Total Pageviews

Translate

Sunday, February 26, 2023

A Man Called Parno: The Moments Of Truth

And I thought I was done with A Man Called Parno series since I did two entries back in 2017. I never knew I'd have a story worth telling again until the trip to Japan. This particular trip had been many things: beautiful, chaotic, fast-paced, bloody cold, etc. But above all things, it was memorable because it featured Parno. I often jokingly said he was the main actor of the trip and I had to say he really delivered. 

This story began with Eday getting Parno to taste his own bad medicine. When we looked back, we realized that Parno never treated us any meal before. It's always us that paid the bill. So with all the nonsensical questions that would always have no as an answer (such as, "have you ever treated your friends dinner in Japan?"), he cornered Parno into buying us dinner.

And they shook hands as they reached the agreement.

It turned out that the dinner was cheaper than the budget allocated for each of us. I was entitled for 5,000 yen (for making it possible for him to visit Japan), but the bill was only 4,100 yen. Hence we dragged him around Ueno to find a spot for yakitori and sake.

I didn't know if it was the sake talking, but there Parno was, opening up to us about his insecurities. Yes, to a certain extent, Parno wasn't the brightest one in the room and always ended up as the butt of our jokes, but he always smiled and laughed things off. Not that night, though. There were a tinge of sadness and an almost childlike quality about the way he thought of what mattered. That made it all the more touching. 

In his mind, Parno had this idea that he wasn't any good, had nothing to be proud of, and he named one of our friends as the successful one in business. We then reminded him that despite what he said, he was the one with us that night. Not any other friends he compared himself with. He might not be the most handsome or the most eloquent speaker of our time, but he was surely determined enough to fulfill his dream while others simply didn't have the same determination. That was one of his strengths and that alone should have been counted as something. 

Cheers to many years of friendship!  

Anyway, it was quite a revelation to hear him opening up like that. I'd known him since secondary school and this was the first time I ever saw him being so vulnerable. Guys don't really confide like this, hence it was quite a moment that was responded surprisingly well by us with sympathy and encouragement. I just hoped that he'd feel more confident and adequate after our conversation. 

It could have ended there and it would still be a high note, but who knew it was just a prelude of what came next? On the following day, I went to Hard Rock Cafe in Roppongi Hills. After buying the t-shirt, I thought we could have a drink while waiting for Eday to finish his Teams call. It turned out that we were the only guests there. Eday seized the opportunity and became the MC to set up the stage for all of us. We were expected to share the reason of joining the trip and express our opinion spontaneously. 

To understand why this was a big deal, I need to highlight that such an event isn't part of our culture for us who grew up in Pontianak back in the 80s. Due to the nature of our upbringing, we became very reserved people. Displaying affection was generally frowned upon. Believe it or not, we were quick to mock, but rarely show appreciation in public. 

What Eday did was something beyond our comfort zone. Because I initiated the trip to Japan, I had to go first. As usual, I stuttered and it felt like I was all over the place. But the message was there: the grand plan was based on Parno's wish and it seemed to me that this was probably the biggest and the most random group of high school friends to ever visit a place as far as Japan. We were from all walks of life coming different places (Hong Kong, Singapore, Jakarta and Pontianak) and we weren't necessary close friends back in the days. I didn't think we could repeat or surpass this, so this might be our first and last trip in this lifetime.

The teary Parno took the stage.

Then the rest had their turns. I remember Taty saying that one of the reasons she joined was because of Parno, too. Cicilia, Shanti and others echoed the same sentiment. We saved the best for last and by the time it was Parno's turn, he was so emotionally overwhelmed. When I heard him sniffing and clearing his throat, I thought he caught a really bad flu, but no, he was actually crying.

You see, we are in our 40s now. Like I said earlier, I knew Parno since secondary school. Some of us knew him even longer since primary school. That's like more than three decades ago, but none of us ever saw him shaking in tears like this before. He was so emotional that for the first minute, he couldn't got any word out of his mouth as he fought to hold back his tears. 

It was a powerful moment. I thought I had known Parno so well, but nothing I knew had prepared me for a moment like this. When I turned to the left, I could see Ardian looking down and covering his eyes. When I glanced to the right, I saw Taty crying, too. I immediately reached for tissue as I barely held it together myself.

When he gained his composure, Parno was babbling about how grateful he was that each of us, in one way or another, had helped him to realize his dream. I remember smiling and looking around, absorbing the rare moment of genuine friendship. I remember thinking that this would be the shared memory we'd remember for the rest of our life. 

Looking back, it was like when all the stars aligned. So rare, so full of love and so beautiful. Yes, we bashed Parno on daily basis, but when we had to say it, it turned out that many of us loved him as well. It was so unbelievable, but yet he was the glue that brought us together. You don't get something as memorable as this very often in life. For 12 of us who were there, it took us 43 years, literally half or 3/4 of our life, to have a glimpse of such a moment. I am glad I was there to witness and be part of it...

And Eday wrapped it up.



Pria Bernama Parno: Sebuah Kenangan Terindah

Dan saya sempat mengira bahwa saya sudah lama selesai dengan serial A Man Called Parno sejak tahun 2017, setelah saya menulis dua episode tentang Parno. Saya tidak pernah menyangka bahwa masih akan ada kisah yang layak untuk diceritakan lagi, sampai apa yang saya alami di liburan ke Jepang. Liburan ini mencakup banyak aspek: indah, tergesa-gesa, cepat langkahnya, luar biasa dinginnya dan lain-lain. Namun di luar semua itu, liburan ini mengesankan karena ada Parno. Saya sering bercanda bahwa Parno adalah pemeran utama kali ini dan keikutsertaannya terbukti tidak mengecewakan. 

Kisah kali ini dimulai dari Eday yang membuat Parno akhirnya merasakan jurusnya sendiri. Sewaktu berbincang sambil bersantap malam, kita menyadari bahwa Parno tidak pernah traktir makan. Selalu kita berdua yang akhirnya membayar begitu bon datang. Jadi dengan beraneka pertanyaan menjebak yang selalu memiliki jawaban tidak pernah (misalnya, "sudah pernah traktir teman makan malam di Jepang, belum?"), Eday akhirnya memojokkan Parno untuk traktir.  

Dan mereka bersalaman setelah sepakat.

Anggaran untuk saya adalah 5.000 yen sementara tagihannya hanya 4.100 yen. Berhubung ongkos makan malam kita ternyata lebih murah dari apa yang dianggarkan Parno untuk kita, maka kita menyeret Parno mengelilingi Ueno untuk mencari tempat makan yang menyajikan yakitori dan sake. 

Saya tidak tahu apakah ini adalah pengaruh alkohol sake, tapi Parno lantas mengeluarkan kegundahan yang ia pendam selama ini. Ya, Parno memang bukan yang paling cerdas di antara kita dan seringkali menjadi bahan ejekan, tapi dia selalu tersenyum dan ikut tertawa setelah menjadi korban lelucon. Tapi tidak demikian halnya di malam itu. Ada nuansa sedih dan kepolosan seorang bocah sehingga beban pikiran yang dia ungkapkan terasa menyentuh. 

Di benaknya, dia senantiasa merasa bahwa dia tidak bisa apa-apa, pun tidak memiliki apa yang bisa dibanggakan, apalagi saat dibandingkan dengan seorang teman yang ia anggap sukses secara finansial. Mendengar semua itu, kita lantas mengingatkannya kembali bahwa di malam itu dia bersama kita di Tokyo sementara teman yang dia anggap hebat itu malah tidak hadir. Parno bukanlah yang paling tampan atau paling pintar bicara, tapi dia memiliki keteguhan hati untuk menggapai impiannya, suatu kualitas yang tidak dimiliki banyak orang. Itu adalah nilai positif darinya dan seharusnya masuk hitungan. 

Kampai ala Jepang untuk persahabatan yang sudah berpuluh-puluh tahun! 

Mendengarkan Parno mengutarakan isi hatinya adalah sesuatu yang mencengangkan. Saya sudah mengenalnya dari sejak SMP dan ini adalah pertama kalinya saya melihat Parno berbagi kerisauan seperti ini. Pria Pontianak biasanya tidak pernah mencurahkan isi hati saat berkumpul, jadi ini adalah peristiwa yang langka dan ditanggapi secara baik oleh kita yang memberikannya simpati dan dukungan. Saya berharap bahwa dia merasa lebih percaya diri setelah percakapan kita itu. 

Dan kalau saja kisah Parno kali ini berakhir di sini, kejadian ini masih akan menjadi sesuatu yang kita kenang. Di luar dugaan, ini hanyalah permulaan dari apa yang akan terjadi berikutnya. Di keesokan harinya, saya pergi ke Hard Rock Cafe di Roppongi Hills. Setelah membeli kaos, terpikir oleh saya bahwa kita bisa minum sebentar sambil menunggu Eday yang sedang ada rapat lewat Teams. Ternyata kita adalah satu-satunya tamu di Hard Rock Cafe yang masih sepi. Eday langsung menjadi MC dan menggunakan kesempatan ini untuk memberikan kita panggung. Kita lantas diminta untuk bercerita tentang alasan ikut serta dan beropini secara spontan. 

Untuk mengerti keistimewaan dari apa yang dilakukan Eday ini, perlu saya jelaskan bahwa acara seperti ini bukanlah bagian dari budaya kita yang tumbuh besar di Pontianak tahun 80an. Karena apa yang kita lewati, kepribadian kita cenderung tertutup. Mengungkapkan perasaan di depan umum adalah tidak lazim. Percaya atau tidak, kita cepat dalam mencibir, tapi jarang memberikan pujian. 

Jadi apa yang Eday lakukan adalah sesuatu yang di luar zona nyaman kita. Karena saya yang menggagas liburan ke Jepang, saya mendapatkan kesempatan pertama. Seperti biasa, saya terbata-bata dan apa yang saya sampaikan seperti loncat sana-sini. Tapi pesan yang tersirat bisa dijabarkan seperti ini: rencana saya ini berdasarkan impian Parno dan bagi saya, liburan bersama ini adalah yang paling ramai, paling acak dan paling jauh. Paling ramai karena ada 13 peserta. Paling acak karena datang dari tempat tinggal berbeda (Hong Kong, Singapore, Jakarta dan Pontianak) dan tidak semuanya adalah teman dekat baik waktu SMA maupun sebelum trip ini. Paling jauh karena Jepang adalah negara terjauh bagi banyak peserta. Saya rasa sulit untuk mengulang atau melampaui prestasi ini, jadi ini mungkin yang pertama dan terakhir dalam hidup ini. 

Parno yang terharu akhirnya tampil.

Kemudian peserta lain pun mendapat giliran. Saya ingat Taty berkata bahwa Parno adalah salah satu alasan kenapa dia ikut serta. Cicilia, Shanti dan yang lain pun memiliki pendapat serupa. Ketika Parno akhirnya mendapatkan giliran untuk berbicara, dia tak lagi bisa menahan perasaan haru. Saya sempat menyangka bahwa dia sedang flu, tapi segera saya sadari bahwa dia ternyata sedang menangis.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, saya sudah mengenal Parno dari sejak SMP. Beberapa dari kita bahkan mengenalnya dari sejak SD. Di usia kita yang sudah 40an ini, berarti sudah tiga dekade terlampaui sejak kita pertama mengenal Parno, tapi kita tidak pernah melihatnya bergetar dalam tangisan seperti ini. Dia begitu terbawa oleh emosi, sampai-sampai dia tidak bisa berkata apa-apa di menit pertama karena berusaha keras membendung air matanya. 

Itu adalah suatu peristiwa yang luar biasa emosional. Saya sudah kenal Parno dengan cukup baik, tapi tetap saja tidak siap dengan momen ini. Ketika saya menoleh ke kiri, saya melihat Ardian memandang ke bawah sambil menutup matanya dengan tangan. Ketika saya melirik ke kanan, saya melihat Taty meneteskan air mata juga. Saya cepat-cepat meraih tisu untuk mengeringkan mata saya yang mulai basah.

Tatkala dia berhasil mengontrol emosinya, Parno bercerita tentang betapa bersyukurnya dia karena telah banyak dibantu oleh masing-masing peserta dalam berbagai cara. Saya turut tersenyum sambil memandang ke sekeliling, menikmati aura persahabatan yang begitu kental ini. Sempat melintas di benak saya bahwa kejadian ini akan menjadi kenangan bersama yang akan kita ingat selalu sampai akhir hayat kita. 

Kalau saya lihat kembali, peristiwa ini bagaikan rangkaian planet di tata surya yang kebetulan berjajar dalam satu garis lurus. Sangat langka, penuh kasih-sayang persahabatan dan begitu indah. Ya, kita sering mengejeknya dari dulu sampai sekarang, tapi ketika kita harus mengatakan sesuatu tentang Parno, ternyata banyak yang menyayanginya pula. Rasanya sulit untuk dipercaya, tapi Parno mempersatukan begitu banyak orang. Peristiwa seperti ini sangatlah jarang terjadi. Bagi 12 peserta yang berada di Hard Rock Cafe pada saat itu, butuh 43 tahun lamanya, mungkin setengah atau 3/4 dari hidup kita, untuk melihat sekilas nuansa kebersamaan seindah ini. Saya senang saya bisa berada di sana untuk menyaksikan dan menjadi bagian dari peristiwa ini...

Dan Eday pun menutup acara.

No comments:

Post a Comment