Total Pageviews

Translate

Monday, February 24, 2020

Time

I'd been wanting to write this one for quite some time, just for the sake of getting it out of my mind, haha. As some of you might have noticed, the one thing I often carry on my way to office is not a bag, but the latest issue of Time magazine. In this time of day, when news is at your fingertips and Google even notifies you of the latest news, is there still a need for us to read a magazine? 

My answer would be, "yes, Time magazine is still relevant." But in order to understand why, let's go back the very beginning. The year was 1998. The town was Pontianak. It was not long after the Godzilla movie, the first one made by Hollywood. It was bad, so horrible that it felt like they took my childhood memory and ruined it for me. The Americans came up with something that was entirely different and yet they had a cheek to call it Godzilla. 

I was so disgusted by it and I knew I was right. As I rode my bicycle aimlessly on Jalan Patimura, something caught my attention as I passed by the roadside book store: a secondhand Time magazine featuring Godzilla. The cover was in black and white. Godzilla, the Japanese version, stood tall. It was almost glorious, except for the fact that the head of American Godzilla was pasted on top of the original. The headline couldn't be more eye-catching: what have they done to Asia's favorite monster? 

That became the first Time magazine I ever bought. Much to my delight, the article shared the same sentiment about Godzilla. I loved what I read, but I just didn't know how much I loved it yet. It never occurred to me that I would read Time magazine regularly one day. The natural selection happened much later in life.

Fast forward to 2012, I remember sitting quite frequently in the waiting room of the OB-GYN doctor as we waited for my wife's turn. There was a magazine rack filled up with Time, Newsweek, Reader's Digest and National Geographic, too, if I'm not wrong. The waiting time for each visit was pretty long that reading a magazine would surely help to pass time. That's when I rediscovered my love for Time again. 

It's not that the other three magazines weren't good, but after reading all of them, there was something about Time magazine that I liked: the way the articles were written. It's one thing to be informative, but the beauty of Time's articles are, they make me care about the news. 

One that I could recall as an example was the recent story about Kobe Bryant. The sentence, "and he died being a parent," almost made me cry, for I am also a father and I could relate with that. I certainly knew what it meant. To me, that was journalism at its best. 

Also worth mentioning is the fact that being a weekly magazine doesn't make the news outdated. I always like how Time summarised all the latest updates that I read online into a complete and newsworthy reading. I remember articles such as the Belt and Road Initiative or the Coronavirus and how it started. They felt thorough and up-to-date. 

I subscribed to the magazine not long after my first daughter was born. Time became my window to the world out there. Eight good years had passed since then. In a world where fake news are getting more and more rampant, Time magazine is one of the few sources that remain trustworthy...

Time of my life.


Time

Sudah sejak lama saya ingin menulis tentang hal yang satu ini, terutama karena saya ingin mengeluarkannya dari benak saya, hehe. Beberapa dari anda mungkin memperhatikan bahwa yang sering saya bawa ke kantor itu bukan tas, melainkan majalah Time yang terbaru. Di zaman sekarang ini, ketika berita di internet berada dalam genggaman anda dan Google bahkan mengirimkan notifikasi tentang berita terkini, apakah masih perlu bagi kita untuk membaca majalah?

Jawaban saya adalah, "ya, majalah Time masih relevan." Untuk memahami jawaban saya ini, mari kita kembali ke saat pertama saya membaca Time. Cerita ini bermula di Pontianak, suatu ketika di tahun 1998. Saat itu Godzilla versi Hollywood baru saja dirilis. Saya ingat betul bahwa film itu sedemikian buruknya sehingga saya merasa kenangan masa kecil saya seperti direnggut secara paksa dan digantikan dengan sesuatu yang membuat saya tercengang karena jeleknya. Orang Amerika membuat film tentang semacam kadal raksasa dan mereka berani-beraninya mengatakan bahwa itu adalah Godzilla. 

Saya benar-benar kesal dengan apa yang saya tonton dan saya tahu bukan saya saja yang merasakan kekesalan serupa. Tak lama setelah itu, di kala saya bersepeda tanpa tujuan di Jalan Patimura, tiba-tiba saya melihat sesuatu yang menarik perhatian saat saya melewati toko majalah yang sederet dengan toko buah: majalah Time yang menampilkan Godzilla di sampul depannya. Foto itu hitam putih dan Godzilla versi Jepang berdiri tegak, namun kepalanya seperti ditempel dengan guntingan kepala Godzilla Amerika. Judulnya pun tak kalah menarik: apa yang telah mereka lakukan terhadap monster favorit Asia?  

Dan majalah bekas itu menjadi majalah Time pertama yang saya beli. Saya senang membaca ulasannya yang persis sama dengan apa yang saya rasakan. Saya benar-benar suka dengan apa yang saya baca, namun tidak pernah saya bayangkan bahwa suatu hari nanti saya akan membaca majalah ini setiap minggu. Lanjutan dari kisah ini baru terjadi bertahun-tahun kemudian. 

Dari tahun 1998, kita melompat ke tahun 2012. Saya ingat tentang masa-masa dimana saya berada di ruang tunggu dokter kandungan sewaktu saya menemani istri menunggu gilirannya untuk diperiksa. Ada rak majalah yang diisi dengan Time, Newsweek dan Reader's Digest. Kalau saya tidak salah ingat, National Geographic juga ada di situ. Waktu tunggu setiap kunjungan dokter ini sangat lama sehingga membaca majalah menjadi alternatif yang tepat. Di sinilah saya diingatkan kembali bahwa saya suka membaca Time.  

Perlu saya jelaskan bahwa tiga majalah lainnya juga merupakan bacaan yang bagus, hanya saja setelah saya baca semua dan bandingkan, ada sesuatu yang membedakan Time dengan majalah lainnya: cara penulisan artikel Time. Kalau bicara soal informatif, semuanya juga padat dengan info. Akan tetapi Time membuat saya peduli dengan apa yang diberitakan.  

Sebagai contoh, baru-baru ini saya membaca tentang Kobe Bryant. Kalimat, "dan dia meninggal sebagai orang tua," membuat saya nyaris meneteskan air mata. Saya juga seorang ayah dan saya tahu apa arti kalimat tersebut. Saya bisa merasakan kepedihan di dalam artikel tersebut. Bagi saya, inilah yang namanya jurnalisme yang hebat.  

Yang juga patut disebutkan di sini adalah menjadi majalah mingguan bukan beritanya basi. Saya suka bagaimana Time bisa merangkum penggalan berita-berita online menjadi satu kesinambungan berita yang utuh. Saya ingat tentang artikel seperti Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Coronavirus dan asal mulanya. Artikel-artikel ini terasa lengkap dan terkini beritanya. 

Saya mulai berlangganan majalah Time tidak lama setelah putri sulung saya lahir. Majalah ini menjadi jendela bagi saya untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia luar. Delapan tahun telah berlalu sejak saya mulai berlangganan. Di dunia dimana berita palsu kian merajalela, majalah Time pun menjadi salah satu sumber yang masih terpercaya beritanya...

No comments:

Post a Comment