Total Pageviews

Translate

Wednesday, October 24, 2018

Wonderful Indonesia: Bandung

Unlike other capital cities in other provinces, let's say, Tanjung Pinang, Surabaya or Medan, I purposely took Bandung out from Wonderful Indonesia: West Java. The city is rather special to me because I happened to go there for work and as a tourist. As my life progressed, it turned out that my sisters-in-law are staying there, too. In order to the city justice, I decided to write about Bandung separately.

My first two visits to Bandung were purely business trips. These were back when the highway wasn't available yet and it took us three hours to reach Bandung from Jakarta. At that point of time, I had heard a lot of good things about Bandung and I was so excited, therefore I didn't mind the distance. There were two ways to get there: one was through Puncak and the other was via Purwakarta. Both, if I remember correctly, were equally horrible, haha.

The stay at Grand Pasundan, 2010.
Photo by Evelyn Nuryani.

I went with Surijanto Budhiman during the initial visit. We dropped by to Kalbe's branch in Sukajadi to replace the router (that was the first time I heard of a brand called Huawei). We stayed at Hotel Cemerlang in Pasir Kaliki and there was a diner right across the street where we had our dinner. I was with Michael Riawan Gani on my second visit, this time to Enseval office around Soekarno-Hatta (and I think we stopped by Purwakarta to buy peyeum, the fermented cassavas, on our way back to Jakarta). We stayed at Grand Pasundan. Years later, I'd end up there again when my fiancée and I had an engagement party in Bandung.

I obviously didn't see much of Bandung during the business trips, but I remember the cool weather, even in the city center. It's sad that it doesn't last. Bandung is hot these days, but the mountainous areas of Lembang and Dago are still okay.

Endrico and Sudarpo, when we reached Ciater.

And there we went during my holiday with my future housemates. Endrico, Jimmy and Sudarpo came from Singapore to Jakarta. Soedjoko and I picked them up at the airport, then we headed directly to a natural hot spring called Ciater, not very far from a volcano named Tangkuban Perahu. The one night stay was rather memorable because when we were in the hot pool, Endrico had a sip of sulphurous water and told us that it was sour. He didn't fall sick, of course, so the next morning, we went to Cihampelas Walk and the factory outlets nearby for sightseeing (oh yeah, Bandung is famous for factory outlets, definitely suitable for fashion lovers). After that, we continued our journey to Sapu Lidi for late Sundanese lunch. The restaurant was nice. We had our lunch in a hut next to a pond.

Talk about Sundanese food, there are chain restaurants called Laksana and Ampera where I had my first Sundanese meals. The cuisines had been cooked and they were served on a long table so that you could look around and choose what you want (but I seem to recall that the waiter there would assist your order). The first impression I had of Sundanese meal was dry, raw and spicy. If it was up to me, I'd go for something else that'd be more suitable for me. Nasi liwet Sunda, a succulent rice dish cooked in coconut milk, is nice. Nasi goreng cekur, a rice fried with sand ginger, is another favorite.

Martabak Canada!

When you are in Bandung, of course you have to try siomay Bandung, too, but I'll recommend its cousin instead: batagor. I think it's a short form of bakso tahu goreng, which means fried meatball and tofu, and the food is served with peanut sauce. Batagor Kingsley is the best and no, it's not overrated. Other local delicacies included Mie Naripan (noodles), Ayam Goreng Suharti (fried chicken), Sate Maulana Yusuf (satay) and Martabak Canada (stuffed pancake or pan-fried bread). Well, there seems to be no end when we talk about food! One more thing, Bandung also has a lot of unique restaurants with interesting designs, so do explore and give them a try!

The second time I went there as a tourist, I went with Soedjoko, Parno, Junaidi and Sudarman by train. It was an old train that took us roughly three hours to get there. We had the famous Nasi Campur (mixed pork rice) on Jalan Kelenteng. Darman's uncle picked us up and brought us around. After checking into Hotel Trio, we went to the zoo of all places! My one and only time thus far. The next day, we explored the city on foot before we stopped at Istana Plaza for lunch, then headed back to Jakarta.

Parno and Sudarman in the train to Bandung.

When I got married, it became a yearly family visit. Went to places I hadn't though of going before, those amusement parks that were suitable for kids. The hilly side of the city was what differentiated Bandung from others. It has a lot of villas, resorts and recreation centres. Some tourist spots are really cool and kids-friendly. Some may be overpriced, though, so do your homework before visiting.

Overall, Bandung is a great destination for shopping, eating and hanging out. Four days three nights will be just nice. One last thing, try avoiding weekend because the jam is quite bad. Have a nice holiday!

Linda, feeding a rabbit.
Photo by Evelyn Nuryani.


Indonesia Yang Menakjubkan: Bandung

Berbeda dengan ibukota provinsi lainnya, misalnya Tanjung Pinang, Surabaya atau Medan, artikel Indonesia Yang Menakjubkan: Jawa Barat tidak bercerita apa pun tentang Bandung. Kota ini mempunyai kesan tersendiri bagi saya karena saya pernah ke sana baik dalam rangka kerja maupun sebagai turis. Ketika saya berkeluarga, saya memiliki adik-adik ipar yang berdomisili di sana. Untuk alasan-alasan saya memutuskan untuk menulis tentang Bandung secara terpisah karena akan panjang ceritanya.

Dua kunjungan saya yang pertama adalah perjalanan bisnis. Kunjungan ini terjadi saat jalan tol belum ada. Saat itu kita membutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai Bandung dari Jakarta. Ada dua jalur yang bisa kita tempuh: yang pertama adalah lewat Puncak, yang kedua adalah melalui Purwakarta. 

Saya berangkat bersama Pak Janto dalam perjalanan perdana saya ke Bandung. Saat itu kita mengunjungi kantor cabang Kalbe di Sukajadi untuk mengganti router yang rusak (itu adalah kali pertama saya mendengar merek Huawei). Kita tinggal di Hotel Cemerlang di Pasir Kaliki dan menikmati santap malam di sebuah restoran sederhana yang ada di seberang jalan. Di kali berikutnya, saya berangkat bersama Michael Riawan Gani untuk melakukan instalasi di kantor Enseval di daerah Soekarno Hatta. Kita tinggal di Grand Pasundan dan, bertahun-tahun kemudian, ketika saya ke Bandung bersama orang tua saya, saya menginap di sana lagi.

Suatu pagi di Dago.
Foto oleh Bernard Lau.

Saya tidak sempat melihat-lihat kota Bandung dalam dua kunjungan tersebut, tapi saya ingat dengan cuacanya yang sejuk, bahkan di daerah perkotaan. Sayang sekali cuacanya sudah berubah sekarang. Meskipun demikian, daerah Lembang dan Dago masih terasa sangat nyaman. 

Ketika saya akhirnya berkesempatan untuk berlibur ke Bandung, saya berangkat bersama Endrico, Jimmy dan Sudarpo, para sahabat yang kelak menjadi teman serumah saya di Singapura. Soedjoko dan saya menjemput mereka dan langsung bertolak dari bandara ke pemandian air panas di Ciater yang berada tidak jauh dari gunung Tangkuban Perahu. Ada satu pengalaman menarik saat kita berendam kolam air panas. Endrico mencoba seteguk air belerang! Rasanya asam, ternyata. Untung saja dia tidak jatuh sakit, jadi keesokan paginya kita bisa menuju ke Cihampelas Walk dan factory outlet yang berada di sekitarnya (oh ya, Bandung terkenal dengan FO, tentunya menarik bagi mereka yang senang berbelanja pakaian). Setelah itu, kita lantas melanjutkan perjalanan ke Sapu Lidi untuk bersantap siang. Restorannya cukup menarik. kita duduk di pondok di tepi kolam sambil menikmati makanan Sunda.

Soedjoko dan Endrico memesan masakan Sunda di Sapu Lidi.

Bicara tentang makanan Sunda, di Bandung ada restoran bernama Laksana dan Ampera. Makanannya disajikan di meja panjang sehingga anda bisa memilih apa yang anda mau. Kesan pertama saya saat mencicipi masakan Sunda adalah kering, mentah dan pedas. Agak kurang cocok sebetulnya, hehe. Kalau saya bisa memilih, saya lebih suka masakan lain misalnya, nasi liwet Sunda atau nasi goreng cekur alias nasi yang digoreng dengan bumbu kencur. 

Ketika anda berada di Bandung, tentu saja anda harus mencoba siomay Bandung. Akan tetapi saya lebih merekomendasikan batagor. Nama masakan ini merupakan singkatan dari bakso tahu goreng dan makanan ini disajikan dengan saus kacang. Yang paling enak dan terjamin tentu saja Batagor Kingsley. Menu lainnya yang menarik untuk dicoba adalah Mie Naripan, Ayam Goreng Suharti, Sate Maulana Yusuf dan Martabak Canada. Pokoknya kalau bicara makanan itu seperti tidak ada habisnya, hehe. Selain itu, menarik untuk dicatat bahwa Bandung memiliki restoran yang unik tata ruangnya, terlebih lagi karena daerahnya yang berbukit-bukit. Anda harus menjajaki dan mencobanya sendiri! 

Kedua kalinya saya ke sana sebagai turis adalah perjalanan bersama Soedjoko, Parno, Junaidi dan Sudarman. Waktu itu kita menaiki kereta tua dari Gambir dan menempuhnya perjalanan selama tiga jam. Kita menikmati nasi babi campur yang terkenal di kawasan Jalan Kelenteng. Paman Darman juga menyempatkan diri untuk menjemput dan membawa kita berkeliling. Setelah check-in di Hotel Trio, siapa sangka kalau kita justru berkunjung ke kebun binatang? Itu adalah pertama dan sekali-kalinya selama saya bolak-balik Bandung. Keesokan harinya, setelah berjalan kaki mengelilingi daerah Cibadak, kita mampir ke Istana Plaza untuk makan siang dan kembali ke Jakarta saat hari menjelang sore.

Dari kiri: Parno, Sudarman dan Junaidi berjalan keluar dari Istana Plaza. 

Sesudah saya menikah, kunjungan ke Bandung menjadi acara tahunan. Berhubung ini adalah acara keluarga, tempat-tempat yang dikunjungi pun berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini adalah tempat-tempat yang ramah kanak-kanak di daerah Lembang dan Dago. Kawasan ini boleh dikatakan sebagai daya tarik yang membedakan Bandung dan kota-kota lainnya. Tempat ini memiliki vila dan taman-taman rekreasi. Beberapa di antaranya sangat menarik dan populer, namun ada juga yang sebenarnya tergolong mahal, jadi anda mungkin perlu membaca-baca dulu sebelum pergi berkunjung. 

Secara keseluruhan, Bandung layak disebut sebagai tempat wisata yang cocok untuk berbelanja, makan dan beristirahat. Liburan empat hari tiga malam mungkin cukup bagi mereka yang belum pernah ke sana. Satu hal terakhir yang perlu diingat, hindari akhir pekan karena Sabtu dan Minggu biasanya macet. Selamat berlibur!  

No comments:

Post a Comment