Total Pageviews

Translate

Friday, April 13, 2018

Filipino Fiesta

When it comes to food porn, pork is the temptation that I find it hard to resist. My earliest recollection about it was Grandma's braised pig trotter. I remember staring at the oily cuisine, having my fair share of doubt in putting the meat into my mouth. Then I looked at my Granddad whom was there with me in the dining room and, as he was busy chewing, he muttered that it was the best dish ever. Upon hearing that and seeing how he enjoyed it so much, I was encouraged to take a bite and that was it. Sinful though those layers of fat were, I had no regrets. Let there be pimples and stomach upset! I'd take all the risks for a plate of Grandma's recipe!

Fast forward to many years later, I was a lanky young man in Jakarta. Soedjoko, a friend of mine, brought me to this eatery called Lapo Ni Tondongta. He introduced me to saksang and panggang, the Batak cuisines. They tasted really good! Up until then, I always thought that only Chinese knew how to deal with pork, hence the experience was an eye-opener. There were a lot of good pork-based cuisines out there and it didn't have to be Chinese food to be delicious!

Sisig.

Then came the day when I had my dinner with my girlfriend at an open space dining place in Boracay. Under the well-lit night sky, as the sea waves caressed the beach playfully, I had my first plate of sisig and washed it down with a can of San Miguel. Conclusion? I knew Grandma's recipe would always be in my heart, Lapo was a lifetime favourite and German pork knuckle that I tried during my stay in Singapore was mouth-watering, but the Filipino really upped the game to an entirely different level! Best feeling ever. It was the sum of many things: good ambience, great food and unforgettable moment.

It was so surreal that it was like a dream, really. Hence after the excitement subsided, I was a bit skeptical. Was it actually overrated? Five years after that, I was once again in the Philippines. That's when I tried lechon kawali. It was... how to put it? An enlightenment, really. If heaven was a place on earth, I was convinced there and then. I'm a proud Chinese Indonesian, but since that moment onwards, I'd humbly say just leave the pork to the Filipino for they'd cook you something good out of it.

Lechon kawali served with a plate of rice. 

I was a fan since then. If I went for the quick one, I'd normally have either lechon kawali or one of the tapa menus (consisted of tapa king, queen, prince and other variants of tapsilog). Lechon is a crispy pork, as crispy as a good pork dish should be. Tapa is fried cured meat, often served together with garlic fried rice (sinangag) and egg (itlog), which is shortened as tapsilog.

The proper meal is even more interesting. Recently I had a chance to go with my colleague Carl Barlis to Filipino Fiesta and as the host, he ordered what were good for our lunch. We had ginisang munggo (soup with green bean and bitter gourd), chicharon bulaklak (fried ruffle fat), lechon kawali, sisig (grilled pig head and liver with a tinge of sour taste) and pork adobo (pork belly cooked with vinegar and soy sauce). Needless to say, a splendid time was guaranteed for all. It was a good lunch, closed with dessert a called flan. A Filipino fiesta indeed!

Ginisang munggo.


Makanan Filipina

Kalau bicara soal makanan, daging babi adalah godaan yang sulit saya tolak. Kenangan yang paling awal tentang masakan ini adalah kaki babi yang dimasak oleh Nenek. Saya ingat bahwa saat itu saya menatap masakan yang berlemak itu dan merasa ragu untuk mencicipinya. Saya lantas memandang Kakek yang sibuk mengunyah. Tiba-tiba dia bergumam dengan mulut penuh bahwa ini adalah makanan terlezat di dunia. Setelah menyaksikan bagaimana dia menikmatinya, saya langsung tergerak untuk mencoba begitu saya mendengar kesaksiannya. Sejak itu hidup saya tidak pernah sama lagi. Lapisan lemak dan tetesan minyaknya sungguh menggoyahkan iman! Biarlah nantinya tumbuh jerawat atau sakit perut, saya siap mengambil resiko demi kaki babi yang dimasak oleh Nenek.

Bertahun-tahun kemudian, saya adalah seorang pemuda kurus di Jakarta. Soedjoko, teman yang saya kenal dari sejak di Kalbe, mengajak saya makan di Lapo Ni Tondongta. Dia memperkenalkan saya pada saksang dan panggang, masakan Batak. Rasanya sungguh luar biasa! Sebelumnya, saya kira hanya orang Tionghoa yang pandai mengolah masakan berbasis daging babi, tapi pengalaman ini sungguh membuka wawasan saya. Ternyata ada begitu banyak masakan non-Chinese yang mengandung babi dan lezat.

Saksang dan panggang.

Selanjutnya tiba hari dimana saya menikmati makan malam bersama pacar saya di sebuah tempat makan terbuka di Boracay. Di bawah langit malam yang terang, tatkala ombak menyapa pantai dengan mesranya, saya menikmati sepiring sisig dan membilasnya dengan sekaleng San Miguel. Kesimpulannya? Saya tahu bahwa resep Nenek saya akan selalu di hati, Lapo merupakan favorit seumur hidup dan babi panggang Jerman yang saya coba saat tinggal di Singapura sangatlah menggiurkan, tapi orang Filipina membawa seni memasak daging babi ke level yang melebihi semua yang pernah saya coba. Pokoknya menakjubkan. Suasana yang santai, makanan yang sedap dan saat yang tidak terlupakan.

Rasanya seperti mimpi. Ketika perasaan takjub itu reda, saya jadi sedikit ragu. Apa penilaian saya terlalu berlebihan dan terbawa suasana, ya? Lima tahun setelah kunjungan ke Boracay, saya kembali lagi ke Filipina. Saat itu saya mencoba lechon kawali. Apa yang saya rasakan bagaikan pencerahan. Jika memang ada surga di dunia, maka saat itu juga saya percaya. Terus-terang saya bangga menjadi Tionghoa Indonesia, tetapi sejak itu saya dengan rendah hati mengakui keunggulan orang Filipina dalam hal kuliner daging babi.

Tapa pangeran.

Setelah pengalaman tersebut, saya menjadi seorang penggemar. Jika saya ingin menyantap menu Filipina, biasanya saya akan memesan lechon kawali atau tapa, mulai dari tapa raja, tapa ratu, tapa pangeran sampai beraneka ragam tapsilog lainnya. Lechon adalah daging babi yang digoreng hingga benar-benar garing. Tapa adalah daging yang dikeringkan, biasanya disajikan bersama nasi goreng bawang (sinangag) dan telur (itlog). Nama-nama ini lantas disingkat menjadi tapsilog. 

Baru-baru ini saya juga berkesempatan untuk pergi bersama rekan kerja saya Carl Barlis ke Filipino Fiesta. Sebagai tuan rumah, dia memesan menu yang kiranya enak untuk makan siang kami. Kita lantas menikmati ginisang munggo (sup kacang hijau yang dimasak bersama pare), chicharon bulaklak (urat sendi babi yang digoreng), lechon kawali, sisig (kepala dan hati babi yang dicincang dan dipanggang dengan sedikit rasa asam) serta adobo (perut babi yang dimasak dengan cuka dan kecap), kemudian kita tutup dengan pencuci mulut yang disebut flan. Sungguh makan siang yang memuaskan. Benar-benar Filipino Fiesta, pesta makanan Filipina! 

Chicharon bulaklak.


No comments:

Post a Comment