Total Pageviews

Translate

Wednesday, October 25, 2017

Life Before Marriage

These days, home is where our little family is. I've always gone home to a very sweet wife that asks me how things at work are while we're having a nice, home-cooked dinner. The room will be lit up by the laughter (or screaming, sometimes) from the girls. It feels good, it feels normal and it feels as if it's been like this forever. It's hard to imagine at times that the kids weren't always around or I wasn't always a husband and a father.


Fendy and Markus, at the very house in Kembangan, where we all started. 

Life before marriage seems like distant memories from a lifetime ago. No, those days weren't bad. On the contrary, they were actually good, easily the best times one from Pontianak could wish for. But as I grew older, perhaps I just grew tired of the chaotic fun of the bachelor days. When the stability of family life and the joy of parenthood came along, it was a relief that I never knew I needed for the next phase of my life, so I embraced it immediately. Nevertheless, before they were completely forgotten, here's the recollection of what I could vaguely remember from that past five years before the wedding day.

From left: Sudarpo, Endrico and Jimmy at the Heeren, Orchard.

A foreign country could be a lonely place to be for one to start anew, but I was lucky enough to begin my journey here from a house full of friends. While some housemates could be as random as strangers from Jakarta, others were as familiar as secondary school friends. We were just a bunch of young Indonesian men and women then, trying our luck to make a fortune while laughing at the uncertainty of life. I didn't have the slightest clue of how life was going to be, but not knowing what the future held wasn't that scary since we got each other. In a world where I almost had nobody else, my housemates were the closest thing to family that I ever got. I loved them dearly.

Watching Wawa's performance.

I remember mui fan, the cheapest meal with arguably big portion and decent taste, definitely worth every hard earned dollar that I made while I scrimped and saved. It was either Jimmy or Endrico whom introduced me this local cuisine. I remember Budi, the internet subscriber for the whole house, forbidding us to download as he wanted to have the online battle against Zakum, the big bad boss from MapleStory. Nobody really heeded his warning anyway. I remember those nights we joked and giggled until we fell asleep. There were also late nights when we had suppers with Fendy, my bartender roommate that did some odd hours shift. We slept only few hours afterwards and woke up at usual timing to go to work. Then we made two short movie or three. Brilliant experience. Oh, we traveled together to some places, too, from Batam to Thailand. As far as I'm concerned, I would be with at least one of them for most of the time, even during working hours, as Sudarpo and I worked in the same office!

Filming at Chinese Garden.

We actually stayed together only for a short period of time, but the chemistry and dynamics worked. This perhaps explained why we chose to stick together in smaller groups when we were kicked out unceremoniously from the rented house. It was during that time Markus brought in Setia and... God knows where the skinny Lina came from, because I really had no idea, haha. I still visited the other groups I wasn't living with and stayed overnight at their places sometimes. We had gatherings, too, for special occasions. And we traveled even farther this time, to Vietnam and Cambodia.

From left: Lina Lim and Ng Lina in Geylang.

But changes, and they were good changes in this case, were inevitable. If there were ever any clear signs that we weren't going to stay forever young, the doomed trip to Darwin could be one of the wake up calls. I personally don't think we ever got bored of each other, but we had simply outgrown the relationship and were ready to move on to the next level. Other things started to take priority. Marriages took place. It just happened gradually until there was only one small group of the original members that lived together. Our merry band of brothers and sisters was eventually disbanded, marking the end of an era.

From left: Budi, Setia, Alfan, Anthony and Darto in Eunos.

John Lennon once said, "time you enjoy wasting is not wasted." That was exactly how it felt. Once upon a time, we were boys and girls at the right time and at the right place. We never walked alone when life was tough and we shared our laughter when life was kind. And how time passed us by. We were our own men and women by the time we reached the finish line. The way I look at it, it was a beautiful experience, certainly more than one could ask for in his lifetime...

Top row, from left: Alfan, Liwana, Steva, Ng Lina, Markus and Anthony.
Bottom row, from left: Darto, Een, Angie, Sugi, Sudarpo and Endrico.
When we were in Bedok.


Kehidupan Sebelum Pernikahan

Bagi saya, pengertian rumah adalah tempat dimana keluarga kecil kami bernaung sekarang. Istri senantiasa menanti saya pulang, lantas bertanya apa kabar di kantor hari ini, dan kami pun menikmati santap malam yang sudah tersaji di meja. Suara anak-anak terdengar membahana, kadang tertawa riang dan kadang berteriak kesal. Semuanya terasa baik, normal dan seakan-akan sudah seperti ini dari sejak dulu kala. Susah rasanya membayangkan bahwa pernah ada suatu ketika dimana anak-anak belum ada atau hari dimana saya belum menjadi seorang suami dan ayah.

Sudarpo, Wawa dan Endrico, di tempat nasi ayam, Eunos. 

Kehidupan sebelum pernikahan bagaikan kenangan dari kehidupan sebelumnya. Tidak, ini bukan karena kenangan tersebut sangat buruk. Justru sebaliknya, masa-masa tersebut adalah saat terbaik yang bisa terwujud bagi seseorang dari kota kecil seperti Pontianak. Hanya saja, seiring dengan bertambahnya usia, mungkin saja saya juga sudah cape dengan kehidupan bujangan yang heboh tapi melelahkan. Ketika stabilitas keluarga dan suka-cita menjadi seorang ayah datang menghampiri, saya serta-merta menyambutnya. Oleh karena itu, sebelum memori saya memudar, inilah catatan singkat dari lima tahun terakhir sebelum hari pernikahan saya.

Markus, Tommy dan Setia di depan Golden Mile.

Semua ini bermula dari tibanya saya di Singapura. Negara asing bisa menjadi tempat yang sepi sunyi bagi seseorang yang memulai lagi dari awal, tapi syukurlah saya cukup beruntung untuk memulainya dari lingkungan yang penuh dengan teman. Teman-teman serumah ini, ada yang seasing pria tak dikenal dari Jakarta, namun ada pula yang seakrab teman dari sejak SMP. Pada dasarnya kita semua hanyalah anak-anak muda yang mencoba peruntungan kita di negeri orang. Saya bahkan tidak tahu akan seperti apa hidup ini nantinya, tapi rasa tidak tahu itu tidaklah menakutkan karena keberadaan teman-teman ini. Di dunia dimana saya hampir tidak mempunyai relasi dan kenalan lain, para teman serumah inilah yang paling dekat dengan saya layaknya seperti keluarga.

Mui fan.

Saya ingat tentang mui fan, makanan Chinese paling murah dengan porsi besar dan rasa yang lumayan, benar-benar sepadan dengan setiap dolar yang saya dapatkan dari kerja keras saya. Sepertinya Endrico atau Jimmy yang memperkenalkan saya makanan lokal ini. Saya ingat Budi, pelanggan internet yang membagikan koneksinya kepada teman-teman serumah dengan bayaran 4 dolar per orang. Dia sering melarang kita mengunduh karena sudah tiba waktunya bagi dia untuk melawan Zakum, bos dari game MapleStory. Tentu saja tidak ada yang peduli dengan larangannya. Saya juga ingat dengan malam-malam penuh canda dan tawa sampai kita tertidur. Terkadang kita juga makan tengah malam bersama Fendy, bartender kita yang waktu kerjanya tidak beraturan. Kita hanya tidur beberapa jam lamanya, lalu bangun pagi dan bekerja lagi seperti biasa. Kemudian kita juga membuat beberapa film pendek, sungguh pengalaman yang tiada duanya. Oh, kita juga berkelana bersama-sama ke berbagai tempat, mulai dari Batam sampai Bangkok. Sepanjang yang saya ingat, saya hampir selalu bersama paling tidak salah satu dari mereka, bahkan di saat jam kerja, karena saya satu kantor dengan Sudarpo.

Setia, Andy William dan Anthony di Bangkok.

Kita sebenarnya hanya tinggal bersama untuk waktu yang singkat, tapi dinamika persahabatannya cocok satu sama lain. Ini mungkin alasannya kenapa kita tetap bersama dalam grup yang lebih kecil ketika kita mendadak diminta pindah oleh tuan rumah kita. Setelah itu, Markus membawa Setia untuk turut bergabung dan... hanya Tuhan yang tahu Lina kurus datang dari mana, sebab saya tidak ingat sama sekali, haha. Saya sendiri masih sering berkunjung ke tempat teman-teman yang tidak lagi tinggal bersama dan bermalam di tempat mereka. Terkadang kita berkumpul lagi, dalam acara Natal misalnya. Kita juga bertualang, kali ini lebih jauh lagi, ke Vietnam dan Kamboja

Darto, Markus (di belakang) dan Setia di Angkor Wat, Kamboja.

Tapi perubahan, dan untunglah ini perubahan yang baik, tidak terelakkan. Jika ada pertanda bahwa kita tidak selamanya muda, mungkin perjalanan ke Darwin yang batal adalah salah satunya. Saya tidak berpikir bahwa kita bosan berteman satu sama lain setelah sekian lama, hanya saja kita sudah tumbuh dewasa dan siap untuk melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya. Berbagai hal baru mulai menjadi prioritas. Pernikahan pun berlangsung, satu demi satu. Proses ini berjalan pelan tapi pasti, sampai akhirnya hanya tersisa satu grup kecil dari anggota-anggota yang dulunya satu rumah. Grup ini pun bubar, menandakan berakhirnya sebuah era.

Memberikan dukungan pada Fendy yang ikut lomba Touch the Car!

John Lennon pernah berkata, "waktu yang anda lalui dengan senang hati berarti tidak sia-sia." Ucapannya ini menggambarkan dengan tepat masa-masa yang kita lalui bersama ini. Ketika semuanya bermula, kita adalah muda-mudi yang dipertemukan oleh nasib karena berada di waktu dan tepat yang benar. Selama itu kita tidak berjalan sendiri di kala hidup terasa susah dan kita tertawa bersama ketika hidup terasa bahagia. Ketika waktu berlalu, kita tumbuh dewasa menjadi pria dan wanita yang siap menjalani hidup seorang diri. Kalau saya lihat kembali, itu adalah sebuah pengalaman yang luar biasa indah, jauh melebihi apa yang bisa diharapkan dari hidup ini...

Tommy dan Markus di Malaka.


No comments:

Post a Comment