Total Pageviews

Translate

Saturday, November 14, 2020

City Vs. Nature

I woke up with this thought in mind: city or nature? Gosh, I must have missed traveling so much! I just had to get this out of my system, didn't I? So what will be the answer? To me, it's obvious. I love cities, but that's not to say I simply dislike nature. It's more complicated than that. 

Between the two options, I didn't really have good experiences with nature. The few trips I had, including Temajo and Boracay, were not exactly enjoyable. Perhaps I didn't really know how to appreciate the beauty of nature. To me, it was like, "okay, it's nice, but what should we do next?" 

Island hopping in Boracay. I don't think I enjoyed this, haha.
Photo by Yani Evelyn Robinson. 


I remember that as a kid, I had a three-hour car ride from Pontianak to Pasir Panjang. Once we reached there, all that I saw was a long stretch of sandy beach with endless waves came into shore. We were under the sun, playing with the waves, but it was only a matter of time before it started to get boring. It was the same with Temajo. Time passed really slow when we were supposed to relax and I felt inept when we started exploring the island. Being adventurous in the wilderness just wasn't for me. I was very much a city boy that my fondest memories in Boracay were sisig, the band that sang November Rain and the Da Vinci Code that was showing on TV.

I found it not sustainable to only go for nature. The story would be different if the sightseeing was part of the itinerary. For example, I cherished the visit to Chocolate Hills in Bohol and the time in Xihu, Hangzhou. The former was unique and the latter was majestic, but most importantly, I spent just the right amount of time to admire their beauty and by the end of the day, I got to go back to the city I originally visited to do another things.

In Chocolate Hills. Don't mind the expression. It was the sun!
Photo by Yani Evelyn Robinson.

So, yeah, pure nature just didn't work for me. Cities were better, but to be more precise, what I meant here were modern cities that are big and safe. Tokyo and Osaka were excellent examples. Not only it was easy to get around thanks to the extensive metro system, it also felt safe even at night (I somehow remember Dōtonbori). Choices of food were abundant. Attractions were aplenty and easily reachable. The good coverage of Google Maps was definitely a great help for me to explore the city.

Less advanced cities such as Yangon or Surabaya were notably harder to navigate around as they lacked of metro systems. Luckily, this problem was more or less resolved by Uber and Grab. But still these cities weren't pedestrian-friendly, which was too bad. As of why this mattered, that's because I loved walking since a long time ago. Back when I was living in Pontianak, I used to walk around with my friend Parno. Then, in Singapore, walking had become part of life. 

Exploring Singapore on foot with Endrico and Parno.

Up until here, you might have noticed that I mentioned metro twice. I just loved this transportation! It was practical and you wouldn't go wrong with it. Language barrier wouldn't be an issue here, because you just had to look at the map. The same reference was also useful in planning the route we would be taking. 

To summarize the answer of city vs. nature, I'd say this: always planned for cities with a slight detour to nature! I remember Hiroshima and the visit to Miyajima. I remember Guilin and the visit to Yangshuo. They were cool and memorable.

Cruising on the Li River, Yangshuo.
Photo by Yani Evelyn Robinson.



Wisata Kota Atau Alam?

Seminggu lalu saya terbangun dengan pertanyaan ini di benak saya: wisata kota atau alam? Sepertinya saya memang sudah butuh jalan-jalan sehingga sampai terbawa mimpi, haha. Kalau sudah seperti ini, saya perlu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Jadi apa jawabannya? Bagi saya pribadi, saya lebih suka kota, tapi tidak lantas berarti saya tidak suka alam sama sekali. 

Di antara dua pilihan ini, saya tidak memiliki pengalaman yang menyenangkan tentang wisata alam. Beberapa liburan yang saya lalui, termasuk masa-masa di Temajo and Boracay, tidak begitu saya nikmati. Ini mungkin karena saya tidak begitu mengerti cara menikmati keindahan alam. Rasanya seperti, "oh ya, bagus sekali, tapi apa acara berikutnya?" 

Berlayar dari pulau ke pulau di Boracay. Saya tidak begitu menikmati ini, haha. 
Foto oleh Yani Evelyn Robinson. 


Sewaktu kecil, saya pernah menempuh jalan darat selama tiga jam dari Pontianak ke Pasir Panjang. Tatkala sampai di sana, sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah pantai pasir dan ombak yang menggulung tiada henti ke arah saya. Di bawah terik matahari, saya diajak menikmati terjangan ombak, tapi lama-kelamaan bosan juga. Sama halnya ketika di Temajo. Waktu berjalan pelan saat kita bersantai di pantai. Saat kita menjelajahi pulau, saya justru merasa tidak bisa berbuat banyak di lingkungan yang begitu asing bagi saya. Bertualang di alam benar-benar tidak cocok bagi saya karena saya cenderung memiliki karakter anak kota, sehingga kalau bicara tentang Boracay, yang terkenang oleh saya adalah sisig, grup musik yang membawakan lagu November Rain dan film Da Vinci Code yang kebetulan ditayangkan di TV.

Pokoknya liburan yang hanya berkunjung ke alam terasa tidak memiliki pesona yang tahan lama dan saya pun akan merasa bosan karena tak lagi tertarik. Akan berbeda halnya jikalau menikmati pemandangan alam adalah bagian dari rute perjalanan. Sebagai contoh, saya senang dengan kunjungan singkat ke Chocolate Hills di Bohol dan juga waktu yang saya habiskan di Xihu, Hangzhou. Yang pertama terlihat unik dan yang satunya lagi benar-benar bagus dan damai. Namun yang lebih penting lagi adalah, setelah puas menikmati keindahan alam, saya bisa kembali ke kota dan mengerjakan hal lainnya. 

Di Chocolate Hills. Abaikan ekspresi saya. Ini karena sinar matahari!
Photo by Yani Evelyn Robinson.

Jadi saya lebih menyukai kota. Lebih tepatnya lagi, saya suka kota-kota modern yang besar dan aman, misalnya Tokyo dan Osaka. Di kota seperti ini, mudah bagi kita untuk pergi ke mana-mana karena sistem kereta yang ekstensif. Selain itu juga tidak terasa was-was di malam hari (saat menulis ini, saya teringat dengan Dōtonbori). Pilihan makanan pun berlimpah. Atraksi ada di berbagai sudut kota dan mudah dijangkau. Di kota maju, Google Maps juga akurat sehingga nyaman bagi saya untuk menjelajah. 

Kota yang masih agak terbelakang seperti Yangon atau Surabaya tidaklah begitu praktis untuk jalan-jalan karena tidak memilik sistem kereta bawah tanah. Untung saja sekarang ada yang namanya Uber atau Grab. Kendati begitu, kota-kota ini tidak ramah pejalan kaki. Ini menjadi masalah karena saya senang berjalan kaki. Dari sejak di Pontianak, saya biasa berjalan kaki bersama teman saya Parno. Kemudian, di Singapura, kebiasaan ini menjadi bagian hidup sehari-hari. 

Berjalan kaki menjelajahi Singapore bersama Endrico dan Parno.

Sampai di sini, anda mungkin memperhatikan bahwa saya menyebut sistem kereta dua kali. Saya suka metode transportasi ini! Begitu gampang untuk digunakan dan bahasa pun tidak menjadi kendala, karena anda hanya perlu melihat peta. Jalur-jalur kereta ini juga sangat berguna untuk merencanakan rute keliling kota. 

Akhir kata, jawaban dari pertanyaan wisata kota atau kota bisa disimpulkan seperti ini: yang paling seru adalah liburan ke kota yang juga diselingi kunjungan ke alam. Saya ingat dengan Hiroshima dan persinggahan di Miyajima. Saya juga ingat dengan Guilin dan saat saya mampir ke Yangshuo. Benar-benar mengesankan. 

Berlayar di Li River, Yangshuo.
Foto oleh Yani Evelyn Robinson.

No comments:

Post a Comment