Total Pageviews

Translate

Sunday, September 9, 2018

Life Before High School

These were the years of transition. I was no longer wearing the red shorts of primary school, but I was three years away from donning grey trousers of high school, so what I got at that time were the dark blue, knee-length pants. The student uniform was a dead giveaway that I wasn't a boy but not yet a man. When I put on the uniform for the first time ever, it was as if life itself grinned and said to me, "welcome to the very confusing of teenage years."

It did feel like that. After spending my childhood at Gembala Baik kindergarten and primary school, I moved on to Santu Petrus secondary school. Everything there was virtually new to me. New cultures, new friends. Looking back, Rudy Santyoso was likely to be the reason why I went to a different school. We were close friends in primary six and just like me, he went to Santu Petrus, too. In our naivety as kids, perhaps we had made a pact that we'd be best friends forever, then we embraced the unknown by registering to this new school. We drifted apart from here onwards, but never lost touch for the past 30 odd years. For the fact that we still meet and talk, I believe we're still good friends.

Rudy Santyoso, an old friend of mine, years after we left secondary school.

As we went separate ways, I made new friends. I got to know Parno and Sugendar through Budi Hendra. The former was a hilarious person possessing neither obvious talents nor capabilities. He soon joined the same boy scout team, the team of the unwanted bunch, haha. The latter was a good gamer, always bumped into him at mini Orbit Wonderland, our regular hangout after school. They came to my house quite often to play Sega Mega Drive and, now that I think of it, both Parno and Sugendar could have just did the firecracker transaction at my house, but no, they'd rather talk about it while playing Sega and did it at school instead. That's how they were caught red-handed and got their mouth stuffed with firecrackers while being displayed in front of teachers' office, haha.

By the way, talk about the unwanted bunch, these were either losers or nerds. I guess I was somewhere in between. Since I was also new and had nothing to brag about, I mingled with these mild-mannered people and steered clear from the rowdy boys with raging hormones. Getting out of their sight was a safer way to be, but one couldn't always be that lucky. There was this gang of bullies led by the fearsome Jimmy Lim and I must have stepped on his toes during recess time. Just when I thought I was doomed, another teenager came to my rescue. I immediately recognised him as the son of fried kway teow vendor near my house, the same guy that I often saw in mini Orbit Wonderland. His name was Sunarto and from then on, sometimes we rode home together on my little red bike with rear seat.
 
A bit of a history lesson here, bicycles were hot commodities then. I used to have a cool racing bike, but it was stolen in front of my house right after I washed it! If I have to say it truthfully, it was very embarrassing to ride that little red bike, especially when friends such as Budi Hendra or Lai Ci Liong were riding a very grand bicycle called Federal. But it wasn't without good memories, though. I remember one particular rainy day, when Sunarto rode it like mad and we sped ahead, leaving others behind. We laughed hysterically when we managed to pull the stunt. My white shirt was wet and full of dirt splattered from the rear wheel of the bike, but it was worth it.

Other commodity that was the in thing back then was Tamiya, the mini 4WD. That's how I got to know Eday. He was the one that sold me the upper body of Dash-4 Cannonball. I remember him riding to my home after school and, after convincing me that it was a very rare, he demanded a hefty sum of IDR 6K. In 1992, that was  a lot of money for a secondary one student! I guess I was both impulsive and intimidated by him (he was a much bigger boy than me at that time), so I gave him the money that I had saved for quite some time, haha.

Between 1992-1995, I seem to recall that I went to Singapore for one last time (and I wouldn't go to Singapore again until 2005). We were staying at People's Park Centre then and I went across the street to the newly opened Chinatown Point. There was a gaming arcade there and that's where I saw the so-called Desperation Attacks in Art of Fighting. When I saw it the first time, I thought I saw it wrongly! But it was real, because it seemed like anybody at the gaming arcade could do it. I spread the news when I went back to Pontianak and it became a myth that nobody at mini Orbit Wonderland would believe. It remained that way until one day, when Leo Layardi, a privileged friend of mine in the pre-internet era, got hold of the secret and showed it off. He quickly became the master of the game for like thirty minutes. Once he relented and showed them how to do it, he was beaten by the real masters there in no time, haha.

After trying to blend in for the first two years, my last year in secondary school was quite memorable. I was in the same class as Parno and Endrico for the first and only time. Our homeroom teacher, Pak Mauludi, was very fun and he was perhaps the only teacher that got away unscathed after slapping the whole class using the textbook he was teaching, haha. Then there was this girl called Ira, pretty and brave, a character way ahead of her time. And the highlight of the year was Pak Mauludi's birthday celebration, featuring his then-girlfriend and fellow teacher, Ibu Puspa. For once, we had a glimpse of teachers as normal human beings. They were just very much in love. It was a very beautiful life lesson.

Yes, life before high school might be the very confusing teenage years. It felt alienating in the beginning, but I was at home by the time I reached the end of it. I actually didn't attend the school graduation because the schedule clashed with my holiday in Jakarta. When I went back, Mum told me that I missed the registration for SMU Taruna, a new school for all the brilliant students. I couldn't care less (and I was never that brilliant anyway, haha). The way I looked at it, I was just in time for high school registration. I was referring to SMU Santu Petrus and the rest, as they say, is history...



Kehidupan Sebelum SMU

Masa SMP adalah tahun-tahun transisi. Saya tidak lagi memakai celana pendek merah Sekolah Dasar, namun masih tiga tahun lamanya sebelum saya memakai celana panjang abu-abu khas SMU, jadi apa yang saya pakai adalah celana biru tua yang hampir sepanjang lutut. Seragam ini menandakan bahwa saya bukan lagi seorang anak kecil, tapi juga masih jauh dari dewasa. Ketika saya mengenakan seragam SMP untuk pertama kalinya, hidup ini bagaikan tersenyum dan berbisik pada saya, "selamat datang di masa remaja yang membingungkan." 

Kesannya terasa seperti itu. Setelah melewati masa kecil saya di TK dan SD Gembala Baik, saya pindah ke SMP Santu Petrus. Baik budaya maupun teman-teman sekolah, semuanya terasa baru bagi saya. Kalau saya lihat kembali, saya mungkin pindah sekolah karena Rudy Santyoso. Kita adalah teman dekat di kelas enam SD dan seperti halnya saya, dia juga pindah ke Petrus. Mungkin saat itu kita pernah berjanji bahwa kita akan berteman selamanya, lalu memberanikan diri untuk pindah ke sekolah dengan lingkungan yang sama sekali baru. Agak ironis rasanya bahwa persahabatan kita justru mulai menjadi renggang sejak memasuki SMP, tapi syukurlah kita tidak pernah putus berteman. Selama 34 tahun terakhir ini, kita masih bertemu dan berbincang, jadi cukup aman untuk disimpulkan bahwa kita masih berteman dengan baik. 

Ketika jalan hidup membawa kita ke arah yang berbeda, saya pun mulai memiliki teman-teman baru. Dari Budi Hendra, saya berkenalan dengan Parno dan Sugendar. Parno ini merupakan sosok jenaka yang uniknya tidak disertai oleh talenta atau kemampuan apa pun. Dia lucu dan ceria, sesederhana itu. Karena itulah dia satu regu pramuka dengan saya, regu orang-orang tidak populer yang terpaksa berkumpul menjadi satu, haha. Akan halnya Sugendar, dia adalah seorang pemain game yang handal dan saya sering berjumpa dengannya di Orbit Wonderland mini, tempat bermain game di Jalan Dokter Setiabudi. Bersama dengan Budi Hendra, Parno dan Sugendar juga acap kali mampir ke rumah saya untuk bermain Sega Mega Drive. Kalau dipikirkan kembali, sebenarnya mereka bisa saja bertransaksi petasan di rumah saya, tapi mereka malah memilih untuk berjual-beli di sekolah. Mereka akhirnya tertangkap basah dan digiring ke kantor guru, lantas disuruh berdiri sambil mengulum petasan, haha.

Oh ya, bicara tentang kelompok orang-orang buangan, yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang hanya dipandang sebelah mata atau mereka yang pintar tapi tidak mempunyai teman. Saya sendiri adalah murid baru yang tidak menonjol, jadi saya otomatis bergabung bersama mereka dan menjauhi murid-murid yang bergaya berandalan. Kalau mau selamat, memang lebih aman begitu, tapi tidak selamanya saya bisa seberuntung itu. Suatu ketika, di saat istirahat, saya dipojokkan oleh gerombolan murid nakal yang diketuai oleh Jimmy Lim. Saya sempat pucat pasi saat dimaki, namun di saat genting, seorang teman muncul membela. Dia adalah Sunarto, anak pemilik kedai kwetiau yang tidak jauh letaknya dari rumah saya. Saya juga sering berpapasan dengannya di Orbit Wonderland mini. Setelah kejadian tersebut, tidak jarang kita pulang sekolah bersama, berboncengan menggunakan sepeda merah kecil saya yang memiliki tempat duduk di belakang. 

Menarik untuk dicatat bahwa sepeda adalah sesuatu yang bergengsi pada saat itu. Saya pernah memiliki sepeda balap, tapi hilang dicuri setelah saya cuci dan jemur di halaman rumah. Sepeda kecil berwarna merah itu adalah gantinya. Jujur saja, sebenarnya saya malu bersepeda berdampingan dengan teman-teman seperti Budi Hendra dan Lai Ci Liong yang memiliki sepeda Federal yang bagus. Kendati begitu, sepeda kecil itu bukannya tidak memiliki kenangan indah. Pada suatu hari, di kala hujan lebat, Sunarto membonceng saya dan mengayuh pedal seperti orang kalap sehingga kita melaju dari belakang. Kita tertawa saat melesat melewati mereka yang bersepeda bagus. Baju seragam saya yang putih akhirnya basah dan kotor oleh cipratan lumpur dari roda sepeda, tapi kegembiraan sesaat itu sepadan harganya. 

Komoditas lain yang trendi pada zaman itu adalah Tamiya yang juga terkenal dengan sebutan mini 4WD. Dari sinilah saya kenal dengan Eday. Dia adalah teman yang menjual bodi atas Dash-4 Cannonball pada saya. Saya ingat bahwa dia bersepeda ke rumah saya tidak lama setelah kita pulang sekolah dan setelah menjelaskan bahwa ini adalah barang yang sangat langka, dia menjualnya seharga 6000 rupiah, sebuah nominal yang tergolong tinggi untuk anak SMP kelas satu. Saya jadi gelisah. Di satu sisi, saya memang ingin memiliki koleksi ini. Di sisi lain, saya takut untuk berkata tidak pada Eday yang saat itu berbadan jauh lebih besar dari saya. Akhirnya saya serahkan uang yang telah saya tabung cukup lama itu kepadanya, hehe.

Pada kisaran tahun 1992-1995, saya masih sempat berlibur ke Singapura untuk satu kali terakhir (dan saya baru menginjakkan kaki di Singapura lagi di tahun 2005). Waktu itu kita tinggal di People's Park Centre dan saya iseng menyeberang jalan mengunjungi Chinatown Point yang baru dibuka. Ada sebuah tempat bermain game di sana dan di situlah saya melihat orang mengeluarkan jurus Desperation Attack di game Art of Fighting. Saya sempat mengira bahwa saya salah lihat, tapi jurus tersebut diulang beberapa kali sehingga saya menjadi yakin. Setelah pulang ke Pontianak, saya lantas bercerita pada teman-teman di Orbit Wonderland mini. Mereka baru percaya setelah Leo Layardi saya undang ke Orbit untuk memperagakannya. Saya sendiri tidak tahu dari mana Leo mendapatkan informasinya di era sebelum internet, tapi yang jelas dia membuat banyak orang terpukau. Setelah dipanggil dengan sebutan master dan dibujuk-rayu, akhirnya Leo pun bersedia membeberkan rahasianya. Begitu rahasia berpindah tangan, dia pun dibantai oleh mereka yang sebenarnya lebih jago dalam game ini, haha. 

Sesudah menyesuaikan diri selama dua tahun pertama, tahun terakhir di SMP terasa sangat berkesan. Di kelas tiga inilah saya sekelas dengan Parno dan Endrico untuk pertama dan terakhir kalinya. Wali kelas kita, Pak Mauludi, adalah guru yang menyenangkan dan juga mungkin satu-satunya guru yang lolos dari skandal setelah menampar satu kelas dengan buku pelajaran (di kala itu, hukuman fisik terhadap murid masih dianggap lumrah). Kemudian ada lagi murid wanita bernama Ira yang cantik dan pemberani, sebuah karakter unik yang heboh dan melampaui zamannya. Dan kenangan yang paling istimewa di tahun terakhir itu adalah perayaan ulang tahun Pak Mauludi yang juga menghadirkan pujaan hatinya, sesama rekan guru, Ibu Puspa. Itu adalah satu-satunya peristiwa dimana dua guru melepaskan atributnya dan tampil di depan murid-muridnya sebagai sepasang anak manusia yang sedang dilanda cinta. Bagi saya pribadi, itu adalah sebuah pelajaran hidup yang indah.

Ya, masa SMP adalah tahun-tahun yang membingungkan bagi seorang remaja yang sedang tumbuh dan mencari identitasnya. Pada awalnya terasa begitu asing, namun sangat berkesan pada akhirnya. Saya tidak hadir di acara perpisahan SMP karena saya sedang berlibur di Jakarta pada saat itu. Ketika saya kembali untuk mengambil rapor dan ijazah, ibu saya berkata bahwa sudah terlambat bagi saya untuk mendaftarkan diri ke SMU Taruna, sebuah sekolah unggulan yang baru dibuka. Akan tetapi, bagi saya sendiri, saya pulang tepat pada waktu pendaftaran sekolah dibuka. Sekolah yang saya maksudkan, sebagaimana yang kita ketahui, tentu saja SMU Santu Petrus...

Satu dari sedikit foto yang dari zaman SMP yang berhasil ditemukan.

No comments:

Post a Comment