Total Pageviews

Translate

Saturday, July 14, 2018

Wonderful Indonesia: North Sumatra

Back in 1996, when I was travelling to Jakarta, the ship that I boarded made a detour to pick up more passengers in Lampung. While the ship was in transit, I went down for a while and stood proudly on the dock. It was meant to be a joke. I just had to do it so I could aptly say that I'd been to Sumatra, haha.

The proper visit to Sumatra came almost a decade later in a form of a business trip. I was working at Kalbe then and the company had an office in Tanjung Morawa. With my colleague Felik, I flew to Medan to setup the network connection. It was a short stint, but we still managed to complete our tasks before the deadline, so we made good use of our time by visiting Lake Toba.

Setia and Bernard, when we were heading to Samosir. 

And it was a visit to remember, one that I would repeat many years later in 2012. I went with Setia and Bernard this round. We were on holiday and on our first day in Medan, we just walked around without any clear direction. Bernard and Setia just got to know each other then, we basically just hung out and talked (it's also interesting to note that as the third biggest city in Indonesia, Medan wasn't a metropolis like Jakarta or Surabaya).

We wandered around and ended up visiting one shopping mall that we passed by. Bernard bought a few pairs of glasses simply because they were unbelievably cheap, especially when compared with the pricing in Singapore. After that, since we didn't have any itinerary at all, we went back to hotel and took a nap instead, haha. It was only at night that we went out again to try all the good food, including Mie Tiong Sim, on Jalan Selat Panjang. They sold everything there, even the meat of the monitor lizard!

Exploring Selat Panjang. 

The next morning, we headed to Lake Toba. After almost a decade since my initial visit, the road condition remained the same. It was still a two-hour ride to Pematang Siantar, a small town famous for Badak soft drink and non-Chinese people that are capable of speaking Hokkien dialect. We stopped for a quick bite there before resuming another two-hour ride to Lake Toba.

As we approached the famous lake, the view was astounding. Do remember that Lake Toba was originally a giant crater before it was filled up with water, so we travelled the long and winding mountainous road. On our left were the rugged cliffs. On our right, there was a long stretch of gorge. From afar, there was sunlight glimmering on the surface of Lake Toba. It was beautiful.

When we reached the lakeside, I remembered again why it was a sight to remember. Lake Toba is a great body of water, so colossal that you even can't see the other side of the lake! It's just so impressive. Right in the middle of the lake, there is an island called Samosir. It was once an important site for ancient Batak people, but had become very commercialised these days. We took the speed boat to get there. It was one hell of a ride as the driver kept drifting in the middle of the lake as if he was the main character of Initial D. It seemed like he had this need for speed at the expense of the paying customers.

We did only a day trip to Lake Toba, so we went back to Medan after we crossed back to the mainland. The next day, we bought Bika Ambon, (yes, despite the name, Bika Ambon is a popular gift from Medan) and then we flew back to Singapore...

Bika Ambon and Setia at Polonia.


Indonesia Yang Menakjubkan: Sumatra Utara

Di tahun 1996, kapal tujuan Jakarta yang saya tumpangi sempat singgah sebentar di Lampung untuk mengambil penumpang. Ketika kapal sedang berlabuh, saya bergegas turun untuk berdiri di bumi Sumatra. Setelah itu, saya sering bercanda bahwa saya sudah pernah ke Pulau Sumatra, haha.

Setelah hampir sepuluh tahun kemudian, barulah saya mendapat kesempatan untuk benar-benar mengunjungi Sumatra. Saat itu saya bekerja di Kalbe dan perusahaan ini memiliki kantor cabang di Tanjung Morawa. Bersama kolega saya Felik, saya berangkat ke Medan untuk memasang jaringan komputer. Kunjungan kerja itu sendiri sebenarnya cukup singkat, namun kita ternyata bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari rencana semula. Akhirnya Felik dan saya pun menggunakan waktu yang tersisa untuk mengunjungi Danau Toba.

Felik, sewaktu berada di kantor cabang Tanah Abang.

Kunjungan tersebut sangat berkesan, sayang tidak ada fotonya. Kendati begitu, ternyata saya berkesempatan untuk pergi lagi ke Danau Toba,  kali ini dalam rangka liburan. Bersama Setia dan Bernard, saya pun mendarat lagi di Bandara Polonia di tahun 2012.

Kita menginap di Grand Swiss-Belhotel yang berbintang lima tapi sangat terjangkau harganya. Di hari pertama kita di Medan, kita berjalan tak tentu arah (menarik untuk dicatat bahwa sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia, Medan tidak memiliki nuansa metropolitan seperti halnya Jakarta dan Surabaya). Saat itu Setia dan Bernard baru berkenalan satu sama lain, jadi pada dasarnya kita hanya berbaur dan berbincang-bincang. Kita lantas masuk ke sebuah mal yang kebetulan kita lewati. Pada kesempatan itu, Bernard membeli beberapa pasang kacamata karena murahnya harga di Medan, apalagi jika dibandingkan dengan Singapura. Setelah itu, karena tidak memiliki tujuan yang pasti, kita akhirnya kembali ke hotel untuk tidur siang. Ketika malam tiba, barulah kita pergi ke kawasan Selat Panjang untuk mencicipi masakan Medan, termasuk Mie Tiong Sim. Masakan yang dijual di kawasan tersebut sangat beragam. Bahkan daging biawak pun dijual di sana!

Bernard dan Setia, jalan kaki keliling Medan. 

Keesokan paginya, kita menempuh perjalanan darat menuju Danau Toba. Kondisi jalannya masih hampir sama seperti saat saya pertama ke sana. Butuh waktu dua jam untuk berangkat dari Medan Pematang Siantar. Kota kecil ini terkenal dengan minum sarsi cap Badak dan juga penduduk non-Tionghoa yang lancar dalam berbahasa Hokkien. Kita sempat mampir ke Siantar untuk makan siang sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke Danau Toba.

Dua jam kemudian, Danau Toba pun mulai terlihat. Pemandangan saat kita memasuki Parapat cukup bagus. Perlu diingat bahwa Danau Toba itu sebenarnya kawah gunung berapi, jadi kita melintasi jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Di sebelah kiri jalan ada tebing, sedangkan di sebelah kanan ada jurang. Di kejauhan, sinar matahari berkilau menerpa permukaan air danau. Indah nian.

Saat kita mencapai tepi danau, saya jadi teringat lagi saat-saat pertama saya melihatnya. Danau Toba ini luar biasa luasnya bagaikan laut tak bertepi. Seberang danau sama sekali tidak terlihat dari tempat saya berdiri. Sungguh menakjubkan. Di tengah danau, ada sebuah pulau bernama Samosir. Pulau ini dulunya adalah bagian yang penting dari budaya Batak, tapi kini penuh dengan para pedagang kaos dan suvenir yang mencari nafkah. Setelah melihat museum dan kuburan raja-raja Batak, kita kembali ke Parapat.

Setia dan Bernard bersantai di Starbucks dekat Grand Swiss-Belhotel.

Kita tidak berencana untuk menginap di Danau Toba, jadi kita pun kembali ke Medan pada hari yang sama. Di hari berikutnya, kita membeli Bika Ambon sebagai oleh-oleh (menarik untuk diketahui bahwa meski namanya Bika Ambon, makanan ini justru populer di Medan) dan akhirnya kembali ke Singapura.

No comments:

Post a Comment