor Meta AI could really pinpoint the answer when I asked the following question: in Chinese dialects, either Hakka or Teochew, there is a word that sounds like ocipala and it can roughly be translated as nonsense. what is the actual word in Mandarin?

One thing that they got it right was the fact that it wasn't a word, but an idiom. We used it so often in Pontianak that all this while, I thought it was only one word. Then I investigated further by adding a parameter: the idiom that sounded like ocipala was only used by Hakka and Teochew people from Pontianak.

That's when the AI unanimously agreed that it could be the corrupted version of 胡说八道 that is spoken in Teochew by the Chinese in Pontianak:

胡说 (hú shuō) → could shift to something like "ocip".

八道 (bā dào) → could transform into "ala" or "bala".

Our Teochew is indeed so diluted and heavily influenced by local cultures like Malay that the way we pronounce certain words could have been localized after so many generations!

But back to the ocipala comment, what's that all about? Well, let me emphasize again, I'm not a very bright guy to begin with. On top of that, if I didn't love it, I would almost have zero interest in it. As a result, I'm not exactly known as a think tank or one you would come for financial advices.

Jimmy and friends, posing in front of the flower board or what's left of it.

However, I like small things that matter. I love creating memories because that's the only thing we left behind. And I revel in things that are both creative and nonsensical. Whenever it's possible, I enjoy making them happen. Case in point, the Japan trip. Or maybe something that is more down to earth, such as the flower boards for Jimmy, haha.

So you see, I don't know much about making money apart from the work I do. But then again, while a lot of things need money, not everything in life is about money. That's the part of life I enjoy the most, one that I apparently am quite good at it, hence the sentence made by Eday: quick in ocipala stuff!



Ocipala

Ketika saya berbincang lewat WhatsApp Sabtu lalu dengan teman saya Eday, dia mengatakan sesuatu yang menarik: respon saya sangat sigap kalau berkaitan dengan sesuatu yang ocipala. Saya tergelitik dengan pernyataannya. Bukan saja karena ini adalah deskripsi yang tepat dari seseorang yang mengenal baik temannya, tapi juga karena istilah konyol yang ia pakai. 

Karena penasaran dengan asal-usul ocipala, saya lantas cari tahu lebih lanjut menggunakan AI. Namun Perplexity, Deepseek, ChatGPT, Gemini dan Meta AI pun tak tahu pasti ketika saya melontarkan pertanyaan ini: dalam dialek Tionghoa, entah itu Khek or Tiociu, ada kata yang bunyinya terdengar seperti ocipala dan bisa diterjemahkan sebagai konyol atau omong kosong. Apa kata aslinya dalam Mandarin?

Satu hal yang AI bisa jawab adalah, sepertinya ini bukan satu kata, tapi idiom. Begitu seringnya istilah ini dipakai di Pontianak dari sejak saya masih kecil, sampai-sampai saya memiliki kesan bahwa ocipala itu adalah satu kata. Berdasarkan ide dari AI, saya tambahkan kriteria berikut ini: jadi idiom apa yang dipakai oleh orang Khek dan Tiociu Pontianak dan terdengar seperti ocipala

Semua AI sepakat bahwa ocipala ini adalah versi korup dari 胡说八道 yang dilafalkan dalam Tiociu oleh orang Tionghoa Pontianak:

胡说 (hú shuō) → berubah menjadi sesuatu yang terdengar seperti "ocip".

八道 (bā dào) → diucapkan seperti "ala" atau "bala".

Kalau dipikirkan lagi, Bahasa Tiociu kita ini memang sudah berevolusi menjauhi versi aslinya dan juga dipengaruhi oleh budaya lokal seperti Bahasa Melayu, sehingga pengucapannya pun berubah setelah melewati banyak generasi. 

Kembali ke komentar ocipala, apa sebenarnya yang signifikan? Hmm, saya ini bukan orang pintar. Selain itu, jikalau saya tidak menyukai sesuatu, saya biasanya tidak berminat untuk tahu. Alhasil, saya bukanlah tipe pemikir atau orang yang anda cari untuk nasehat finansial. 

Jimmy dan teman-teman berpose di papan bekas papan bunga.

Akan tetapi saya suka hal-hal kecil yang penting. Saya suka kenangan dan kebersamaan karena itulah satu-satunya hal yang kita tinggalkan. Dan saya menikmati hal-hal yang kreatif dan konyol. Bilamana memungkinkan, saya suka mewujudkannya. Contohnya trip ke Jepang. Atau mungkin sesuatu yang lebih sederhana, misalnya papan bunga untuk Jimmy yang ngambek, haha. 

Jadi saya tidak tahu banyak tentang cara menghasilkan uang, kecuali dari pekerjaan yang saya kerjakan di kantor. Namun meski banyak hal yang membutuhkan uang, tidak semua hal dalam hidup ini adalah tentang uang. Ini adalah bagian hidup yang saya sukai dan saya ternyata cukup berprestasi dalam bidang ini, seperti yang terlihat dari kalimat dari Eday: gesit dalam aneka hal ocipala


Thursday, December 26, 2024

Tetralingo

This story began in July 2024, when I was waiting for my muifan. When I was browsing the news on my phone, I suddenly saw the ad of Duocards (the wooly mammoth was eye-catching). As I always had an interest in language learning, it piqued my curiosity. I checked with my friends on the group chat to see if anyone had tried learning language via app. Turned out that Surianto had already been using Duolingo, so I tested it out, too.

Duolingo felt natural whereas Duocards required much effort to understand what it was all about. I quickly dropped the latter and continued with Duolingo. As I worked at a Chinese company, it was a common sense to pick up Chinese. I also resumed studying French. Always love the language as it sounded sexy. 

The two accounts.

Because I started Duolingo on iPad using my Apple ID, I realized that I wouldn't be able to use it on my Google Pixel. This is how I ended up with two accounts. As I proceeded with my second account, I chose another two languages, this time Dutch and Russian. In total, I learnt four languages concurrently.

But how does learning four languages at one go feel like? The answer is, surprisingly, pretty seamless. First of all, thanks to the learning streaks, we see the words everyday. So often that they gradually grew on you. I was also amazed to discover how the brain could actually adjust to what I was learning. For example, doing one Chinese lesson and then switching to French immediately after that was actually not a problem.

Acing Chinese.

What could be challenging was the human nature to embrace the new language with what we already knew. In this case, my benchmark was English. I'd say something like, "I eat at the French restaurant," but in French, it became, "je mange au restaurant français." So français came after the word restaurant. The grammar could be confusing at times. 

As I picked up four languages at once, I noticed that the lessons created for each language could be quite different. French language has the most advanced features such as stories and games catered for listening and speaking skills. It even had a bit of pointers for grammar. But the other three, especially Dutch, had almost none, so you had to figure it out yourself.

About the languages, I am familiar with Chinese and I am able to read pinyin, so it is more of a refresher course for daily practice and also for knowledge expansion. 

French is my real love and it is fun learning it. Some parts, like how to differentiate le and la, have no proper explanation and you just have to memorize them. 

The word rekening is also used in Bahasa Indonesia.

Dutch is more for a historical reason, since Bahasa Indonesia took a lot of words from the Dutch language. As a matter of fact, the way we read the words is quite similar with Bahasa. But as I progress, I find that the grammar was very challenging! 

As for Russian, it was almost like encrypted alphabets. Every sentence was a riddle, but the structure somehow felt rudimentary. Instead of spelling them out word by word, the sentence could be very short instead. For instance, rather than saying, "Mark is a politician," you can say it like this in Russian: Марк — политик.

Now, after 149 days of learning, what's the result? Let's try out. Here goes nothing:

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

So there you go! My work in progress! Not sure how it is going to be, but it's surely fun while it lasts! 

2024 year in review.





Tetralingo

Cerita kali ini dimulai di bulan Juli 2024, sewaktu saya menanti muifan di That Coffee Place pada saat makan malam. Selagi melihat-lihat berita di telepon genggam saya, tiba-tiba tampak iklan Duocards (saya suka gajah purba yang menjadi logonya). Karena saya ada ketertarikan dengan belajar bahasa, saya jadi ingin mencari tahu lebih lanjut di grup SMA. Ternyata Surianto sudah mulai belajar menggunakan Duolingo, jadi saya pun ikut mencoba. 

Duolingo terasa lebih alami sementara Duocards memerlukan banyak upaya untuk memahami cara penggunaannya. Saya lantas berhenti menjajaki Duocards dan lanjut dengan Duolingo. Karena saya bekerja di perusahaan Cina, maka saya pun memilih pelajaran Mandarin. Selain itu saya juga meneruskan pelajaran Perancis. Saya suka bahasanya yang terdengar seksi.

Dua akun saya.

Karena saya memulai Duolingo di iPad menggunakan Apple ID, saya lantas menyadari bahwa saya tidak akan bisa lanjut berlatih dengan Google Pixel. Inilah sebabnya kenapa saya memiliki dua akun. Di akun kedua, saya memilih bahasa Belanda dan Rusia. Secara keseluruhan, saya belajar empat bahasa secara bersamaan. 

Namun bagaimana kesannya belajar empat bahasa sekaligus? Jawabannya, menurut saya, cukup lancar. Karena Duolingo memiliki fitur streaks yang membuat pengguna termotivasi untuk belajar setiap hari, lama-kelamaan kita jadi hafal dengan kata-kata yang sering diulang. Saya juga tertegun tatkala menyadari bagaimana otak kita ini bisa beradaptasi dengan baik sewaktu belajar. Sebagai contoh, saya bisa belajar satu pelajaran Mandarin dan pindah ke bahasa Perancis segera setelah itu. Tidak ada masalah. 

Nilai 100 untuk Mandarin.

Apa yang terasa menantang adalah bagaimana kebiasaan kita dalam menyikapi bahasa baru dengan apa yang sudah kita ketahui. Dalam hal ini, patokan saya adalah Bahasa Inggris. Sebagai perbandingan, saya mengucapkan, "I eat at the French restaurant," tapi dalam bahasa Perancis, kalimatnya berubah, "je mange au restaurant français." Jadi français berada di posisi setelah kata restaurant. Struktur kalimat yang berbeda ini bisa terasa membingungkan. 

Karena saya belajar empat bahasa, saya jadi bisa melihat bahwa pelajaran untuk setiap bahasa ini berbeda-beda. Bahasa Perancis paling beragam pelajarannya dan mencakup cerita dan game yang dirancang untuk melatih pendengaran dan pengucapan. Bahasa Perancis ini juga memiliki petunjuk untuk tata bahasa. Tiga bahasa lainnya boleh dikatakan tidak ada sehingga kita sendiri yang harus memperhatikan pola tata bahasa yang sedang dipelajari. 

Tentang bahasa yang saya pelajari, saya paling berpengalaman dengan Mandarin. Saya juga bisa membaca pinyin, jadi apa yang saya pelajari lebih cenderung untuk mengingat kembali dan juga menambah wawasan. 

Bahasa Perancis adalah bahasa yang saya sukai dan untuk dipelajari. Kendati begitu, beberapa bagian seperti mengidentifikasi penggunaan le dan la tidak memiliki penjelasan yang baik sehingga satu-satunya cara adalah harus dihafal. 

Kata rekening berasal dari Bahasa Belanda.

Bahasa Belanda saya ambil lebih condong karena sejarah Bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Cara bacanya pun mirip. Namun setelah dipelajari, tata bahasanya cukup memusingkan juga! 

Akan halnya bahasa Rusia, huruf-hurufnya seperti sandi. Setiap kalimatnya jadi terlihat seperti teka-teki, namun uniknya Bahasa Rusia ini adalah tata bahasanya yang primitif. Bukannya kata per kata seperti lumrahnya bahasa lain, Bahasa Rusia ini kadang terasa ringkas. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimatnya lengkap seperti ini, "Mark is a politician," namun dalam Bahasa Rusia, cukup begini: Марк — политик.

Nah, setelah belajar selama 149 hari, bagaimana hasilnya? Mari kita coba: 

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

Jadi demikianlah hasilnya. Saya tidak tahu akan seperti apa nantinya, tapi yang jelas nikmati saja selagi seru! 

Hasil di tahun 2024.

Sunday, August 11, 2024

My Favorite Hard Rock Moments

This story was originated from a photo of my Hard Rock t-shirts taken by my wife. Only God knows why she suddenly took the picture, but it was so amusing that I could never really forget about the image of the t-shirts lined up nicely on our bed. I somehow remembered it vividly, as if I had just seen the photo a few months ago, so imagine my surprise when I discovered that it was dated November 2022. 

Packing for the next trip!

Looking back, there was a good reason for all this, I suppose. The t-shirts were mementos of the places I had been. Oh yes, those with names, they were from the cities in Asia and Europe I visited before. Then of course there were the Hard Rock moments that happened when I wore certain t-shirts. As said in a blog post called the Details, I had peculiar ways of remembering things and the t-shirts were like memory markers. Good or bad, they were memorable stories. 

The divine intervention!

And it all started with the one I bought in Paris. The purchase was almost an afterthought. My wife and I had just returned to the city after our day trip to Versailles and I suddenly decided to grab me a Hard Rock Cafe t-shirt. It'd been with me for eight years now. It was also the one I wore when we visited the Shwedagon Pagoda in Yangon, but my favourite moment had to be one when I played my part in the divine intervention. Now that's one Hard Rock moment to remember!

In Madura, 2019.

There were a lot of t-shirts came into my possession since then, but at one glance, only some retained memories. The next one was from Fukuoka. My wife and I had just arrived in the city and the Cafe was just next to the station, so we bought one before heading to Tenjin area. It'll always remind me of my one and only visit to Madura with my friend Jimmy. It was surreal to be there, like having a lifelong question answered by just being there!

Relaxing in Vaduz, Liechtenstein.

In 2019, a year after Fukuoka, I was with my friend/colleague Keenan in Kuala Lumpur for Palm Oil Conference. The night after the conference, I crossed the street and got me the KL t-shirt. Many years later, it'd serve as a reminder of the time I visited Vaduz. My daughter snapped the picture of my wife and I sitting on a bench right before we departed Liechtenstein. 

In Isetwald with Yani. 

Some best Hard Rock moments were with my wife, all right. Another one I'd remember was the peaceful moment in Iseltwald. My wife and I were standing not very far from the spot made famous by Crash Landing on You. I wore the t-shirt I bought together with Surianto the night we landed in Manila. To me, it really captured the essence of Switzerland: serene and beautiful. There was a certain calmness that you just wouldn't find elsewhere. 

When we were in Intramuros, Manila.

Talk about Manila, I'd always remember the green t-shirt of St. Patrick's Day. It stood out on the picture thanks to its bright color, haha. And it was a good time to remember, because how often a bunch of high school friends from Pontianak had a chance to explore the Philippines together? Once in a lifetime, perhaps. Manila was never a tourist destination to begin with! 

A day on a wheelchair.

Then of course we can't talk about the Manila trip without mentioning Japan. No, I won't bore you with our story in Japan, but I'd like to talk about the t-shirt I bought from Ueno. This was the one destined to be remembered as the time I screwed up the end-to-end walk in Singapore. I twisted my ankle and ended up on a wheelchair, but it was brilliant how we salvaged the good start with friendship and togetherness. 

24 hours in Jakarta. 

There are more, for sure. Like the time I crossed to JB on foot and made my way to Puteri Harbour. The t-shirt was worn the time I spent 24 hours with friends before heading to Bandung. The same t-shirt also reminded me of the time I met an acquaintance in Lyon. I could also talk about the WWF t-shirt that is now associated the drinking tradition as well as the time when my worlds collided

In Leshan, China.

Yes, I could go on and talk about them, but perhaps we saved the stories for some other time. For now, it was a relief to finally get the idea materialized after having it lodged in my brain since November 2022, haha. More importantly, it once again proves the point that in life, only memories remain after all is said and done. In this context, I'm just glad that they are the definitive Hard Rock moments!

The inspiration.



Momen Hard Rock Favorit

Cerita ini terinspirasi oleh koleksi kaos Hard Rock saya yang difoto oleh istri. Entah kenapa dia tiba-tiba memotret, tapi hasil karyanya terasa menggelitik. Saya tidak pernah lupa dengan kaos-kaos yang berderet rapi di atas kasur, seakan-akan saya baru melihat fotonya beberapa waktu lalu. Jadi anda bisa bayangkan betapa kagetnya saya bahwa foto itu ternyata diambil bulan November 2022. 

Kemas-kemas untuk liburan berikutnya!

Bila saya lihat kembali, ada alasan kuat kenapa foto itu terasa begitu berkesan. Bagaimana pun semua kaos ini merupakan kenangan dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Ya, nama-nama di kaos yang ada itu berasal dari kota-kota yang saya kunjungi di Asia dan Eropa. Dan tentu saja ada pula momen Hard Rock yang terjadi di saat saya mengenakan kaos-kaos tertentu. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya di artikel berjudul the Details, saya mempunyai cara unik dalam mengingat sesuatu dan kaos Hard Rock ini bagaikan catatan tersendiri. Baik atau buruk, semuanya adalah cerita yang tidak terlupakan. 

Rencana ilahi.

Semua ini bermula dari kaos pertama yang saya beli di Paris. Semuanya terjadi secara spontan. Saat itu saya dan istri baru kembali ke Paris setelah bepergian ke Versailles di luar kota, lalu saya terpikir untuk membeli kaos Hard Rock sebagai oleh-oleh. Delapan tahun kemudian, kaos ini telah sering saya pakai untuk bertualang. Saya mengenakan kaos ini saat mengunjungi Pagoda Shwedagon di Yangon, tapi momen favorit saya adalah ketika kita turut serta mewujudkan rencana ilahi. Ini adalah satu momen yang luar biasa! 

Di Madura, 2019.

Semenjak itu koleksi kaos saya terus bertambah, tapi secara sekilas, tidak semuanya memiliki kenangan yang mendalam. Kaos berikutnya berasal dari Fukuoka. Kala itu saya dan istri baru saja tiba dari Nagasaki dan Hard Rock Cafe kebetulan berada di samping Stasiun Hakata, jadi kita singgah dan beli sebelum lanjut ke kawasan Tenjin. Kini, setiap kali saya melihat kaos ini, saya jadi teringat dengan sekali-sekalinya saya ke Madura bersama teman saya Jimmy. Ini adalah sebuah pengalaman yang menggugah. Sebuah pertanyaan hidup terjawab semata-mata karena saya berada di sana! 

Bersantai sejenak di Vaduz, Liechtenstein.

Di tahun 2019, setahun setelah kunjungan ke Fukuoka, saya dan teman/kolega saya Keenan berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri Konferensi Minyak Kelapa Sawit. Di malam setelah konferensi usai, saya menyeberang jalan dan membeli kaos KL. Bertahun-tahun kemudian, kaos itu kebetulan saya pakai sewaktu berada di Vaduz. Putri saya menjepret foto saya dan istri yang sedang duduk di bangku beberapa saat sebelum kita beranjak meninggalkan Liechtenstein. 

Di Isetwald bersama Yani. 

Ya, ada istri di samping saya dalam beberapa momen Hard Rock terbaik. Satu lagi yang saya ingat betul adalah persinggahan kita di Iseltwald. Istri dan saya berdiri tidak jauh dari lokasi yang terkenal karena muncul dalam drama Korea Crash Landing on You. Di hari itu saya memakai kaos yang saya beli bersama Surianto di malam kita mendarat di Manila. Bagi saya, foto tersebut mengabadikan suasana tenang dan indahnya Swiss. Ada nuansa damai yang tidak pernah saya temukan di tempat lain.

Mengunjungi Intramuros di Manila.

Berbicara tentang Manila, saya selalu teringat dengan kaos hijau Hari St. Patrick. Kaos ini menonjol saat difoto karena warnanya yang terang menyala, haha. Dan momen tersebut juga berkesan, sebab seberapa sering sekumpulan teman SMA dari Pontianak menjelajahi Filipina bersama-sama? Mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, terlebih lagi karena Manila bukanlah destinasi turis! 

Suatu ketika di kursi roda.

Dan tentu saja kita tidak bisa berbicara tentang Manila tanpa menyebut tentang Jepang. Tidak, saya tidak akan berbicara panjang-lebar tentang liburan ke Jepang, namun saya ingin membahas tentang kaos yang saya beli di Ueno. Kaos ini akan senantiasa dikenang sebagai kaos yang saya pakai saat saya menggagalkan rencana jalan kaki dari ujung ke ujung di Singapura. Saya jatuh terkilir dan berakhir di kursi roda, tapi di hari itu pula saya berkesempatan melihat persahabatan dan kebersamaan dari sudut pandang yang berbeda. 

24 jam di Jakarta. 

Masih ada banyak kisah lainnya lagi. Sebagai contoh, saat saya berjalan kaki menyeberang ke JB dan lanjut ke Puteri Harbour. Kaos tersebut lantas saya pakai saat menghabiskan 24 jam bersama teman-teman di Jakarta. Kaos yang sama pun saya pakai saat bertemu dengan kenalan lama di Lyon. Saya juga bisa bercerita tentang kaos WWF yang kini saya asosiasikan dengan tradisi minum bersama Eday serta  saat berkesan di Leshan

Di Leshan, Cina.

Ya, saya masih memiliki banyak cerita, namun mungkin kita simpan untuk lain waktu. Yang jelas saya kini merasa lega karena telah menulis tentang ide yang mengganjal di benak saya sejak November 2022, haha. Lebih penting lagi, melalui proses bercerita ini, sekali lagi saya diingatkan bahwa setelah semua usai diucapkan dan dikerjakan, yang tersisa hanyalah kenangan. Dalam konteks ini, saya senang bahwa semua ini adalah momen Hard Rock yang terbaik dalam hidup saya. 

Sebuah inspirasi.

Wednesday, June 12, 2024

Roadblog505

Here we are, seven years and counting. I finally made it to the 505th blog post on Roadblog101. The last time such an achievement unlocked was back in October 2021. Almost three years ago. It was during COVID-19, when things were bleak. But just like year 2020, a lot of reading was done, though.
 
And a lot of things had changed since then. Life returned to some semblance of normalcy in 2022. I'd remember it as the year I finally visited India. In 2023, a long overdue dream came true when we went to Japan. And 2024, as the story continued to unfold, had been one great adventure for the past six months. 

So what does all this mean to roadblog101.com? It means quite a fair bit of things, really. It means acceptance, to be comfortable with its role as an outlet and a hobby as it is heading to its eighth year. It's not about churning out tons of blog posts anymore, but more of a freedom of being able to write when I'm inspired. 

And I still get inspired. Funny how life is never lack of something new. Even at this age I still have much to learn. For example, I was surprised by recent trips to Phuket and Ipoh. They were nothing like what I had done before and I like it. If I had to sum it up, they were unusually casual

Talking about the word new, during my visit to Taipei, I came to realise why I always like travelling to new places. There is this sensation of something new and foreign that will make you disoriented at first, because you feel so alien in an environment you know so little about. I thoroughly enjoyed the excitement of being unsure and overcoming it. 

For instance, when I arrived at Taipei Main Station late at night, I had to look around and absorb as much information as I could from my surroundings and Google Maps, then acted on it partly based on instinct. After a while in Taipei, things became more familiar and I eventually got the hang of it.

And that's the thing with roadblog101.com, too. There'll always be something new that I go through and I will need an outlet to note it down, share it out and move onto a new experience. So, yeah, I think the blog is here to stay. See you again, probably in another few years, on Roadblog606...




Roadblog505

Setelah tujuh tahun lebih, akhirnya kita tiba di artikel Roadblog101 ke-505. Terakhir kalinya peristiwa serupa tercapai adalah bulan Oktober 2021. Hampir tiga tahun lamanya semenjak itu terjadi. Saat itu COVID-19 dan suram suasananya. Namun sama halnya seperti tahun 2020, banyak buku dibaca di tahun tersebut. 
 
Dan banyak hal yang sudah berubah setelah itu. Hidup berangsur-angsur kembali normal di tahun 2022. Saya akan selalu mengenangnya sebagai tahun di mana saya akhirnya mengunjungi India. Di tahun 2023, satu impian yang tertunda sejak 2020 pun terwujud ketika kita tiba di Jepang. Dan tahun 2024 yang masih berlangsung ceritanya bisa dijabarkan sebagai satu petualangan yang berlangsung dengan baik dan lancar selama enam bulan terakhir. 

Jadi apa artinya semua ini bagi roadblog101.com? Bisa beraneka makna, saya kira. Yang utama adalah penerimaan akan perannya sebagai penyaluran dari sebuah hobi yang kini bergulir ke tahun ke-delapan. Roadblog101.com tak lagi harus menelurkan artikel sebanyak mungkin, tapi lebih merupakan sebuah kebebasan dalam menulis tatkala saya terinspirasi. 

Dan saya masih terinspirasi. Lucu rasanya bahwa hidup ini tidak pernah kehabisan sesuatu yang baru. Bahkan di usia menjelang 44 pun saya masih banyak belajar. Sebagai contoh, saya tertegun dengan liburan ke Phuket dan Ipoh di tahun ini. Dua liburan ini berbeda dengan apa yang saya jalani selama ini dan saya menyukainya. Jika saya harus menyimpulkan, rasanya seperti sebuah pengalaman santai yang tidak lazim bagi orang yang bepergian ke luar negeri untuk liburan. 

Bicara tentang kata baru, saat saya di Taipei, saya menyadari kenapa saya suka bepergian ke tempat baru. Ada kesan disorientasi karena saya merasa asing di tempat yang sama sekali baru dan tidak saya kenal baik ini. Saya suka perasaan suka-cita yang diiringi dengan ketidakpastian dan juga proses mengatasi semua ini.  

Misalnya saja, saat saya tiba di Taipei Main Station di malam yang telah larut, saya harus mengamati sekeliling saya dan juga mencari tahu lewat Google Maps, lalu mengambil tindakan berdasarkan naluri. Setelah beberapa lama di Taipei, saya mulai mengenal apa yang terjadi di sekeliling saya dan bisa beradaptasi. 

Hal serupa juga otomatis terekspresikan lewat roadblog101.com. Senantiasa ada hal baru yang saya alami dan perlu saya tuangkan supaya saya bisa beralih ke inspirasi berikutnya. Jadi saya rasa roadblog101.com akan terus berlanjut. Sampai ketemu lagi beberapa tahun kemudian di episode Roadblog606... 

Wednesday, May 29, 2024

The Man Who Tried To Explain Music

One of many interesting things that happened during the trip to Ipoh was Eday's story about a young man who tried to explain music. He studied music as if it was some science. He learnt chords that carried sad feelings. Then he tried to formulate them into something that he could put together like ABC. Mind boggling, eh?

I never heard anything like this before. To me, music and lyrics are something you relate with, not something you try to make sense of. When I write, I simply pour out the inspiration that comes to me. I know when it is worded properly. It's intuitive. I just know it. 

The thought of songwriting as something logical is indeed amusing. How's that even a thing? That's when Eday suggested that perhaps I should explain how I listen to songs. For the fact I often inspired by the lyrics, how does it speak to me in a way many will not understand it? How can a mere song make a person cry?

Upon hearing this, I couldn't help thinking of two songs from Hamilton the musical. The first one was called One Last Time. I was suddenly on the edge of my seat, couldn't take my eyes of the George Washington character as he sang the song with R&B feeling. The words if I say goodbye, the nation learns to move onIt outlives me when I’m gone hit me hard like an epiphany. 

By the time it got to the gospel singing of George Washington’s going home that was responded nonchalantly by George with teach ‘em how to say goodbye, I couldn't help thinking about how one right decision made in the past resonated to this day. It was bigger than ever. I was very much in awe with what I had just experienced.

The second song, It's a Quiet Uptown, was captivating thanks to its melody. I was lured and hypnotized by the choir singing if you see him in the street, walking by himself, talking to himself, have pity. That's when I really listened to find out what's going. The words told me of the pain, the music conveyed the loss. It touched my heart and opened the floodgate of what I feared the most: burying your own child. Then I cried. 

Using the two examples above, the initial attraction always begins with the music. There is something with the groove that makes it irresistible. It could be funky, jazzy or anything that connects me with it. The music doesn't have to complicated, it just has to be relatable. Then, when the powerful lyrics are sung by the right person, you just listen and process both the emotions and the message. And just like that, it becomes the song I love for life. 

That's how it works between the songs and I. It's pure feeling. Nothing logical about it. If that's the case, how to put something that is so abstract into a secret recipe? If indeed it can be done, everyone can write hit songs, then! I don't know, maybe I'm not smart enough. I rest my case. May the young man succeed in his quest one day...

Yani and Hamilton. 



Pria Yang Mencoba Menjelaskan Tentang Musik

Satu dari sedemikian banyak hal menarik yang terjadi saat liburan di Ipoh adalah cerita Eday tentang seorang anak muda yang ingin memahami musik secara logis. Dia mempelajari musik seakan-akan itu adalah sesuatu yang ilmiah. Nada-nada yang bernuansa sedih pun ditelaah. Sesudah itu, dia mencoba merumuskan apa yang diketahuinya supaya bisa dirangkai seperti ABC. Mengherankan, bukan? 

Saya tidak pernah mendengar yang seperti ini sebelumnya. Bagi saya, musik dan lirik adalah sesuatu yang anda rasakan, bukan sesuatu yang dimengerti dan dijabarkan. Ketika saya menulis, saya hanya menuangkan inspirasi yang saya dapatkan. Saya tahu ketika susunan katanya terasa pas. Semua ini intuitif. Saya bisa merasakannya. 

Oleh karena itu ide memahami cara menulis lagu secara logis sangatlah mencengangkan bagi saya. Memangnya ada yang seperti itu? Eday lantas menyarankan, mungkin saya bisa coba jelaskan bagaimana cara saya mendengarkan lagu. Karena saya seringkali terinspirasi oleh lirik, apa sebenarnya yang terjadi sehingga saya bisa merasakan korelasinya sementara bagi orang lain biasa saja? Mungkin saya bisa jelaskan bagaimana sebuah lagu bisa membuat pendengarnya menangis? 

Saat mendengarkan ucapannya, saya jadi teringat dengan dua lagu dari musikal Hamilton. Lagu pertama berjudul One Last Time. Sewaktu saya pertama kali mendengarkan lagu ini, saya duduk terpana di kursi dan fokus pada karakter George Washington saat dia menyanyikan lagu yang berirama R&B ini. Kalimat if I say goodbye, the nation learns to move on. It outlives me when I’m gone menggetarkan hati saya. 

Tatkala bagian George Washington’s going home! dinyanyikan dan ditanggapi George dengan teach ‘em how to say goodbye, saya jadi berpikir tentang bagaimana sebuah keputusan yang benar di masa lampau masih terasa gaungnya di hari ini. Bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya! Saya jadi terkagum-kagum dengan apa yang baru saja saya dengarkan.

Lagu kedua, It's a Quiet Uptown, juga memikat karena melodinya. Saya terlena dan terbuai oleh paduan suara yang melantunkan bait if you see him in the street, walking by himself, talking to himself, have pity. Ada nuansa sedih yang membuat saya menyimak lebih lanjut, apa sebenarnya yang terjadi. Lirik lagunya mengabarkan tentang kepedihan Hamilton, musiknya pun terasa lirih. Lagu ini membuat saya terenyuh dan mengingatkan saya tentang satu hal yang saya takuti: perasaan seorang ayah yang harus menguburkan anaknya. Dan saya pun menangis. 

Menggunakan dua contoh lagu di atas, kita bisa lihat bahwa daya tarik sebuah lagu selalu dimulai dari musik. Ada sesuatu dengan irama dan temponya yang membuat lagu itu seksi, entah itu karena nadanya yang funky, jazzy dan sebagainya yang membuat saya suka. Musik dari sebuah lagu tidak harus rumit, tapi hendaknya bisa dinikmati oleh pendengar. Setelah itu, ketika liriknya dibawakan oleh penyanyi yang tepat, saya mendengar dan mencerna emosi dan apa yang disampaikan. Ketika semua ini terjadi, lagu tersebut akan menjadi favorit saya. 

Bagi saya, demikianlah prosesnya. Semua ini berdasarkan perasaan. Tak ada yang logis di sini. Kalau memang demikian, apakah bisa menjabarkan sesuatu yang abstrak ini menjadi sebuah rumus? Kalau memang bisa, berarti semua orang bisa menjadi penulis lagu yang sukses? Entahlah, saya tidak secerdas itu. Mungkin anak muda itu bisa memecahkan misteri ini suatu hari nanti... 

Saturday, April 8, 2023

The Details

I told you about my creative process a while ago. Turning ideas into something tangible is what I do. It's fun. So addictive. But one thing I didn't tell you previously, the defining factor that was equally exciting, is the fact-checking process.

Oh yes, I'm really proud of the roadblog101's accuracy. My memory is pretty good that it enables me to tell story the way it happened. More often than not, I remember the events vividly. But names of places sometimes eluded me, especially when they sounded so foreign. This is when the fact-checking began.

At the sake bar I was looking for. 

The recent Japan trip series reminded me again how I normally did this. In this particular story, I was searching high and low for the name of the sake bar I went with Eday. As the place was an integral part of the story, I'd like to include it. But even enlarging Asakusa region on Google Maps didn't help! I still couldn't find it.

Then I remember that I paid the bill using my debit card. I searched for the payment record and I found a long, odd name in one word. As I couldn't read Japanese, I didn't even realize that the name was actually truncated. But it was sufficient for me to use it as a keyword. The moment I googled it, the name appeared: Sake no Daimasu Kaminarimon. It worked!

Timeline on Google Maps.

Another trick I learnt from writing the Japan series is how to make use of Timeline on Google Maps. Now, I'm not sure how many of you are aware of this, but Google is tracking our movement. I could actually open Google Maps and click the Timeline menu to see where I had been from morning till evening, let's say, two weeks ago. It'd show me the whole day route I took. By using this, I could ensure that similar events didn't get mixed up. 

Then of course there is my all-time favorite: Swarm. I've told you this before on a separate story, but let's summarize it here. This app is extremely useful in searching for the places I had been. I can use the keyword I roughly remember, I can search based on the city and I can even zoom into the map to find the location.

A Swarm check-in.

Lastly, and this perhaps works only for me, I actually used the Hard Rock t-shirt as a marker in my mind. For example, the Fukuoka t-shirt reminds me of the visit to Madura, the Paris t-shirt was memorable because I wore it during the trip to Karawang and so forth. Most, if not all t-shirts, were closely associated to a certain event in my life.

So there you go. This is how I got the details right. But why bother? Well, the answer is, because it's the right thing to do. It doesn't matter if the readers check the facts or not. But on a personal level, it is fun. Quite often it is one head-scratching moment, I'll admit, but when you figure it out, it is like, "eureka!"

And I enjoy that feeling.

Visiting Madura.





Detil Cerita

Saya sudah bercerita tentang proses kreatif saya dalam menulis beberapa waktu lalu. Mengubah ide menjadi sesuatu yang bisa dibaca adalah sesuatu yang saya lakukan. Seru dan bikin ketagihan pula. Namun satu hal yang tidak saya jabarkan sebelumnya, yang tidak kalah serunya juga, adalah proses memeriksa kembali fakta cerita. 

Oh ya, saya sangat bangga dengan keakuratan roadblog101. Daya ingat saya tergolong bagus sehingga memungkinkan saya untuk bercerita sesuai dengan kejadian. Saya bisa mengingat rangkaian peristiwa dengan baik. Yang kadang agak menyulitkan itu adalah nama tempatnya, terutama yang berbau asing. Di kala seperti inilah proses pengecekan fakta dimulai.  

Di sake bar yang saya cari-cari.

Liburan ke Jepang baru-baru ini mengingatkan saya kembali, bagaimana saya mengerjakan proses ini. Di salah satu episode, saya mencari nama bar sake yang saya kunjungi bersama Eday. Karena tempat ini adalah bagian integral dari cerita, saya ingin memasukkan namanya. Akan tetapi saya tidak bisa menemukannya, meski sudah saya perbesar kawasan Asakusa di Google Maps. 

Kemudian saya teringat bahwa saya membayar tagihan tersebut dengan kartu debit. Saya cari data pembayarannya dan menemukan sebuah kata yang panjang dan mirip bahasa Jepang. Karena saya tidak mengerti bahasa Jepang, saya bahkan tidak tahu bahwa namanya terpotong. Kendati begitu, apa yang saya temukan ini cukup untuk dijadikan sebagai kata kunci. Begitu saya cari, namanya pun muncul: Sake no Daimasu Kaminarimon!

Timeline di Google Maps.

Trik lain yang saya pelajari dari kisah Jepang ini adalah cara menggunakan Timeline di Google Maps. Saya tidak tahu apakah anda pernah menyadari bahwa Google sebenarnya memantau pergerakan kita setiap hari. Dengan demikian, saya bisa membuka open Google Maps Dan memilih menu Timeline untuk melihat di mana saja saya seharian berjalan, misalnya dua minggu silam. Dengan demikian saya tidak akan keliru dalam bercerita bilamana ada dua peristiwa yang nyaris serupa terjadi dua hari berturut-turut. 

Kemudian ada pula favorit saya dalam memastikan nama tempat: Swarm. Sudah pernah saya ceritakan apa sebenarnya Swarm ini, tapi mari kita rangkum lagi. Applikasi ini sangat berguna untuk mencari tempat yang sudah dikunjungi. Saya tinggal gunakan kata kunci yang saya ingat, saya bisa cari berdasarkan nama kota dan bisa pula saya lacak berdasarkan peta lokasi.

Swarm.

Terakhir, dan yang satu ini mungkin hanya bisa diterapkan oleh saya sendiri, adalah kaos Hard Rock yang identik dengan tempat-tempat tertentu. Misalnya kaos Fukuoka selalu mengingatkan saya pada Madura, kaos Paris berkaitan dengan kunjungan ke Karawang dan sebagainya. Hampir semua kaos ada kenangan tersendiri.

Jadi demikian caranya bagaimana saya bisa mendapatkan detil yang akurat. Kalau pertanyaannya adalah, apa perlu sampai segitunya? Jawabannya adalah karena ini adalah hal benar untuk dilakukan. Tidak masalah apakah pembaca mengecek ulang nama tempatnya atau tidak. Namun di sisi yang lebih personal, semua ini asyik untuk dikerjakan. Ya, seringkali sampai bikin garuk kepala, apa nama tempatnya ini, tapi begitu ditemukan, rasanya seperti, "eureka!"

Dan saya suka perasaan itu.

Di Madura.