Total Pageviews

Translate

Thursday, July 11, 2019

The Eleventh Hour

It was almost midnight when the medicine inside the injection tube ran out, causing the machine to beep. I called the nurse for help and, as he replenished the medicine, I suddenly saw Dad lifting up his clenching fists. When both hands fell down on the bed, he seemed to be breathing no more. Because I never saw something like that so up, close and personal, let alone someone with a relationship as close as a father, I stared in disbelief for a while to observe what happened next. But nothing happened, so I nudged the nurse to tell him that from the look of it, Dad had stopped breathing. He did the preliminary checks and then called the doctor for further examination. At 11.20pm, Dad was pronounced dead.

I was stunned by how fragile life was. Dad was still breathing a while ago and a second later, he was gone before my very eyes. Just like that, life was snuffed out of him. There wasn't even a word of goodbye. As I was trying to process the harsh reality, I recalled the moral support from friends earlier that day. Many were ready to help should I need any assistance. Eday, on the other hand, personally encouraged me to be strong for the sake of my Mum because he knew the responsibilities would fall on my shoulder. He told me that I could always grieve later, but for now, I had to put on my brave face.

Hadi and Alvin, few hours earlier at the hospital. 

I pulled myself together and started informing family and friends. Much to my surprise and relief, Endrico phoned me, saying he was heading to the hospital with Alvin. To think that both of them were just with me few hours earlier. I was so thankful when they arrived. They made it possible for me to split the tasks and take care of things. Alvin and I went down to purchase a set of new clothes and a pair of shoes for Dad to wear, then we sorted out the paperwork. Endrico accompanied my mother and brother before sending them back to the hotel. Once we selected the funeral home, we sat outside the morgue, waiting for Dad's body to be injected with formalin, cleansed and dressed up.

It was a really strange affair for me to go through. Everything was so sudden and new. I had mixed feelings. Sad though I was because Dad had died, I was partly relieved that he was no longer suffering. I wasn't even sure if I had to cry. As humor was my way to deal with sadness, I cracked jokes instead with my two friends. Wawa was surprisingly still around on WhatsApp messenger at that ungodly hour, so we chatted and talked nonsense for a while, too. Once the body was out from the morgue, we made our way to the funeral home. After some paperwork and a small request to trim Dad's hair, I headed to Endrico's apartment. It was almost 3am. As we sat down and talked in his living room, the reality sank in. I remember saying this to Endrico, "now I'm a man with no father. I'm a paternal orphan."

The first batch of friends visiting. 

And as the eldest son, this orphan had to do what he had to do for his Dad. Heaven above surely had mercy on me that I didn't have to do it alone. Early in the morning, Mul AW already came to pay respect, then he stayed the whole day, just in case he could be useful. He was a wonderful pair of helping hands indeed. We ran errands together and personally, I was glad to have close friends like him around. Alvin came later on and throughout the entire saga, he was my go-to person. He took care of the arrangements with the preachers and fulfilled all my requests sincerely. May God bless his kindness for it was noble and touching.

The wake was held for the next three days and it was an emotional rollercoaster. I was fine for most of the time, but meeting those familiar faces who knew Dad from long ago could be overwhelming. The sadness would just burst out uncontrollably. Other than that, it was good to meet friends again and a big group of them did come, from Budiman Liwoto who came on the first day morning to Tuty who came last on the second night. It was very nice of them to make time, but I did tell my friends that there were better occasions for us to meet, such as dinner or reunion, therefore funerals shouldn't be the only time we ever hung out together. Last but not least, it was also great to have my wife and kids around at that time. Linda might be too young to understand what had happened, but she surely was the sunshine during this tough time.

My brother and I, heading for burial-at-sea.
Photo by Mul AW.

Then came Sunday, Dad's last day on earth. There was this awful feeling as I watched his coffin being pushed into the furnace. I couldn't help thinking that for all the good Dad did for me, I was very guilty for being the son who got him incinerated. It was also my duty to let go the bag of ashes into the sea, reducing the last bit of his earthly presence into nothingness. It was one unpleasant memory, really.

That's how Dad's story ended in this mortal world and, on the flip side, this is how I coped with the loss. I didn't keep things inside. I wrote stories about them instead as part of the healing process. At the same time, I'd also like to humbly say thanks to family and friends who had helped in any way they could. You guys were brilliant and what you had done was greatly appreciated. I'd like to express my deep gratitude to Endrico as well. Not only he offered me a place to stay when I clearly needed one, he was also my dinner and breakfast buddy. Most importantly, he was there as a friend in need (though he often jokingly said that I'd receive the bill in USD) and I'm very thankful for that...

The last breakfast together before I headed back to Pontianak.



Saat-Saat Terakhir

Tengah malam hampir tiba ketika obat di tabung injeksi habis dan membuat mesinnya berbunyi. Saya memanggil perawat dan selagi dia mengisi kembali obatnya, tiba-tiba saya melihat Papa mengangkat kedua tangannya yang terkepal. Ketika dua tangan itu rebah tanpa daya ke ranjang, Papa terlihat berhenti bernapas. Saya tidak pernah melihat peristiwa kematian sedekat ini, terlebih lagi peristiwa meninggalnya seorang kerabat keluarga yang dekat hubungannya, jadi untuk beberapa saat saya terpana, mengamati dan menanti apa yang terjadi selanjutnya. Namun tidak ada yang terjadi pada Papa sehingga saya pun bergumam pada perawat di sebelah saya bahwa Papa sepertinya tidak bernapas lagi. Dia lantas memeriksa Papa dan memanggil dokter jaga untuk memastikan apa yang telah terjadi. Pada pukul 11.20 malam, Papa dinyatakan meninggal. 

Saya tertegun melihat betapa rapuhnya kehidupan ini. Sesaat lalu Papa masih bernapas dan kemudian dia meninggal di depan mata saya. Kehidupan sirna dari tubuhnya begitu saja. Tidak ada ucapan perpisahan atau apa pun. Sewaktu otak saya berusaha mencerna realita ini, saya teringat lagi dengan dukungan moral yang saya terima dari teman-teman. Banyak yang siap membantu jika saya membutuhkan sesuatu, namun masukan dari Eday sedikit berbeda. Dia justru mengingatkan saya apabila yang terburuk terjadi, saya harus tetap tegar karena tanggung jawab untuk mengurus semua ini akan jatuh di pundak saya. Dia berkata bahwa saya selalu bisa berduka nanti, tapi untuk saat ini, saya harus teguh dalam menjalaninya.

Endrico di Dharmais. 

Inilah saat-saat yang ia maksudkan. Papa telah meninggal. Saya pun mulai mengabarkan berita ini pada keluarga dan teman-teman. Di luar dugaan, Endrico menelepon dan memberitahukan pada saya bahwa dia dan Alvin segera menuju ke rumah sakit. Saya terkejut, sebab mereka baru saja datang menjenguk beberapa jam yang lalu. Kendati begitu, saya juga bersyukur karena keberadaan mereka membuat saya bisa berbagi tugas. Alvin dan saya turun ke bawah untuk membeli pakaian yang akan dikenakan oleh jasad Papa, kemudian kita berdua mengurus surat administrasi di rumah sakit. Endrico menemani ibu dan adik saya, lalu mengantarkan mereka kembali ke hotel. Setelah saya memilih rumah duka, kita duduk di depan ruang jenazah sementara jenazah Papa dimandikan dan disuntik formalin. 

Ini adalah pengalaman yang aneh bagi saya. Semuanya terasa baru dan mendadak. Perasaan saya terasa bercampur-aduk dan saya bahkan tidak yakin bahwa saya ingin menangis. Ya, saya sedih Papa telah tiada, namun juga lega karena dia kini terbebas dari sakit yang dideritanya. Karena humor adalah cara saya untuk menghadapi banyak hal dalam hidup ini, saya bercanda sebisanya bersama teman-teman. Wawa juga masih beredar di WhatsApp saat itu, jadi saya pun turut bergurau dengannya. Ketika jasad Papa akhirnya keluar dari ruang jenazah, kita pun berangkat ke rumah duka. Setelah registrasi dan mengajukan permintaan kepada pengurus supaya perias jenazah merapikan rambut Papa, saya pulang bersama Endrico ke apartemennya. Jam menunjukkan waktu hampir pukul tiga pagi saat kita duduk dan berbincang di ruang tamu. Setelah memiliki waktu untuk menerima apa yang sebenarnya terjadi dalam beberapa jam terakhir ini, saya pun berkata kepada Endrico, "saya adalah seorang pria yang tidak memiliki ayah. Sekarang saya adalah anak yatim."

Bersama teman-teman di pagi hari kedua.

Dan sebagai putra sulung, anak yatim ini harus mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk ayahnya. Yang di atas bermurah hati pada saya karena saya tidak harus menghadapi semuanya seorang diri. Di pagi hari, Mul AW sudah datang untuk memberikan penghormatan terakhir, lalu ia memutuskan untuk membantu ini-itu sepanjang hari. Kehadirannya sungguh meringankan beban saya. Alvin juga datang tidak lama setelah Mul dan dia menjadi koordinator dalam banyak hal. Semua itu mereka lakukan dengan ikhlas. Saya hanya bisa berharap bahwa Tuhan melihat dan berkenan dengan kebaikan mereka sehingga terberkatilah mereka. 

Masa berkabung berlangsung selama tiga hari dan ini adalah masa-masa yang sangat emosional. Saya cenderung baik-baik saja sepanjang waktu, tapi harus saya akui bahwa saat bertemu dengan mereka yang mengenal Papa dari sejak dulu bisa terasa sulit. Kesedihan di dalam hati bisa tiba-tiba muncul mengguncang tubuh. Di luar itu, saya senang bisa bertemu dengan teman-teman lagi. Banyak dari mereka yang datang, mulai dari Budiman Liwoto yang datang pada pagi hari pertama sampai Tuty yang terakhir datang di malam kedua. Kepada mereka saya sempat berpesan bahwa masih banyak kesempatan yang lebih menyenangkan bagi kita untuk berkumpul, misalnya saat makan malam atau reuni, jadi hendaknya jangan sampai kita hanya berkumpul kalau ada yang meninggal. Saya juga senang karena istri dan anak-anak bisa datang pada hari kedua. Linda mungkin terlalu muda untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi sedikit banyak dia mengurangi rasa duka di hati saya karena keceriaannya.

Rombongan teman di malam terakhir. 

Kemudian tibalah Minggu, hari Papa dikremasi. Ada perasaan begitu berduka saat saya melihat peti matinya didorong ke dalam tungku pembakaran. Saya jadi berpikir bahwa untuk semua kebaikan yang pernah Papa berikan, saya malah menjadi anak yang membakar tubuhnya hingga menjadi abu. Saya bahkan melarutkan tumpukan abu itu ke dalam lautan sehingga apa yang tersisa darinya pun lenyap begitu saja. Ini bukanlah suatu kenangan yang menyenangkan. 

Demikianlah kisah Papa di dunia fana ini berakhir. Di satu sisi, demikianlah pula saya menyesuaikan diri dengan rasa kehilangan. Saya tidak menyimpannya di hati, melainkan mencurahkannya dalam bentuk tulisan karena bercerita membuat saya lega. Pada kesempatan ini, saya juga ingin berterima kasih kepada pihak keluarga dan teman-teman yang telah membantu dengan segala cara dan upaya. Bantuan anda semua sangat saya hargai. Juga kepada Endrico, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk budi baiknya, mulai dari tempat tinggal serta waktu dan juga persahabatannya (walau dia sering berujar kalau saya akan segera menerima tagihan darinya dalam mata uang USD)...

Santap malam mie bakso rusuk. 

No comments:

Post a Comment