Total Pageviews

Translate

Thursday, January 2, 2020

Memory

I knew my friend Jimmy quite well. Trust me when I said he wasn't the sentimental type. Having said that, it must be pure coincidence that one day in December 2019, we ended up having lunch at Ikan Bakar Cianjur in Pandaan, East Java. He didn't brought me there on purpose. 

I had no idea that we were there six year earlier. Furthermore, it was the pre-Swarm era and I hadn't discovered the check-in app yet. In short, it was one of the few occasions that I totally forgot that I'd been there before, but as I stepped into the restaurant, there was a certain familiarity coming back to me.

From left: Anthony, Alfan, Setia and Jimmy in 2013.
Photo by Endrico. 

I was so excited that I told Jimmy, "but we came here before!" Then I rushed to the backyard to see the seats under the big tree. The seats were empty, but in my mind, I could see the younger version of ourselves sitting there. There were four us talking. I was only 32 then, so full of life, never worried about what tomorrow would bring.

Then, as fast as it came, the image of us faded away. Six years later, out of the four (or five, if we counted Endrico who took our picture), only two of us came back to the same place. I walked back to our table, feeling bittersweet. I was deep in thought, recalling what Jimmy said few nights before in Semarang.

The empty seats in 2019.

"What is the most expensive thing we have now?" asked Jimmy. The room was silent for a while before Hendra replied. His answer was only one word: togetherness. "That's the thing," grinned Jimmy, "and definitely not the tickets that we paid for to get here."

He was right. Between our responsibilities as a sole breadwinner and the head of our family, we had a lot things going on in our lives, but we decided to make time for this to happen. Semarang might not seem to be an interesting destination, but we compromised, believing that it was the journey that counted. Eventually the eight of us made it and created a memory only we would remember.

When we were in Semarang.

Memory... the one thing that's left behind as time pushes us forward. I couldn't help thinking of the time when Alfan, Setia, Endrico, Jimmy and I were there as I began to enjoy the fried fish and goat thigh. Then I suddenly stop eating and sent them the picture of the empty seats, asking them to guess where the photo was taken. Setia attempted to answer, but it was Endrico who got it right when he replied with a picture of us. 

And I smiled. Once upon a time, we were there. It took six good years for just the two of us to go back there. Only God knows when all of us will be together again. But I treasure that memory. No amount of money we earn can pay for that single moment, one memory that made my life more memorable than before. DeViLsHGaL, a fellow Roadblogger, recently said that life is all about choices. Well, I'm glad that the choices I made had been very rewarding thus far...

The goat thigh and the fried fish.


Kenangan

Saya cukup mengenal baik teman saya Jimmy dan percayalah bila saya berkata bahwa dia bukan tipe orang yang sentimental. Oleh karena itu, kunjungan kita ke Ikan Bakar Cianjur di kota Pandaan, Jawa Timur, pastilah suatu kebetulan belaka dan sama sekali tidak disengaja. Di akhir Desember 2019, kita pun bersantap siang di restoran itu. 

Saya tidak tahu bahwa kita pernah singgah di sini enam tahun silam. Saat itu adalah era sebelum Swarm dan saya belum menemukan aplikasi untuk check-in yang sering saya pakai itu. Singkat kata, ini adalah satu dari beberapa peristiwa dimana saya sama sekali lupa bahwa saya pernah makan di sini. Saat saya memasuki restoran, barulah kenangan itu perlahan-lahan kembali.

Dari kiri: saya, Alfan, Setia dan Jimmy di tahun 2013.
Foto oleh Endrico.

Begitu girangnya saya saat menyadari hal itu, sampai-sampai saya berkata kepada Jimmy, "tetapi kita pernah mampir ke sini sebelumnya!" Kemudian saya berjalan ke taman di belakang restoran untuk melihat tempat duduk di bawah pohon besar. Kursi-kursi itu kosong, tapi di dalam benak saya terlihat sosok saya dan teman-teman yang Iebih muda dan sedang duduk berempat di sana. Saya baru berusia 32 pada saat itu, masih begitu muda dalam mengarungi kehidupan ini.

Lantas bayangan masa lalu itu pudar secepat kedatangannya yang tiba-tiba. Enam tahun kemudian, dari empat (atau lima orang, jika kita hitung Endrico juga), hanya dua yang kembali ke tempat yang sama. Saya berjalan kembali ke meja saya dengan perasaan campur aduk antara gembira dan sedih. Apa yang saya rasakan pun membawa saya kembali pada apa yang Jimmy katakan sewaktu kita berada di Semarang beberapa malam yang lalu.

Kursi-kursi kosong di tahun 2019.

"Apa hal paling mahal dan mewah yang kita miliki saat ini?" tanya Jimmy. Ruangan kamar pun hening sejenak sebelum Hendra akhirnya menjawab. Hanya satu kata yang terlontar darinya: kebersamaan. "Ya, itu dia," gumam Jimmy sambil tersenyum. "Itu yang paling mahal, bukan tiket yang kita bayar untuk ke sini." 

Dia benar. Di usia sekarang ini, kita sibuk menjalani hidup sebagai kepala keluarga dan orang yang mencari nafkah, tapi kita memutuskan untuk meluangkan waktu untuk berkumpul. Semarang mungkin bukanlah tujuan wisata yang menarik, tapi kita kompromi dan percaya bahwa petualangan kitalah yang lebih penting. Delapan orang berkumpul, menciptakan sebuah kenangan yang hanya akan diingat oleh mereka yang berada di sana.

Ketika kita di Semarang. 

Kenangan... satu-satunya hal yang tersisa ketika waktu mendorong kita untuk senantiasa bergerak maju ke depan. Saya jadi teringat saat-saat Alfan, Setia, Endrico, Jimmy dan saya berkumpul di restoran itu saat saya mulai menyantap gurami goreng dan paha kambing. Mendadak saya berhenti makan dan mengirimkan foto kursi-kursi kosong itu kepada mereka sembari bertanya, apakah mereka tahu di mana lokasi di dalam foto ini. Setia mencoba untuk menjawab, namun jawaban yang tepat datang dari Endrico ketika dia membalas pertanyaan saya dengan sebuah foto dimana kita duduk di sana. 

Dan saya tersenyum. Suatu ketika di dalam hidup kita, ada lima anak muda di tempat ini. Butuh waktu enam tahun lamanya bagi dua di antaranya untuk kembali lagi ke sini. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita semua akan berkumpul lagi. Mungkin tidak akan pernah lagi, tapi saya tidak akan melupakan kenangan tersebut. Tidak peduli seberapa banyak uang yang kita cari dan dapatkan, kita tidak akan bisa membeli kembali saat tersebut, sebuah kenangan yang membuat hidup menjadi lebih kaya dan berarti. DeViLsHGaL, sesama Roadblogger, baru-baru ini berkata bahwa hidup adalah pilihan. Saya gembira bahwa semua pilihan-pilihan yang saya buat sejauh ini terasa berkesan bagi saya...

Paha kambing dan gurami goreng yang membisu.

No comments:

Post a Comment