Total Pageviews

Translate

Friday, August 23, 2019

The Humbling Experience

I often said travelling is a humbling experience. This particular quote appeared once in a while since the beginning of Roadblog101, but you might find that I never really elaborated further about it. For this occasion, let's dig deeper! The beauty of travelling, especially to new places, is the whole new world that you will discover. Whatever it was you thought you knew best, it was suddenly rocked to the core as your horizon was broadened.

The very first time I ever realised it was when I travelled to Bali from Jakarta. At that time I seldom travelled, even domestically. I probably only visited Singkawang and Bandung prior to the trip. Based on what I had seen, I had this general idea of how Indonesia looked like: the cities were developing and the atmosphere, regardless whether it had quite a substantial population of Chinese or not, felt quite Islamic.

The first trip to Bali!

Much to my surprise, Bali was so different. It was like visiting a foreign country that happened to use rupiah as its currency. The Hindu influence was so profound there, deeply entrenched into the life of the Balinese that on a very surface level, you'd see canang sari (flowers for puja offering) everywhere! They were proud of their babi guling (suckling pig). Hindu temples, statues that sometimes wore sarong, you'd see them wherever you went. Life was so relax in an island filled with magnificent natural landscapes. People were so friendly and tourists were aplenty.

It was quite liberating to see a totally different lifestyle in Indonesia. Growing up and lived in Pontianak for 22 years, I must be so naive that I subconsciously thought the small town was the center of the universe. I was so used to the culture and not much had really changed for me in Jakarta that I ended up believing it was the only way of life. The visits to Bali opened my eyes. I was wrong and I was glad to be proven wrong in such a fashion. It was good to know that there were choices out there.

With Benny in Khao San Road, Bangkok, 2010.
Photo by Swee Hin.

The next one that gave me a good impression was Bangkok. Okay, Kuching would always be the first foreign city that I visited and Singapore gave me the exposure of a first world country, but it was Bangkok that charmed me the most. It was more modern than Jakarta, but it never lost its characteristics. Everywhere I went, I met people greeting me with a smile, the wai gesture and, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)." It was so infectious that I couldn't help returning the favour in a same manner!

Then of course I had mentioned Japan and its famous hospitality, too. I remember the trip to Tokyo that I had with my wife and daughter in 2014. I lost my way to the hotel and, after deciding that he was getting nowhere in explaining the direction, the person I asked actually brought us to the right exit of Nihombashi train station even though he wasn't heading there! Another great example would be this person that sat next to me at Paul McCartney concert. When he knew that I was from Indonesia, this stranger left his seat and went out to the merchandise store to buy me a keychain as a souvenir. How the Japanese would go for the extra mile!

In front of the hotel we were looking for.
Photo by Evelyn Nuryani.

Experiences like these made you think again, that when things became cynical in life, it was good to know kindness still existed. It taught us not to be afraid to be kind, even though you gained nothing in return, because it was never about gaining. It was always about sincerity in life. If strangers could do that, so could I, and the world would be a better place.

Through travelling, I also learnt to be thankful. Cambodia was so memorable, but I'm afraid not for a good reason. In 2009, even the capital city was so rundown, let alone towns such as Siem Reap. The place was so dry and hot that even the cows were skinny. I'd never forget the dusty cyclone that engulfed the roadside bread cart. It was a sight to remember and when I saw that, I was like, "how on earth are people going to eat that?"

Visiting Bayon Temple, Siem Reap.

Simply put, the condition was so bad that I suddenly realised how blessed I was to be born in Indonesia. All this while, it was easy for Indonesians to complain and forget what we actually had. But seeing was believing. It screamed right at my face that there were less fortunate people out there. I was shocked to see the only entertainment they had at night: the neighbourhood people were either playing rope skipping or doing the slow dance.

And yet the Cambodians looked genuinely happy. They might not have whatever it was that outside world could have then, but they seemed to have a good time. The moral of the story was, if I considered myself blessed but couldn't be at least as happy as they were, something must be wrong inside my heart. What I saw reminded me that one just had to be appreciative in life. It didn't take much to be happy.

I could go on and on, but you might have gotten the gist by now. If you stayed too long in one place and did the same routines all the time, you'd end up believing your way of life was the only way to go. Travel the world, discover new things, and be humbled by the experience. There's a reason why holiday is refreshing. It's meant to be a break from what you are doing everyday, so that you get a new perspective in living your life differently...

Capturing moments in Cambodia.
Photo by Endrico.


 Pengalaman Yang Bersahaja

Saya sering berucap bahwa melanglang buana itu adalah pengalaman yang bersahaja. Perkataan ini muncul berulangkali dari sejak Roadblog101 bermula, namun saya mungkin tidak pernah bercerita lebih lanjut tentang apa makna pernyataan saya ini. Pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih jauh! Yang menarik dari liburan, terutama bila kita mengunjungi tempat yang baru, adalah sebuah dunia baru yang terbentang di hadapan kita, menanti untuk dijelajahi. Di saat itu pula, apa pun kiranya yang selama anda ketahui pasti akan berubah karena wawasan anda bertambah luas. 

Saya pertama kali menyadari hal ini saat saya berkelana dari Jakarta ke Bali. Sebelum ini saya jarang ke mana-mana, baik luar negeri maupun domestik. Seingat saya, saat itu saya hanya pernah mengunjungi Singkawang dan Bandung. Berdasarkan apa yang saya lihat, saya memiliki gambaran bahwa Indonesia itu kira-kira seperti ini: kota-kotanya sedang berkembang dan suasananya, tidak peduli apakah kota tersebut memiliki populasi Tionghoa yang cukup banyak atau tidak, tetaplah memiliki pengaruh Islam yang kental.

Endrico di tengah-tengah orang lokal dan turis asing saat kita mengunjungi Tanah Lot, Bali.

Di luar dugaan saya, Bali ternyata sangat berbeda. Rasanya seperti mengunjungi negeri asing yang menggunakan mata uang rupiah. Budaya Hindu terasa sangat dominan dan begitu mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Sebagai contoh sederhana, anda bisa melihat canang sari (bunga persembahan) yang bertaburan di pinggir jalan. Mereka bangga dengan masakan babi guling. Pura dan patung yang terkadang memakai sarung pun terlihat segenap penjuru Bali. Hidup terasa begitu santai di Pulau Dewata yang menakjubkan alam dan pemandangannya. Orang-orang di sana sangat bersahabat dan turis dari manca negara tumpah-ruah di Bali. 

Mencengangkan rasanya melihat gaya hidup yang begitu berbeda di Indonesia. Lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak selama 22 tahun lamanya, saya begitu naif karena sekian lama terkungkung di kota kecil ini. Saya terbiasa dengan budaya Pontianak dan juga pola hidup yang sama selama saya tinggal di Jakarta. Kunjungan ke Bali sungguh menginspirasi. Selama ini saya salah sangka dan saya senang saat mengetahui bahwa ada pilihan lain di luar sana. 

Di Bangkok.
Foto oleh Endrico.

Kota berikutnya yang memberikan kesan mendalam adalah Bangkok. Ya, Kuching mungkin saja kota luar negeri pertama yang saya kunjungi dan Singapura memberikan saya pengalaman, seperti apa negara maju itu sebenarnya, tapi Bangkok sungguh mempesona! Ibukota Thailand ini lebih maju dari Jakarta, tapi tidak pernah kehilangan karakteristiknya. Ke mana pun saya pergi, orang-orang selalu menyapa dengan senyum, membungkuk dan mengucapkan, "สวัสดีครับ (S̄wạs̄dī khrạb)."  Sapaan khas Thailand ini begitu menarik sehingga saya pun tanpa sadar membalas dengan cara yang sama!

Selain Thailand, tentu saja Jepang dan keramahtamahannya perlu saya jabarkan. Saya ingat dengan kunjungan pertama ke Tokyo bersama istri dan anak di tahun 2014. Saat itu saya tersesat di stasiun kereta Nihombashi dan, setelah merasa bahwa dia tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, orang yang saya tanyai itu membawa kami ke pintu keluar yang mengarah ke hotel walaupun dia sebetulnya tidak menuju ke arah yang sama. Contoh lainnya adalah orang Jepang yang duduk di sebelah saya sewaktu konser Paul McCartney di Tokyo. Tatkala dia mengetahui bahwa saya berasa dari Indonesia, orang asing ini beranjak dari tempat duduknya dan keluar untuk membeli gantungan kunci yang merupakan cinderamata konser. Dashyat ramahnya!

Bersama Linda, tak jauh dari Stasiun Nihombashi.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Pengalaman seperti ini jelas membuat anda berpikir lagi, apabila hidup ini terasa sinis, betapa lega rasanya saat mengingat kembali bahwa kebaikan itu masih ada. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak takut berbagi kebaikan, meskipun kita tidak diuntungkan sama sekali, sebab intinya bukanlah untung rugi, melainkan ketulusan terhadap sesama. Jika orang asing bisa berbuat seperti ini, saya rasa saya pun bisa, dan dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik. 

Petualangan ke berbagai negara juga membuat saya belajar untuk bersyukur. Kamboja takkan terlupakan, tapi sayang sekali bukan karena alasan yang menyenangkan. Di tahun 2009, bahkan Phnom Penh yang merupakan ibukota negara pun masih terbelakang, jadi kota-kota lain seperti Siem Reap lebih parah lagi. Iklimnya kering dan panas, sampai-sampai sapinya pun kurus. Saya tidak akan lupa dengan angin puting-beliung yang berdebu dan berputar menggulung gerobak roti di tepi jalan. Saat melihat pemandangan itu, di dalam hati saya berkata, "bagaimana caranya orang menyantap roti ini?"

Menyusuri jalan di Phnom Penh bersama kawan-kawan.
Foto oleh Endrico. 

Begitu buruknya kondisi sana sehingga saya jadi berterima kasih bahwa saya lahir di Indonesia. Terkadang lebih mudah bagi kita untuk mengeluh daripada bersyukur atas apa yang kita miliki. Apa yang saya lihat mengingatkan saya kembali bahwa masih banyak orang yang lebih tidak beruntung di luar sana. Saya tertegun saat melihat hiburan mereka di malam hari: orang-orang di sekitar penginapan saya bermain lompat tali dan menari pelan di depan rumah. 

Akan tetapi mereka terlihat gembira. Ya, mereka memang tidak memiliki hiburan seperti yang biasa kita lihat, tapi mereka menikmati hidup mereka. Intinya adalah, jikalau saya yang merasa lebih beruntung tidak bisa segembira mereka, mungkin ada yang salah dalam hati saya. Pengalaman saya di Kamboja mengingatkan saya kembali bahwa tidaklah rumit untuk menjadi bahagia. Yang penting itu bisa bersyukur. 

Saya bisa lanjut bercerita lagi, tapi saya rasa sampai di sini anda sudah mengerti. Bila anda tinggal terlalu lama di suatu tempat dan mengerjakan hal yang sama berulang-ulang, anda lambat-laun akan percaya, seperti itulah hidup. Saran saya adalah, bertualanglah bilamana anda bisa, temukan hal baru dan dapatkan pengalaman yang bersahaja. Ada alasannya kenapa berlibur itu disebut refreshing. Liburan memberikan kesempatan bagi anda untuk berhenti sejenak dari rutinitas sehingga anda memiliki sudut pandang baru dalam menjalani hidup anda...

No comments:

Post a Comment