Total Pageviews

Translate

Sunday, May 27, 2018

The Travel Buddies (Part 1: Friends)

I once traveled alone to Bali thanks to the accidental holiday that wasn't meant to happen. Because I wasn't the type that could strike up a conversation with strangers naturally, I found myself mumbling all the time. It was like a scene from Tom Hanks' Cast Away! It was unpleasant, so once in a lifetime is surely enough.

Having said that, it's better to have travel buddies. I had gone travelling with all combinations of friends and family. When I said friends, I mean the colleagues, the fellow churchgoers, the housemates and school friends. As for family, there were trips I had with my parents, with only my wife as well as with the whole family, including the in-laws. Most were fun, one was disastrous, but all were memorable.

That trip to Bintan. A memorable one, indeed...

By the way, just in case you thought you just read the word disastrous, you did read it correctly. I never expected that, too. In normal circumstances, I love hanging out with my ex-housemates. But our one and only trip together, with all the children running and screaming constantly, had been the worst I ever had so far. I was unprepared for such a total chaos that we had in Bintan. I've grown wiser since then, careful not to repeat such a trip again, haha.

Other than that, it was fun travelling with friends. I'd traveled with colleagues since 2004. The thing with colleagues is, you only see them in office so you'll have only a little idea about how they are outside office. But that's alright. Just like any other trip, choose those easy-going ones. The last trip I had with my colleagues was to Myanmar and it was fun, partly because they simply went along with the itinerary that I had prepared. It also helped that nobody seemed to object the approach of dividing the expenses equally.

The trip with colleagues to Myanmar.

The trip with fellow churchgoers was also an interesting one. When I went with them to Batam many years ago, I thought it'd be a very holy trip where people were praying all the time. It turned out to be pretty normal, though. Apart from saying grace before meals, it was just like any other holiday. Apparently they also knew how to enjoy life, too!

Then how about housemates? Well, the period where we have housemates is often the time when we are young, making enough money and having all the time in the world just for ourselves! As the exact opposite of colleagues, those housemates spend time with us outside the office until we wish them good night. I had a lot of good times with my housemates, really. Those trips we had, they were spectacular not because of the destinations that we went, but because of the joy and laughter that we had along the way.

The school friends of mine, when we were in Bali.

As for school friends, it's pretty similar with the housemates experience, except for the fact that we came from the same place, shared the same culture and spoke the same lingo. I had the chances to travel with high school friends in my twenties and thirties. When I was with them, I felt like suddenly I was young again and we picked up where we left off. It was very nostalgic.

As you can see from the above, I have this inexplicable habit of not mixing all the people from each category into the same trip, but sometimes crossover did happen. Setia, an ex-housemate, was a good example. He had joined the trip to Medan and Tanjungpinang that I had with Bernard, an ex-colleague of mine. Another case of such hybrid would be Soedjoko. He was actually a vendor of mine when I was in Kalbe, but he ended up becoming a good friend and he participated in a couple of trips that I had with my school friends and ex-housemates. 

Conclusion? With the exception of that nightmarish trip in Bintan, it's a good to have travel buddies. Travelling in a group of four will be perfect, but more members are welcome, provided that they are on the same frequency. That's important, because it'll be difficult to manage if everybody has their own agenda. Next, we'll see how it's like if the travel buddies are our own family members.

Soedjoko (second from right) and the hybrid trip to Bandung.


Teman Seperjalanan (Bagian Pertama: Aneka Teman)

Suatu ketika, karena tidak sengaja membeli tiket, saya akhirnya berlibur ke Bali seorang diri. Berhubung saya bukanlah tipe yang luwes dan bisa spontan mengajak orang asing berbicara, saya jadi sering bergumam sendiri, persis seperti adegan dalam film Cast Away yang dibintangi oleh Tom Hanks. Pengalaman seperti ini rasanya cukup terjadi sekali dalam seumur hidup, hehe.

Dari pengalaman di atas, tidak diragukan lagi bahwa teman seperjalanan itu penting dalam berkelana. Dalam dua puluh tahun terakhir, saya sudah pergi berlibur dengan teman seperjalanan yang terdiri dari berbagai macam kombinasi teman dan keluarga. Teman yang saya maksudkan di sini adalah kolega, teman gereja, teman serumah dan teman sekolah. Kalau bicara tentang keluarga, saya pernah berlibur bersama orang tua saya, istri dan anak-anak serta keluarga besar dari pihak istri. Hampir semuanya menyenangkan, hanya satu yang terasa seperti bencana, namun semuanya menarik untuk dikenang.

Di Bali bersama rekan-rekan Kalbe.

Oh ya, jika anda bingung dengan kata bencana yang saya pakai di sini, anda tidak salah membaca. Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Saya selalu senang bisa berkumpul lagi dengan mantan teman-teman serumah saya, tapi satu-satunya liburan keluarga bersama yang pernah saya jalani bersama mereka itu membuat saya jera. Liburan di Bintan itu penuh dengan jeritan, teriakan dan tangisan anak-anak yang berlari ke sana kemari sehingga sulit untuk dinikmati. Semenjak itu saya menjadi lebih bijak dan menolak untuk berlibur lagi bersama mereka, haha. 

Selain masalah di atas, liburan bersama teman-teman biasanya tidak mengecewakan. Saya sudah berkelana bersama para teman kantor sejak tahun 2004. Perlu diingat bahwa teman kantor ini adalah mereka yang hanya anda temui di kantor sehingga anda mungkin tidak tahu bagaimana perangai mereka di luar kantor. Namun hendaknya itu tidak menjadi masalah. Justru sebaliknya, mungkin liburan ini justru bisa membuat anda menjadi lebih dekat satu sama lain. Intinya hanya satu, pilihlah mereka yang berpembawaan santai dan tidak cerewet. Liburan terakhir saya bersama rekan-rekan kantor adalah kunjungan ke Myanmar tahun lalu. Petualangan tersebut berkesan bukan hanya karena tempat tujuannya, tetapi juga karena semuanya bersedia mengikuti rencana perjalanan yang telah disusun. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesediaan mereka dalam membagi pengeluaran secara adil. Waktu itu kita berlima dan semua ongkos selalu dibagi lima.

Di Batam bersama teman-teman gereja.

Perjalanan bersama teman-teman gereja juga menarik untuk dicatat. Saya pernah ikut dalam kunjungan singkat ke Batam bersama mereka bertahun-tahun yang lalu. Awalnya saya kira bahwa perjalanan ini akan dipenuhi dengan acara doa, tapi ternyata tidak begitu ceritanya. Selain mengucap syukur pas jam makan, aktivitasnya berlangsung cukup normal seperti layaknya liburan orang biasa, hehe. Rupanya anak-anak gereja pun sama caranya dalam menikmati hidup! 

Lantas bagaimana dengan teman-teman serumah? Periode dimana kita memiliki teman-teman serumah biasanya saat kita masih muda, memiliki cukup uang karena kita bekerja dan kita juga memiliki banyak waktu untuk diri kita sendiri. Bertolak belakang dengan rekan kerja, teman serumah ini menghabiskan waktu bersama kita di luar kantor sampai saat kita mengucapkan selamat tidur satu sama lain. Saya memiliki banyak kenangan indah bersama teman-teman serumah saya. Perjalanan bersama mereka terasa menyenangkan bukan semata-mata karena tempat yang kita kunjungi, tetapi lebih cenderung karena tawa dan canda selama dalam perjalanan.

Di Melaka bersama teman-teman serumah.

Akan halnya teman-teman sekolah, mereka ini adalah teman-teman yang berasal dari tempat yang sama, dibesarkan dalam budaya yang sama dan berbicara dalam logat serta istilah yang sama. Saya beruntung karena pernah berlibur bersama teman-teman SMA di usia dua puluhan dan tiga puluhan. Yang unik saat bersama mereka adalah perasaan seperti muda kembali (ini menarik, sebab kita seumuran dan tumbuh bersama), lalu kita pun memulai kembali persahabatan yang terhenti saat kita berpisah. Kesan nostalgia itu begitu terasa.

Seperti yang anda baca di atas, saya memiliki kebiasaan untuk tidak mencampuradukkan teman-teman dari kategori yang berbeda ke dalam liburan yang sama. Meskipun begitu, kadang-kadang persilangan terjadi. Setia, mantan teman serumah, adalah contoh yang bagus. Sejauh ini dia sudah bergabung dalam liburan ke Medan dan Tanjungpinang yang saya adakan bersama Bernard, mantan rekan kerja saya. Contoh lainnya adalah Soedjoko. Dia ini dulunya bos perusahaan yang dipakai oleh Kalbe sewaktu saya bekerja di Jakarta, tapi kita ternyata cocok menjadi sahabat dan dia pun berpartisipasi dalam beberapa perjalanan yang saya adakan bersama teman serumah dan teman sekolah.

Bernard dan Setia di Medan.

Kesimpulannya? Kecuali liburan di Bintan yang bisa digolongkan sebagai mimpi buruk, keberadaan teman seperjalanan tidak bisa diabaikan perannya. Liburan berempat adalah format yang paling ideal, namun lebih ramai pun tak apa, asalkan semua peserta sama frekuensinya. Ini penting untuk diperhatikan, sebab kalau semua ada maunya, pasti akan susah diatur. Di edisi berikutnya, kita akan lihat seperti apa rasanya jika berlibur bersama para anggota keluarga...

No comments:

Post a Comment