The thing with knowing a foreign language or two is, you may end up doing a bit of translation here and there, especially if you have lived as long as four decades. My Mandarin was sufficient only to order some food while my French was barely enough to let me introduce myself, at least for now. But both my English and Bahasa Indonesia (it's kinda hard to tell which one is my primary language these days) were not bad at all that I did quite a fair bit of translation regularly for the past six years.
Yes, I did it first and foremost on Roadblog101, hence it was bilingual for those posts that were written by me. I think I was once questioned whether I used Google Translate to convert it to Bahasa. The answer is no. I always write in English, which is a much more versatile language and fun to write in, then I translate it into Bahasa. While it might not be immediately obvious to many, they were two different things. The first one was a creative process by putting thoughts into words. The latter one was almost like re-writing what I read so that the message was conveyed properly in Bahasa. It was an art by itself. Google Translate was all right, but it still couldn't imitate someone's style of writing.
Apart from that, I also helped translating the sermon slides recently. I couldn't help noticing that it wasn't as easy as it looked. The choice of words or phrases could be so peculiar at times that there was no way to translate them directly. More often than not, they got me thinking, why were they written like that? What did the writer actually want to say? I wouldn't say translating other people's work was enjoyable, but it was still doable. Just like when I did the ghostwriting. It was a chore, not a hobby.
The worst of them all was the live translation, apparently. It was quite an experience that I went through recently, so much so that it inspired me to look back and wrote this. I'm never good in verbal communication to begin with and I stutter from time to time. That, plus being a first timer doing a live translation for a fast-talking preacher, was one helluva rollercoaster!
I remember thinking that it'd be computer-like, processing English and churning out Bahasa in real time. But of course the reality would be less than ideal. A human brain simply couldn't catch up! The moment I was stuck with a word, I'd be three or four sentences behind. That was also made worse by the habit of subconsciously trying to be a regular churchgoer. I'd sit back and try to relax only to realize that I was the translator. Needless to say, I felt like having butterflies in my stomach throughout the session, haha.
But the weirdest experience had to be the time when I was a translator for a foreigner who went through a divorce letter with his soon-to-be ex-wife's lawyer. It was horrible. I sympathized the guy who seemed to be on the losing side, but I had to be impartial and I answered truthfully only when I was asked. I couldn't give any advice or speak my mind. For a wage of SGD 50, the work was mentally exhausting!
Looking back, good to know that translating from English to Bahasa and vice versa was something that I could do. Perhaps I could put that in my resume, haha. But the process was often not something that I enjoyed. It was just done out of necessity or curiosity. In the meantime, I reckon I'd just stick with the IT job...
Penerjemah
Bilamana anda menguasai satu atau dua bahasa asing, anda mungkin pernah menerjemahkan sesuatu, terlebih lagi bila anda sudah hidup lebih dari 40 tahun. Mandarin saya pas-pasan, hanya cukup untuk memesan makanan, sedangkan bahasa Perancis saya untuk saat ini hanya sampai pada tahap memperkenalkan diri. Akan tetapi Inggris dan bahasa Indonesia saya cukup mantap (dan agak susah dibedakan, mana yang sebenarnya merupakan bahasa utama saya sekarang ini) sehingga saya sering alih bahasa dari Inggris ke Indonesia dalam enam tahun terakhir ini.
Ya, bila anda simak Roadblog101, anda akan melihat bahwa artikel saya ditulis dalam dua bahasa. Seingat saya, pernah ada yang bertanya apakah saya menggunakan Google Translate untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Jawabannya adalah tidak. Saya selalu menulis dalam bahasa Inggris yang terasa lebih luwes dan menyenangkan untuk digunakan, kemudian saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Mungkin banyak yang tidak tahu, tapi dua hal ini adalah proses yang berbeda. Ketika saya mulai menulis dalam bahasa Inggris, apa yang terjadi adalah sebuah proses kreatif yang menuangkan sebuah pemikiran menjadi rangkaian kata. Selanjutnya yang terjadi adalah semata-mata menulis kembali apa yang saya baca supaya intinya tersampaikan dengan baik dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan seni tersendiri. Google Translate memang berguna, tapi alat bantu ini tidak bisa meniru gaya tulisan seorang pengarang.
Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir ini saya juga membantu menerjemahkan presentasi khotbah gereja. Yang paling terasa adalah fakta bahwa proses ini tidak segampang apa yang saya duga sebelumnya. Ada kalanya kata atau frase dalam presentasi tidak bisa diterjemahkan secara langsung. Kalau sudah begitu, terkadang saya jadi bertanya, kenapa bagian ini ditulis seperti itu? Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya? Menerjemahkan karya orang lain adalah sesuatu yang tidak begitu saya nikmati, namun tetap bisa saya kerjakan. Sama halnya dengan menulis untuk orang lain. Rasanya seperti pekerjaan, bukan hobi.
Dan pengalaman terburuk sejauh ini adalah menerjemahkan secara langsung ketika pembicara sedang berceramah. Baru-baru ini saya alami peristiwa ini, begitu berkesan sampai-sampai menjadi inspirasi cerita kali ini. Saya tidak pandai berbicara menjabarkan sesuatu dan kalau dipaksakan, kadang terbata-bata. Hal ini, ditambah lagi dengan pengalaman pertama menjadi penerjemah untuk seorang pembicara yang cepat penuturannya, rasanya seperti sedang menaiki wahana rollercoaster!
Sebelum mulai, yang terpikir di benak saya adalah sebuah proses seperti komputer yang menerima input dalam bahasa Inggris dan langsung menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Tapi tentu saja kenyataannya tidak akan semulus itu. Kinerja otak manusia tidak bisa mencerna data yang datang bertubi-tubi. Begitu saya tersangkut di satu kata, tiga atau empat kalimat pun terlewatkan dalam sekejap. Selain itu, saya sering kali tanpa sadar mencoba menyimak sebagai pendengar. Begitu saya duduk santai, lantas saya sadari bahwa saya adalah penerjemahnya. Rasanya tegang dan bikin mual, haha.
Namun pengalaman teraneh adalah saat menjadi penerjemah untuk orang asing dan menjelaskan padanya apa isi surat cerai yang disampaikan oleh pengacara dari pihak istrinya. Sungguh tidak mengenakkan. Saya bersimpati pada pria yang dituntut ini, tapi saya tidak boleh memihak dan hanya bisa menjawab apa adanya ketika ditanya. Saya tidak bisa memberikan nasehat atau berbicara menurut pendapat saya. Untuk upah sebesar SGD 50, pekerjaan ini sungguh membuat cape mental!
Kalau saya lihat kembali, menarik untuk diketahui bahwa menerjemahkan sesuatu dalam Inggris ke bahasa Indonesia dan juga sebaliknya adalah sesuatu yang bisa saya kerjakan. Mungkin saya bisa masukkan ini dalam pengalaman kerja saya, haha. Kendati begitu, seringkali prosesnya tidak begitu saya nikmati. Saya cenderung melakukannya karena perlu atau karena ingin tahu. Untuk sementara ini, mungkin saya tetap berkutat di bidang IT dulu saja...
No comments:
Post a Comment