Total Pageviews

Translate

Friday, February 4, 2022

At Least Twice

There was this funny pattern in our high school WhatsApp group: from time to time, there would be an idea that sounded so hilarious that we made fun of it, but then they actually made sense when we really gave it a thought. Off the top of my head, I could think of the grand plan to Japan and the Strava time that got me hooked.

Then came the day when we talked about a controversial book that triggered all sorts of opinions. Our friend Jimmy was adamant that it was a good book, but when asked to give a brief book review, he kept silent. He only said to us, "read it yourself, at least twice."

With Jimmy in Surabaya.
Photo by Jerold Lim.

Jimmy is known as a chatty fellow as he literally types long sentences in one chat, so it was very unusual for him to behave that way. His words got picked up and misused quickly as an in-joke among us. The phrase at least twice worked well with any sarcasm and mockery!

But just like any of its predecessors, that phrase wasn't a bad idea. When put together in a right context, not only it did make sense, it also sounded like nothing but the truth! As I pondered upon it, these three things came together and lingered. They stayed put, waiting to be told!

The first thing in my mind was the songs. The songs by the Beatles, to be specific. Stuff like Let It Be is good and it only got better after I listened to it for the second, third and what probably my one thousandth time for the past 26 years. After doing things at least twice, you might find that, to quote the Beatles, "it's getting better all the time!"  

With Yani, during our trip to Suzhou.

The next one was Suzhou. I remember the first time I visited the city. It was raining the whole day and I was supposed to stay only one night in Suzhou. I certainly wasn't impressed, but I gave it the benefit of the doubt and returned to the city again four years later. I loved it so much this round! That means, sometimes things might not be what they seemed at first and the second chance Suzhou truly deserved changed it all.

The last one happened to be its neighbouring city, Shanghai. I loved it the first time I was there as it felt like a bigger Singapore. So metropolitan, so impressive. But the second time I went there, it gave me the been there, done that kind of feeling. It just wasn't as charming as before. It was probably an illusion until you got disillusioned after the second glance.

Nanjing Road, Shanghai.

It was amazing how I ended up with three different results when I applied the concept of at least twice to what I had experienced. God knows what else you could observe if you tried it yourself, but I could tell you this much: the idea worked. And it was kinda wise to do so.

Now, for a closure, I'd love to tell you this. Looking back, and this pissed Jimmy off, I had decided that I didn't really enjoy visiting Surabaya. It's the second biggest city in Indonesia, but yet I couldn't feel the big city vibe like Jakarta. Jimmy would mumble that I must be an ass for making such a remark based on the few visits I had, but hey, I played by the rule! I visited the city at least twice, haha.



Minimal Dua Kali

Di grup WhatsApp teman-teman SMA, ada pola lucu seperti ini: dari waktu ke waktu, muncul ide yang terasa sangat konyol sehingga diolok-olok, tapi kemudian terasa masuk akal kalau dipikirkan kembali. Sebagai contoh, yang langsung terpikirkan oleh saya adalah rencana ke Jepang dan waktunya Strava yang akhirnya membuat saya ketagihan. 

Lalu tiba hari di mana kita berbincang-bincang tentang sebuah buku kontroversial yang menimbulkan berbagai opini. Teman saya Jimmy bersikeras bahwa ini adalah buku yang sangat bagus, tapi saat kita minta ulasannya, dia tidak mau menjawab. Dia hanya berkata, "baca sendiri, minimal dua kali." 

Bersama Jimmy di Surabaya.
Foto oleh Jerold Lim.

Bagi yang belum tahu, Jimmy ini dikenal sebagai pria yang paling suka menulis kalimat-kalimat panjang dalam satu kali chat, jadi tidak lazim baginya untuk tidak berkomentar. Kontan saja kata-katanya menarik perhatian dan langsung disalahgunakan sebagai lelucon. Frase minimal dua kali cocok digunakan sebagai bahan olok-olok dan sarkasme!  

Akan tetapi, sepertinya halnya dengan celetukan lain yang pernah muncul sebelumnya, frase ini bukanlah ide yang buruk. Ketika diaplikasikan dalam konteks yang benar, hasilnya terasa masuk akal dan benar. Ketika hal ini melintas di benak saya, ada tiga hal yang langsung terpikirkan. 

Yang pertama adalah tentang lagu, tepatnya lagu the Beatles. Contoh seperti Let It Be adalah karya yang bagus dan kian terdengar bagus di kali kedua, ketiga dan mungkin ke-1000 kalinya bagi saya dalam 26 tahun terakhir. Jadi dalam pengertian ini, hal yang sudah baik akan kian terasa baik bilamana dikerjakan minimal dua kali.

Bersama Yani sewaktu mengunjungi Suzhou. 

Yang berikutnya adalah Suzhou. Saya ingat saat pertama kali saya mengunjungi kota ini. Saat itu hujan sepanjang hari, sementara saya hanya menginap semalam di sana. Tentu saja saya tidak terkesan, tapi saya coba ke sana lagi empat tahun kemudian. Ternyata saya suka suasana kotanya! Ini berarti, ada kalanya sesuatu tidak bisa dinilai dari kesan pertama dan keindahan Suzhou yang saya saksikan di kesempatan kedua mengubah persepsi saya. 

Hal terakhir kebetulan berkaitan dengan Shanghai yang terletak tidak jauh dari Suzhou. Saya suka Shanghai dalam pandangan pertama karena suasananya yang mirip tapi jauh lebih luas dari Singapura. Kedua kalinya saya ke sana, saya justru mendapatkan kesan been there, done that. Kotanya tidak lagi memikat seperti sebelumnya. Artinya kesan pertama itu mungkin ilusi sampai anda tersadarkan di kali kedua. 

Jalan Nanjing di Shanghai.

Jadi tiga hal di atas adalah pengalaman yang saya dapatkan sewaktu menerapkan konsep minimal dua kali berdasarkan pengalaman pribadi saya. Anda juga mungkin bisa mengamati lebih lanjut bila anda coba sendiri. Sejauh ini, saya bisa katakan bahwa ide ini bagus dan bijak rasanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, sebagai penutup, saya ingin mengakhirinya dengan cerita ini. Berdasarkan pengalaman saya, bisa saya katakan bahwa saya tidak begitu menyukai Surabaya. Meski merupakan kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya tidak memiliki nuansa kota besar seperti Jakarta. Jimmy pun mengomel saat mendengar penuturan ini, tapi saya sudah ikut peraturannya. Saya sudah ke Surabaya minimal dua kali, haha! 

No comments:

Post a Comment