Total Pageviews

Translate

Thursday, May 2, 2024

The First Time Traveler

It's all started with a DM. And a question about the visit to Singapore won't be ignored by a proud owner of the fictitious Robinson Travel. I always love the idea of friends coming to Singapore. Yes, they should come and see the First World country nearest to Indonesia! A humbling experience! We even have a group called Tamu SG to welcome them (though the guests will be removed unceremoniously once their visits end, haha). 

So my friend Hendra texted me about his visit to Singapore. His plan was to get return tickets from Kuching to Kuala Lumpur, but I suggested that it made more sense to go from Pontianak, Batam, Singapore, KL to Kuching instead. It'd be a seamless one way trip instead of traveling to and fro. If he was keen, he could even travel to Johor Bahru and Malacca before arriving in KL.

He listened to the advice and once his tickets were booked, he was added to Tamu SG. As planned, he boarded the flight to Batam and, on the following day, ferry to Singapore. A slight hiccup, though. My meeting that day overran and by the time I reached Harbourfront, he was waiting at one corner like a neglected child, haha. 

Off we went and before we got home, we had dinner and I ordered mui fan for him. Much to my surprise, he found the food and its shrimp paste condiment bland. As a matter of fact, the nasi lemak that he had the next morning also was also subjected to a similar comment. His taste buds must have been seriously messed up by decades of consuming MSG. 

The night with Snow Drop. 

Anyway, back to the night Hendra arrived, our friend Eday was also in Singapore and making his way to my place. Endrico reached first and we opened bottles of Snow Drop sake once Eday arrived. By the way, if you think the brand sounded familiar, you probably saw it from my story in Tokyo. Yes, the sake was rather special, worthy of a historical moment that was unfolding that night: hanging out with Hendra for the first time ever in Singapore since we graduated from high school 26 years ago. 

Our adventure began the next day in Sentosa. Eday had fun telling our first time traveler all the bombastic nonsense he could come up with on the spur of the moment. For example, as the monorail train left VivoCity, Eday told him that it would dive into the sea before resurfacing in Sentosa and our newbie wouldn't know how to respond to such a story. The stare in disbelief would then trigger the laughter. 

At the Universal Studios Singapore.

We also enjoyed the frowning eyebrows as Hendra did the mental calculation of converting SGD to IDR. At the Universal Studios, we pushed him to buy some gifts for the family. It's not something that he can get three times cheaper in Malaysia, so it does make sense to spend on something that is uniquely Singapore. 

After sending Hendra to casino for sightseeing on the pretext of getting us free bottles of water, we boarded the cable car and returned to mainland. From there we went to Farrer Park for lunch. We were supposed to eat at MTR, a delicious vegetarian restaurant that I discovered in Bangalore, but it was still crowded even at 2.30pm, so we went to Anjappar instead for Indian food. Hendra finally found something that tasted rich in Singapore, but it sent him to toilet not long after lunch. 

Trying Indian food.

From the hotel, we continued our journey to Bugis and the National Library. The last time I went there, it was under renovation. The library looked brilliant now and Hendra liked what he saw. However, we didn't stay long and resumed our journey to Chinatown. Hendra had a glimpse of it, then we bumped into Taty as we headed to MBS. When in Singapore, especially for the first time, this is the breathtaking city skyline you need to see!

Eday and Surianto went to gym after lunch and rejoined us at MBS. From there, we walked to Merlion via Helix Bridge, then headed to the Fullerton underpass to reach Raffles Place. It was time for dinner and we decided that it'd be a Swiss cuisines at Marche. Mei Ing came and, as she never met Hendra before, Eday introduced him as a Swiss national and he was the reason why we ate here, haha.

Eday, Mei Ing, Surianto, Hendra and Taty at Marche.

We had sake after dinner, but after tasting Snow Drop, the rest only felt fine. As the Sake+ closed at 11pm, I brought them to Ice Cold Beer and we stayed there until 3am. We had a good long talk and most importantly, our first time traveler enjoyed it. The supper (or should I call it breakfast?) at Balestier Bak Kut Teh eventually ended the adventure. 

While it's definitely not the first tour in Singapore that I arranged for my friends, this one is memorable thanks to the fact that Hendra hadn't been going overseas for the past 20 years and the only city he had been to long ago was Kuching. His hometown Sei Pinyuh was even smaller than Pontianak. You add up all this, you get a fresh, genuine and gullible perspective that I hadn't seen for a long time. It was fascinating.

For example, when Surianto bought us ice cream in Sentosa, Hendra chose vanilla. Eday and I burst into laughter at the same time. With so many choices, you'd expect him to explore a new flavor, but no, he went for vanilla instead, the safest bet he's familiar with. 

Taking the cable car.

Another occasion happened inside the cable car. As we crossed back to Harbourfront, he was pondering if he should send his son to study here one day, but then concluded that it was probably not a good idea. We were curious, so we probed further. It turned out that a kid from his hometown passed away while studying here. Now that was biased! I protested that a kid could die everywhere, not only in Singapore! What he was worried about was not even a thing!

The examples above were moments with childlike innocence and I found them refreshing. It was a good reminder. Once upon a time, I was more or less the same, too. But traveling opened your horizon. Hendra said he learnt a lot throughout the trip, but what he perhaps didn't know was I also learnt from what we went through together. What you experienced, it always got you thinking...

When ICB closed.




Pertama Kali Ke Singapura

Cerita kali ini dimulai dari DM di WhatsApp. Dan tentu saja pertanyaan tentang kunjungan ke Singapura tidak akan diabaikan oleh pemilik Robinson Travel, sebuah jasa tur fiktif. Saya selalu menyukai ide tentang teman yang mau berkunjung ke Singapura. Ya, mereka harus datang dan melihat negara maju yang paling dekat dengan Indonesia! Ini adalah sebuah pengalaman yang bersahaja. Kita bahkan memiliki grup Tamu SG untuk melayani mereka yang datang (walaupun mereka akan ditendang keluar begitu kunjungan mereka usai, haha).

Jadi teman saya Hendra menghubungi saya tentang rencana liburan ke Singapura. Tadinya dia ingin beli tiket pergi-pulang dari Kuching ke Kuala Lumpur, namun saya sarankan bahwa sebaiknya dia berangkat dari Pontianak, Batam, Singapura, KL dan pulang lewat Kuching. Dengan demikian jalannya lebih searah dan tidak bolak-balik. Kalau Hendra mau, dia bahkan bisa ke Johor Bahru dan Melaka sebelum tiba di KL. 

Hendra mendengarkan saran saya dan begitu tiketnya dibeli, dia pun dimasukkan ke grup Tamu SG. Seperti yang sudah direncanakan, Hendra berangkat dari Batam dan naik feri ke Singapura di hari berikutnya. Akan tetapi ada sedikit masalah. Rapat saya di kantor pada hari itu berakhir lebih malam dari perkiraan dan saat saya tiba di Harbourfront, Hendra sudah menunggu di pojok seperti anak terlantar, haha. 

Kita pun pulang, namun sebelum sampai di rumah, kita mampir dulu untuk makan malam. Saya pesankan mui fan untuk Hendra. Setelah dicicipi, ternyata makanan dan belacannya terasa hambar bagi Hendra. Bahkan nasi lemak yang menjadi sarapan pagi di hari berikutnya pun mendapatkan komentar yang sama. Indera perasanya pasti sudah sangat tidak peka karena bertahun-tahun makan masakan yang banyak micinnya.  

Menikmati sake Snow Drop. 

Kembali ke malam tibanya Hendra, teman kita Eday juga sudah sampai di Singapura dan kini sedang menuju ke rumah. Endrico tiba dulu dan kita pun membuka botol sake Snow Drop saat Eday tiba. Oh ya, bila anda merasa kenal dengan nama sake ini, mungkin anda pernah membacanya lewat cerita saya tentang kunjungan ke Tokyo setahun silam. Ya, sake ini istimewa, pantas untuk merayakan malam bersejarah yang sedang terjadi: berkumpul untuk pertama kalinya dengan Hendra di Singapura setelah kita tamat SMA 26 tahun silam.  

Petualangan kita dimulai keesokan harinya di Sentosa. Eday senang menggoda teman yang berlibur di Singapura untuk pertama kalinya ini dengan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, saat monorel meninggalkan VivoCity, Eday berkata bahwa kereta ini akan menyelam ke dalam laut dan muncul lagi di Sentosa. Hendra pun tak yakin bagaimana ia harus menanggapi cerita tersebut. Pandangannya yang penuh kecurigaan lantas memicu gelak tawa.  

Di Universal Studios Singapore.

Kita juga menikmati ekspresi Hendra yang mengernyitkan dahi saat menghitung konversi SGD ke IDR di dalam hati. Di Universal Studios, kita mendorongnya untuk membeli hadiah untuk keluarga. Beberapa suvenir di sini bukanlah sesuatu yang bisa ia dapatkan tiga kali lebih murah di Malaysia, jadi layak dibeli karena khas dan cuma ada di Singapura.  

Setelah mengirim Hendra ke kasino untuk melihat-lihat dengan misi mengambilkan botol air gratis di kasino bagi kita yang kehausan, kita akhirnya naik ke kereta gantung dan menyeberang kembali ke Harbourfront. Dari sana kita lanjut ke Farrer Park untuk makan siang. Kita ingin mencoba MTR, restoran vegetarian lezat yang pertama kali saya coba di Bangalore, tapi tempat makan ini masih penuh meski sudah jam 2.30 siang, jadi kita pun beranjak ke Anjappar untuk menyantap masakan India. Hendra akhirnya menemukan sesuatu yang kaya rasa di Singapura, namun dia perlu ke toilet setelah itu. 

Mencoba masakan Indian.

Dari hotel, kita menuju ke Bugis dan National Library. Terakhir kali saya ke sana, perpustakaan ini masih direnovasi. Hasilnya bagus sekarang dan Hendra sibuk melihat-lihat rak-rak yang penuh dengan buku. Kendati begitu, kita tidak lama di perpustakaan dan perjalanan pun berlanjut ke Chinatown. Setelah berkeliling sejenak, kita berpapasan dengan Taty dan menuju ke MBS. Saat berada di Singapura, apalagi untuk pertama kalinya, pemandangan gedung pencakar langit ini wajib untuk dilihat langsung dengan mata sendiri!

Eday dan Surianto pergi ke gym setelah makan siang dan bergabung dengan kita di MBS. Dari sana, kita berjalan ke Merlion lewat Helix Bridge, lalu menelusuri lorong bawah tanah Fullerton ke Raffles Place. Sudah tiba waktunya untuk makan malam dan menunya adalah makanan Swiss di Marche yang bersebelahan dengan Sake+. Saat Mei Ing tiba, Eday memperkenalkan Hendra sebagai orang Swiss dan karena dialah kita bersantap di sini, haha. 

Eday, Mei Ing, Surianto, Hendra dan Taty di Marche.

Setelah makan malam, kita menikmati sake. Bagi saya pribadi, setelah Snow Drop, sake lainnya terasa biasa. Berhubung Sake+ tutup jam 11 malam, saya bawa mereka ke Ice Cold Beer yang berada di seberang jalan dan bincang-bincang diteruskan hingga jam 3 pagi. Tamu kita yang pertama kali ke Singapura menikmati waktunya di bar ini. Makan subuh (atau sarapan?) di Balestier Bak Kut Teh pun mengakhiri petualangan kita. 

Meski ini bukanlah tur pertama di Singapura yang saya adakan untuk teman, yang satu ini sangat berkesan karena Hendra tidak pernah bepergian ke luar negeri selama 20 tahun terakhir dan satu-satunya kota yang ia kunjungi dulu adalah Kuching. Kampung halamannya, Sei Pinyuh, bahkan lebih terpencil dari Pontianak. Bila semua faktor ini digabungkan, yang kita dapatkan adalah sebuah perspektif yang baru dan agak naif, yang sudah lama tidak saya lihat. Dan saya sangat tertarik. 

Sebagai contoh, sewaktu Surianto membelikan kita es krim, Hendra memilih rasa vanila. Saya dan Eday spontan tergelak saat melihatnya. Ada begitu banyak pilihan es krim dan kita mengira dia akan mencoba sesuatu yang baru, tapi tidak, dia malah memesan vanila, rasa yang paling ia kenal baik sekaligus pilihan paling aman. 

Menaiki kereta gantung.

Peristiwa lainnya terjadi di dalam kereta gantung. Saat kita berada di ketinggian dan menyeberangi laut, Hendra membayangkan apakah mengirimkan anaknya untuk bersekolah di sini adalah keputusan yang baik, namun mendadak dia mengurungkan niatnya. Kita yang penasaran pun bertanya lebih lanjut. Ternyata alasannya adalah karena ada anak dari Sei Pinyuh yang meninggal sewaktu belajar di Singapura. Saya protes dengan biasnya sudut pandang ini. Kalau sudah tiba waktunya, seorang anak bisa meninggal di mana saja, bukan cuma di Singapura. Jadi apa yang dia khawatirkan itu tidak beralasan!

Contoh-contoh di atas adalah momen yang sangat lugu dan saya sukai. Saya jadi teringat bahwa bertahun-tahun silam, saya pun pastilah sepolos ini. Namun berkelana melihat dunia adalah suatu hal yang membuka wawasan. Hendra berkata bahwa dia belajar banyak dari kunjungan singkat ini, tapi dia mungkin tidak tahu bahwa saya pun belajar dari apa yang kita lalui bersama. Apa yang kita alami selalu membuat kita berpikir kembali...

No comments:

Post a Comment