I'm not sure if it's known to many, but long before Roadblog101, I already have another Facebook page called Fried Rice Mania, a page dedicated to anything fried rice. It's still there and updated every time I try out a new flavor. I'm a sucker for fried rice, really.
"Why fried rice?" one may ask. That, my friends, is simply because it's the best food in the world. It's also versatile enough that in its simplest form, it could be only rice fried with salt, pepper and a bit of seasoning, but yet it is already so delicious. At its very best, fried rice is an art widely practiced in Asia since ancient times. On a very high level, we have the likes of Indonesian fried rice, Vietnamese fried rice, Japanese fried rice, etc. If we dive into specific names, we have nasi goreng kampong, salted fish fried rice, Yangzhou fried rice and many more. It can be prepared at home and it's also served at the restaurants. It is eaten by rich and poor alike. Seldom is a food so universally accepted across the globe.
Salted fish fried rice. |
I really got acquainted with fried rice during my sojourn in Jakarta, the moment I stepped into society, back in 2002. I was struggling to make ends meet and fried rice was ranked second on the list of the most affordable food in those days (the cheapest one was ketoprak at IDR 3,000 then or around SGD 0.30 today). To be specific, the aforementioned variant from the list was this Madurese fried rice sold by street vendors (one of them was Roni, my favorite cook) who pushed their carts and roamed around the complex. They hit the bamboo on their carts to signal their whereabouts. It got louder as they approached where I stayed, so I would come out and called the one who passed by (believe it or not, but I actually could tell who was coming based on the sound resonated from the bamboo). That was also how the localized name nasi goreng tektek came about: it was due to the sound the vendors made. It was sold at IDR 4,000 a plate and if I had a extra budget, I'd usually request for a fried egg, too. Talk about a splurge, it was worth it!
Together with whatever that was sold by Roni and friends (they had kway teow and yellow noodles, too, which could be be served in soup or fried mode), nasi goreng tektek became my regular menu for three years. I'm not entirely sure if that was the reason why I was underweight and malnourished, but I grew to love the food so much that it became a lifelong passion since then.
Nasi goreng cekur. |
At home, my wife is no stranger to anything fried. I'm very fortunate that she has few tricks up her sleeve when it comes to fried rice. She can cook nasi goreng koneng, the fried rice with a predominant yellow color due to the use of turmeric. Her greatest recipe, however, is nasi goreng cekur. It has an exotic taste thanks to the particular ingredient called sand ginger. By the way, just in case you are puzzled by the names, nasi goreng is fried rice in Bahasa Indonesia, but the words koneng and cekur actually come from a dialect called Sundanese. The former means yellow and the latter is, as you may have guess it, the sand ginger.
Now, if my dining room is the center of my fried rice universe, then the farthest place where I ever had a plate of fried rice was Liverpool. There was this restaurant called the Chilli Pot, located right across Hard Days Night Hotel. It served a menu called Nasi Goreng that, much to my chagrin, was described as a Malaysian cuisine. That aside, it was actually good but at GBP 8.8, it could be one of the most expensive fried rice I ever ate. The price was worth the experience, though. It was amusing to observe the person next to me trying to cut the bowl shaped steamed rice using a knife and a fork as if he was eating a steak. It was a reminder that rice wasn't from Europe and just like how we fail to appreciate European dishes sometimes, the staple food of Asian people could be just as confusing to them.
Nasi Goreng from Liverpool. |
Anyway, back to Singapore, as I've been staying in this country for more than a decade, you may be wondering where is the best fried rice in town. Well, if I have to endorse one, it must be Jin Hai fried rice at Amoy Street. It's a one-man show by this old Uncle who cooks and doubles up as the cashier at the same time. Just order a plate together with a fried egg and you'll be doing fine.
That's all I have for now. Quite a great story about fried rice, isn't it? If you agree with me and are keen for updates, just search for Fried Rice Mania on Facebook and follow the page. Stay tuned and keep eating... fried rice, of course.
Fried Rice Mania
Saya menggemari nasi goreng. Jauh sebelum roadblog101, saya sudah memiliki Facebook Page lain yang bernama Fried Rice Mania dan khusus bercerita tentang nasi goreng. Facebook Page ini masih aktif dan diperbaharui dengan foto dan pendapat tentang nasi goreng yang saya cicipi.
Anda mungkin bertanya, "kenapa nasi goreng?" Ini karena nasi goreng adalah masakan paling lezat di dunia. Penyajiannya pun luwes, tergantung yang masak. Nasi goreng bisa saja sekedar nasi yang digoreng dengan garam, lada dan sedikit bumbu lainnya atau merupakan sebuah karya dari seni sudah disempurnakan secara turun-temurun. Secara garis besar, kita mengenal berbagai macam nasi goreng, mulai dari ala Indonesia, Vietnam, Jepang dan lain-lain. Kalau kita mau lebih detil lagi, ada yang namanya nasi goreng kampung, nasi goreng ikan asin, nasi goreng Yangzhou dan masih banyak lagi. Nasi goreng bisa dimasak di rumah maupun di restoran serta dinikmati oleh orang yang mampu dan kurang mampu. Singkat kata, hanya nasi goreng yang diterima secara umum di berbagai kalangan.
Saya mulai menyukai nasi goreng sejak saya lulus dan pindah ke Jakarta di tahun 2002. Gaji saya tidaklah tinggi sehingga saya harus berhemat dan nasi goreng adalah makanan kedua yang paling ramah terhadap isi dompet saya di kala itu (dengan harga 3.000 rupiah, ketoprak adalah makanan paling murah di zaman tersebut). Lebih spesifik lagi, nasi goreng yang dimaksudkan di sini adalah nasi goreng yang dijual oleh penjaja nasi goreng yang mendorong gerobak dan mengitari kompleks perumahan. Mereka memukul bambu untuk mengisyaratkan keberadaan mereka, jadi semakin mereka mendekati tempat saya tinggal, semakin keras pula suara bambunya. Suara bambu inilah menjadi asal-muasal nama nasi goreng tektek. Harga per piring saat itu adalah 4.000 rupiah dan jika saya mempunyai sedikit uang lebih, saya akan sekalian memesan telur goreng. Nasi goreng tektek (dan juga kwetiau dan mie yang bisa digoreng atau direbus) ini lantas menjadi santapan rutin selama tiga tahun di Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini menjadi penyebab saya menjadi kurang gizi dan kurus, namun semenjak itu saya jadi suka nasi goreng.
Di rumah, istri saya tidaklah asing dengan goreng-gorengan. Saya sangat beruntung karena dia memiliki beberapa jurus memasak nasi goreng. Kadang dia menyajikan nasi goreng kuning yang menggunakan kunyit. Rasanya enak, tapi yang lebih nikmat lagi adalah resep lainnya yang juga dia kuasai, nasi goreng cekur alias kencur. Rasanya eksotis karena menggunakan kencur.
Nah, jika meja makan saya adalah titik pusat dunia nasi goreng, maka tempat terjauh yang pernah saya kunjungi untuk menikmati sepiring nasi goreng adalah Liverpool. Di seberang Hard Days Night Hotel, ada sebuah restoran bernama Chilli Pot. Restoran ini menyediakan nasi goreng yang dideskripsikan sebagai masakan Malaysia (saya serasa tidak percaya sewaktu membaca menunya. Malaysia? Yang benar saja). Rasanya lumayan, cuma harganya yang 8,8 pound sterling itu benar-benar mahal. Akan tetapi harganya sepadan dengan pengalaman saya di sana: di sebelah saya, ada orang bule yang mencoba memotong nasi putih yang dicetak dengan mangkok. Jadi ia menggunakan garpu dan pisau, seakan-akan sedang makan steak, untuk memotong nasinya. Raut wajahnya agak bingung saat dia mencicipi nasi putih, mungkin karena tidak ada rasanya. Saya jadi ingat, seperti halnya masakan Eropa yang mungkin saja terasa tidak enak di lidah kita, makanan pokok kita pun terkadang membingungkan bagi mereka.
Kembali ke Singapura, negara dimana saya berdomisili selama lebih dari satu dekade, anda mungkin bertanya-tanya, di mana lokasi nasi goreng yang paling enak. Favorit saya nasi goreng Jin Hai di Amoy Street. Yang masak adalah seorang pria berumur yang juga merangkap sebagai kasir. Coba pesan satu piring plus telur goreng. Dijamin puas.
Demikian sekilas info tentang nasi goreng dari saya. Jika anda tertarik untuk terus mengikuti perkembangan terbaru, coba cari Fried Rice Mania di Facebook dan like. Dari situ anda bisa dapatkan kabar terkini dan, sambil menunggu, jangan lupa makan nasi goreng!
The last bite. |
Fried Rice Mania
Saya menggemari nasi goreng. Jauh sebelum roadblog101, saya sudah memiliki Facebook Page lain yang bernama Fried Rice Mania dan khusus bercerita tentang nasi goreng. Facebook Page ini masih aktif dan diperbaharui dengan foto dan pendapat tentang nasi goreng yang saya cicipi.
Anda mungkin bertanya, "kenapa nasi goreng?" Ini karena nasi goreng adalah masakan paling lezat di dunia. Penyajiannya pun luwes, tergantung yang masak. Nasi goreng bisa saja sekedar nasi yang digoreng dengan garam, lada dan sedikit bumbu lainnya atau merupakan sebuah karya dari seni sudah disempurnakan secara turun-temurun. Secara garis besar, kita mengenal berbagai macam nasi goreng, mulai dari ala Indonesia, Vietnam, Jepang dan lain-lain. Kalau kita mau lebih detil lagi, ada yang namanya nasi goreng kampung, nasi goreng ikan asin, nasi goreng Yangzhou dan masih banyak lagi. Nasi goreng bisa dimasak di rumah maupun di restoran serta dinikmati oleh orang yang mampu dan kurang mampu. Singkat kata, hanya nasi goreng yang diterima secara umum di berbagai kalangan.
Nasi goreng kampung. |
Saya mulai menyukai nasi goreng sejak saya lulus dan pindah ke Jakarta di tahun 2002. Gaji saya tidaklah tinggi sehingga saya harus berhemat dan nasi goreng adalah makanan kedua yang paling ramah terhadap isi dompet saya di kala itu (dengan harga 3.000 rupiah, ketoprak adalah makanan paling murah di zaman tersebut). Lebih spesifik lagi, nasi goreng yang dimaksudkan di sini adalah nasi goreng yang dijual oleh penjaja nasi goreng yang mendorong gerobak dan mengitari kompleks perumahan. Mereka memukul bambu untuk mengisyaratkan keberadaan mereka, jadi semakin mereka mendekati tempat saya tinggal, semakin keras pula suara bambunya. Suara bambu inilah menjadi asal-muasal nama nasi goreng tektek. Harga per piring saat itu adalah 4.000 rupiah dan jika saya mempunyai sedikit uang lebih, saya akan sekalian memesan telur goreng. Nasi goreng tektek (dan juga kwetiau dan mie yang bisa digoreng atau direbus) ini lantas menjadi santapan rutin selama tiga tahun di Jakarta. Saya tidak tahu apakah ini menjadi penyebab saya menjadi kurang gizi dan kurus, namun semenjak itu saya jadi suka nasi goreng.
Di rumah, istri saya tidaklah asing dengan goreng-gorengan. Saya sangat beruntung karena dia memiliki beberapa jurus memasak nasi goreng. Kadang dia menyajikan nasi goreng kuning yang menggunakan kunyit. Rasanya enak, tapi yang lebih nikmat lagi adalah resep lainnya yang juga dia kuasai, nasi goreng cekur alias kencur. Rasanya eksotis karena menggunakan kencur.
Nasi Goreng Rempah Mafia. |
Nah, jika meja makan saya adalah titik pusat dunia nasi goreng, maka tempat terjauh yang pernah saya kunjungi untuk menikmati sepiring nasi goreng adalah Liverpool. Di seberang Hard Days Night Hotel, ada sebuah restoran bernama Chilli Pot. Restoran ini menyediakan nasi goreng yang dideskripsikan sebagai masakan Malaysia (saya serasa tidak percaya sewaktu membaca menunya. Malaysia? Yang benar saja). Rasanya lumayan, cuma harganya yang 8,8 pound sterling itu benar-benar mahal. Akan tetapi harganya sepadan dengan pengalaman saya di sana: di sebelah saya, ada orang bule yang mencoba memotong nasi putih yang dicetak dengan mangkok. Jadi ia menggunakan garpu dan pisau, seakan-akan sedang makan steak, untuk memotong nasinya. Raut wajahnya agak bingung saat dia mencicipi nasi putih, mungkin karena tidak ada rasanya. Saya jadi ingat, seperti halnya masakan Eropa yang mungkin saja terasa tidak enak di lidah kita, makanan pokok kita pun terkadang membingungkan bagi mereka.
Kembali ke Singapura, negara dimana saya berdomisili selama lebih dari satu dekade, anda mungkin bertanya-tanya, di mana lokasi nasi goreng yang paling enak. Favorit saya nasi goreng Jin Hai di Amoy Street. Yang masak adalah seorang pria berumur yang juga merangkap sebagai kasir. Coba pesan satu piring plus telur goreng. Dijamin puas.
Demikian sekilas info tentang nasi goreng dari saya. Jika anda tertarik untuk terus mengikuti perkembangan terbaru, coba cari Fried Rice Mania di Facebook dan like. Dari situ anda bisa dapatkan kabar terkini dan, sambil menunggu, jangan lupa makan nasi goreng!
No comments:
Post a Comment