Total Pageviews

Translate

Saturday, November 12, 2022

A Glimpse Of Thailand

Pattaya and Bangkok weren't originally part of the plan. It was meant to be a trip to Kolkata only, to and fro. But I couldn't help feeling that five days would be too long for a visit to Kolkata, but probably too short for me to go anywhere else in India. When I looked the return ticket price, it wasn't exactly cheap, too. About SGD 800 (or more, as days went by) for Singapore Airlines.

Hence I looked for alternatives. The flight time from Singapore to Kolkata was 4 hours 15 minutes. What if I split the duration into half? Where would that bring me? I was toying with idea of Penang and Phnom Penh as both have Hard Rock Cafe, but eventually the only route that fitted ideally into my plan was Kolkata to Bangkok. Based on my calculation, if I redeemed my Krisflyer points for my flight to Kolkata and took budget flights for my return leg via Bangkok, it'd cost me less than SGD 400. And since I planned but didn't make it to Pattaya back in 2020, I'd go there this round.

The trip, as compiled by Google Travel.

All seemed all right thus far, but apparently I made a mistake that I'd discover only a month later. Because the flight to Bangkok was at 00.30 am, I must have chosen a wrong date due to the am/pm thing. I felt disappointed when I first discovered that. I even scrambled to change the date only to back off after I saw the newly revised price. Btw, a note to us all, it was a nightmare when you got stuck in the midst of doing this on the app, because AirAsia only had Ava the chatbot. There was no hotline to call and I only managed to find out the email after using the keyword AirAsia Thai

Anyway, the mistake turned out to be a blessing, because three days three nights would have been too long to be in Kolkata and too rush for a trip to Pattaya and back. Since I now had an extra day in Thailand, I could spend a night in Pattaya, returned to Bangkok on the following day and flew back to Singapore the day after tomorrow. 

So there I was on Thursday night at Netaji Subhas Chandra Bose International Airport. When I was charging my phone, I met a fellow solo traveler on his first overseas trip to Thailand. We talked as I had momo for dinner, then we checked in together. After spending about six hours at the airport, the flight to Bangkok finally departed. 

With Pratunesh at Kolkata Airport.

I had a buffer time of one hour between my arrival and my ride to Pattaya, so I had a cup noodles in Don Mueang International Airport. It was good to have a hot soup after a long cold night! After that I looked for my ride that I booked via KKday. It turned out that there were names hanging on the fence of gate 5, so I just had to point to my name, waited for a while and then I was heading to Pattaya. Quite efficient, but I couldn't really fall asleep as I noticed that the driver kept rubbing his eyes, too! It was a good thing that he stopped at the rest area and got himself a cup of coffee.

I reached Pattaya at 7 am, but it was not a morning city. A lot of shops closed and the McDonald's breakfast was pretty much the same as the menu in Singapore, so I kept walking and looked for something local. After a long walk from Mera Mare Pattaya to Walking Street and back, I eventually settled with Thai basil pork rice. I went to Rock Shop and headed back to hotel to catch a much needed sleep.

On my way to Terminal 21.

I woke up again in late afternoon and walked to Terminal 21, a fancy shopping mall similar to the one in Bangkok. Being a boring man in his forties that I am, I ordered the same menu I had two years ago at Terminal 21 in Bangkok: pad thai with lots of white sugar, haha. Also ordered oyster eggs and spring rolls as the meal portion in Thailand was kind of small.

A night walk back to the hotel took place right after the heavy dinner. Pattaya became alive at night. It showed its true colors and it was wild! I passed by Sabai Dee Body Massage that literally offered body to body massage. At the beach, it was amusing to see prostitutes standing about three metres apart. It was almost as if they were lining up! Gogo bars were everywhere. There were also people selling marijuana on the road side. But after sightseeing, I went back to hotel and binged watching Netflix's Blockbuster, a new comedy show featuring Randall Park (from Fresh Off the Boat) and J.B. Smoove (from Curb Your Enthusiasm). 

Walking Street.

The next morning, Pattaya was again back to its sleepy state. I had my Strava time after breakfast, just walked around to have a glimpse of Pattaya. In the daytime, some places in Pattaya did look like my hometown. At night, it transformed into something else! Overall, if partying is not your scene, perhaps Bali is a much nicer place to be than Pattaya.

I returned to Bangkok after checkout, but instead of going to the usual districts such Pratunam, I decided to try out somewhere outskirts this time. I stayed in Bang Na. It is much nearer to Suvarnabhumi Airport, which made it easier for me to catch a morning flight. But much to my surprise, Bang Na was actually quite nice. There was this giant shopping mall called Mega Bangna, right next to Ikea. I spent the whole afternoon there, switching from Food Republic, McDonald's, Starbucks and Food Republic again.

Mega Bangna.

Now, if you had made it this far and you wondered why the story was almost normal and probably boring for a holiday in Thailand, that's because some semblance of normalcy was exactly what I needed. The trip to Kolkata, while exciting, was emotionally exhausting. It was like too much information and so... outlandish. The time in Thailand was like a detox, haha. There was this sense of relief to see the surroundings I was familiar with. In the end, it was good idea to visit both countries in one trip.

PS: my most memorable moment in Thailand this time? I had my first Taco Bell at the airport!

Taco Bell.




Thailand Dalam Sekejap Mata

Pada mulanya Pattaya dan Bangkok tidak termasuk bagian dari rencana. Liburan kali ini sebenarnya khusus untuk mengunjungi Kolkata saja. Akan tetapi saya merasa bahwa lima hari mungkin terlalu untuk Kolkata, tapi terlalu singkat untuk pergi ke tempat lain di India. Ketika saya lihat tiketnya, harga pun tidak terlalu murah. Sekitar IDR delapan jutaan (dan kian hari kian mahal) untuk tiket pergi-pulang Singapore Airlines rute Singapura-Kolkata. 

Oleh sebab itu saya mencari pilihan lain. Lamanya penerbangan dari Singapura ke Kolkata adalah 4 jam 15 menit, jadi bagaimana kalau saya membagi dua durasinya? Akan tiba di manakah saya? Penang dan Phnom Penh sempat terlintas di benak saya karena dua kota ini memiliki Hard Rock Cafe, tapi rute yang cocok hanya Kolkata ke Bangkok. Berdasarkan kalkulasi saya, jika saya menggunakan poin Krisflyer untuk penerbangan ke Kolkata dan menaiki maskapai budget dalam perjalanan pulang, biaya tiket bahkan tidak sampai IDR empat jutaan. Dan karena saya sempat berpikir untuk ke Pattaya namun batal di tahun 2020, saya bisa lanjut ke sana kali ini. 

Liburan yang dikompilasi oleh Google Travel.

Sejauh ini rencana tampak bagus, namun saya ternyata membuat kesalahan yang baru saya sadari sebulan kemudian. Karena jam terbang ke Bangkok adalah 00.30 subuh, saya salah memilih hari. Saya kecewa saat menyadari kesalahan ini. Saya bahkan berusaha mengganti tiket pesawat namun akhirnya berubah pikiran setelah melihat harga tiket yang telah naik berkali-kali lipat. Oh ya, sebagai catatan untuk kita semua, mendapatkan bantuan saat tengah mencoba mengganti tiket lewat aplikasi AirAsia adalah perkara sulit karena AirAsia hanya memilki chatbot Ava. Tidak ada nomor yang bisa dihubungi dan saya sendiri akhirnya baru menemukan alamat email setelah mencari dengan kata kunci AirAsia Thai

Kendati begitu, kesalahan saya ternyata adalah berkat terselubung karena tiga hari tiga malam pun terlalu lama untuk liburan ke Kolkata dan terlalu singkat untuk bolak-balik Pattaya. Karena kini saya memiliki ekstra satu hari, saya bisa menginap di Pattaya, kembali ke Bangkok di hari berikutnya dan pulang ke Singapura esok lusa.

Bersama Pratunesh di Kolkata Airport.

Jadi saya pun berada di Netaji Subhas Chandra Bose International Airport hari Kamis malam. Ketika saya sedang mengisi baterai telepon genggam saya, seorang pelancong tunggal yang akan ke luar negeri untuk pertama kalinya memulai percakapan dengan saya. Kita pun melanjutkan perbincangan di meja makan kedai masakan Cina yang menjual momo alias pangsit. Kemudian, setelah menanti enam jam di bandara, pesawat dengan tujuan Bangkok pun berangkat. 

Saya memiliki waktu satu jam sebelum saya melanjutkan perjalanan ke Pattaya, jadi saya membeli mie instan yang tinggal diseduh dengan air panas di Don Mueang International Airport. Enak nian menenggak sup hangat setelah malam yang panjang dan dingin! Setelah itu saya mencari mobil yang saya pesan lewat KKday. Di gerbang 5, semua nama penumpang digantung di pagar. Saya tinggal menunjuk nama saya, lalu menunggu sebentar sementara mobilnya disiapkan. Lantas meluncurlah saya ke Pattaya. Sistem ini cukup efisien, tapi saya ragu untuk memejamkan mata, sebab supirnya pun berjuang keras untuk tidak memejamkan mata! Untunglah sang supir akhirnya singgah sebentar di tempat peristirahatan di samping jalan tol untuk membeli kopi. 

Saya tiba di Pattaya jam 7 pagi. Pattaya ternyata bukan merupakan kota yang aktif di pagi hari. Banyak toko yang tutup, sedangkan menu sarapan di McDonald's pun mirip yang ada di Singapura, jadi saya lanjut berjalan mencari cita rasa lokal. Setelah berjalan jauh dari Mera Mare Pattaya ke Walking Street dan berbalik ke arah semula, saya akhirnya menyantap pad krapow, nasi dengan lauk daging babi dan daun kemangi. Dari situ saya ke Rock Shop dan kembali ke hotel untuk melanjutkan tidur yang terasa singkat dan tidak karuan di pesawat.

Menuju ke Terminal 21.

Saya terbangun ketika hari sudah sore menjelang senja. Dari hotel saya menuju ke Terminal 21, pusat perbelanjaan yang serupa dengan yang ada di Bangkok. Karena saya adalah pria umur 40an yang membosankan, saya pesan menu yang sama dengan apa yang saya santap di Terminal 21 di Bangkok dua tahun silam: pad thai dengan banyak gula pasir, haha. Saya juga memesan telur goreng tiram serta lumpia karena porsi makan di Thailand tergolong kecil.

Saya berjalan kembali ke hotel setelah makan malam yang berat. Pattaya menjadi hidup ketika matahari terbenam. Neon menyala mengundang pria ke Sabai Dee Body Massage yang menawarkan pijat plus-plus. Di pantai, para pelacur berdiri berjejer setiap tiga meter, seakan-akan mereka berbaris dengan rapi. Gogo bar ada di mana-mana. Penjaja ganja pun bebas bertransaksi dengan pelanggan. Namun setelah melihat-lihat, saya kembali ke hotel dan lanjut menonton Blockbuster, serial komedi terbaru di Netflix yang menampilkan Randall Park (dari Fresh Off the Boat) dan J.B. Smoove (dari Curb Your Enthusiasm). 

Walking Street.

Keesokan paginya, Pattaya kembali tertidur. Saya pun Strava setelah sarapan pagi, berjalan di sekitar hotel. Di pagi hari, beberapa sudut kota terlihat mirip Pontianak. Hanya di malam hari Pattaya berubah menjadi tempat yang sama sekali berbeda. Secara keseluruhan, bila anda tidak suka berpesta, mungkin Bali lebih menarik untuk dikunjungi.

Saya kembali ke Bangkok di siang hari. Alih-alih ke tempat biasa seperti Pratunam, kali ini saya ke tepi kota dan menginap di distrik bernama Bang Na. Lokasinya lebih dekat dengan Suvarnabhumi Airport sehingga lebih mudah bagi saya untuk terbang besok pagi. Kawasan Bang Na ternyata cukup bagus. Ada mal besar bernama Mega Bangna yang berada di samping Ikea. Saya berada di sana sepanjang hari, berpindah lokasi mulai dari Food Republic, McDonald's, Starbucks dan Food Republic lagi.

Mega Bangna.

Nah, jika anda sudah mencapai sejauh ini dan merasa heran kenapa cerita kali ini terasa nyaris normal dan cenderung membosankan untuk liburan di Thailand, ini karena saya butuh sesuatu yang normal menurut standar saya. Liburan ke Kolkata memang menarik, tapi juga melelahkan secara emosional. Rasanya seperti terlalu banyak info dan nuansanya jauh berbeda dengan apa yang menjadi ambang batas normal bagi saya. Waktu yang saya habiskan di Thailand ini jadi terasa seperti detoks, haha. Ada rasa lega ketika melihat apa yang terasa tidak asing lagi bagi saya. Pada akhirnya, saya senang telah mengunjungi dua negara yang kontras ini dalam satu liburan.

PS: apa yang paling saya senangi selama liburan di Thailand ini? Saya akhirnya berkesempatan mencicipi Taco Bell untuk pertama kalinya saat berada di bandara! 

Taco Bell.

Saturday, November 5, 2022

A Glimpse Of India

This story began when my friend Susan visited Singapore in July 2022. We planned to have a dinner in Boat Quay. When I passed by the UOB building, I bumped into Aru, a long time Indian friend of mine. For that split second, it suddenly dawned on me that even though I repeatedly mentioned to him that I wanted to go to India someday, the reality was I hadn't made it.

The fateful dinner that started all.

The idea to make it come true lingered. When my wife and I had a cup of coffee at Hard Rock Hotel in Desaru Coast, I told her that I'd go to India, especially since there wasn't any telltale sign of Japan opening soon. Though she might not understand why, she knew this meant a lot me. It's just something that I wanted to do.

Right after that, I started reading about the possible destinations. My selection criteria was easy: choose the cities that have Hard Rock Cafe and direct flights, so that left me with a handful of candidates such as Mumbai, Bangalore, Kolkata and a few more. Then I read about them on Wikivoyage. As I'd be probably going alone (and that turned out to be true), I paid attention to a section called Stay Safe. And we had a winner here: Kolkata.

I had this insecurity that I'd be stared at a lot since I was probably the only Chinese among the Indians, so I googled "local tour Kolkata" and it came back with the top ten on Tripadvisor. I remember using this website when I booked the Fab Four Taxi Tour in Liverpool and the experience was good, so I chose two tours from the list. One was with a car and it was suitable for sightseeing. The other was a walking tour, as I was curious to know more about the life and history of Kolkata.

My Indian colleagues were helpful in getting me ready for my trip. One told me to print out all the travel documents (I was used to things on the cloud and phone now), the other told me about how much I should tip people there (while INR 500 is only equal to about SGD 8.5, it was way too much for a tip) and at least one prepared me for the worst by saying I'd be robbed the moment I landed in India. 

So began my own journey to the west, as in West Bengal. The flight was about 4 hours 15 minutes, but because Kolkata is GMT+5:30, it is 2 hours 30 minutes behind Singapore Time. I departed around 9.20pm and arrived at 11.10pm local time. 

At the Kolkata Airport.

The immigration was slow, but I had managed the expectation the moment I stepped out from Singapore. About 20 minutes later, I was in the cab that I booked from airportstaxitransfers.com. I began my first car ride in Kolkata. At a first glance, in the dark of the night, Kolkata reminded me of those rundown buildings I saw in Jakarta and Bekasi.

The real adventure began the next morning. Vinod the driver picked me up and we met Leena the guide at the metro station. We drove around to see the colonial buildings, then we went to Mullick Ghat Flower Market. In hindsight, this was the highlight of the tour. I grew up in the market area, but even I never saw the likes of this before! 

At Mullick Ghat Flower Market.

The sheer number of people passing by and doing their things. The noise of people shouting and the incessant beeping of car horn. The colorful flowers in yellow, orange, purple, white and many more. The stinking smell of rubbish that confronted the fragrance of flowers. The order in chaos. All of these mixed together, overwhelming my senses. And behind my mask, I smiled. This is why I was there. Experiencing India.

From the market, we went to see where the god statues was built, then headed to Parshwanath, a Jain temple. After that we had a break at the Indian Coffee House that first opened its door in 1876. It was great, like entering into the past! The coffee somehow reminded me of the one from my hometown, too! I also had a great chat with Leena here as I enjoyed my first veggie cutlet.

The Indian Coffee House. Classic!

The last leg of the tour covered St. Paul's Cathedral, Victoria Memorial and the Mother House. The last destination gave me this melancholy feeling, not very different from the time I visited the house of each Beatle in Liverpool. I mean, there I was, right where a historical figure once lived. The bedroom of mother Teresa was so small and humble. A person so well known for her kindness and had done so much died there, leaving behind a lesson of humility for those who visited her place. 

Leena and I parted ways after that. She dropped me at Hard Rock Cafe, where I had my dinner and grabbed a new addition to my t-shirts collection. Then I recalled what I saw throughout the day: the people dipping into the river near Howrah Bridge, the statues for puja and the ceremony not very far from Prinsep Ghat bridge. The life in India and Ganges River were very much intertwined. The people lived, worked and symbolically died there. This is a culture that has been there long before Jesus. Amazing. 

A pint of Kingfisher at Hard Rock.

The next day, I was picked up by Manjit. We took Uber to Bow Barracks, an interesting small hub in Kolkata. It has Christianity, Buddhism, Hinduism, Islam, Jainism, Taoism, Zoroastrianism, Judaism living side-by-side. The tour began with a brief history of Kolkata and that certainly helped explaining why Kolkata became what it is today. 

As we walked, we met people from all walks of life, too. Up until then, I had been avoiding street food for fear of diarrhea, but I thought it'd be fine if Manjit was the one offering the snacks, so I gave it a try. Results? Dhalpuri, good. Chai, good. Peanuts, good. No diarrhea even though my friends had expected me to have one while in India.

Manjit, inside Seah Ip Church.

We walked quite a bit from Bow Bazar to Ganguly Street and, after passing by an alley, we reached Chinatown. It was interesting to see the Chinese speaking Bengali, haha. I also talked to a uncle. Told me that he was from Shanghai and the surname was Yu (余). As we walked towards Sea Ip Church, I realized what could be the reason I wasn't stared at. I reckon that it was due to the small population of Chinese here that the Indians are used to having them around.

After the visit to the Synagogue, the tour ended. I was like, "oh, we're done already?" Then I returned to hotel, checked out and headed to Quest Mall to have lunch. I couldn't help wondering that if this was the best mall in town, then it was still far cry from the usual ones found in Bangkok or Jakarta. But the KFC was good, though. Ordered pop corn Maggi and biryani. 

In the late afternoon, I realized that I haven't tried the metro. I felt so much secure after what I saw in Chinatown, so I walked to Maidan and took the train to Park Street. The train platform somehow reminded me of what I saw at Hakata Station in Fukuoka, haha. So I jumped into the train and... checked!

In the train.

At night, as I took Uber to airport, I started noticing high-rise buildings outside Kolkata. Upon seeing those, I was reminded again that it was my first time to see a city entirely built from old and rundown buildings. People told me that India is not for the faint-hearted, but after Kolkata, I realized that it was more than that.

You see, unlike places like London or Tokyo where you know for sure that great expectations await, you simply don't go to India because of that. Even I, who loved what I heard, watched and ate so far in Singapore, I still had no clue how it would be if I ever decided to visit India. That was the charm of it.

A friend told me, "why bother going there just to take a picture of a messy electric cable pole?" But he was missing the point. To think that it was the same reason why I went to Madura with him. I went there to soak in the history and the culture. To be there to understand its origin, to appreciate it with all my senses. I enjoyed experiencing that. And as I said earlier, while my wife might not understand why, she was right that this meant a lot to me...

With Pratunesh, a fellow solo traveler on his first overseas trip.




India Secara Sekilas

Cerita kali ini bermula dari kunjungan teman saya Susan ke Singapura di bulan Juli 2022. Bersama Taty dan Andiyanto, kita merencanakan santap malam di Boat Quay. Ketika saya melewati gedung UOB, saya berpapasan dengan Aru, seorang teman Indian yang sudah lama saya kenal. Tiba-tiba saja saya jadi kepikiran bahwa meskipun saya sering bergumam padanya bahwa suatu hari nanti saya akan ke India, nyatanya sampai detik itu saya belum pernah ke India.

Makan malam bersama Susan.

Kemudian ide tersebut muncul dari waktu ke waktu di benak saya. Sewaktu saya dan istri menikmati kopi di Hard Rock Hotel Desaru Coast, saya katakan padanya bahwa saya akan ke India, terutama karena tidak ada tanda-tanda bahwa Jepang akan segera buka untuk turis. Walau dia mungkin tidak mengerti kenapa saya ingin ke India, dia tahu ini adalah sesuatu yang besar artinya bagi saya. Pergi ke India adalah sesuatu yang ingin saya kerjakan. 

Segera setelah itu, saya membaca tentang beberapa tempat tujuan. Kriteria saya adalah seperti ini: kota tersebut harus memiliki Hard Rock Cafe dan penerbangan langsung, jadi yang memungkinkan adalah Mumbai, Bangalore, Kolkata dan beberapa kota lainnya. Saya lantas baca lebih lanjut tentang kota-kota ini di Wikivoyage. Karena ada kemungkinan bahwa saya akan pergi sendiri (dan ternyata benar saya akhirnya pergi sendiri), saya fokus ke bagian artikel yang bertajuk Stay Safe. Pada akhirnya Kolkata pun terpilih sebagai tempat tujuan. 

Saya memiliki rasa was-was bahwa keberadaan saya akan menarik perhatian banyak orang karena saya mungkin adalah satu-satunya etnis Cina di tengah-tengah orang Indian, jadi saya google frase "local tour Kolkata" dan hasil pencariannya menampilkan sepuluh besar di Tripadvisor. Saya pernah menggunakan Tripadvisor saat saya menemukan Fab Four Taxi Tour di Liverpool. Saya puas karena bagus hasilnya, jadi saya percaya dan pilih dua tur dari daftar Tripadvisor. Yang pertama adalah tur menggunakan mobil karena cocok untuk ke mana-mana. Yang satunya lagi adalah tur jalan kaki karena saya ingin tahu lebih lanjut tentang kehidupan sehari-hari di Kolkata.

Kolega-kolega Indian saya pun sangat membantu. Ada yang memberitahukan saya untuk mencetak semua dokumen perjalanan saya (saya cenderung menyimpan semua di cloud dan handphone sekarang), ada juga yang memberikan info tentang jumlah tips yang pas (Meski INR 500 hanya sekitar 90 ribu rupiah, tetapi saja masih terlalu banyak untuk tips) dan setidaknya ada satu orang pula yang selalu mengingatkan bahwa saya dirampok begitu saya tiba di India.

Maka mulailah perjalanan ke barat, lebih tepatnya lagi Bengal Barat. Penerbangan yang ditempuh berdurasi 4 jam 15 menit, tapi karena Kolkata memiliki zona waktu GMT+5:30, maka waktunya  2 jam 30 menit di belakang Singapura. Saya berangkat jam 9:20 malam waktu Singapura dan tiba di sana pukul 11:10 malam waktu India. 

Di Bandara Kolkata.

Petugas imigrasi di bandara Kolkata tidak cekatan kerjanya, namun saya sudah antisipasi ini begitu saya keluar dari Singapura. Sekitar 20 menit kemudian, saya sudah di dalam taksi yang saya pesan lewat airportstaxitransfers.com. Lalu mulailah perjalanan saya di Kolkata. Secara sekilas di tengah malam, Kolkata mirip bagian Jakarta atau Bekasi yang dipadati dengan gedung-gedung tua.

Petualangan sesungguhnya dimulai di pagi berikutnya. Vinod sang sopir menjemput saya dan kita bertemu dengan Leena sang pemandu wisata di stasiun metro. Saya dibawa berputar sejenak untuk melihat gedung-gedung kolonial, lalu kita bertolak ke Pasar Bunga Mullick Ghat. Kalau saya lihat kembali, ini adalah pengalaman yang istimewa dari tur ini. Saya tumbuh besar di dekat Pasar Mawar Pontianak, tapi saya tidak pernah melihat yang seperti di India ini!

Di Pasar Bunga Mullick Ghat.

Jumlah orang yang berlalu-lalang dan mengerjakan aktivitas mereka di tengah hirup-pikuk pasar. Suara orang berteriak dan juga bunyi klakson yang tiada henti. Aneka bunga berwarna-warni, mulai dari kuning, oren, ungu, putih dan sebagainya. Bau busuk sampah yang beradu dengan wanginya bunga. Keteraturan dalam kekacauan. Semua ini bercampur-aduk dan setiap indera saya bekerja keras untuk memproses apa yang saya lihat, dengar, cium dan rasakan. Di balik masker yang saya kenakan, saya jadi tersenyum sendiri. Inilah alasan kenapa saya ke sini. Untuk mengalami dan merasakan India. 

Dari pasar, saya dibawa ke tempat patung-patung dewa dibuat, kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke Parshwanath, sebuah kuil Jain. Sesudah itu, kita beristirahat sejenak di Indian Coffee House yang sudah dibuka sejak 1876. Rasanya seperti kembali ke masa lalu! Kopinya terasa mirip dengan yang ada di Pontianak. Sambil menikmati aneka sayuran yang dipipihkan dan digoreng menjadi satu, saya berbincang-bincang dengan Leena tentang sejarah, agama dan politik di India. 

Di Indian Coffee House yang klasik.

Tur berakhir setelah saya mengunjungi St. Paul's Cathedral, Victoria Memorial dan the Mother House. Destinasi terakhir memberi kesan melankolis, sama seperti yang saya rasakan saat mengunjungi rumah setiap anggota the Beatles di Liverpool. Ada suatu perasaan tersendiri saat berada di kediaman pelaku sejarah. Kamar Ibu Teresa terlihat kecil dan sederhana. Seorang tokoh besar yang telah berbuat banyak kebaikan wafat di ruangan itu, meninggalkan pelajaran tentang kebersahajaan bagi siapa pun yang berkunjung ke sana.  

Leena dan saya pun berpisah setelah itu. Saya minta diturunkan di Hard Rock Cafe untuk membeli kaos dan makan malam. Kemudian saya kenang kembali apa yang saya lihat sepanjang hari ini: orang-orang mandi dan menghantarkan sesajen bagi kerabat yang meninggal di dekat jembatan Howrah, patung-patung dewa yang dibuat dari lumpur sungai dan dibuang kembali ke sungai, serta upacara penguburan yang terjadi tak jauh dari jembatan Prinsep Ghat. Mereka yang hidup di India sungguh memiliki hubungan yang erat dengan Sungai Gangga. Mereka hidup, bekerja dan secara simbolis meninggal di sana, suatu budaya yang telah terjadi jauh sebelum Yesus lahir. Mencengangkan.

Satu gelas Kingfisher di Hard Rock.

Di hari berikutnya, saya dijemput oleh Manjit. Kita naik Uber ke Bow Barracks, sebuah kawasan kecil yang menarik di Kolkata. Di tempat ini Kristen, Budha, Hindu, Islam, Jain, Tao, Zoroastrian dan Yahudi hidup berdampingan. Tur dimulai dengan kisah asal-usul Kolkata yang membantu saya memahami kenapa Kolkata menjadi seperti hari ini. 

Sambil berjalan, saya bertemu dengan beraneka orang dari berbagai profesi. Sampai saat itu, saya menjauhi makanan tepi jalan untuk menghindari resiko diare, tapi saya lantas berpikir bahwa seharusnya yang ditawarkan Manjit itu aman, jadi saya coba cicipi. Hasilnya? Dhalpuri, lumayan. Chai, sedap. Kacang, enak. Tidak ada diare meski pun teman-teman sudah berharap saya kena minimal sekali sewaktu saya berada di India.

Pecinan di Kolkata.

Ada satu kejutan yang saya sukai saat saya tiba-tiba muncul di Jalan Sun Yat Sen setelah menyusuri Ganguly Street. Pecinan! Menarik rasanya melihat orang Cina berbahasa Bengali, haha. Saya juga bercakap sejenak dalam Mandarin dengan pak tua penjaga toko Pou Hing. Dia bercerita bahwa dia berasal dari Shanghai dan marganya adalah Yu (余). Selagi berjalan ke Sea Ip Church, saya menyadari bahwa populasi Cina di kota ini bisa jadi adalah alasan kenapa saya tidak dipelototi oleh orang Indian. Mereka pasti sudah terbiasa melihat orang Cina di tengah-tengah mereka. 

Setelah mengunjungi sinagog, tur pun berakhir. Tanpa sadar saya bertanya, "oh, sudah selesai?" Kemudian saya kembali ke hotel dan check out, lalu ke Quest Mall untuk makan siang. Setelah saya perhatikan, kalau ini yang namanya mal paling bagus di Kolkata, berarti masih jauh kemajuannya bila dibandingkan dengan Bangkok atau Jakarta. Tapi makanan di KFC cukup unik dan lezat: Maggi mie dan nasi biryani plus ayam pop corn dan kari! 

Di dalam metro.

Menjelang senja, saya lantas teringat bahwa saya belum mencoba metro di sana. Setelah mengunjungi Pecinan, saya merasa aman untuk berjalan kaki di Kolkata, jadi saya pergi menuju Maidan dan naik metro ke Park Street. Tempat menaiki metro ternyata mirip dengan apa yang saya lihat di Stasiun Hakata, Fukuoka, haha. Jadi saya pun akhirnya naik metro! 

Di malam hari, sewaktu saya berada di Uber menuju bandara, saya perhatikan gedung-gedung yang baru dan tinggi di luar Kolkata. Hal ini mengingatkan saya bahwa di Kolkata inilah saya pertama kalinya melihat satu kota yang isinya gedung-gedung tua. Dulu sering saya dengar bahwa India itu bukan untuk mereka yang tidak siap mental, tapi setelah melihat Kolkata, saya rasa pendapat tersebut tidak tepat. 

Sebagai contoh, berbeda halnya dengan kota-kota seperti London atau Tokyo di mana Anda memiliki ekspektasi yang tinggi tentang apa yang akan anda jumpai, anda tidak akan ke India dengan perasaan yang sama. Bahkan saya yang suka dengan apa yang saya dengar, lihat dan makan selama di Singapura, saya sendiri pun tidak tahu apa yang akan saya alami saat ke sana. Inilah daya tarik sesungguhnya dari India. 

Seorang teman berkata kepada saya, "kenapa ke sana hanya untuk memotret tiang listrik yang semrawut?" Tapi dia tidak mengerti, meski pun dia pernah bersama-sama saya dalam kunjungan serupa ke Madura. Saya ke India karena ingin menikmati sejarah dan budayanya. Saya ke sana untuk mencari tahu tentang asal-usulnya, lalu mengapresiasi semua itu dengan panca indera saya. Saya menyukai pengalaman tersebut. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, istri saya pun mungkin tidak mengerti alasan ini, tapi dia tahu bahwa semua ini berarti bagi saya...  

Sunday, October 30, 2022

The Islands

Earlier this month, few weeks before the trip to Karimunjawa took place, a friend in our group chat commented about the danger of going to an island in October. She said stuff about bad weather and the sea could be unpredictable. The remark annoyed the head honcho of the trip and he immediately ranted on about how often the person who made the comment actually visited any islands for the past 42 years of her life. Was she actually so experienced or qualified about the topic she was talking about?

As the gas stove in the group, it was fun to take part in this heated conversation. But I was also intrigued to count how many times I had visited the islands. You see, I always preferred to visit cities, but it turned out that I also visited quite a number of islands, too. From 1998, I had gone to many islands, from Temajoh, Bali, Batam, Sentosa, Boracay, Penang, Bidadari, Phuket, Ko Phi Phi, Samosir, Bohol, Pulau Ubin, Miyajima, Bintan to Madura. That, I would say, was quite a lot for someone who wasn't exactly a fan.

Memorable for all the wrong reasons was, of course, Temajoh. It wasn't a blessed trip to begin with and that's probably why it was the only trip where, whether you believe it or not, I had my first and only encounter so far with the other realm. 24 years later, we still talked about it from time to time, but I'd never set foot there again for the rest of my life.

In Bali with my uncles and my auntie.

Bali is the complete package: the food, the nature and the culture. So different than other places in Indonesia that I had been to. It might not be the most modern island I ever visited (that title would go to Sentosa), but it didn't have to be, for it was very charming. My first three trips happened in 2004-2005 and the fourth one happened in April this year, about 17 years since I last went there. Nice place to be for a short break.

Batam is like the default place to go for a short getaway. It is so close to Singapore that every time I feel like having Indonesian cuisines, I can just go there. It is also a transit gateway for me to go back to my hometown. When you are an Indonesian or an ex-Indonesian living in Singapore, you are likely to visit this island from time to time.

In Boracay.

Boracay was famous 14 years ago, though to be frank it offered pretty similar attractions like any other islands such as water sports, the crystal clear sea water, etc. But it came with some Pinoy flavours like sisig and San Miguel. I think the only reason I went there was so that I could be with Yani, haha. In normal circumstances, no way I'd go to such places. 

Penang, the part where Georgetown was located, was also an island. It was quite lively, brimming with Chinese influence, I'd say. The most memorable place was a temple called Kek Lok Si. I think that was the first time I ever used the word serene to describe how I felt, especially when I was nearby the big Buddha statues. So tranquil.

With Yani in Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari was another island that I went solely because of Yani. We didn't see much of the island because... we went there for pre-wedding pictures, haha. It was the same with Phuket. It was also with Yani during our honeymoon. By the way, remember when I mentioned about Bali offering the complete package? It was in Phuket that I got this idea. Both were quite similar that I couldn't help comparing, I concluded that one would have so much more in Bali, except Simon Cabaret. Probably.

My idea of honeymoon was to relax, but I guess Yani was more adventurous. That's how we ended up visiting Ko Phi Phi. It wasn't exactly near. About two hours ride when taking the larger ferry as Ko Phi Phi is between Phuket and Krabi. Apart from the tsunami signs on the roadside, I barely recall how the island looked like back in 2011.

In Ko Phi Phi.

Samosir is an island in the center of Lake Toba. I went to the lake twice, first time was in 2005. The second visit happened seven years later and it was during this time that we went to see Samosir. Quite interesting as there was a museum and some historical sites of Batak people here, but I reckon it was only worth visiting once. I mean, if you had gone a long way from Medan to Lake Toba (about four hours), you might as well go there. 

Bohol was again the brainchild of Yani, just like how we visited Ko Phi Phi. I was comfortable doing nothing in Cebu, but Yani felt that we could spend the extra day in Bohol, the neighbouring island, so off we went. And she was right. Bohol was worth the effort. I personally enjoyed checking out the tarsiers. Never saw this primate before. It was also in Bohol that I came to realize wherever we went in Southeast Asia, the flora actually looked pretty much the same.

Chocolate Hills, Bohol.

Pulau Ubin was another reminder of how Singapore was part of the archipelago that formed Indonesia and Malaysia. The wooden boat we took, the old houses that sold coconuts, they were quite similar with what I saw back in West Borneo. Went there once with my parents and never returned to the island since then.

If there was an island felt so different that those I had visited before, it had to be Miyajima. It was not very far from Hiroshima and you'd be greeted the tame deer the moment you arrived. There was this torii gate that was supposed to be flooded during the high tide. The island also had a lot of spatulas, from tiny ones to the world's biggest spatula. 

With Yani in Bintan.

Bintan was very much another option for those who stay in Singapore (or less preferred option for me). It was known for two things: Bintan resorts and the capital city of Kepulauan Riau province: Tanjungpinang. None was as charming as Batam. Bintan resorts were pricey and overrated whereas Tanjungpinang looked rundown.

The last island I went so far was Madura. It was a planned visit, one of a few islands I actually wanted to go. The Madura people had a long, illustrious history in Pontianak, therefore I'd like to see the island that shaped the character of its people. A tough place indeed.

Now, back to the trip to Karimunjaya. Did the weather go wild for those who went there? No, it was fine and the boys had some fun there, though it was kind of surprising to see the head honcho bringing the whole family. Not only it was unannounced, but it was also unexpected. But perhaps it got to do with the upcoming trip in 2023. Until then, stay tuned!

The boys in Karimunjawa.




Berkelana Ke Pulau

Awal bulan ini, beberapa minggu sebelum liburan ke Karimunjawa tiba, seorang teman di grup WhatsApp berkomentar tentang bahaya ke pulau di bulan Oktober. Dia berceloteh tentang cuaca buruk yang mungkin terjadi. Pendapat ini ternyata membuat ketua panitia menjadi jengkel dan dia pun mengomel panjang-lebar tentang seberapa sering sebenarnya orang yang berkomentar ini ke pulau selama 42 tahun terakhir. Memangnya punya cukup pengalaman sampai bisa berujar tentang cuaca? 

Sebagai kompor gas di grup, saya senang terlibat dalam topik yang mulai memanas seperti ini. Namun saya juga tergelitik untuk menghitung, seberapa sering saya sudah ke pulau sampai sejauh ini? Saya pribadi lebih menyukai perkotaan, tapi ternyata saya pun juga sudah mengunjungi beberapa pulau. Dari tahun 1998, saya sudah ke Temajoh, Bali, Batam, Sentosa, Boracay, Penang, Bidadari, Phuket, Ko Phi Phi, Samosir, Bohol, Pulau Ubin, Miyajima, Bintan dan Madura. Cukup banyak juga untuk orang yang tidak menggemari liburan ke pulau. 

Yang berkesan karena alasan-alasan tidak benar adalah Temajoh. Ini bukanlah liburan yang mendapat restu orang tua dan mungkin karena inilah, percaya atau tidak, sekali-kalinya saya berinteraksi dengan dunia lain. 24 tahun kemudian, kita masih mengenang kembali liburan ini, tapi saya tidak akan kembali lagi ke sana sampai akhir hayat saya. 

Bersama paman dan tante saya di Bali.

Kalau Bali, yang terasa adalah satu paket lengkap yang mencakup makanan, alam dan budaya. Pokoknya berbeda dengan wilayah lain di nusantara. Bali bukanlah pulau paling modern yang pernah saya kunjungi (gelar ini lebih cocok disandang oleh Pulau Sentosa), tapi Bali tidak perlu menjadi yang paling modern karena pesonanya yang sangat memikat. Tiga liburan pertama saya terjadi di tahun 2004-2005 dan yang ke-empat terjadi di bulan April tahun ini, sekitar 17 tahun setelah saya terakhir ke sana. Bali cocok untuk liburan sejenak. 

Akan halnya Batam, ini adalah tempat kunjungan akhir pekan. Begitu dekat dengan Singapura sehingga bila saya ingin mencicipi makanan Indonesia, saya tinggal menyeberang ke Batam. Pulau ini juga menjadi tempat transit jika saya ingin kembali ke Pontianak. Orang Indonesia atau mantan warga Indonesia yang tinggal di Singapura pasti akan pergi ke Batam dari waktu ke waktu. 

Di Boracay.

Boracay boleh dikatakan cukup terkenal 14 tahun silam, walaupun jujur saya katakan bahwa suasananya mirip dengan pulau-pulau lain yang menawarkan hal serupa, misalnya aneka olahraga air, laut yang jernih dan sebagainya. Yang berbeda di sini adalah nuansa Pinoy, misalnya sisig dan bir San Miguel. Saya rasa satu-satunya alasan saya ke sana adalah agar bisa bertemu dengan Yani, haha. Kalau bukan karena itu, tidak mungkin rasanya saya main ke sana. 

Penang, tepatnya lokasi kota Georgetown, juga merupakan sebuah pulau. Cukup semarak dan kental pula dengan budaya Cina. Yang paling saya ingat dari kunjungan saya ini adalah kuil bernama Kek Lok Si. Setelah kunjungan inilah saya pertama kalinya menggunakan kata serene yang berarti tenteram untuk menjabarkan apa yang saya rasakan, terutama saat berada di dekat patung Buddha. Begitu damai rasanya.

Bersama Yani di Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari juga merupakan tempat yang saya kunjungi semata-mata karena Yani. Kita tidak berjalan-jalan pulau ini karena kita ke sana dalam rangka pemotretan foto pranikah, haha. Demikian halnya juga dengan Phuket. Saya ke sana bersama Yani untuk berbulan madu. Oh ya, sempat saya katakan di atas bahwa Bali merupakan satu paket lengkap. Sewaktu di Phuket inilah saya merumuskan pendapat ini. Karena mirip, saya lantas bandingkan. Anda akan jumpai lebih banyak yang menarik di Bali, kecuali Simon Cabaret. 

Apa yang saya inginkan dari bulan madu hanyalah bersantai-ria, namun Yani mungkin lebih bersemangat menjelajah ke sekitar. Oleh sebab inilah kita ke Ko Phi Phi. Jaraknya tidak terlalu dekat juga, sekitar dua jam kalo naik feri berukuran besar karena Ko Phi Phi terletak di antara Phuket dan Krabi. Selain rambu tsunami di tepi jalan, saya tidak ingat lagi seperti apa pulau ini di tahun 2011.

Di Ko Phi Phi.

Samosir terletak di tengah Danau Toba. Saya dua kali ke Danau Toba dan pertama kali ke sana di tahun 2005. Kali kedua terjadi tujuh tahun kemudian dan di kali ini saya ke Samosir. Cukup menarik juga bila anda menikmati museum dan tempat bersejarah, tapi rasanya cukup sekali ke sini. Jika anda sudah menempuh empat jam dari Medan ke Danau Toba, anda bisa sekalian ke sini. 

Bohol lagi-lagi merupakan ide Yani. Saya sudah cukup puas dengan kunjungan ke Cebu, tapi Yani merasa bahwa satu hari ekstra ini bisa dimanfaatkan ke Bohol dan dia sungguh benar. Saya menikmati kunjungan ke penangkaran tersier, sejenis monyet kecil yang hidup di pulau ini. Dan juga di Bohol inilah saya menyadari bahwa selama kita berkeliling Asia Tenggara, pemandangan dan tumbuhannya kurang lebih sama. 

Bukit Coklat, Bohol.

Pulau Ubin mengingatkan saya kembali bahwa Singapura adalah bagian dari kepulauan yang membentuk Indonesia dan Malaysia. Perahu kayu yang membawa kita ke sana, rumah-rumah tua yang menjual kelapa muda, semua ini serupa dengan apa yang saya lihat di Kalimantan Barat. Saya hanya pernah ke sana satu kali bersama orang tua saya dan tidak pernah kembali lagi semenjak itu. 

Jika ada pulau yang terasa sungguh berbeda, maka pulau itu adalah Miyajima. Letaknya tidak jauh dari Hiroshima dan anda akan disambut oleh rusa-rusa jinak begitu anda mendarat. Tak jauh dari dermaga, ada gerbang torii yang terendam laut di saat air pasang. Selain itu, yang unik adalah berbagai ukuran sendok nasi dari bahan kayu yang bisa ditemukan di sana, mulai dari yang mungil sampai sendok nasi terbesar di dunia. 

Bersama Yani di Bintan.

Selain Batam, Bintan juga sering menjadi alternatif bagi yang tinggal di Singapura. Saya sendiri tidak begitu suka ke sana. Pulau ini dikenal karena dua hal: kawasan hotel dan ibukota provinsi Kepulauan Riau: Tanjungpinang. Dua-duanya tidak terlalu menarik. Kawasan perhotelan Bintan tergolong mahal dan Tanjungpinang masih sangat terbelakang. 

Pulau terakhir yang saya kunjungi sampai sejauh ini adalah Madura. Kunjungan ke sana memang direncanakan karena saya ingin lihat sendiri, seperti apa Madura ini. Orang-orang Madura memiliki sejarah yang panjang di Pontianak, karena itu saya ingin tahu, seperti apa pulau yang membentuk karakter orang Madura ini. Ternyata memang tempat yang keras. 

Sekarang mari kita kembali lagi ke liburan ke Karimunjawa. Bagaimana dengan cuacanya pas liburan berlangsung? Semuanya baik-baik saja dan teman-teman terlihat gembira, tapi yang agak mengejutkan adalah saat melihat ketua panitia membawa keluarga. Kesannya mendadak dan tak terduga, namun mungkin ini ada hubungannya dengan liburan tahun 2023 nanti. Siapa tahu? Mari nantikan! 

Tim Karimunjawa.