Total Pageviews

Translate

Monday, March 20, 2023

The Japan Trip: The Snowy Fourth Day

Up until one week before our trip, I was still oblivious to the fact that we were going to Gala Yuzawa. I always thought that Niigata was where we were going to see the snow, but Susan suggested Gala Yuzawa a while ago and all agreed, though everyone seemed to have a hard time remembering the name for the longest time, haha. 

At Ueno Station, waiting for the train.

Anyway, that morning, we boarded a jam-packed shinkansen from Ueno Station to the snowy resort. We stood in the train for about an hour, barely able to move, and sat down only for the last five minute. Yeah, lots of empty seats after most passengers alighted at Echigo-Yuzawa, one station before our destination. 

Now, seeing snow was Gunawan's dream, so I had no idea what to expect. I only thought that, after going through my coldest night in Japan thus far, I had to wear something warmer than what I had now. Beanie and gloves included! And they were best bought in Gala Yuzawa, which was supposed to be sub-zero. 

Inside the cable car.

And it was sub-zero, all right. But the mountaintop surprisingly had no wind blowing, so it wasn't that cold. And the view was so breathtaking. Coming from a small town that sits right on the equator line, I never saw such a beautiful landscape before. It was all white, perfectly curved at some places, so peaceful, like a wonderland. 

I would say that we didn't quite know what to do once we got off the cable car, but we adapted pretty quick. We occupied the empty space next to the ski slope and got busy. It began with a tame photo-taking activity and it immediately escalated to pelting each other with snow balls and one body slam for Parno. BL said we got few heads turning and smiling, but I guess that's the beauty of our childlike innocence.

And Parno is down!

It didn't last long, though. Let's not forget that we're in our 40s now and it was actually quite tiring to keep moving in the snow. Every misstep could result in falling down and that's what happened to me once. And those guys, instead of helping, they showed no mercy! The moment I lost my footing, they came and trashed me, the action that would eventually dubbed as baptism by ice.

Once we were done playing snow, we went inside the resort to have our lunch and coffee. We were not going back out there for another round, so we went back to where we came from and walked to Echigo-Yuzawa Station. Simple though it was, the experience was unforgettable. I simply couldn't help touching the puffy wall of snow along the roadside. Once it was formed into a snow ball, I'd throw it at the person in front of me, haha. 

BL and HRR, holding a snow ball on the road side.

We stopped at 7-Eleven for a snack and some of us then dipped their feet into the hot spring in front of Echigo-Yuzawa Station. We then took the shinkansen to Niigata. Upon seeing not much snow as we approached the city, we felt glad that we had visited Gala Yuzawa. But Niigata was not without surprises. It was there that we experienced sleet, a mixture of rain and snow. 

Niigata was like a sleepy town if compared with Tokyo. From the station, we walked towards Bandai Bridge to have a glimpse of its waterfront, then turned to Minato Marche Pier Bandai. It was a quiet market in the afternoon. We went to the organic food store, then the wet market to buy some local snack such as raw squids and dried scallops. The sea wind in Niigata was quite cold that we eventually took a break at Hyakuichizen, a hut that sold donburi (and played only songs by the Beatles). Niigata is famous for its rice, but in all fairness, I don't think I could tell the difference, haha. 

With BL in Niigata.

We left Niigata around 5 PM and reached Ichiran Asakusa in the evening. There was a queue, which was common for Ichiran, and by the time we had our ramen in our booth (instead of tables, because eating in a booth was a unique Ichiran experience), it was already 8 PM. I wanted to buy extra warm clothes and therefore rushed to Uniqlo, but by the time I got there, it was already closed.

That's when Eday and I went to Sake no Daimasu Kaminarimon, a bar in Asakusa that serves many varities of sake. We tried almost everything, from the hot sake to cold sake, but we eventually settled with Snow Drop from Akebono Brewery in Fukushima. The liquor uses sake and yoghurt as its base, very tasty and delicious. 

Snow Drop.

But what made it all the more special was the moments we spent there as two old friends who are so similar and yet so different at the same time. We had known each other for so long that not only we could reminisce the past, laugh at the present and look forward to the future, but most importantly, we also could talk openly about anything. 

All good things must come to an end, though. We had our last order and the bar eventually closed. Just like many magical moments that happened throughout the trip, we couldn't replicate them again even if we wanted to. 

Still I can tell you this much: these two kids who went to the same high school in Pontianak, they would never, in their wildest dream, imagine that they'd sit together at a bar in Tokyo one day. It was crazy. It was unbelievable. But yet there we were. That night will stay forever as one of the best times of my life...

At Sake no Daimasu Kaminarimon.
Photo and art by Eday.



Liburan Ke Jepang: Hari Ke-4 Yang Bersalju

Dari awal hingga seminggu sebelum liburan, saya tidak ada gambaran bahwa kita akan ke Gala Yuzawa. Saya selalu mengira bahwa tujuan kita untuk melihat salju adalah Niigata. Setelah saya cek kembali di grup Jepang, ternyata Susan sudah mengusulkan Gala Yuzawa dari jauh hari dan semua setuju, meski tampaknya semua kesulitan mengingat nama tempatnya, haha.

Di Stasiun Ueno, menanti datangnya shinkansen.

Di pagi itu, dari Stasiun Ueno kita menaiki shinkansen yang penuh sesak. Kita berdiri sejam lamanya di kereta, nyaris tak bisa bergerak, dan hanya duduk selama lima menit terakhir. Ya, banyak kursi kosong setelah para penumpang turun di Echigo-Yuzawa, satu stasiun sebelum tempat tujuan kita.

Melihat salju adalah impian Gunawan, jadi saya tidak memiliki ekspektasi apa pun. Saya hanya tahu bahwa, setelah malam paling dingin di Jepang di hari sebelumnya di Shinjuku, saya harus memakai pakaian yang lebih hangat lagi dari apa yang saya kenakan pada saat ini. Kupluk dan sarung tangan adalah perlengkapan wajib! Dan semua ini paling tepat dibeli Gala Yuzawa yang suhunya di bawah nol. 

Di dalam kereta gantung.

Dan cuacanya sungguh di bawah nol. Namun puncak gunung ternyata tidak begitu dingin karena angin tidak bertiup. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Bagi orang yang datang dari kota yang terletak di garis Khatulistiwa, saya tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Semua serba putih, melengkung bundar sempurna di pojok-pojok tertentu, begitu damai, seperti negeri dongeng. 

Saya kira kita tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah turun dari kereta gantung, tapi kita beradaptasi dengan cepat. Kita menempati lahan kosong di samping tempat ski dan mulai sibuk sendiri. Pertama-tama kita hanya berfoto, tapi tak lama setelah itu, kita mulai iseng melempar bola salju dan Parno pun dibanting ke tumpukan salju. BL berkata bahwa ada beberapa pengunjung lain yang mengamati dan tersenyum melihat ulah kita. Mungkin karena kepolosan dan kegembiraan kita membuat mereka ikut tergelak di dalam hati. 

Dan Parno pun terhempas!

Akan tetapi aktivitas di puncak salju tidak berlangsung lama. Bagaimanapun kita sudah di kisaran umur 40an dan bergerak di tempat bersalju itu cukup melelahkan. Kita bisa tergelincir setiap kali salah langkah dan saya sempat jatuh terjerembab pula. Dan yang saya panggil teman-teman ini bukannya membantu, tapi malah langsung mengeroyok saya. Bola salju melayang dan saya ditimbun dengan salju. Semua akhirnya mendapatkan giliran serupa dan dibaptis dengan salju. 

Seusai bermain salju, kita masuk ke kantin untuk bersantap siang. Sesudah itu, kita putuskan untuk meneruskan perjalanan, jadi kita menaiki kereta gantung dan kembali ke tempat semula, lalu berjalan ke Stasiun Echigo-Yuzawa. Meski sederhana, pengalaman di Gala Yuzawa sungguh membekas dan tidak terlupakan. Sambil berjalan, saya suka menyentuh tumpukan salju di tepi jalan. Setelah terkumpul dan dibentuk sebagai bola salju, saya pun menimpuk orang yang ada di depan, haha. 

BL dan HRR, memegang bola salju di tepi jalan.

Kita berhenti sejenak di 7-Eleven untuk membeli cemilan, lalu beberapa di antara kita duduk berendam kaki di sumber air panas di depan Stasiun Echigo-Yuzawa. Dari sana, kita naik shinkansen to Niigata. Setelah melihat salju yang tidak seberapa saat kita mendekati kota, ada rasa bersyukur bahwa kita sudah mampir ke Gala Yuzawa. Kendati begitu, Niigata bukannya tidak memiliki kesan tersendiri. Di kota ini kita mengalami hujan air bercampur salju. 

Niigata terasa seperti kota yang sepi bila dibandingkan dengan Tokyo. Dari stasiun, kita berjalan ke Jembatan Bandai untuk melihat kawasan tepi sungai. Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke Minato Marche Pier Bandai. Kawasan pasar ini terbilang sepi di sore hari. Kita singgah ke toko barang-barang organik, lalu ke pasar untuk membeli cemilan lokal seperti sotong mentah dan kerang yang sudah dikeringkan. Tadinya kita sempat duduk di depan pasar, tapi angin laut yang dingin akhirnya memaksa kita masuk ke Hyakuichizen, pondok kecil yang menjual donburi (dan hanya memutar lagu-lagu the Beatles). Oh ya, Niigata terkenal dengan berasnya, tapi setelah dicicipi, terus-terang saya tidak bisa bedakan rasanya bila dibandingkan dengan beras biasa, haha. 

Bersama BL di Niigata.

Kita meninggalkan Niigata sekitar jam 5 sore dan tiba reached Ichiran Asakusa di senja hari. Ada antrian di depan restoran, lazim untuk setiap cabang Ichiran, dan ketika kita duduk di konter masing-masing (ini adalah sesuatu yang unik di Ichiran), jam sudah menunjukkan pukul delapan. Setelah santap malam, saya bergegas ke Uniqlo untuk membeli setelan baju hangat, tapi pusat perbelanjaan tersebut sudah tutup saat saya sampai di sana.  

Eday dan saya lantas berjalan ke Sake no Daimasu Kaminarimon, sebuah bar di Asakusa yang menjual berbagai macam sake. Kita coba hampir semua yang tersedia, mulai dari sake panas sampai sake dingin, tapi akhirnya berulang-kali memesan Snow Drop, sake yang diproduksi oleh Akebono Brewery di Fukushima. Minuman beralkohol ini menggunakan sake dan yogurt sebagai basisnya, rasanya lezat dan enak untuk diminum. 

Snow Drop.

Namun yang paling istimewa dari saat minum di bar ini adalah waktu yang kita habiskan sebagai dua teman yang mirip tapi juga bertolak-belakang karakternya. Kita sudah mengenal satu sama lain begitu lama sehingga kita bukan saja bisa mengenang masa lalu, menertawakan apa yang kita lewati hari ini dan berandai-andai tentang masa depan. Yang lebih penting lagi, kita juga bisa berbicara terbuka satu sama lain tentang apa saja. 

Akan tetapi semua hal harus berlalu. Kita akhirnya memesan botol terakhir dan bar pun tutup. Seperti begitu banyak kenangan luar biasa yang terjadi sepanjang liburan, kita tak pernah bisa lagi mengulangi kebersamaan yang terjadi secara spontan ini, meskipun kita kembali ke tempat yang sama di malam berikutnya.

Kalau saya lihat kembali lagi, berikut ini pendapat saya: 25 tahun silam, ketika dua remaja ini masih duduk di kelas yang sama di SMU Santu Petrus Pontianak, tidak pernah sedikit pun terbayangkan oleh mereka kalau mereka berdua akan duduk berbincang di Tokyo suatu hari nanti. Ini benar-benar sulit untuk dipercaya, tapi di sanalah dua teman lama itu berada, menenggak sake dan tertawa. Kenangan malam itu akan abadi selamanya di dalam hati saya... 

At Sake no Daimasu Kaminarimon.
Photo and art by Eday.

No comments:

Post a Comment