Total Pageviews

Translate

Monday, November 13, 2017

Wonderful Indonesia: Kepri

How many of you have heard of Kepri? The name Kepri, the short form of Kepulauan Riau (Riau Islands) may not sound like anything remotely familiar, especially when you were studying at school the same time as me, when there were only 27 provinces back then. Nevertheless, if I named the main islands, you might have recognised them immediately: Batam and Bintan.

Batam is the popular one out of the two, thanks to its strategic location as the main entrance for Indonesians to go to Singapore. It was particularly true a decade ago, when budget airlines didn't even fly directly from Jakarta to Singapore, so if we took this route, it meant we had to take the connecting ferry right away once we landed in Batam (it took 45 minutes to 1,5 hours, depends on which ferry terminal you departed from). It wasn't always smooth sailing, though. There was at least one occasion where many of us missed the ferry due to the high demand after Hari Raya, causing us to be stranded together in Batam. But we were young then, and since there were many of us there, why wasted the good time? So we went for a drink instead to celebrate this unfortunate event, haha.

Soedjoko, departing Batam and heading to Singapore.

The availability of many cheap direct flights from Changi to Jakarta these days had slightly altered the role of Batam as a place of transit. I still traveled via Batam when I had to go back to Pontianak, but more often than not, I went there for a short getaway instead. We'd go to Batam over the weekend for Indonesian food, from lontong to nasi Padang. Shopping (milk powder included) at either Mega Mall, BCS or Nagoya Hill was also part of the agenda. Then there were movie time (I think I watched Step Up 3D and Step Up: All In there), kopi susu time (the Indonesian milk coffee that had its coffee residual at the bottom of the cup), haircut time, and drinking time. I'd be there with either my fellow Indonesian friends or Singapore guests that'd like to have a taste of Indonesia. Batam was very near to Singapore and kind of authentic in term of culture and food, so it was definitely charming. It did help that IDR was much weaker against SGD, but the many zeroes behind the actual value could be confusing to some foreigners.

After haircut.
Photo by Endrico Richard. 

Lacking in personality was Bintan. Just to ensure that we were on the same page here, the island was called Bintan and the one I was talking about was the Bintan resorts. There was nothing Indonesian here and the price was far from friendly. I went to the resorts twice so far, the first one was Bintan Lagoon and the other was the Canopi. The former was one with its own beach and the latter was one with a giant swimming pool and rooms in the form of tents. Both were grand and unique in their own way, but they were also isolated at the same time. They were so far from everywhere that we were basically at the mercy of whatever the resorts provided. There was Lagoi Plaza nearby the Canopi, but it was like a ghost town that we were actually surprised when we bumped into other people. That didn't mean it wasn't fun at all. The kids actually enjoyed their stay at the Canopi.

Audrey at the poolside of the Canopi, Bintan Resorts.
Photo by Evelyn Nuryani.

The part of Bintan that felt more like Indonesia was Tanjung Pinang. It was an old and underdeveloped town, so rundown to the extent it was logic-defying that such a place could become the capital city of Kepri. Our first moment there couldn't be more hilarious: we just landed and asked around for some direction, then somebody pointed out that we would reach the mall if we went thru a rather dark tunnel. There was this bright light at the end of the tunnel, just like those movies with good happy endings, so we took it as a good sign, but what we saw was... well, it was literally jaw-dropping. I was actually stopped there for a while to process the idea that the building across the street was a mall. Not only it didn't look like one, but it also had no electricity! I was from Pontianak, a backwater by any standards, but even I couldn't have been prepared for this, so imagine how surprised my Singaporean friends were. Once the disbelief subsided, we laughed hysterically.

Setia, Bernard and Chin Kok at bread shop, Tanjung Pinang.

However, once we knew how to manage our expectation level, Tanjung Pinang was actually alright. The food was delicious and cheap, compensating us for the expensive car rental. The town itself was rather weird as it had this market area nearby the pier and our hotel was like 10km away, located in this newly developed area. We had basically nothing to do except waiting for the night to come, that's why we ended up at the bakery shop for bread and soft drink. We had our dinner at Sei Enam seafood restaurant and the driver showed us around to see the town at night. Apart from the traffic jam, I don't remember anything, though, haha. We eventually went to Club Dope for a few drinks. It was a decent club for a place like Tanjung Pinang, but because it was kind of small, it felt like the lighting was blinking furiously right above your eyelids. Definitely not recommended for the epileptic people as it caused nausea.

To summarise it all, Bintan resorts are destinations for families or couples that have only few days to spend and don't mind being overcharged. Tanjung Pinang is a place to go when you are bored of city life and okay with the two hours ferry ride. Out of the few places in Kepri, I think Batam is the better one. Not only it's near to Singapore and a gateway to other cities in Indonesia, it is also just nice for a day trip or weekend getaway...

From left: James Liong, Hock Siong, Anthony, James Wu, Heng, Uncle Eddie and Joseph at Pempek Kolekta, Mega Mall Batam Centre.
Photo by James Liong.


Indonesia Yang Menakjubkan: Kepri

Berapa banyak dari anda yang sudah pernah mendengar tentang Kepri? Nama Kepri yang berasal dari singkatan Kepulauan Riau mungkin terasa asing, terutama bagi yang satu generasi dengan saya dan hanya belajar tentang 27 provinsi selama di sekolah. Kendati begitu, kalau saya sebutkan nama pulau-pulaunya, anda mungkin akan langsung tahu: Batam dan Bintan.

Batam adalah pulau yang lebih terkenal dari dua nama di atas karena lokasinya strategis sebagai tempat transit bagi orang Indonesia untuk menyeberang ke Singapura. Peran Batam sebagai tempat persinggahan lebih terasa sepuluh tahun yang lalu, ketika maskapai berbiaya rendah belum memiliki penerbangan langsung dari Jakarta ke Singapura. Bila kita menempuh rute ini, kita harus melanjutkan perjalanan dengan feri dari Batam kira-kira 45 menit atau satu setengah jam lamanya, tergantung dari pelabuhan mana kita bertolak.

James Wu and Lawrence Liew di bandara Hang Nadim.

Rute yang satu ini bukan berarti tidak memiliki resiko. Suatu ketika, kita pernah kehabisan tiket feri karena membludaknya penumpang setelah hari raya Idul Fitri. Akhirnya kita semua terdampar di Batam. Namun kita masih sangat muda saat itu dan tidak terlalu ambil pusing. Jarang-jarang dapat kesempatan berkumpul seperti ini, jadi kita malah pergi minum untuk merayakan peristiwa langka ini, haha.

Hendyono dan Sudarto, saat kita terdampar di Batam.

Tersedianya tiket-tiket murah dari Changi ke Jakarta kini mengubah peranan Batam sebagai tempat persinggahan. Saya masih pulang ke Pontianak melewati Batam, tapi seringkali saya justru ke sana untuk berakhir pekan dan mencicipi makanan mulai dari lontong sampai nasi Padang. Berbelanja beraneka kebutuhan, termasuk juga susu untuk anak, biasa dilakukan di Mega Mall, BCS atau Nagoya Hill. Setelah itu ada waktunya menonton di bioskop (Step Up 3D dan Step Up: All In saya tonton di Batam), waktunya kopi susu gaya Indonesia, waktunya gunting rambut dan waktunya minum bir. Saya biasanya berangkat bersama teman-teman Indonesia, tapi tidak jarang juga berangkat membawa rombongan kawan-kawan Singapura yang ingin menikmati nuansa Indonesia. Batam sangat dekat dengan Singapura dan memiliki budaya dan makanan Indonesia yang otentik, jadi memang menawarkan sesuatu yang berbeda bagi mereka. Selain itu, lemahnya rupiah terhadap dolar Singapura juga menjadi daya tarik bagi turis, meskipun banyaknya nol dalam nilai rupiah terkadang membuat mereka bingung.

Keenan dan Bernard, main game sebelum nonton Oblivion di Mega Mall Batam Centre.
Foto oleh Franky Ng.

Yang tidak terasa seperti Indonesia justru adalah Bintan. Untuk memastikan bahwa kita memiliki persepsi yang sama, pulau di sebelah Batam bernama Pulau Bintan, tetapi yang saya bicarakan di sini adalah kawasan tetirah Bintan. Sejauh ini saya pernah menginap di Bintan Lagoon dan Canopi. Yang pertama memiliki pantai, yang kedua memiliki kolam luas dan kamar berbentuk tenda. Dua-duanya megah dan unik, tetapi juga terpencil sehingga kita sepenuhnya bergantung pada apa yang disediakan oleh hotel. Di dekat Canopi ada pusat perbelanjaan bernama Lagoi Plaza, tetapi tempat ini luar biasa sepi! Walau memiliki kekurangan, ini tidak berarti bahwa tempat-tempat seperti Canopi ini tidak layak dikunjungi. Anak-anak saya menikmati waktu mereka di sana.

Dari kiri: Angela, Lina, Yenni, Wawa dan Yani di pantai Bintan Lagoon.
Foto oleh Endrico Richard. 

Bagian dari Bintan yang lebih terasa seperti Indonesia adalah Tanjung Pinang. Kota kecil ini terlihat agak terbelakang, semrawutan dan kumuh sehingga ada kesan tidak masuk akal bahwa Tanjung Pinang ini adalah ibukota dari provinsi Kepri. Kenangan pertama kita di sana sangat monumental: kita berjalan kaki sambil bertanya arah saat tiba, kemudian seseorang berbaik hati menunjukkan arah ke mal terdekat. Berbekal petunjuk darinya, kita menelusuri sebuah lorong yang agak temaram. Ada cahaya terang di ujung lorong, persis seperti yang ada di film-film yang berakhir bahagia, jadi kita pun menaruh harapan tinggi, tetapi begitu kita melangkah keluar, apa yang menanti di sana membuat kita terperangah sampai ternganga. Saya sempat berhenti untuk mencerna kembali bahwa mungkin ini adalah mall yang dimaksud, tetapi saya gagal paham. Bukan saja bangunan di seberang jalan ini tidak terlihat seperti mal, tetapi juga gelap-gulita karena mati lampu. Meski saya berasal dari Pontianak yang notabene adalah kota kecil, saya tetap tidak pernah menduga bahwa pusat perbelanjaannya bisa separah ini, jadi bisa dibayangkan betapa terkejutnya teman-teman yang berasal dari Singapura. Ketika rasa tidak percaya kita mulai sirna, kita pun tertawa terpingkal-pingkal.

Tatkala kita mulai bisa menerima kota ini apa adanya, Tanjung Pinang sebenarnya tidak terlalu buruk. Transportasi di sana agak sulit dan mahal, tetapi makanannya murah dan enak. Kotanya sendiri agak aneh karena pembangunannya seperti terbagi dua. Daerah pasar di dekat pelabuhan sangat ramai, namun hotel kita terletak di kawasan baru yang berjarak sekitar 10km jauhnya dari sana. Tidak ada aktivitas yang bisa dikerjakan di sana sehingga kita akhirnya duduk di toko roti untuk menikmati roti dan minuman soda. Di malam hari, kita bersantap di restoran Sei Enam yang menyajikan makanan laut, lantas berkeliling kota di malam hari. Selain macetnya, saya sama sekali tidak ingat apa-apa, haha. Setelah itu kita mengunjungi Club Dope untuk beberapa gelas bir. Untuk kota kecil seperti Tanjung Pinang, Club Dope tergolong lumayan, tetapi agak sempit sehingga gemerlap lampunya terasa membutakan mata dan menimbulkan rasa mual. Saya rasa pengidap epilepsi tidak cocok ke sana.

Secara keseluruhan, Kepri bisa disimpulkan seperti ini: Bintan bagian utara adalah kawasan hotel mewah yang cocok untuk keluarga atau pasangan yang hanya memiliki dua atau tiga hari libur dan tidak keberatan untuk membayar mahal. Tanjung Pinang adalah tempat tujuan bagi mereka yang tidak keberatan untuk mengarungi lautan selama dua jam untuk keluar dari hirup-pikuknya kehidupan perkotaan. Batam bukan saja dekat dengan Singapura dan merupakan tempat transit yang ideal untuk menjangkau kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga cocok untuk perjalanan singkat, baik pulang hari maupun akhir pekan, bagi mereka yang berminat menikmati ramahnya Indonesia...

Dari kiri: Franky, Bernard, Steven, Phil dan Anthony di Nagoya Hill.
Foto oleh Franky Ng.


No comments:

Post a Comment