Total Pageviews

Translate

Saturday, April 20, 2024

When Worlds Collide

I used the term when worlds collide when I wrote about how the China Trip began. At that time, I was describing how my colleague Lawrence ended up joining the trip with my high school friends. Two different worlds, colleagues and friends, came together. Then the visit to Leshan Giant Buddha took place, causing the phrase to linger, begging to be told

As far as I'm concerned, events such as this only happened once before: when I crossed Abbey Road. For the untrained eyes, it was an action as simple as crossing the zebra-crossing. To me, a powerful emotion was unleashed the moment I stepped on it. The solidified past was smashed into smithereens by a dream came true. 

In order to understand what I meant with the last sentence above, let's go back to my humble beginning. I was a small town boy from Pontianak who went through a very traditional Chinese upbringing. Throughout my formative years, the advices given were typical, ie. study hard, save money, get married, etc. I don't recall hearing much encouragement that a dream could actually happen. 

That led me to believe that certain things I saw and read were meant to be where they were: unreachable. Oh yes, they were from a different world and I was just this boy from Pontianak, no matter where I was. And as time moved forward, such belief was engrained in my brain as the only truth that I had accepted and would have brought it to my grave obediently. It had become a solidified past. 

And it would have stayed that way until it suddenly dawned on me that I probably could watch Paul McCartney in Tokyo. Could I? Perhaps I could, right? Why not? One year later, I was in London, crossing Abbey Road. It was a revelation. To quote John Lennon, nobody told me there'd be days like these! 

That was back in 2016. I almost forgot how it felt. Until that day, when I stood in front of the Giant Buddha. Unlike Abbey Road, I didn't really look forward to it. I just went with the flow. I mean, since we were already in Chengdu, we might as well visit the Giant Buddha in Leshan. Little did I know that it'd still hit me hard.

I don't know what it meant to be there for others, but it was an emotional moment for me. As I stared at the Buddha, I remembered that boy who sat on the stairs while watching Wind and Cloud in the cramped living/dining room of the house rented by his parents in Pontianak. I remember him loving the series so much, but never in his life he ever thought that he'd be there one day. 

As I stood there 22 years later, the fighting scenes at the Giant Buddha of Leshan vaguely replayed in my head. What I saw long ago was now sitting right in front of my eyes. The worlds collided, bringing another chapter to a close with an end I never knew I needed. 

We weren't taught to dream. As a Chinese kid from the 80s, we were taught to be realistic. But it was a teaching I could never really conformed to. As I left the towering Buddha, I was reminded again that the past only solidified when you allowed it. But when you dreamt and pursued it, worlds might collide and there could be a little nice surprise waiting for you in the future...






Ketika Dua Dunia Bertemu

Saya pertama kali menggunakan istilah dua dunia bertemu ketika menulis tentang asal mula liburan ke Cina. Pada saat itu, saya menggambarkan tentang keikutsertaan kolega saya Lawrence dalam liburan bersama teman-teman SMA. Setelah itu kunjungan ke Leshan terjadi dan frase tersebut senantiasa terngiang-ngiang, meminta untuk diceritakan kembali. 

Bagi saya pribadi, pengalaman seperti ini hanya pernah terjadi sekali sebelum ini: saat saya menyeberangi Abbey Road. Bagi orang lain, apa yang saya lakukan ini hanya menyeberang jalan. Namun apa yang saya rasakan pada saat itu adalah gejolak emosi yang luar biasa begitu saya menjejakkan kaki di marka jalan bergaris-garis putih itu. Masa lalu yang seharusnya sudah terkubur dan tersimpan sebagai fosil itu bagaikan hancur dihempas oleh sebuah impian yang menjadi kenyataan. 

Untuk memahami apa yang saya maksudkan dengan kalimat terakhir di atas, mari kembali ke asal mula saya yang sederhana. Saya hanyalah seseorang yang berasal dari Pontianak dan tumbuh di tengah budaya Tionghoa yang kental. Dari kecil hingga remaja, nasehatnya selalu standar: sekolah yang baik, harus rajin menabung, menikah dan seterusnya. Rasanya hampir tidak ada wejangan yang memberitahukan saya bahwa impian itu penting dan bisa diwujudkan. 

Lambat-laun apa yang saya dengarkan itu membuat saya percaya bahwa apa yang saya lihat dan baca itu akan senantiasa berada di posisi tidak terjangkau. Oh ya, jadi semua itu ada di dunianya sendiri sementara saya hanyalah seorang bocah dari Pontianak, tidak peduli berapa umur saya ataupun di mana saya berada. Dan ketika waktu bergerak maju, kepercayaan itu tertanam di bawah sadar sebagai satu-satunya kebenaran yang hakiki dan akan saya bawa ke liang lahat. Saya percaya sepenuhnya tanpa bantahan. 

Dan demikianlah hidup saya, sampai suatu ketika saya melihat poster konser Paul di internet dan mulai membayangkan bahwa saya mungkin bisa menonton Paul McCartney di Tokyo. Bisakah saya? Sepertinya bisa, ya? Kenapa tidak? Dan setahun berikutnya, saya berada di London dan menyeberangi Abbey Road. Rasanya seperti menemukan sebuah kebenaran yang terungkap. Mengutip kata John Lennon, tidak ada yang pernah memberitahukan pada saya bahwa akan ada hari-hari seperti ini! 

Dan peristiwa itu terjadi di tahun 2016. Saya hampir lupa seperti apa rasanya, sampai hari itu, saat saya berdiri di depan patung Budha Raksasa. Berbeda halnya dengan Abbey Road, saya tidak memiliki perasaan menggebu-gebu untuk ke sana. Saya hanya mengikuti arus. Mumpung sudah di Chengdu, kita sekalian mengunjungi Budha Raksasa di Leshan. Jadi tidak pernah saya bayangkan bahwa dampaknya akan terasa dahsyat. 

Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman-teman lain saat berada di sana, tapi ada nuansa emosional sewaktu saya berada di sana. Tatkala saya menatap Budha, saya teringat dengan remaja kurus yang duduk di tangga menonton serial Awan dan Angin di ruang keluarga/makan yang sempit di rumah yang disewa oleh orang tuanya. Saya ingat bahwa dia suka film seri itu, tapi tak pernah terbayangkan olehnya bahwa dia akan berada di depan Budha Raksasa suatu hari kelak. 

Dan 22 tahun kemudian, selagi saya berada di sana, adegan pertarungan di Budha Raksasa bagaikan terulang lagi di benak saya. Budha Raksasa di film seri yang saya tonton dua dekade silam kini duduk di depan saya. Dua dunia bertemu, menamatkan sebuah kisah dengan akhir yang saya butuhkan tanpa saya sadari. 

Saya tidak pernah diajari untuk bermimpi. Sebagai bocah Tionghoa di tahun 80an, saya diajari untuk bersikap realistis. Tapi itu adalah sebuah ajaran yang tidak pernah benar-benar saya pegang. Saat saya beranjak meninggalkan Budha, saya diingatkan kembali bahwa masa lalu hanya akan menjadi statis bilamana anda mengijinkannya. Begitu anda mulai bermimpi dan mengejar impian tersebut, dua dunia yang berbeda itu mungkin saja bertemu dan suatu kejutan yang menyenangkan mungkin menanti anda di masa depan... 

No comments:

Post a Comment