Total Pageviews

Translate

Monday, September 11, 2023

Magical History Tour: Part I

I differentiate the travel buddies when I travel. As much as possible, I avoid mixing those that aren't on the same frequency so that it won't be awkward. It's important to have the right chemistry when you travel! This is why I always had separate trips, be it solo or with family and friends

When it comes to family, I had my first father-and-daughter trip to Hong Kong back in 2018. It had been five years now. After toying with the ideas of bringing her to third-world countries such as Cambodia, it dawned on me that I could bring my daughter back to my hometown instead. I hadn't seen my mum since COVID-19. Furthermore, my daughter only visited Pontianak once as a toddler. She wouldn't remember anything from her first visit, so if there was ever a right time to get her reconnected to her fraternal roots, this was it!

Return to Pontianak!

I planned for the trip to happen in March 2023, but it had to be postponed as she got a school camp. Things turned out to be better in September, though. We got an extra public holiday due to presidential election, so after the voting, we made our way to Batam and relax there for a day. The holiday in Pontianak began the following day, after we caught the early flight and landed in Pontianak before lunch. 

Harry and Novi picked us up and we had a quick bite at RM Cen Cen. It was a humble, self-service eatery where you gotta scoop the rice and dishes yourself. While she couldn't bring herself to enjoy the pig blood that I offered, she liked the shrimps, at least until he saw the eyes staring back at her. She lost her appetite right after that, haha.

The shrimps!

We went to Harris Hotel to drop our luggage and then visited my mum. A mother in her was happy to see me again in person after three years, but a grandmother in her lighted up when she saw her teenage granddaughter. And Mum would fight back her tears four days later, when Linda said her goodbye. 

But the day we arrived was a happy occasion. Mum came with us to Es Krim Angi, the ice cream stall in front of my high school. Linda loved the three-flavored ice cream in the coconut, though soon she got creative and mixed it with serabi pancake as if it was a waffle. While it looked unusual, to paraphrase her words, she didn't see why it didn't worked since it tasted perfectly fine. 

Eating ice cream. 

From Es Krim Angi, we crossed the street and entered St. Peter, my secondary and high school. I pointed to places and explained to her where my classes were and what the spots were used to be before the new buildings took over. We wandered around, even went into an empty classroom as I reminisced and told her my story. As we walked out, she blurted out an innocent question, "how can anybody just walk into your school?"

I could only grin when I heard that. As we continued our journey, we walked towards my auntie's place behind the school. I used to stay there and it used to be one big house before it was split into four houses. We met my auntie and uncle as well as their son and their grandkids. There were photos on the wall and I showed to her who's who.

Linda in one of the classes at my high school.

Linda wished to go back to hotel afterwards and it would be the precedence that started the pattern throughout the trip: she'd always go back to hotel and relax before resuming the magical history tour at night. For that particular evening, we went to Aneka Rasa, a restaurant owned by another uncle and his wife.

While the main purpose was getting her to know her relatives, she didn't speak the language and the local adults couldn't converse in English, so it was me who did the talking. When we bade our farewell, I bumped into my dad's ex-chauffeur who's now working as a parking guy. Easily 30 years had passed and he was a much older person now. I was so overwhelmed by the encounter that I just had to hug him for old times' sake. 

At Kartika Hotel.

And the nostalgia continued. I asked my cousin and his wife if they could drive to Kartika Hotel, the place where I used to work. Apparently the hotel was just reopened. It was quite in the state of disrepair, though. But it was good to meet Satim, an old colleague of mine who's still working there. It was like meeting a link to the past, one that corroborated the story that I was once there. 

The next morning, we went to Gembala Baik, my primary school. It was Sunday, so the schoolyard was filled with the cars of the churchgoers. After a quick glance, we headed to Parno's salted fish shop. I joked with my friends that Parno would be a good example of what is going to happen if my daughter Linda didn't study hard, haha. 

Visiting Parno's shop.

Gunawan met and picked us up while we were there. We went to HM's house and Gunawan couldn't help smiling when I was offered chai kue by the host. I disliked certain Pontianak cuisines, but out of courtesy, I could still eat them. Most importantly, it was great to meet HM and his parents again. Back when I was in high school and college, they had been very kind to me. 

Next destination was my uncle's house. This fellow is my dad's younger brother and the house where he stayed still pretty much in the same condition as the time when I lived there. When we were in the living room, I showed my daughter the picture of me standing there during my birthday. Then she said why didn't we take her picture on the same spot? Quite a brilliant idea, I'd say. 

Same spot, years apart.

For lunch, we had Nasi Ayam Asan 333 that is located within a walking distance from my uncle's house. Good stuff, but what's good for us who were born there isn't necessarily translated as good for others. My daughter's review was, "I don't really like it, but it's okay." And she also questioned why it was called chicken rice when most of the meat was pork. 

We went to Gunawan's house and Linda played her first firecracker while we were there. From there, we would go to Aming Coffee. Now, I planned my trip and things had happened according to the plan so far. What would happen next was not part of my plan, but Pontianak was so small that anything impromptu could be made possible. And my daughter was about to meet the faces behind Petrus 98...

Trying out firecrackers.



Tur Pontianak Untuk Anak: Bagian 1

Saya selalu memilah teman seperjalanan saat berlibur. Sebisa mungkin saya pisahkan mereka yang tidak satu frekuensi supaya tidak terasa janggal. Sebagai contoh, saya jarang menyatukan rekan kerja dan teman-teman SMA. Adalah penting untuk memiliki nuansa kebersamaan yang tepat saat bertualang bersama! Karena inilah saya memisahkan liburan bersama keluarga dan teman. Bahkan bila perlu, bepergian sendiri pun kini bisa menjadi pilihan.

Berbicara tentang liburan bersama keluarga, saya pertama kali mengorganisir liburan ayah dan anak di tahun 2018. Waktu itu rutenya ke Hong Kong. Lima tahun telah berlalu semenjak itu. Sempat terpikir oleh saya untuk mengajak putri saya ke negara dunia ketiga seperti Kamboja, namun lantas terbersit di benak saya, kenapa tidak Pontianak saja? Saya belum pernah berjumpa dengan bunda lagi sejak COVID-19. Selain itu, sekali-kalinya putri saya ke Pontianak itu adalah saat dia masih balita. Dia tidak akan ingat apa pun dari kunjungannya yang pertama, jadi ini adalah waktu yang paling tepat untuk menunjukkan padanya asal-usul dan keluarga ayahnya. 

Kembali ke Pontianak!

Awalnya liburan ini dicanangkan di bulan Maret 2023, tapi akhirnya ditunda karena sekolah Linda mengadakan acara kemping. Kemungkinan berikutnya adalah liburan sekolah di bulan September dan ternyata ada hari libur dadakan pula. Setelah mengikuti pemilihan umum presiden, saya dan keluarga pergi ke Batam dan bersantai sehari di sana. Liburan ke Pontianak dimulai keesokan harinya, ketika kita menaiki pesawat pagi dan mendarat di Pontianak sebelum jam makan siang. 

Harry dan Novi datang menjemput di bandara dan kita pun diboyong untuk makan siang di RM Cen Cen. Ini adalah rumah makan sederhana dan swalayan di mana tamu-tamunya harus menyendok nasi dan sayur sendiri. Meski Linda menolak untuk mencicipi darah babi yang saya rekomendasikan, dia menikmati udang-udang kecil yang asin. Setidaknya sampai dia menyadari bahwa mata-mata udang yang telah menjadi lauk itu seperti sedang menatapnya. Linda langsung kehilangan selera makan, haha. 

Udang-udang kecil itu!

Kita lantas ke Hotel Harris untuk menaruh koper dan lanjut ke rumah bunda. Jiwa keibuannya membuat ia gembira saat bertemu dengan saya lagi setelah tiga tahun. Sebagai seorang nenek, ia juga sangat senang bisa melihat cucunya yang kini telah beranjak remaja. Dan Mama menahan tetesan air matanya empat hari kemudian, ketika Linda memeluknya dan berpamitan.

Namun tibanya kita di Pontianak adalah hari yang gembira. Mama ikut serta ke Es Krim Angi yang terletak di seberang SMA saya. Linda suka es krim tiga rasa yang disajikan di dalam buah kelapa, namun ia lekas melakukan sesuatu yang kreatif dan mencampurkan es krim dengan serabi, seakan-akan sedang menyantap waffle. Jadi aneh kelihatannya, namun Linda berkomentar bahwa tidak ada yang salah dengan caranya, sebab rasanya tetap enak.

Mencicipi es krim.

Dari Es Krim Angi, kita menyeberang dan masuk ke Santu Petrus, SMP dan SMA saya dulu. Saya tunjukkan dan jelaskan tempat-tempat di sekolah dan apa yang saya dan teman-teman lakukan sewaktu bersekolah di sini. Sambil berjalan dan melihat-lihat, saya mengenang masa lalu dan bercerita. Ketika kita meninggalkan sekolah, Linda bertanya dengan polos, "kenapa orang asing seperti kita bisa masuk begitu saja ke sekolah?" 

Saya hanya tersenyum saat mendengar pertanyaannya. Kita lalu berjalan ke rumah tante saya di belakang sekolah. Saya tinggal di sini dulu dan suatu ketika, kawasan yang kini terbagi menjadi empat rumah ini dulunya adalah satu rumah besar. Saat bertamu di rumah tante, saya jelaskan pula siapa saja mereka yang fotonya terpajang di dinding. 

Linda di salah satu kelas di SMU Santu Petrus. 

Linda ingin pulang ke hotel untuk beristirahat dan apa yang dia lakukan ini akhirnya menjadi pola selama liburan. Setiap sore, kita pun kembali ke hotel untuk bersantai dan baru melanjutkan tur Pontianak lagi sewaktu hari menjelang senja. Di malam itu, kita mampir ke Aneka Rasa, restoran yang dimiliki oleh paman saya dan istrinya. 

Walaupun tujuan utama dari kepulangan kali ini adalah mengenalkan Linda dengan keluarga saya di Pontianak, dia tidak bisa berbahasa Indonesia dan kerabat-kerabat saya pun tidak lancar berbahasa Inggris, jadinya saya yang sering mengobrol. Di kala saya pamit, saya bertemu dengan mantan sopir ayah saya yang kini menjadi tukang parkir. 30 tahun telah berlalu dan dia terlihat tua sekarang. Saya jadi emosional dengan pertemuan tersebut dan secara spontan merangkulnya. 

At Kartika Hotel.

Dan nostalgia pun berlanjut. Saya meminta sepupu saya dan istrinya untuk berbelok ke arah Kartika Hotel tempat saya bekerja sewaktu kuliah. Hotel tersebut baru dibuka kembali, tapi kondisinya tidaklah semegah dulu. Kendati begitu, senang rasanya bisa bertemu dengan Satim, rekan kerja dari sejak dulu. Rasanya seperti terhubung kembali dengan masa lalu dan saya pun bercerita lebih lanjut kepada putri saya tentang masa-masa di Kartika Hotel dulu. 

Keesokan paginya, kita ke Gembala Baik, SD saya dulu. Di hari Minggu, halaman sekolah dipenuhi oleh mobil-mobil pengunjung gereja. Setelah berjalan-jalan sejenak, kita lanjut ke toko ikan asin Parno. Saya bercanda bahwa Parno adalah contoh apa yang akan terjadi kelak bila Linda tidak belajar dengan baik selagi bisa, haha. 

Mengunjungi toko Parno.

Gunawan datang menjemput sewaktu kita berada di toko Parno. Kita pun meneruskan tur, kali ini ke rumah HM. Gunawan tersenyum geli saat saya ditawari chai kue oleh tuan rumah. Ini adalah salah satu dari makanan Ponti yang tidak saya sukai, tapi saya masih bisa menyantapnya untuk menghormati tuan rumah. Yang lebih penting lagi adalah perjumpaan dengan HM dan orang tuanya lagi. Di kala SMA dan kuliah, mereka sangat baik pada saya. 

Rute selanjutnya adalah rumah paman saya. Paman yang satu ini adalah adik ayah saya. Rumah yang ditempatinya sekarang masih mirip tata ruangnya dengan saat saya masih tinggal di sana. Ketika kita berada di ruang tamu, saya tunjukkan foto saya berdiri di sana saat merayakan ulang tahun saya. Dia kemudian bergumam, bagaimana kalau kita mengambil fotonya di tempat yang sama? Idenya bagus dan segera saya wujudkan. 

Bapak dan anak, berfoto di tempat yang sama.

Untuk makan siang, kita singgah ke Nasi Ayam Asan 333 yang lokasinya tidak jauh dari rumah paman saya. Lezat nian, tapi yang enak bagi kita yang lahir di Pontianak belum tentu sedap buat orang lain. Ulasan singkat putri saya adalah, "saya tidak terlalu suka, tapi lumayan rasanya." Dan dia juga mempertanyakan, kenapa menu ini disebut nasi ayam padahal lebih banyak daging babinya. 

Kita ke rumah Gunawan sesudah makan siang dan Linda memainkan kembang api pertamanya di sana. Setelah itu kita pergi ke Aming Coffee. Sampai sejauh ini, semua sudah berjalan sesuai dengan rute perjalanan yang telah saya susun. Namun Pontianak begitu kecil kotanya sehingga acara yang dadakan pun tidaklah mustahil untuk diadakan. Dan putri saya pun akan segera berjumpa dengan wajah-wajah di balik grup Petrus 98... 

Mencoba kembang api.

No comments:

Post a Comment