Total Pageviews

Translate

Saturday, August 3, 2019

The Chronicler, The Impresario

This story began with a phrase, "who died and made you..." that lingered in my mind. While it was often used a sarcastic response, the phrase was somewhat relevant with what I went through since high school till now. You see, every generation had one chronicler that brought them together and for ours, that person seemed to be me. No, nobody died and made me take it up. I wasn't nominated and I didn't ask for it, too. I just happened to fit the profile, I subconsciously filled the gap and I grew into the role gradually.

In order to understand how this happened, let's look back at the seemingly random bits and pieces in my life. First of all, I had been blessed with a memory like an elephant that allowed me to remember past events in life clearly. Secondly, as a person who lived apart from my family since high school, I naturally established close relationship with friends who were there for me when I had no one else. They were like my family and I loved them all. Then, of all the prized items a poor young man could have in the 90s, I happened to have a camera to capture the moments! Lastly, I had to admit that I seldom wrote a good story from a scratch. What I did best was blending what I observed and I experienced into writing seamlessly. The result was not my story. Since the very beginning, it was always our story.

1998-2008, our first 10 years. 

To summarise, it was a case of right things fell into right places. I became the person that cared enough to keep in touch and I organized those friendly hangouts, especially after we left high school. As I had latest contacts and updates, I once maintained a website that shared news and photos. Oh yes, while I was never a keen photographer, it seemed like I always had a camera at any point of time. In early 21st century, I was a proud owner of Sony Cyber-shot 3.2 megapixels.

Back to our story, long before Friendster and Facebook existed, there was anthony-ventura.tripod.com, the trusted source for our high school community. It was fine and well-received for a while, but I eventually learnt that some people found it intrusive. I guess I must be too excited in connecting people that I had offended some unknowingly. It was unpleasant as I didn't mean to hurt anyone. That's partly the reason why I quit.

Singing session with Pheng iu, right after Wawa's wedding.
Photo owned by Ng Lina.

The other half of the reason is the fact that I was relocating from Indonesia to Singapore. Things went sour after the last episode and I thought it was an end of era, but at the same time, it was also the beginning of a new one. My relationship with high school friends went on hiatus, replaced by the good times I had with a bunch of housemates now formerly known as Pheng iu. I was far from home, trying to make a living in a foreign country, and Pheng iu was the closest thing to a family that I had. By the way, if the name Pheng iu sounded familiar, that's probably because you might have seen it from the movies or the stories.

The 19 of us didn't stay together for long, but yet we were never really apart. When we moved out from Kembangan, we split into smaller groups and we still made an effort to be together in many occasions, from simple dinner, birthday and even travelling. Oh yes, it was during this time that I caught the wanderlust bug. We travelled to Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia and, of course, Indonesia!

Markus, Darto, Endrico and I at the night market in Siem Reap, Cambodia.

But all good things must come to an end. In 2011, we either got married or went back to Indonesia. Around the same time, chat group started to become the in-thing. First BBM, then WhatsApp, and I reconnected with my high school friends again. When the old sentimental feeling was building up, I saw my acquaintance's reunion on Facebook. That's when I was inspired to do our own in 2014. Since then, I always organised activities with high school friends. We recorded We Are the World before Smule became popular. We had events such as Parno's SG Outing in 2015, the Karawang trip in 2016, Guns N Roses Concert in 2017 and many more. The last one, happened only few weeks ago, was when my friend and I watched Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Were the events always successful? No, I had my fair share of failures, too, like the Sri Lanka trip that was supposed to happen this month or the event of attending Asian Games in Jakarta, back in 2018.

If that's the case, why bother trying? Well, I simply had the passion, I reckon. A friend once told me in 2016, "only you can make I happen. You have what it takes." The sincere remark was made out of the blue. When I heard it, I was stunned. Funny that I never realised it before.

Was it worth it? What's in it for me? As we approached the age of 40, I saw death started happening around us. Yes, be it rich or poor, people our age died. Last June, when I let go of my Dad's ashes into the sea, it dawned on me that only memories remain. When we were around, we touched people's lives. For every moment we spent together in happiness, we were one good memory richer than before. So, yeah, it's definitely worth it...

Lunch at Nasi Campur Alu with Eday.
Photo owned by Angelina. 


Yang Mencatat Dan Membuat Acara

Cerita berikut ini dimulai dengan sebuah frase bahasa Inggris yang terngiang-ngiang di benak saya: "who died and made you..." Walau frase ini sebenarnya adalah respon sarkasme, namun ada relevansinya dengan yang senantiasa saya kerjakan dari sejak SMU sampai sekarang. Setiap generasi memiliki seseorang yang mencatat berbagai kisah para teman dan untuk angkatan saya, sepertinya penulis itu adalah saya. Tidak, saya tidak dinomasikan ataupun mencalonkan diri. Saya hanya kebetulan memiliki kepribadian yang cocok, kemudian mengerjakan apa yang saya kerjakan dan akhirnya menikmati peran tersebut. 

Untuk memahami bagaimana ini bisa terjadi, mari kita lihat berbagai penggalan kisah hidup saya. Pertama-tama, saya diberkati dengan ingatan yang luar biasa kuat sehingga bisa mengingat berbagai kejadian di masa lampau. Kedua, sebagai seorang yang hidup terpisah dari keluarga sejak SMU, saya menjadi dekat dengan teman-teman yang berada di sekeliling saya di saat saya membutuhkan kehadiran mereka. Teman-teman ini tak ubahnya seperti saudara dan saya menyayangi mereka. Kemudian, dari semua harta berharga yang mungkin dimiliki oleh seorang pria muda miskin di akhir tahun 90an, saya memiliki sebuah kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan berbagai peristiwa. Terakhir, saya harus mengakui bahwa saya jarang menulis cerita bagus yang orisinil. Apa yang bisa dan sering saya lakukan dengan baik dan benar adalah menggabungkan beraneka kisah yang saya amati dan alami. Hasilnya bukanlah cerita saya. Dari sejak awal, apa yang saya tulis adalah sebuah kisah bersama.

Makan malam di Dangau, Pontianak. Foto kamera Ricoh, sebelum era digital. 

Dari paragraf di atas bisa disimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah beragam faktor yang akhirnya membuat saya memainkan peran ini. Saya menjadi orang yang peduli untuk tetap menjalin hubungan dan menghubungi teman-teman untuk berkumpul, terutama setelah kita lulus SMU. Karena saya senantiasa memiliki informasi terbaru, saya pun berbagi cerita dan foto lewat situs internet. Bicara soal foto, meskipun saya tidak pernah benar-benar tertarik dengan bidang fotografi, saya sepertinya selalu memiliki kamera di setiap waktu. Di awal tahun 2000an, saya memiliki kamera digital Sony Cyber-shot 3.2 megapixels, sebuah piranti keras yang terbukti berguna pada saat itu!

Kembali ke cerita kita, jauh sebelum Friendster dan Facebook muncul, anthony-ventura.tripod.com adalah situs terpercaya bagi komunitas teman-teman SMU. Pada awalnya situs ini mendapat tanggapan positif, namun kemudian saya mendapat kabar bahwa ada yang merasa kalau keberadaan situs ini sangatlah intrusif. Saya mungkin terlalu bersemangat dalam mengumpulkan berita sehingga tanpa sadar telah menyinggung beberapa orang. Ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan karena saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Pada akhirnya saya pun berhenti.

Suhendi di Carrefour Cempaka Mas. Buku di tangannya adalah panduan Sony Cyber-shot yang baru saja saya beli. 

Alasan lain yang juga membuat saya memutuskan untuk berhenti adalah kepindahan saya dari Indonesia ke Singapura. Rasanya seperti akhir dari sebuah era, namun zaman yang baru pun bermula pada saat yang bersamaan. Hubungan saya dengan teman-teman SMU digantikan oleh saat-saat seru bersama teman-teman serumah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pheng iu. Saat itu saya berada jauh dari rumah, mengadu nasib dan mengais rejeki di negeri asing. Pheng iu boleh dikatakan sebagai kerabat terdekat saya pada waktu itu. Oh ya, kalau nama Pheng iu terdengar akrab, itu mungkin karena anda pernah melihat film atau membaca ceritanya

Ada 19 orang termasuk saya pada saat itu. Kita sebenarnya hanya tinggal serumah dalam waktu yang singkat, tapi kita pun tidak pernah benar-benar berpisah. Ketika kita pindah dari Kembangan, kita berpencar menjadi kelompok yang lebih kecil dan kita masih menyempatkan diri untuk berkumpul dalam berbagai acara, mulai dari makan malam, ulang tahun, Natal dan bahkan berlibur. Di saat bersama Pheng iu inilah saya mulai senang jalan-jalan. Bersama-sama kita berkelana ke Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia dan tentu saja Indonesia!

Makan malam perpisahan dengan Tommy di 2010.
Foto oleh Endrico.

Namun semua hal yang baik harus berakhir. Di tahun 2011, banyak di antara kita yang menikah atau kembali ke Indonesia. Di saat bersamaan, chat group mulai populer dan mengubah cara berinteraksi. Dari BBM dan kemudian WhatsApp, saya kemudian terhubung lagi dengan teman-teman SMU. Ketika persahabatan kembali terjalin, seorang kenalan yang hadir di reuni mengunggah fotonya di Facebook. Saya jadi terinspirasi untuk mengadakan reuni juga dan akhirnya terwujud di tahun 2014. Sejak saat itu, saya selalu mengadakan berbagai aktivitas bersama teman-teman SMU. Kita merekam lagu We Are the World sebelum Smule populer. Kita memiliki acara seperti Parno's SG Outing di tahun 2015, liburan ke Karawang di tahun 2016, menghadiri konser Guns N Roses di tahun 2017 dan masih banyak lagi. Yang terkini, yang baru saja berlalu beberapa minggu lalu, adalah ketika saya dan Muliady menonton Juventus vs. Tottenham Hotspur.

Apakah acara yang saya organisir selalu sukses? Tidak juga. Beberapa di antaranya gagal, misalnya liburan ke Sri Lanka yang dijadwalkan pada bulan ini. Contoh lainnya adalah acara menyaksikan pertandingan bulutangkis di Asian Games Jakarta di tahun lalu.

Jika terkadang gagal, lantas buat apa mencoba? Hmm, singkat cerita, karena saya senang melakukannya. Di tahun 2016, seorang teman berkata pada saya, "hanya kamu yang bisa melakukan hal seperti ini. Dari segi karakter, kamu memiliki apa yang diperlukan untuk mewujudkan kegiatan seperti ini." Ungkapan yang tulus dan tiba-tiba itu membuat saya tertegun. Lucu rasanya karena saya tidak pernah menyadari hal ini sebelumnya. 

Kalau begitu, apakah hasilnya sepadan dengan jerih payahnya? Apa untungnya bagi saya? Jujur saya katakan, di usia kita yang hampir mendekati umur 40, saya melihat banyak yang telah meninggal. Ya, kaya atau miskin, teman seusia saya meninggal. Juni lalu, ketika saya melepaskan kantung abu ayah saya ke dalam laut, saya jadi sadar bahwa yang tersisa dari manusia hanyalah kenangan. Selagi kita masih hidup, kita menyentuh kehidupan orang di sekitar kita. Untuk setiap kesempatan yang kita lewatkan bersama dalam kegembiraan, kita menjadi satu kenangan lebih kaya dari sebelumnya. Dengan demikian, bisa dengan mantap saya katakan, "ya, hasilnya sungguh sepadan." Sebisa mungkin jangan pernah berpikir lain kali saja baru ikut, karena kita tidak tahu kapan waktu kita akan berlalu. Ciptakanlah kenangan selagi bisa.

Menjadi teknisi di acara saat reuni 2014 berlangsung.

No comments:

Post a Comment