Total Pageviews

Translate

Saturday, October 3, 2020

About Noodles

The food section was started with Fried Rice Mania simply because I am a big fan of fried rice. However, there was a time when that wasn't the case. I was brought up with a mindset that fried stuff was heaty, therefore it must be avoided at all costs. I never questioned the doctrine because indeed it got me sore throat and made me cough. Hence for the first 22 years of my life, my favorite food was actually noodles.

Yam mie by my friend, Sunarto. His parents started Bakmie Kepiting "Hong Tian". 

We had talked about instant noodles before, so we'd skip it this round. The noodles that I was referring to here was what we called yam mie in Pontianak. Yes, noodles could be fried or served in a bowl soup, but yam mie was the finest culinary art that was ever crafted by the street food vendors back in the 80s. It was a bowl of greatness: noodles cooked with boiling hot water, then drained and stirred with pork, lard and vinegar, ultimately served with various toppings such as prawn, fish ball, fried wonton and, of course, crab meat. I had one at Bakmie Kepiting "Hong Tian" in Jakarta last December 2019 and it did taste like an extremely happy childhood!

From top left, clockwise: yamien at Lucky Mie, cwimie at Depot Hok Lay, bakmie Siang Kie and Bakmie Aloi. 

When I grew up and traveled to other cities in Indonesia, I learnt that Chinese from as far as Medan to Malang actually had a similar cooking style. Yes, the vinegar and crab meat ingredients are distinctively Pontianak, but other than that, the look and feel are quite similar. You might call it yamien in Tasik, cwimie in Malang, bakmie in Semarang, but they were essentially the same cuisines with different toppings. Only Bakmie Aloi had a slightly different appearance thanks to the thick noodles.

Enjoying our dinner at 999 Shan Noodle Shop.

As I started traveling around the region, it turned out that other countries also prepared the noodles in a similar manner. When I had my first overseas trip, I fell in love with kolo mee, a signature dish in Kuching. For easily the past 10 years in Singapore, I had been enamoured of Say Seng noodles. It was established in 1960 and based on the tagline, they served the authentic Teochew style. Even in a place as far as Yangon there was this delicious 999 Shan noodles. I concluded that if there was a Chinese population in town, you'd have to your noodles cooked this way. 

From top to bottom: kolo mee, Say Seng noodles and bakmie ayam.

But of course noodles aren't monopolized by Chinese alone. What the non-Chinese did added more varieties to noodles culture. As Muslims can't eat pork, they sell bakmie ayam. Good stuff. But as mentioned earlier, there are other ways of serving noodles. That's how we end up having Malay's mee rebus (served with sticky gravy), lor mee (served with even stickier gravy), Hokkien mee (fried and wet), Hong Kong noodles (fried and dry), Thai mee krob (crispy noodles), Indian mee goreng (it's red color!), Japanese ramen and soba (thin Chinese noodles and thick Japanese noodles), etc. The list is endless! Even the Europeans came up with the long lost cousin called pasta and I love aglio olio (spaghetti tossed in olive oil)!

First row, from left: mee rebus, white lor mee, Hokkien mee.
Second row: Hong Kong noodles, Thai mee krob, Indian mee goreng.
Third row: ramen, soba, aglio olio. 

In a world where we are spoiled with too many options that we may or may not like, it's good to have something as consistent as noodles. Regardless where you go, noodles will be there for you. But you know what's even more amazing? You can actually find all the cuisines I mentioned in the previous paragraph here in Singapore! Best place ever for noodles lovers!



Tentang Mie

Topik makanan di Roadblog101 dibuka dengan Fried Rice Mania karena saya memang penggemar nasi goreng. Akan tetapi ada suatu ketika di dulu kala dimana saya tidak kecanduan nasi goreng. Sedari kecil, saya dididik dengan pemahaman bahwa yang goreng-goreng itu bikin panas dalam, jadi sudah sepatutnya dihindari. Saya sendiri tidak pernah mempertanyakan hal ini, sebab buktinya saya jadi sakit tenggorokan dan batuk kalau kebanyakan makan makanan yang digoreng. Oleh karena itu, selama 22 tahun pertama dalam hidup saya, apa yang saya sukai itu sebenarnya mie. 

Yam mie yang dijual teman saya, Sunarto. Yang memulai usaha Bakmie Kepiting "Hong Tian" adalah orang tuanya.

Kita sudah berbicara tentang Indomie sebelumnya, jadi tidak kita bahas lagi pada kesempatan ini. Mie yang saya maksudkan kali ini adalah apa yang kita sebut yam mie di Pontianak. Ya, mie bisa saja digoreng atau dimasak kuah, tapi yam mie ini adalah seni memasak mie terbaik yang diciptakan oleh para penjual mie di tepi jalan. Pokoknya ada kehebatan tersendiri dalam satu mangkok ini: mie dimasak dengan air panas mendidih dan kemudian ditiris, lalu dikocok dengan minyak babi dan cuka, selanjutnya aneka lauk mulai dari udang, bakso ikan, pangsit goreng dan daging kepiting pun ditaburkan di atasnya. Terakhir kali saya mencicipi yam mie adalah ketika saya berada di Jakarta, bulan Desember 2019. Rasanya benar-benar seperti masa kecil yang bahagia! 

Dari kiri atas, searah jarum jam: yamien di Lucky Mie, cwimie di Depot Hok Lay, bakmie Siang Kie dan Bakmie Aloi. 

Ketika saya beranjak dewasa dan mulai berkelana ke berbagai kota di Indonesia, saya menyadari bahwa orang Tionghoa dari Medan sampai Malang memiliki cara memasak yang sama. Ya, cuka dan daging kepiting memang khas Pontianak, tapi rupa masakannya terlihat mirip. Di Tasik, orang menyebutnya yamien, di Malang, sebutannya adalah cwimie dan waktu di Semarang, kita mencicipi bakmie. Semua ini hampir sama. Yang membedakan cuma lauknya. Kalau Bakmie Aloi, mienya agak tebal. 

Menikmati makan malam di 999 Shan Noodle, Yangon.

Sewaktu saya mulai menjajaki mancanegara, saya lantas menyadari bahwa negara lain pun memiliki persamaan dalam hal menyajikan mie. Ketika saya keluar negeri untuk pertama kalinya, saya jatuh cinta dengan kolo mee di Kuching. Selama 10 tahun terakhir di Singapura, saya senang menyantap mie bakso ikan Say Seng yang konon mulai jualan mie Tiociu otentik sejak 1960. Bahkan tempat yang jauh seperti Yangon pun memiliki mie 999 Shan yang lezat. Saya jadi menyimpulkan, di mana ada populasi orang Cina, bisa dipastikan anda akan menemukan mie yang disajikan seperti ini. 

Dari atas ke bawah: kolo mee, mie baso ikan Say Seng dan bakmie ayam.

Akan tetapi mie kuning bukan saja dimonopoli oleh orang Cina. Yang non-Cina juga turut berperan dalam menciptakan aneka masakan berbasis mie. Kaum Muslim, misalnya. Karena babi itu haram, maka mereka menjual bakmie ayam. Sedap! Selain itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada banyak cara untuk memasak mie, jadi ada mie rebus ala Melayu (yang menggunakan kuah kental), ada lor mee (yang lebih kental lagi kuahnya), ada mie Hokkien (yang digoreng basah), ada mie Hong Kong (yang digoreng kering), ada Thai mee krob (yang renyah mienya), ada mie India (yang merah warnanya), ada ramen dan soba (mie tipis Cina dan mie tebal Jepang) dan masih banyak lagi. Tak habis-habis daftarnya! Bahkan orang Eropa juga memiliki makanan serupa yang disebut pasta. Saya suka aglio olio, spageti yang dikocok dengan minyak zaitun! 

Baris pertama, dari kiri: mee rebus, lor mee putih, Hokkien mee.
Baris kedua: mie Hong Kong, Thai mee krob, mie goreng Indian.
Baris ketiga: ramen, soba, aglio olio. 

Di dunia dimana kita dimanjakan dengan begitu banyak pilihan yang kadang membuat bingung, bagus rasanya bahwa ada sesuatu yang konsisten seperti mie. Ke mana pun anda pergi, anda bisa menemukan mie. Namun apakah anda tahu apa yang lebih mencengangkan lagi? Di Singapura, kita bisa menemukan semua mie yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya! Ya, Singapura adalah tempat paling tepat untuk para pencinta mie!

No comments:

Post a Comment