Total Pageviews

Translate

Showing posts with label General. Show all posts
Showing posts with label General. Show all posts

Wednesday, October 15, 2025

The Game Changer

Sometimes all it took was the most trivial thing to remind you that life had come a long way. It was one fine morning, I was on my way to the bus stop. Just like most of us these days, I was busy doomscrolling. Then I saw something that made me wonder why Akira Toriyama created Vegeta, the Prince of Saiyans from Dragon Ball Z, as a physically short character. Just like that, I fired the question on Perplexity, my go-to AI.

It was the aftermath that got me thinking. It was that easy to get my answer. AI was really a game-changer, eh? Looking back, since the dawn of the internet, dating all the way back to 1998 for me, I've been incredibly fortunate to witness firsthand and experience these game-changing moments.

I remember the time I discovered Amazon. When I first saw it in 1999, I was convinced that this was the future of shopping. I was so impressed by the books and CD collections that I applied for my first credit card. Didn't work out well for me at that time, though. But fast forward to years later, online shopping is a norm. So are contactless and QR code payments.

Another thing that kept evolving was the chat app. From just a tool to have some fun and get a date on Saturday night, it was revolutionized by BBM a decade later. Today, WhatsApp is an integral part of my life when it comes to chatting and calling. Gone are the days when you had to buy international calling cards. I can just call my mum in Pontianak anytime now. 

Then there are various ride-hailing apps. I always think of it as something you didn't know you needed, but there's no turning back once you knew it. The idea was so genius and sneaky at the same time that it changed the way of life quietly. For the better. Grab, Uber, and many more are parts of my life now. No more waiting in uncertainty. You either get your ride or you don't.

The next one I'm going to tell you may not be too significant for some, but I really love having my data on the go. Prior to this, I had been a fan of Apple's Time Capsule. I didn't understand why Apple stopped refreshing the product. Only when I shifted my data to the cloud did I realize why. If information is power, it was like having power at the palm of your hands. The cloud was practical, no more hardware to maintain, and proven to be useful time and again.

And the last was of course AI. I said this before and I'll say it again. For the longest time, the word google was a verb. But it immediately became a thing of the past the moment I tried AI. It was like having someone to read and summarize the answer you need. And it could even do more than that. The possibilities are endless. From here onwards, life as we know it won't be the same anymore.

For the first 18 years of my life in Pontianak, I went through an era before the internet. Yes, to a certain extent, life in a small town could do without some of the things I mentioned above. One could even say, in a rather ignorant manner, that life was less complicated without all this. 

But the technology I described above is not only a game-changer, but also inevitable. You are either left behind, living in a borrowed time, or you actually embrace it. The game changer is here to stay and, for the fact that it can be integrated seamlessly, I don't think it should be feared. If anything, it should be learnt, so that our life quality can be improved. 

The five that I mentioned above.



Terobosan

Hidup ini lucu. Terkadang justru hal remeh yang terbersit di benak yang mengingatkan anda kembali, betapa hidup ini sudah jauh berubah. Cerita kali ini bermula di suatu pagi, saat saya berjalan ke halte bis dan sibuk menggulirkan bacaan di Facebook. Lantas saya melihat sesuatu yang membuat saya penasaran, kenapa Akira Toriyama menciptakan Vegeta, sang Pangeran Saiyan dari Dragon Ball Z, sebagai karakter yang pendek secara fisik. Berbekal pertanyaan tersebut, saya lantas cari tahu di Perplexity, AI andalan saya. 

Saya dapat jawabannya, tapi apa yang saya lakukan itu lalu membuat saya berpikir. Betaap mudahnya mencari jawaban di masa kini. AI memang sebuah terobosan handal. Bila saya lihat kembali, sejak saya mengenal internet di tahun 1998, saya sudah menyaksikan dan mengalami langsung beberapa terobosan yang mengubah hidup kita. 

Saya ingat saat pertama kali saya menemukan Amazon. Di tahun 1999, saya percaya bahwa inilah masa depan cara berbelanja. Saya sangat terperangah dengan lengkapnya koleksi buku dan CD musik di Amazon, sampai-sampai saya tergerak untuk memohon kartu kredit. Akan tetapi semuanya tidak selancar yang saya bayangkan. Bertahun-tahun kemudian, berbelanja di internet sudah lumrah. Demikian pula halnya dengan pembayaran nirsentuh dan kode QR. Memang terbukti.

Hal lain yang senantiasa berubah adalah aplikasi chat. Dari sekedar alat untuk berkencan di malam Minggu, fungsinya berubah drastis dengan kemunculan BBM yang revolusioner. Hari ini WhatsApp adalah aplikasi utama saya dalam menghubungi dan menelepon. Kini saya tak lagi perlu membeli kartu telepon internasional. Saya bisa menelepon ibu saya setiap saat.  

Kemudian ada pula aplikasi untuk jasa antar mobil. Saya selalu merasa bahwa ini adalah sesuatu yang tanpa sadar selalu dibutuhkan. Ide ini begitu jenius dan mengubah pola hidup secara senyap. Dan hidup pun menjadi lebih baik dan praktis. Sekarang Grab, Uber dan beberapa aplikasi lainnya senantiasa tersedia di Google Pixel saya. Kini tak ada lagi penantian tanpa kepastian. Yang ada cuma mendapatkan tumpangan atau tidak. 

Selanjutnya, yang akan saya sampaikan berikut ini mungkin tidak begitu signifikan bagi sebagian pembaca, tapi saya suka dengan data pribadi yang selalu terjangkau oleh saya. Sebelumnya, saya adalah penggemar Time Capsule dari Apple. Saya heran ketika Apple menghentikan produk ini. Ketika saya pindahkan data ke cloud, barulah saya mengerti kenapa. Jika informasi adalah kekuatan, analoginya adalah seperti menggenggam kekuatan dalam telapak tangan. Cloud begitu praktis, tak lagi perlu bagi saya untuk memperbaharui perangkat, dan sudah terbukti berguna pula di aneka kesempatan. 

Dan yang terakhir tentu saja adalah AI. Saya sudah pernah mengatakan ini, dan saya akan ulang lagi. Selama bertahun-tahun, kata “google” sudah menjadi sebuah kata kerja. Namun, semua itu langsung terasa usang setelah saya mencoba AI. Rasanya seperti memiliki seseorang yang membaca dan merangkumkan jawaban yang kita butuhkan. Bahkan, AI bisa melakukan lebih dari itu. Kemungkinannya tak terbatas. Mulai sekarang, hidup kita tidak akan pernah sama lagi.

Selama 18 tahun pertama hidup saya di Pontianak, saya melewati masa sebelum adanya internet. Ya, sampai batas tertentu, kehidupan di kota kecil bisa berjalan tanpa beberapa hal yang saya sebutkan di atas. Bahkan, seseorang bisa saja berkata dengan naif bahwa hidup terasa lebih sederhana tanpa semua ini.

Namun teknologi yang saya jelaskan di atas bukan hanya mengubah hidup kita, tetapi juga tidak dapat dihindari. Kita hanya punya pilihan-pilihan berikut ini: ketinggalan zaman, tetap pasif menanti semua itu terjadi, atau menerima perubahan ini sepenuhnya. Perubahan besar ini akan terus ada, dan karena dapat diintegrasikan dengan begitu mulus, saya rasa tidak ada alasan untuk takut. Justru sebaliknya, teknologi ini sebaiknya diterima dan dipelajari agar kualitas hidup kita menjadi lebih baik lagi.

Sunday, September 14, 2025

Day Trip To JB With Bernard

Bernard is easily one of my closest friends, but as I sat down with him in JB and looked back, I realized that I rarely traveled with him. Granted, we did Jakarta and Batam, but Laos was our farthest trip so far. When it comes to Malaysia, we visited Kuching in 2012. 13 years later, there we were in JB for the first time ever. 

One week before the trip, he checked with me to see if I could accompany him to JB for furniture shopping. I checked with my wife if she had anything planned for family and, since she had none, I said okay. It was also a good opportunity to test out the MVNO data plan I just subscribed to. Lastly, since Loca Pay in Laos and Dana in Indonesia, I also downloaded TnG eWallet for this trip.

Off we went on a rainy Saturday. Once we passed through the autogate in Malaysia, it was time to test the MVNO SIM cards. Eight worked like a charm, but Circles.Life failed. Upon checking with the support team, turned out that my data plan of Circles.Life didn't cover the roaming services, haha. 

First stop, lunch. Bernard wanted to eat Soon Huat Bak Kut Teh in Taman Sentosa. Apparently he was a regular here and I'd learn that we basically followed his usual itinerary. The queue for Soon Huat seemed long, but it was quite fast. The food wasn't that fantastic, I am afraid. Even Bernard said that the quality had dropped, though I'm not sure if he was influenced by the clear pork soup remark that I showed him when I checked in using Swarm

At the first shop.

Next stop was the furniture shops. The first one was in Taman Johor Jaya, close to Tebrau. The second shop where we got the recliner sofa, was in Skudai. The testing, at least for me, was quite amusing. The more you got the potato couch feeling, the more you could be sure that it was the one you'd want to buy. Bernard was more systematic. He checked the neck and back support in both sitting and reclining positions. To put it simply, he was more meticulous. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Now that we got the sofa, we headed to Hard Rock Cafe Puteri Harbour to see if there was anything new. From there we headed back to Taman Sentosa again, this time we ate at Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. It was an old fashioned eatery. Bernard joked that even the signboards were probably older than us. We had crayfish there, which reminded me of the seafood restaurant in Tanjung Balai.

Visiting Hard Rock.

The last thing we did right after dinner was foot massage at Fizzio that is located across the street. Painful at times, but that, perhaps, what the feet and legs needed. After an hour, I finally got a chance to test TnG eWallet. I love cashless payment! Then we made our way back to the border and returned to Singapore...



Sehari Di JB Bersama Bernard

Bernard adalah salah satu teman terdekat saya, tapi sewaktu saya lihat kembali, ternyata kita jarang berlibur bersama. Ya, tentu saja kita bepergian ke Jakarta dan Batam, tapi Laos adalah tempat terjauh yang pernah kita kunjungi bersama. Akan halnya Malaysia, kita ke Kuching tahun 2012. 13 tahun kemudian, kita mengunjungi Johor Bahru untuk pertama kalinya. 

Satu minggu sebelum tanggal keberangkatan, Bernard bertanya apakah saya bisa menemaninya ke JB untuk berbelanja furnitur. Saya konfirmasi dengan istri, siapa tahu dia sudah merencanakan sesuatu untuk keluarga. Berhubung tidak ada acara, saya pun mengiyakan Bernard. Ini juga kesempatan yang bagus untuk menguji data MVNO yang saya beli baru-baru ini. Dan sejak Loca Pay di Laos serta Dana di Indonesia, saya juga mengunduh TnG eWallet untuk liburan singkat ini. 

Lantas berangkatlah kita di Sabtu pagi yang rintik-rintik. Saatnya mengetes MVNO begitu kita melewati pintu imigrasi otomatis di Johor Bahru. Eight berfungsi dengan baik, namun Circles.Life tidak bisa dipakai di Malaysia. Setelah saya tanyakan ke bagian pelayanan pelanggan, ternyata paket data Circles.Life tidak mencakup koneksi internet di luar Singapura, haha. 

Bak Kut Teh.

Pemberhentian pertama, makan siang. Bernard ingin menyantap Soon Huat Bak Kut Teh di Taman Sentosa. Ternyata dia sering makan di sana dan saya lekas menyadari bahwa hari ini kita akan mengikuti rute regulernya. Antrian di Soon Huat cukup panjang, tapi cepat pula pergerakannya. Rasa masakannya biasa saja. Bahkan Bernard mengakui bahwa kualitasnya sudah turun, walau saya tidak tahu apakah pendapatnya itu dipengaruhi oleh komentar tentang sup babi jernih yang saya tunjukkan padanya saat saya menggunakan Swarm

At the first shop.

Sesudah makan, tujuan berikutnya adalah dua toko furnitur. Yang pertama terletak di Taman Johor Jaya, tak jauh dari Tebrau. Yang kedua, tempat kita membeli sofa malas, berada di Skudai. Cara kita menguji kenyamanannya cukup menarik. Bagi saya, semakin malas rasanya saya beranjak dari sofa, berarti makin nyaman. Bernard lebih sistematis. Dia memeriksa penyangga leher dan punggung dengan lebih seksama, baik dari saat duduk tegak sampai posisi berbaring santai. 

At the second shop, Art Home Furniture.

Setelah mendapatkan sofa, kita singgah sejenak di Hard Rock Cafe Puteri Harbour untuk melihat koleksi terbaru. Dari situ kita kembali ke Taman Sentosa lagi, kali ini untuk makan malam di  Taman Sri Tebrau Hawkers Centre. Ini tempat makan tradisional dan Bernard bercanda bahwa papan nama penjualnya mungkin lebih tua dari kita. Kita memesan udang karang di sini, menu yang mengingatkan saya saat makan di restoran di Tanjung Balai

Visiting Hard Rock.

Hal terakhir yang kita lakukan adalah pijat kaki di Fizzio di seberang jalan. Sakit juga pijatannya, tapi mungkin itu yang dibutuhkan tapak dan tungkai kaki setelah berjalan seharian. Satu jam pun berlalu dan akhirnya saya bisa mencoba TnG eWallet. Saya suka pembayaran non-tunai! Setelah itu, kita melaju ke perbatasan dan kembali ke Singapura... 

Sunday, July 6, 2025

The Doomscrolling

And we thought binge-watching on Netflix was bad! Like many others, I've also got my own addictions to battle. For example, I am still hooked by crackberry, even long after BBM ended (it was simply replaced by WhatsApp). It was a struggle to sit down and really make a conversation with a person in front of you, just like what I did with my wife when we had a dinner. Oh yes, dinner and drink were probably the few times I could totally put my phone down on the table. 

The Crackberry addiction...

Now, on top of the ongoing crackberry addiction, I began realizing a new pattern that I developed lately. Yes, scrolling down the newsfeed on Facebook was already part of my lifestyle for as long as I could remember. However, I couldn't help noticing that recently, I spent a lot of times watching those short videos on Facebook.

I just had to click one, let's say a snippet of Two and a Half Men, then from that point onwards, anything else that caught my attention would continue to appear. It could be a few minutes of stand-up comedy, then scenes of crocodiles in action (yeah, I am somehow fascinated by how unpredictable crocodiles are), a quick laugh with Everybody Loves Raymond, etc. And I'd keep scrolling down until I reached office. 

The reels on Facebook.

The biggest difference between the two behaviours described above is this: I could still stop scrolling down the newsfeed on Facebook. But those videos, it was as if there was this voice whispering to me, may be one more? By the time I reached Downtown Station, what felt like a harmless suggestion had turned out to be more than one video for sure. 

I remember reading a specific term about this before. When I cross-checked this on Perplexity AI, there were many names for the syndrome: infinite scroll, zombie scrolling and doomscrolling. They all basically meant the same thing: the unconscious act of scrolling through social media or other content, typically without a clear goal or endpoint.

Kinda spooky, though. I'm not a TikTok user, but I reckon it could be worse for them. Time for digital detox, perhaps? Maybe it's time to try out the Minimal Phone? Or probably I should wait a bit for the BlackBerry Classic revival in the form of Zinwa Q25? We shall see!

The Minimal Phone.



Kecanduan Digital

Dan kita dulu menyangka bahwa yang namanya binge-watching di Netflix itu tidak baik! Tak berbeda dengan orang lain, saya pun memiliki masalah kecanduan yang perlu saya atasi. Sebagai contoh, sampai hari ini saya masih terbelenggu crackberry, lama setelah BBM tamat (dan kini tergantikan dengan WhatsApp). Perlu perjuangan untuk bisa duduk dan benar-benar berbincang dengan lawan bicara, seperti halnya yang saya lakukan dengan istri saat kita makan malam di luar. Oh ya, acara makan dan minum adalah sekali-kalinya saya bisa mengabaikan telepon saya di meja. 

Kecanduan Crackberry...

Selain masalah ketergantungan crackberry, saya menyadari bahwa ada pola baru yang mulai saya jalani tanpa sadar. Membaca berita di Facebook adalah bagian dari hidup sejak penghujung dekade pertama di abad 21. Akan tetapi menghabiskan waktu menonton video singkat di Facebook adalah perihal baru yang tidak biasa. 

Saya cukup menekan satu, misalnya cuplikan Two and a Half Men, lalu apa saja yang menarik perhatian saya akan terus bermunculan, mulai dari beberapa menit komedi, lalu video tentang buaya (ya, entah kenapa saya selalu tertarik dengan tindak-tanduk buaya yang tidak bisa diprediksi), tawa singkat bersama Everybody Loves Raymond dan lain-lain. Saya akan terus membuka video berikutnya sampai saya tiba di kantor. 

Reels di Facebook.

Perbedaan paling mendasar dari dua prilaku ini adalah kontrol diri. Untuk berita Facebook, saya masih bisa berhenti. Tapi untuk video-video singkat ini, sepertinya ada suara yang berbisik, tak apa-apa, satu video lagi saja. Dan di saat saya tiba di Stasiun Downtown, saran bawah sadar itu membuat saya menghabiskan waktu melihat entah berapa banyak video selama perjalanan ke kantor. 

Saya ingat bahwa saya pernah membaca tentang hal ini sebelumnya. Ketika saya cari lagi menggunakan Perplexity AI, sindrom ini muncul dalam berbagai nama: gulir tanpa akhir, gulir zombi dan gulir hingga kiamat. Semua ini memiliki definisi yang kurang-lebih sama: perbuatan menggulir ke bawah tanpa sadar untuk melihat konten media sosial yang tidak jelas tujuannya dan tidak memiliki akhir. 

Agak seram juga nama dan penjabarannya. Saya bukan pengguna Tiktok, tapi saya jadi membayangkan, mungkin lebih parah lagi bagi mereka. Apa sudah waktunya untuk detoksifikasi digital? Ganti ke Minimal Phone? Atau mungkin tunggu sampai bulan depan untuk menantikan kembalinya BlackBerry Classic dalam bentuk Zinwa Q25? Hmm, mari kita lihat bersama-sama...

Minimal Phone.

Saturday, July 5, 2025

All The Money In The World

It was another Tuesday morning. Just like most of the people from my generation these days, I scrolled the newsfeed on my Facebook immediately I woke up. Soon I found myself staring at all the flags shown under the caption saying countries with lowest inflation rate. Bahrain captured my attention and I did some research on my Perplexity AI. For the Middle East standard, apparently Bahrain wasn't an expensive country. 

What I did just now reminded me of Australia and other countries I visited before. For a country with a currency weaker than SGD, Australia certainly was more expensive. On average, the meal was two times of what I would have paid in Singapore! So, no, Australia, didn't feel affordable. Perth was a nice place, though. And very generous with french fries.

Similar experience was felt in Hong Kong. I definitely felt the pinch the moment I traveled out from Shenzhen. Hong Kong was cramped and expensive. A tiny, costly hotel room as opposed to a much cheaper and spacious unit with living room that I had while I was in Shenzhen. China was generally okay, but Hong Kong was an exception!

India, on the other hand, was very cost friendly for SGD holders. The price of the Uber ride was so cheap that I couldn't help pressing the confirm button. It was the same feeling in Malaysia, especially Ipoh. The price was so unbelievably attractive that I wished I could have ordered ten Grab ride at one go.

Taiwan was also budget friendly. The most memorable moment I had was when I went through the Din Tai Fung bill. It was just about SGD 50. You certainly can't get this price for a family of four if you eat at any Din Tai Fung in Singapore!

Europe was a different ball game, though. The currencies, be it GBP, EUR or CHF, are stronger than SGD. Everything in UK and Western Europe also felt more expensive than Singapore. The time in Europe was one of the few times I felt inferior earning SGD. One consolation I had was the gelato. It was somehow much cheaper in Salzburg!

Brunei is unique because the currency is pegged to SGD at a fixed 1:1 exchange rate. I had this thought that it must be as developed as Singapore, too. Imagine my surprise when I visited the country. It was nowhere close to Singapore and somewhat comparable to Malaysia. I might be biased, but I couldn't shake of the feeling that things should have been cheaper in Brunei. 

Having said that, the rest of Southeast Asia, from Myanmar to Indonesia, was a good place for me to travel. It was so affordable. Good and cheap! Cambodia was probably the only other exception, as KHR had a fixed exchange rate and the country also used USD as a legal tender. When we entered Cambodia from Vietnam, some of us actually paid USD 1 just to use the toilet.

Overall, it's still pretty cool to earn SGD and spend it on another currencies. It was fun to feel like a king. Even when things were much more expensive for us, at least SGD was strong enough to cushion it, haha. That probably explained why traveling was an option, not a luxury...






Uang dan Nilai Tukar 

Di hari Selasa pagi, seperti kebanyakan orang di generasi saya, saya melihat-lihat Facebook begitu saya bangun. Ada satu gambar dengan banyak bendera yang memiliki tajuk negara-negara dengan tingkat inflasi terendah. Bendera Bahrain menarik perhatian saya. Riset pun segera dilakukan dengan Perplexity AI. Untuk ukuran Timur Tengah, ternyata Bahrain tidak tergolong mahal untuk dikunjungi. 

Apa yang baru saja saya lakukan ini mengingatkan saya pada Australia dan beberapa negara lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Untuk negara dengan mata uang lebih lemah dari SGD, Australia tidaklah murah. Secara rata-rata, harga sekali makan bisa dikatakan dua kali lipat dari harga di Singapura. Tapi Perth enak suasananya. Dan tempat makan di sana sangat murah hati dengan kuantitas kentang gorengnya. 

Pengalaman serupa terasa di Hong Kong. Perbedaan drastis ini dialami saat saya keluar dari Shenzhen. Hong Kong terasa padat dan mahal. Kamar hotelnya kecil, berbeda dengan kamar yang luas plus ruang tamu yang saya tempati di Shenzen. Rata-rata kota di Cina masih wajar harganya, tapi Hong Kong adalah pengecualian! 

Di sisi lain, India sangat terjangkau bagi pemegang SGD. Harga Uber di sana sungguh terasa murah, sampai-sampai saya menekan konfirmasi tanpa keraguan. Sama halnya pula dengan Malaysia, terutama di Ipoh. Harganya selalu membuat saya tertawa dan berharap seandainya saja saya bisa langsung pesan 10 mobil sekaligus. 

Taiwan juga ramah bagi yang ingin berhemat. Yang paling mengesankan adalah restoran Din Tai Fung. Hanya kisaran SGD 50 untuk makan siang. Harga segini sungguh mustahil bagi satu keluarga dengan dua anak yang bersantap di Din Tai Fung Singapura!

Kalau Eropa beda lagi ceritanya. Mata uangnya, mulai dari GBP, EUR atau CHF, lebih perkasa dari SGD. Segala sesuatu di Inggris dan Eropa Barat terasa lebih mahal dari Singapura. Satu hal yang sering terasa di Eropa adalah lemahnya SGD. Satu-satunya penghiburan yang saya temukan adalah gelato. Di Salzburg, harganya dua kali lebih dari Singapura. 

Brunei tergolong unik karena mata uangnya yang dipatok 1:1 dengan SGD. Saya jadi membayangkan bahwa negaranya pastilah semaju Singapura juga. Bayangkan betapa kagetnya saya pas tiba di sana. Negara ini lebih mirip Malaysia daripada Singapura. Saya mungkin bias, tapi berdasarkan apa yang saya lihat, saya jadi merasa seharusnya harga barang-barang di Brunei lebih murah.

Negara-negara lain di Asia Tenggara, mulai dari  Myanmar sampai Indonesia, sangat ramah bagi kantong saya. Murah dan terjangkau! Kamboja mungkin satu-satunya pengecualian karena KHR memiliki kurs tetap dan juga menggunakan USD dalam jual-beli. Ketika kita memasuki Kamboja dari Vietnam, beberapa di antara kita membayar mahal USD 1 hanya untuk kencing. 

Secara umum, pendapatan SGD dan pengeluaran menggunakan mata uang lain memang masih ok. Sedap rasanya saat menjadi seperti raja. Bahkan ketika segala sesuatu terasa lebih mahal, ketangguhan SGD sangat membantu dalam membendung kemahalan yang terasa. Mungkin ini alasannya kenapa berjalan-jalan adalah pilihan, bukan kemewahan... 

Sunday, May 25, 2025

The Point Of View

Before we get into the story, allow me to open with this unrelated topic: I had been writing for so long that, throughout the years, I wondered if I had repeated something I did before. This one was such a case. Turned out that I did a piece called the Perspective in 2018! But after checking it, I can assure you the one you'll be reading isn't the same thing.

Now, the story here started like many others. It was just another unassuming morning that began with good-natured banter in our group chat. It was pretty normal, until it wasn't and the interaction hit me with an idea. This time it had to do with Taty's comment about not recognizing the Tuas Link MRT Station that she had been before.

And just like that, it sparked an idea. A few years ago, I wrote about why people are different. This one here, it felt like the sequel. A story to be told. That's when the brain started drafting all this. I couldn't help it, really!

Anyway, in Taty's case, she was at the said MRT station once, but she couldn't remember it anymore. She saw it, but subconsciously decided that it wasn't important and therefore it was forgotten. In my case, I immediately thought of the platform at the train station in China as I alighted at Tuas Link. The resemblance was uncanny. It was memorable, hence I remembered it. 

My friend Taty and I couldn't be more different. Eday and I, however, were artistic in our own rights. To put it simply, we were somewhat similar in the way we were wired. Due to this, we could see the same thing and appreciate it at the same time and pace. Case in point, the time when Hendra chose vanilla ice cream in Sentosa. We couldn't help laughing in unison while Surianto failed to notice the joke. 

While the statistics might be lacking here, it was interesting to note that the habits you had and the things you did regularly, they seemed to shape how you saw something and prioritized it differently. In my case, I had long decided that I wanted to live my life to the fullest. That probably explained why my brain stored memories in the most accessible part of it...

From left: Eday, Surianto, Hendra and Taty.



Tentang Sudut Pandang

Sebelum kita masuk ke cerita kali ini, saya ingin membuka tulisan ini dengan topik yang tidak berhubungan: saya sudah menulis blog ini delapan tahun lamanya, sampai-sampai kadang saya membayangkan apakah saya sudah mengulang apa yang saya tulis sebelumnya. Tulisan kali ini terasa seperti itu. Setelah saya cek, ternyata ada tulisan dengan judul serupa di tahun 2018! Tapi isinya berbeda, jadi saya bisa meyakinkan anda bahwa yang berikut ini bukanlah sesuatu yang pernah anda baca. 

Cerita kali ini bermula sama seperti kebanyakan cerita lainnya. Pagi yang normal, yang dibuka dengan obrolan ringan di grup SMA, sampai interaksi yang terjadi tiba-tiba membuahkan ide. Kali ini inspirasi dicetuskan oleh komentar Taty tentang Stasiun MRT yang pernah ia kunjungi, namun tak lagi dikenalinya. 

Dan hanya sesederhana itu, ide pun terpantik. Beberapa tahun silam, saya menulis tentang kenapa setiap orang itu berbeda. Yang satu ini terasa seperti lanjutannya. Cerita yang perlu dituangkan. Lalu kerangka cerita pun terbentuk. Semua itu spontan terjadi begitu saja di benak saya. 

Kembali ke komentar Taty, dia pernah turun di Stasiun MRT tersebut, tapi dia tidak mengenali foto yang saya tunjukkan. Mungkin karena kesannya hanya sepintas lalu. Dia mampir, tapi alam bawah sadarnya memutuskan bahwa itu tidak penting dan akhirnya terlupakan. Bagi saya yang juga pernah turun sekali di Tuas Link, saya langsung teringat dengan stasiun kereta di Cina begitu melihat disain stasiun tersebut. Begitu mengesankan, sehingga saya ingat selalu. 

Teman saya Taty berbeda karakternya dengan saya. Akan halnya saya dan Eday, kita sama-sama memiliki naluri seni, meski berbeda penerapannya. Dengan kata lain, ada kemiripan dalam karakter kita. Karena itu, kita bisa melihat dan mengapresiasi sesuatu secara spontan pada saat bersamaan. Contoh yang saya ingat adalah ketika Hendra memilih es krim vanila di Sentosa. Kita langsung tertawa geli sementara Surianto tidak menyadari apa yang lucu. 

Walau statistiknya mungkin tidak memadai, menarik untuk dicatat bahwa kebiasaan dan hobi yang sering kita lakukan sepertinya membentuk pola kita dalam melihat dan memprioritaskan sesuatu. Bagi saya sendiri, saya sudah sejak lama mempraktekkan hidup sepenuhnya selagi bisa. Mungkin ini alasannya kenapa otak saya menyimpan kenangan di bagian yang paling mudah diakses... 

Sunday, February 23, 2025

Ocipala

When I had a chat with my friend Eday last Saturday morning, he said something interesting: I am quick in response when it comes to ocipala stuff. I was tickled by that term he used. Not only because that was a right description from someone who knows his friend well, but the term he used was also hilariously funny. 

Out of curiosity, I checked it out using AI. Neither Perplexity, Deepseek, ChatGPT, Gemini nor Meta AI could really pinpoint the answer when I asked the following question: in Chinese dialects, either Hakka or Teochew, there is a word that sounds like ocipala and it can roughly be translated as nonsense. what is the actual word in Mandarin?

One thing that they got it right was the fact that it wasn't a word, but an idiom. We used it so often in Pontianak that all this while, I thought it was only one word. Then I investigated further by adding a parameter: the idiom that sounded like ocipala was only used by Hakka and Teochew people from Pontianak.

That's when the AI unanimously agreed that it could be the corrupted version of 胡说八道 that is spoken in Teochew by the Chinese in Pontianak:

胡说 (hú shuō) → could shift to something like "ocip".

八道 (bā dào) → could transform into "ala" or "bala".

Our Teochew is indeed so diluted and heavily influenced by local cultures like Malay that the way we pronounce certain words could have been localized after so many generations!

But back to the ocipala comment, what's that all about? Well, let me emphasize again, I'm not a very bright guy to begin with. On top of that, if I didn't love it, I would almost have zero interest in it. As a result, I'm not exactly known as a think tank or one you would come for financial advices.

Jimmy and friends, posing in front of the flower board or what's left of it.

However, I like small things that matter. I love creating memories because that's the only thing we left behind. And I revel in things that are both creative and nonsensical. Whenever it's possible, I enjoy making them happen. Case in point, the Japan trip. Or maybe something that is more down to earth, such as the flower boards for Jimmy, haha.

So you see, I don't know much about making money apart from the work I do. But then again, while a lot of things need money, not everything in life is about money. That's the part of life I enjoy the most, one that I apparently am quite good at it, hence the sentence made by Eday: quick in ocipala stuff!



Ocipala

Ketika saya berbincang lewat WhatsApp Sabtu lalu dengan teman saya Eday, dia mengatakan sesuatu yang menarik: respon saya sangat sigap kalau berkaitan dengan sesuatu yang ocipala. Saya tergelitik dengan pernyataannya. Bukan saja karena ini adalah deskripsi yang tepat dari seseorang yang mengenal baik temannya, tapi juga karena istilah konyol yang ia pakai. 

Karena penasaran dengan asal-usul ocipala, saya lantas cari tahu lebih lanjut menggunakan AI. Namun Perplexity, Deepseek, ChatGPT, Gemini dan Meta AI pun tak tahu pasti ketika saya melontarkan pertanyaan ini: dalam dialek Tionghoa, entah itu Khek or Tiociu, ada kata yang bunyinya terdengar seperti ocipala dan bisa diterjemahkan sebagai konyol atau omong kosong. Apa kata aslinya dalam Mandarin?

Satu hal yang AI bisa jawab adalah, sepertinya ini bukan satu kata, tapi idiom. Begitu seringnya istilah ini dipakai di Pontianak dari sejak saya masih kecil, sampai-sampai saya memiliki kesan bahwa ocipala itu adalah satu kata. Berdasarkan ide dari AI, saya tambahkan kriteria berikut ini: jadi idiom apa yang dipakai oleh orang Khek dan Tiociu Pontianak dan terdengar seperti ocipala

Semua AI sepakat bahwa ocipala ini adalah versi korup dari 胡说八道 yang dilafalkan dalam Tiociu oleh orang Tionghoa Pontianak:

胡说 (hú shuō) → berubah menjadi sesuatu yang terdengar seperti "ocip".

八道 (bā dào) → diucapkan seperti "ala" atau "bala".

Kalau dipikirkan lagi, Bahasa Tiociu kita ini memang sudah berevolusi menjauhi versi aslinya dan juga dipengaruhi oleh budaya lokal seperti Bahasa Melayu, sehingga pengucapannya pun berubah setelah melewati banyak generasi. 

Kembali ke komentar ocipala, apa sebenarnya yang signifikan? Hmm, saya ini bukan orang pintar. Selain itu, jikalau saya tidak menyukai sesuatu, saya biasanya tidak berminat untuk tahu. Alhasil, saya bukanlah tipe pemikir atau orang yang anda cari untuk nasehat finansial. 

Jimmy dan teman-teman berpose di papan bekas papan bunga.

Akan tetapi saya suka hal-hal kecil yang penting. Saya suka kenangan dan kebersamaan karena itulah satu-satunya hal yang kita tinggalkan. Dan saya menikmati hal-hal yang kreatif dan konyol. Bilamana memungkinkan, saya suka mewujudkannya. Contohnya trip ke Jepang. Atau mungkin sesuatu yang lebih sederhana, misalnya papan bunga untuk Jimmy yang ngambek, haha. 

Jadi saya tidak tahu banyak tentang cara menghasilkan uang, kecuali dari pekerjaan yang saya kerjakan di kantor. Namun meski banyak hal yang membutuhkan uang, tidak semua hal dalam hidup ini adalah tentang uang. Ini adalah bagian hidup yang saya sukai dan saya ternyata cukup berprestasi dalam bidang ini, seperti yang terlihat dari kalimat dari Eday: gesit dalam aneka hal ocipala


Thursday, December 26, 2024

Tetralingo

This story began in July 2024, when I was waiting for my muifan. When I was browsing the news on my phone, I suddenly saw the ad of Duocards (the wooly mammoth was eye-catching). As I always had an interest in language learning, it piqued my curiosity. I checked with my friends on the group chat to see if anyone had tried learning language via app. Turned out that Surianto had already been using Duolingo, so I tested it out, too.

Duolingo felt natural whereas Duocards required much effort to understand what it was all about. I quickly dropped the latter and continued with Duolingo. As I worked at a Chinese company, it was a common sense to pick up Chinese. I also resumed studying French. Always love the language as it sounded sexy. 

The two accounts.

Because I started Duolingo on iPad using my Apple ID, I realized that I wouldn't be able to use it on my Google Pixel. This is how I ended up with two accounts. As I proceeded with my second account, I chose another two languages, this time Dutch and Russian. In total, I learnt four languages concurrently.

But how does learning four languages at one go feel like? The answer is, surprisingly, pretty seamless. First of all, thanks to the learning streaks, we see the words everyday. So often that they gradually grew on you. I was also amazed to discover how the brain could actually adjust to what I was learning. For example, doing one Chinese lesson and then switching to French immediately after that was actually not a problem.

Acing Chinese.

What could be challenging was the human nature to embrace the new language with what we already knew. In this case, my benchmark was English. I'd say something like, "I eat at the French restaurant," but in French, it became, "je mange au restaurant français." So français came after the word restaurant. The grammar could be confusing at times. 

As I picked up four languages at once, I noticed that the lessons created for each language could be quite different. French language has the most advanced features such as stories and games catered for listening and speaking skills. It even had a bit of pointers for grammar. But the other three, especially Dutch, had almost none, so you had to figure it out yourself.

About the languages, I am familiar with Chinese and I am able to read pinyin, so it is more of a refresher course for daily practice and also for knowledge expansion. 

French is my real love and it is fun learning it. Some parts, like how to differentiate le and la, have no proper explanation and you just have to memorize them. 

The word rekening is also used in Bahasa Indonesia.

Dutch is more for a historical reason, since Bahasa Indonesia took a lot of words from the Dutch language. As a matter of fact, the way we read the words is quite similar with Bahasa. But as I progress, I find that the grammar was very challenging! 

As for Russian, it was almost like encrypted alphabets. Every sentence was a riddle, but the structure somehow felt rudimentary. Instead of spelling them out word by word, the sentence could be very short instead. For instance, rather than saying, "Mark is a politician," you can say it like this in Russian: Марк — политик.

Now, after 149 days of learning, what's the result? Let's try out. Here goes nothing:

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

So there you go! My work in progress! Not sure how it is going to be, but it's surely fun while it lasts! 

2024 year in review.





Tetralingo

Cerita kali ini dimulai di bulan Juli 2024, sewaktu saya menanti muifan di That Coffee Place pada saat makan malam. Selagi melihat-lihat berita di telepon genggam saya, tiba-tiba tampak iklan Duocards (saya suka gajah purba yang menjadi logonya). Karena saya ada ketertarikan dengan belajar bahasa, saya jadi ingin mencari tahu lebih lanjut di grup SMA. Ternyata Surianto sudah mulai belajar menggunakan Duolingo, jadi saya pun ikut mencoba. 

Duolingo terasa lebih alami sementara Duocards memerlukan banyak upaya untuk memahami cara penggunaannya. Saya lantas berhenti menjajaki Duocards dan lanjut dengan Duolingo. Karena saya bekerja di perusahaan Cina, maka saya pun memilih pelajaran Mandarin. Selain itu saya juga meneruskan pelajaran Perancis. Saya suka bahasanya yang terdengar seksi.

Dua akun saya.

Karena saya memulai Duolingo di iPad menggunakan Apple ID, saya lantas menyadari bahwa saya tidak akan bisa lanjut berlatih dengan Google Pixel. Inilah sebabnya kenapa saya memiliki dua akun. Di akun kedua, saya memilih bahasa Belanda dan Rusia. Secara keseluruhan, saya belajar empat bahasa secara bersamaan. 

Namun bagaimana kesannya belajar empat bahasa sekaligus? Jawabannya, menurut saya, cukup lancar. Karena Duolingo memiliki fitur streaks yang membuat pengguna termotivasi untuk belajar setiap hari, lama-kelamaan kita jadi hafal dengan kata-kata yang sering diulang. Saya juga tertegun tatkala menyadari bagaimana otak kita ini bisa beradaptasi dengan baik sewaktu belajar. Sebagai contoh, saya bisa belajar satu pelajaran Mandarin dan pindah ke bahasa Perancis segera setelah itu. Tidak ada masalah. 

Nilai 100 untuk Mandarin.

Apa yang terasa menantang adalah bagaimana kebiasaan kita dalam menyikapi bahasa baru dengan apa yang sudah kita ketahui. Dalam hal ini, patokan saya adalah Bahasa Inggris. Sebagai perbandingan, saya mengucapkan, "I eat at the French restaurant," tapi dalam bahasa Perancis, kalimatnya berubah, "je mange au restaurant français." Jadi français berada di posisi setelah kata restaurant. Struktur kalimat yang berbeda ini bisa terasa membingungkan. 

Karena saya belajar empat bahasa, saya jadi bisa melihat bahwa pelajaran untuk setiap bahasa ini berbeda-beda. Bahasa Perancis paling beragam pelajarannya dan mencakup cerita dan game yang dirancang untuk melatih pendengaran dan pengucapan. Bahasa Perancis ini juga memiliki petunjuk untuk tata bahasa. Tiga bahasa lainnya boleh dikatakan tidak ada sehingga kita sendiri yang harus memperhatikan pola tata bahasa yang sedang dipelajari. 

Tentang bahasa yang saya pelajari, saya paling berpengalaman dengan Mandarin. Saya juga bisa membaca pinyin, jadi apa yang saya pelajari lebih cenderung untuk mengingat kembali dan juga menambah wawasan. 

Bahasa Perancis adalah bahasa yang saya sukai dan untuk dipelajari. Kendati begitu, beberapa bagian seperti mengidentifikasi penggunaan le dan la tidak memiliki penjelasan yang baik sehingga satu-satunya cara adalah harus dihafal. 

Kata rekening berasal dari Bahasa Belanda.

Bahasa Belanda saya ambil lebih condong karena sejarah Bahasa Indonesia yang menyerap kata-kata dari bahasa tersebut. Cara bacanya pun mirip. Namun setelah dipelajari, tata bahasanya cukup memusingkan juga! 

Akan halnya bahasa Rusia, huruf-hurufnya seperti sandi. Setiap kalimatnya jadi terlihat seperti teka-teki, namun uniknya Bahasa Rusia ini adalah tata bahasanya yang primitif. Bukannya kata per kata seperti lumrahnya bahasa lain, Bahasa Rusia ini kadang terasa ringkas. Misalnya dalam bahasa Inggris, kalimatnya lengkap seperti ini, "Mark is a politician," namun dalam Bahasa Rusia, cukup begini: Марк — политик.

Nah, setelah belajar selama 149 hari, bagaimana hasilnya? Mari kita coba: 

我是姓李. 我叫玉軒. 我每天学习汉语. 我会说, 也会听一点中文, 但死不会读. 可是我会懂拼音. 我用拼音慢慢写, 慢慢读. 还可以吧! 现在最总要的是跟你们说话!

J'apprends aussi le français. J'adore français. J'aime écouter Luc et Sylvie parler dans l'émission de télévision, Emily à Paris. Très bon, mais difficile à comprendre, haha.

Ik studeer ook Nederlands. Ik wil naar Amsterdam. Wil het eten proberen en het uitzicht gezien. Nederlands is makkelijk te lezen, maar moeilijk te schrijven. Het kan heel anders zijn dan Engels.

Русский язык не легкий. Я умею читать, но не умею писать. 

Jadi demikianlah hasilnya. Saya tidak tahu akan seperti apa nantinya, tapi yang jelas nikmati saja selagi seru! 

Hasil di tahun 2024.

Sunday, August 11, 2024

My Favorite Hard Rock Moments

This story was originated from a photo of my Hard Rock t-shirts taken by my wife. Only God knows why she suddenly took the picture, but it was so amusing that I could never really forget about the image of the t-shirts lined up nicely on our bed. I somehow remembered it vividly, as if I had just seen the photo a few months ago, so imagine my surprise when I discovered that it was dated November 2022. 

Packing for the next trip!

Looking back, there was a good reason for all this, I suppose. The t-shirts were mementos of the places I had been. Oh yes, those with names, they were from the cities in Asia and Europe I visited before. Then of course there were the Hard Rock moments that happened when I wore certain t-shirts. As said in a blog post called the Details, I had peculiar ways of remembering things and the t-shirts were like memory markers. Good or bad, they were memorable stories. 

The divine intervention!

And it all started with the one I bought in Paris. The purchase was almost an afterthought. My wife and I had just returned to the city after our day trip to Versailles and I suddenly decided to grab me a Hard Rock Cafe t-shirt. It'd been with me for eight years now. It was also the one I wore when we visited the Shwedagon Pagoda in Yangon, but my favourite moment had to be one when I played my part in the divine intervention. Now that's one Hard Rock moment to remember!

In Madura, 2019.

There were a lot of t-shirts came into my possession since then, but at one glance, only some retained memories. The next one was from Fukuoka. My wife and I had just arrived in the city and the Cafe was just next to the station, so we bought one before heading to Tenjin area. It'll always remind me of my one and only visit to Madura with my friend Jimmy. It was surreal to be there, like having a lifelong question answered by just being there!

Relaxing in Vaduz, Liechtenstein.

In 2019, a year after Fukuoka, I was with my friend/colleague Keenan in Kuala Lumpur for Palm Oil Conference. The night after the conference, I crossed the street and got me the KL t-shirt. Many years later, it'd serve as a reminder of the time I visited Vaduz. My daughter snapped the picture of my wife and I sitting on a bench right before we departed Liechtenstein. 

In Isetwald with Yani. 

Some best Hard Rock moments were with my wife, all right. Another one I'd remember was the peaceful moment in Iseltwald. My wife and I were standing not very far from the spot made famous by Crash Landing on You. I wore the t-shirt I bought together with Surianto the night we landed in Manila. To me, it really captured the essence of Switzerland: serene and beautiful. There was a certain calmness that you just wouldn't find elsewhere. 

When we were in Intramuros, Manila.

Talk about Manila, I'd always remember the green t-shirt of St. Patrick's Day. It stood out on the picture thanks to its bright color, haha. And it was a good time to remember, because how often a bunch of high school friends from Pontianak had a chance to explore the Philippines together? Once in a lifetime, perhaps. Manila was never a tourist destination to begin with! 

A day on a wheelchair.

Then of course we can't talk about the Manila trip without mentioning Japan. No, I won't bore you with our story in Japan, but I'd like to talk about the t-shirt I bought from Ueno. This was the one destined to be remembered as the time I screwed up the end-to-end walk in Singapore. I twisted my ankle and ended up on a wheelchair, but it was brilliant how we salvaged the good start with friendship and togetherness. 

24 hours in Jakarta. 

There are more, for sure. Like the time I crossed to JB on foot and made my way to Puteri Harbour. The t-shirt was worn the time I spent 24 hours with friends before heading to Bandung. The same t-shirt also reminded me of the time I met an acquaintance in Lyon. I could also talk about the WWF t-shirt that is now associated the drinking tradition as well as the time when my worlds collided

In Leshan, China.

Yes, I could go on and talk about them, but perhaps we saved the stories for some other time. For now, it was a relief to finally get the idea materialized after having it lodged in my brain since November 2022, haha. More importantly, it once again proves the point that in life, only memories remain after all is said and done. In this context, I'm just glad that they are the definitive Hard Rock moments!

The inspiration.



Momen Hard Rock Favorit

Cerita ini terinspirasi oleh koleksi kaos Hard Rock saya yang difoto oleh istri. Entah kenapa dia tiba-tiba memotret, tapi hasil karyanya terasa menggelitik. Saya tidak pernah lupa dengan kaos-kaos yang berderet rapi di atas kasur, seakan-akan saya baru melihat fotonya beberapa waktu lalu. Jadi anda bisa bayangkan betapa kagetnya saya bahwa foto itu ternyata diambil bulan November 2022. 

Kemas-kemas untuk liburan berikutnya!

Bila saya lihat kembali, ada alasan kuat kenapa foto itu terasa begitu berkesan. Bagaimana pun semua kaos ini merupakan kenangan dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Ya, nama-nama di kaos yang ada itu berasal dari kota-kota yang saya kunjungi di Asia dan Eropa. Dan tentu saja ada pula momen Hard Rock yang terjadi di saat saya mengenakan kaos-kaos tertentu. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya di artikel berjudul the Details, saya mempunyai cara unik dalam mengingat sesuatu dan kaos Hard Rock ini bagaikan catatan tersendiri. Baik atau buruk, semuanya adalah cerita yang tidak terlupakan. 

Rencana ilahi.

Semua ini bermula dari kaos pertama yang saya beli di Paris. Semuanya terjadi secara spontan. Saat itu saya dan istri baru kembali ke Paris setelah bepergian ke Versailles di luar kota, lalu saya terpikir untuk membeli kaos Hard Rock sebagai oleh-oleh. Delapan tahun kemudian, kaos ini telah sering saya pakai untuk bertualang. Saya mengenakan kaos ini saat mengunjungi Pagoda Shwedagon di Yangon, tapi momen favorit saya adalah ketika kita turut serta mewujudkan rencana ilahi. Ini adalah satu momen yang luar biasa! 

Di Madura, 2019.

Semenjak itu koleksi kaos saya terus bertambah, tapi secara sekilas, tidak semuanya memiliki kenangan yang mendalam. Kaos berikutnya berasal dari Fukuoka. Kala itu saya dan istri baru saja tiba dari Nagasaki dan Hard Rock Cafe kebetulan berada di samping Stasiun Hakata, jadi kita singgah dan beli sebelum lanjut ke kawasan Tenjin. Kini, setiap kali saya melihat kaos ini, saya jadi teringat dengan sekali-sekalinya saya ke Madura bersama teman saya Jimmy. Ini adalah sebuah pengalaman yang menggugah. Sebuah pertanyaan hidup terjawab semata-mata karena saya berada di sana! 

Bersantai sejenak di Vaduz, Liechtenstein.

Di tahun 2019, setahun setelah kunjungan ke Fukuoka, saya dan teman/kolega saya Keenan berada di Kuala Lumpur untuk menghadiri Konferensi Minyak Kelapa Sawit. Di malam setelah konferensi usai, saya menyeberang jalan dan membeli kaos KL. Bertahun-tahun kemudian, kaos itu kebetulan saya pakai sewaktu berada di Vaduz. Putri saya menjepret foto saya dan istri yang sedang duduk di bangku beberapa saat sebelum kita beranjak meninggalkan Liechtenstein. 

Di Isetwald bersama Yani. 

Ya, ada istri di samping saya dalam beberapa momen Hard Rock terbaik. Satu lagi yang saya ingat betul adalah persinggahan kita di Iseltwald. Istri dan saya berdiri tidak jauh dari lokasi yang terkenal karena muncul dalam drama Korea Crash Landing on You. Di hari itu saya memakai kaos yang saya beli bersama Surianto di malam kita mendarat di Manila. Bagi saya, foto tersebut mengabadikan suasana tenang dan indahnya Swiss. Ada nuansa damai yang tidak pernah saya temukan di tempat lain.

Mengunjungi Intramuros di Manila.

Berbicara tentang Manila, saya selalu teringat dengan kaos hijau Hari St. Patrick. Kaos ini menonjol saat difoto karena warnanya yang terang menyala, haha. Dan momen tersebut juga berkesan, sebab seberapa sering sekumpulan teman SMA dari Pontianak menjelajahi Filipina bersama-sama? Mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, terlebih lagi karena Manila bukanlah destinasi turis! 

Suatu ketika di kursi roda.

Dan tentu saja kita tidak bisa berbicara tentang Manila tanpa menyebut tentang Jepang. Tidak, saya tidak akan berbicara panjang-lebar tentang liburan ke Jepang, namun saya ingin membahas tentang kaos yang saya beli di Ueno. Kaos ini akan senantiasa dikenang sebagai kaos yang saya pakai saat saya menggagalkan rencana jalan kaki dari ujung ke ujung di Singapura. Saya jatuh terkilir dan berakhir di kursi roda, tapi di hari itu pula saya berkesempatan melihat persahabatan dan kebersamaan dari sudut pandang yang berbeda. 

24 jam di Jakarta. 

Masih ada banyak kisah lainnya lagi. Sebagai contoh, saat saya berjalan kaki menyeberang ke JB dan lanjut ke Puteri Harbour. Kaos tersebut lantas saya pakai saat menghabiskan 24 jam bersama teman-teman di Jakarta. Kaos yang sama pun saya pakai saat bertemu dengan kenalan lama di Lyon. Saya juga bisa bercerita tentang kaos WWF yang kini saya asosiasikan dengan tradisi minum bersama Eday serta  saat berkesan di Leshan

Di Leshan, Cina.

Ya, saya masih memiliki banyak cerita, namun mungkin kita simpan untuk lain waktu. Yang jelas saya kini merasa lega karena telah menulis tentang ide yang mengganjal di benak saya sejak November 2022, haha. Lebih penting lagi, melalui proses bercerita ini, sekali lagi saya diingatkan bahwa setelah semua usai diucapkan dan dikerjakan, yang tersisa hanyalah kenangan. Dalam konteks ini, saya senang bahwa semua ini adalah momen Hard Rock yang terbaik dalam hidup saya. 

Sebuah inspirasi.