Total Pageviews

Translate

Monday, January 28, 2019

Disneyland And Sea

You must have heard people saying that Disneyland is the happiest place on earth. That's some truth that I certainly can relate with. I'm a fan of Disney, a big fan since I was a kid. My childhood was filled with cartoons starring Mickey, Donald and friends (I didn't understand English then, but even if I could, the way Donald spoke was beyond understanding). When I started reading comics, my Dad subscribed for me the weekly Disney magazine called Donal Bebek. Years later, when I worked in Jakarta, I spent a lot of time at Gramedia book store, reading Paman Gober and Donal Bebek, the nostalgia edition (the compilation of what I read many years ago). The last one I read and re-read was the Life and Times of Scrooge McDuck, a very brilliant story about Uncle Scrooge by Don Rosa. I also watched the Disney films, from Lion King to Frozen, and listened to the soundtracks.

With such exposure, imagine how I felt when I stepped out of the train as it alighted at the station. The design and layout, the silly melodies that were so familiar, the good ol' childhood memories just came rushing back! It was so overwhelming that there were times I was actually wondering if the Disneyland visit meant more to me or my daughter, because I was so happy I felt like a kid again!

Linda and Papa.
Photo by Evelyn Nuryani.

It was an entirely new experience. I never enjoyed theme parks before and I had been a reluctant visitor to Dufan in Jakarta and Universal Studios in Singapore, thanks to the roller-coaster and all the rides that prevented me from standing firmly on the ground. The two, without doubt, paled in comparison to Disneyland. It was incredible, like walking into the cartoon world. Only with Disneyland you could aptly use the word magical.

By the way, the one mentioned above was Tokyo Disneyland, the first Disneyland I ever went to in 2014. We were staying nearby Tokyo Station, so we just had to take the Keiyō Line and we'd reach there roughly 20 minutes later. DisneySea was just next to Disneyland, but due to the sheer size of the Disney theme parks, we spent one day for each park. My daughter was not yet two years old at that time, so we tried only the slow-moving rides. They suited me well and I was happy to oblige, haha.

At DisneySea. 

I couldn't really tell what the difference between Disneyland and DisneySea was. I remember somebody, probably Wawa, telling me that DisneySea was more adult-oriented, therefore the rides were more challenging. I wouldn't know that because those I took were safe for toddlers, haha. I seem to recall seeing body of water everywhere, which probably explained why it was called DisneySea. There was one particular moment that I remember well, though. We were in Mysterious Island, a section of DisneySea, and I remember staring intently at the cliff and the lake. It was so detailed and really impressive. If you added that together with how dedicated the Japanese people were to their work, it made Disneyland and Sea felt authentically Disney.

I didn't go to Disneyland when I was in Paris (and I did regret this sometimes). The next time I visited Disneyland was four years later, when I organised the father-and-daughter trip and traveled together with Endrico and his daughter. We stayed at the Disney Hollywood Hotel, which made it easier for us to go the Disneyland on the following day. The one in Hong Kong was considerably small and when we were there, it didn't have the iconic Cinderella Castle. I learnt that it should have had a Sleeping Beauty Castle instead, but it was being upgraded at the moment (the new one, called Princesses Castle, will be opened in 2020). When we were there, we saw Mickey Mouse speaking Cantonese, a reminder that the world's most popular mouse was speaking Japanese in Tokyo (and Chinese in Shanghai). Only God and Endrico knew what Mickey was so excited about. The most memorable attraction we had there was Mickey's Philharmagic. We visited it twice, partly because it was raining and we needed shelter, haha.

The kids at Hong Kong Disneyland.
Photo by Endrico Richard. 

The last one I went so far, Shanghai Disneyland, was the only one without it's a small world, the most informative boat ride that would brainwash and get you singing its never-ending song. I thought the ride was a permanent fixture, but apparently it wasn't. The visit to Shanghai Disneyland also made me realize that certain areas are the same around the world. All three parks had Fantasyland for Disney Princesses and fairy tales, Adventureland (it was called Adventure Isle at Shanghai Disneyland) for Tarzan, Lion King and others, and Tomorrowland for acts like Buzz Lightyear, Michael Jackson's Captain EO, Tron, etc. The attractions comprised of Disney's original and other franchises owned by Disney, such as Marvel and Star Wars. Pirates of the Caribbean was the coolest ride and a must try, but my fondest memory was that time I spent at the cleanest toilet in China. It was playing Colors of the Wind when I was there, minding my own business peacefully.

I skipped the fireworks at Shanghai Disneyland as it was scheduled quite late in the evening. Hong Kong Disneyland had no such show, hence the only time I ever watch it was in Tokyo. It was a brilliant closure for a complete Disney experience and it became the benchmark for the future Disneylands that I would visit. With such a high standard maintained by Tokyo Disneyland, the other two felt like they could be any other theme parks featuring Disney characters. Not as good, but still the happiest places on earth! 

At Shanghai Disneyland.


Disneyland Dan DisneySea 

Anda pasti pernah mendengar orang lain berkata bahwa Disneyland adalah tempat paling gembira di dunia. Fakta ini masuk akal untuk saya, terutama karena saya adalah seorang penggemar Disney dari sejak kecil. Masa kanak-kanak saya diisi dengan kartun yang dibintangi oleh Miki, Donal dan kawan-kawan (saya tidak mengerti bahasa Inggris saat itu, tapi seandainya saya bisa pun tidak akan berguna karena ucapan Donal Bebek susah dimengerti). Ketika saya mulai membaca komik, saya pun berlangganan komik Donal Bebek yang terbit setiap minggu. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya bekerja di Jakarta, saya sering menghabiskan waktu di Gramedia untuk membaca Paman Gober dan Donal Bebek edisi nostalgia secara gratis. Album terakhir yang saya baca dan baca ulang adalah Kisah Hidup Paman Gober, cerita biografi Paman Gober yang ditulis oleh Don Rosa. Saya juga menonton banyak film Disney, mulai dari Lion King sampai Frozen, dan mendengarkan lagu-lagunya. 

Dengan pengaruh Disney yang begitu kental dari sejak kecil, anda bisa bayangkan apa yang saya rasakan begitu saya melangkah keluar dari kereta yang merapat di Stasiun Disney. Tata ruangnya, nada-nada riang yang saya pernah dengar sebelumnya, semua kenangan masa kecil itu bagaikan muncul kembali di benak saya. Perasaan tersebut begitu menggugah sehingga saya jadi sempat berpikir, bagi siapa kunjungan ke Disneyland itu lebih berarti, saya atau anak saya, sebab saya begitu bahagia seperti seorang bocah!

Linda di dekat Rumah Gufi, Disneyland Tokyo, 2014.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Harus saya akui bahwa itu adalah sebuah pengalaman baru. Saya tidak menyukai taman rekreasi seperti ini sebelumnya dan saya adalah seorang yang enggan berkunjung ke Dufan dan Universal Studios di Singapura karena saya tidak berminat dengan roller-coaster dan wahana lain yang membuat saya tidak berpijak dengan mantap di permukaan bumi. Akan tetapi Dufan dan Universal Studios tidak bisa dibandingkan dengan Disneyland. Tempat ini sungguh menakjubkan karena kita seolah-olah melangkah masuk ke dunia kartun. Hanya Disneyland yang bisa mewujudkan impian masa kecil menjadi kenyataan. 

Oh ya, tempat yang saya maksudkan di atas adalah Disneyland Tokyo, Taman Disney pertama yang saya kunjungi di tahun 2014.  Saat itu kita tinggal di dekat Stasiun Tokyo, jadi kita bisa mengambil jalur kereta Keiyō dan sampai di Disneyland 20 menit kemudian. DisneySea terletak di samping Disneyland, tapi karena luasnya dua taman bermain ini, kita menghabiskan satu hari untuk satu taman. Putri saya belum berumur dua tahun pada saat itu, jadi kita hanya mencoba wahana yang bergerak dengan pelan. Saya jelas tidak keberatan dan dengan senang hati berpartisipasi, haha.

Linda, lagi santai di DisneySea.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Saya tidak tahu apa sebenarnya beda Disneyland dan DisneySea. Saya ingat bahwa seseorang, mungkin Wawa, memberitahukan kepada saya bahwa DisneySea lebih cocok untuk orang dewasa karena wahananya lebih menantang, namun saya tidak akan pernah tahu itu sebab apa yang saya coba adalah wahana yang aman untuk balita. Saya ingat bahwa ada danau dan kanal air, jadi mungkin karena itulah namanya DisneySea. Kendati begitu, ada satu kenangan yang saya ingat betul. Saat itu saya sedang berada di Mysterious Island, salah satu bagian di DisneySea, dan saya memperhatikan tebing dan danau buatan di sekitar saya. Detilnya sungguh luar biasa mengesankan. Hal ini dan juga antusiasme orang Jepang dalam melaksanakan pekerjaannya membuat Disneyland dan DisneySea benar-benar terasa otentik. 

Saya tidak pergi ke Disneyland sewaktu berada di Paris (dan terkadang ada rasa sesal karena tidak berkunjung ke sana). Kali berikutnya saya ke Disneyland adalah empat tahun kemudian, ketika saya mengadakan liburan ayah dan anak. Bersama-sama dengan Endrico dan putrinya, kita menginap di Disney Hollywood Hotel sehingga mudah bagi kita untuk pergi ke Disneyland pada keesokan harinya. Taman Disney di Hong Kong ini terasa lebih kecil dan tidak memiliki Istana Cinderella yang terkenal. Menurut apa yang saya baca, Disneyland Hong Kong seharusnya memiliki Istana Putri Tidur, namun sedang direnovasi pada saat kita ke sana (istana yang baru, Istana Para Putri, akan dibuka di tahun 2020). Saya melihat Miki Tikus berbicara dalam bahasa Kanton di Hong Kong, satu hal yang mengingatkan saya bahwa tikus paling populer di dunia ini berbicara bahasa Jepang di Jepang (dan Mandarin di Cina). Hanya Tuhan dan Endrico yang tahu apa yang dibicarakan Miki dengan penuh semangat. Atraksi yang paling mengesankan selama kita di sana adalah Mickey's Philharmagic. Kita bahkan mampir dua kali, tapi karena hari sedang hujan dan kita butuh tempat berteduh, haha.

Bersama Endrico dalam perjalanan menuju Disneyland Hong Kong.
Foto oleh Rachel Valerie Richard. 

Taman Disney terakhir yang saya kunjungi sejauh ini adalah Disneyland Shanghai. Saya agak terkejut saat menyadari bahwa Disneyland yang satu ini tidak memiliki it's a small world, wahana perahu yang membawa anda berlayar mengelilingi dunia sambil ditemani oleh lagunya yang diulang-ulang. Saya kira atraksi ini selalu ada di Disneyland, namun tidak begitu rupanya. Kunjungan ke Disneyland Shanghai juga membuat saya sadar bahwa beberapa bagian Disneyland selalu sama di mana-mana. Tiga Disneyland yang saya kunjungi memiliki Fantasyland yang bertema Putri Disney dan dunia dongeng, Adventureland untuk Tarzan dan lain-lain serta Tomorrowland untuk tokoh-tokoh seperti Buzz Lightyear, Captain EO yang diperankan oleh Michael Jackson, Tron dan sebagainya. Pirates of the Caribbean adalah wahana paling bagus di situ, tapi yang saya ingat betul justru toilet paling bersih di Cina. Tidak setiap hari saya bisa menikmati toilet sebersih itu sambil diiringi dengan lagu Colors of the Wind dari Pocahontas.

Saya tidak menonton pertunjukan kembang api di Disneyland Shanghai karena jadwalnya yang cukup malam. Disneyland Hong Kong tidak memiliki pertunjukan serupa, jadi sekali-kalinya saya menonton pertunjukan tersebut adalah di Tokyo. Atraksi kembang api itu adalah penutup untuk pengalaman Disney yang luar biasa, yang akhirnya menjadi standar bagi saya untuk menilai Disneyland Hong Kong dan Shanghai. Dengan standar Disneyland Tokyo yang begitu tinggi, dua Disneyland lainnya terasa lebih mirip seperti taman rekreasi yang kebetulan bertema Disney. Walaupun tidak begitu bagus, namun tetap saja tempat-tempat paling gembira di dunia! Jangan lewatkan! Kalau anda harus memilih, pilihlah Disneyland!

Menuju ke atraksi Pirates di Disneyland Shanghai.
Foto oleh Evelyn Nuryani.

Monday, January 21, 2019

Autumn in Fukuoka

As soon as I stepped foot in this city, I could feel how modern and vibrant Fukuoka was. Departing from a small city Nagasaki by train, the atmosphere here was so different. The Hakata Station was connected with a very big mall, JR Hakata City. A lot of young adults were walking inside and outside the mall. Many of them were wearing modern and stylish outfits but there were also some people who wore traditional outfits. A mixture of tradition and modernity! That's why Japan, particularly Fukuoka, felt so special.

Hakata Station/JR Hakata City. 


From Hakata Station we took the metro train to go to our hotel in Tenjin area. After check-in, we strolled along the way to Canal City Hakata. We passed by the flagship store of Ichiran Ramen. Fukuoka was the birthplace of tonkotsu ramen, which was also called Hakata Ramen by the locals and Ichiran was one of their most famous ramen stalls. They sold only one menu, their specialty, the tonkotsu ramen. They believed that only by focusing on one thing, they would be able to master the dish and provide the best for their customer. They really did. Their tonkotsu ramen was very delicious. A must try if you visit Fukuoka.

Ichiran Ramen.

Canal City Hakata was a large shopping and entertainment complex. There were many shops, cafes, restaurants, cinemas, hotels and a canal that ran through the complex. At the centre of the canal, there was a fountain show every half an hour. It looked beautiful at night, thanks to the colourful lights and songs. We watched Godzilla and One Piece shows the following night, then we had our dinner at Ramen Stadium inside the mall. The so-called stadium was a collection of 8 ramen restaurants representing the regional tastes of all Japan. Every restaurant had a long queue, but we could order our food through the machine before we queued so by the time we got the seats, the food was ready. Very efficient.

One Piece showing at Canal City. 

The next morning, we visited one of the most beautiful parks in Japan, Ohori Park. The shades of red, orange and yellow welcomed us as we entered the garden. We were in the midst of autumn or koyo season. Leaves turned red, yellow and brown, depending on the species, before falling to the ground. It was so beautiful! I couldn't get enough pictures of it. We enjoyed the sight of colourful trees as we strolled along this big park.

Ohori Park is a city park with a large pond in its center. Ohori means moat in Japanese. The pond in the center used to be part of the moat system in Fukuoka Castle. There was the walking path around the pond. It was about 2 km long and very popular for jogging or just walking. We crossed the bridge to the artificial island in the middle of the pond while watching colourful ducks playing water and the cranes flying over the pond. The atmosphere were so peaceful and relaxing.


Ohori Park.

Just next to the park was Fukuoka Castle Ruins. Fukuoka Castle was once the largest castle in Kyushu island but it was destroyed during Meiji period. Only the base and a few parts of the castle remained. The Ruins of Fukuoka Castle located in Maizuru Park, home to an abundant cherry blossom trees. During autumn, the colour of the leaves mostly were red. But there were some trees with yellow leaves too. We saw two couples with their traditional clothes doing their pre-wedding shoot at this pretty park.


Fukuoka Castle Ruins.

We spent the rest of the day wandering in Tenjin area, window-shopping in some malls while enjoying Christmas decoration and songs. Fukuoka had a lot of local delicacies such as mentaiko (seasoned cod roe), Niwaka senbei cracker, tsukushi mochi and many others. With colourful and pretty packaging, they were really tempting! Fukuoka was also famous for strawberry. We bought the chocolate-coated strawberry at Muji as souvenirs and also some strawberry cookies named Hakata Kajuen Ichigo Ichigo.





At night, we walked beside Naka River and saw many yatai selling seafood, ramen and hotpot. A yatai is a mobile food cart or a stand stationed on the sidewalks. The place was small but full of people. We were interested to try but we finally decided not to because none of us could speak Japanese.

The following morning, we went to Dazaifu Tenmangu Shrine. It only took 30 minutes by train from Fukuoka to reach Dazaifu, just perfect for a day trip. Dazaifu nestled in the hills of the suburban Fukuoka area. Dazaifu Tenmangu Shrine was one of the most important shrines all over Japan. It was dedicated to Sugawara Michizane, whom was known as the god of learning. A lot of people especially students visited this place to pray for their success in academic, but some people just did sightseeing like us. The temple complex consisted of the garden, bridge and colourful trees. Just next to Tenmangu Shrine, there were Kyushu National Museum and Komyozenji temple.


Dazaifu Tenmangu Shrine.

The street nearby the temple was always busy. There were many shops selling souvenirs and traditional snacks. I could spend the whole day here looking at many kinds of pretty souvenirs. Typical Japanese products, they were all so kawaii. Luckily my husband reminded me that our luggage was already full. So I just bought a small yukata for my daughter and tried local specialty snack, umegae mochi, a rice cake stuffed with sweet red bean. It was a popular snack and a must try.

Shopping street at Dazaifu Tenmangu.

We left Fukuoka the next day, returning to Singapore via Shanghai. We are going miss Fukuoka, a modern and convenient city but yet retaining the authentic vibe. Fukuoka is also special in my heart because I experienced autumn for the very first time in this place...


Sunday, January 20, 2019

The Full Circle

When I fall in love with something, it often lasts forever. Godzilla from my childhood memories, for example. More than 30 years after I first watched Godzilla vs. Hedorah, I still love the King of Monsters. Same goes for Stephen Chow, the King of Comedy. He has a special place in my heart, thanks to the funny stuff he did from the late 80s till date. Then there are the Beatles and Zelda from music and game world, respectively. After all these years, I still love them so dearly that they simply become part of my life.

Here's one story from such a genre. It started many years ago in the early 90s, when Sega Mega Drive started to dethrone Nintendo in Pontianak. It was my cousin Andreas that introduced the home console and Michael Jackson's Moonwalker to me. I also remember being so impressed by Castle of Illusion Starring Mickey Mouse that I'd go to Ligo Mitra, a supermarket nearby where I stayed, just to see the owner's son playing the game. The graphics were very much alive and the colours were so vibrant! All of a sudden, Nintendo looked so dated!

Sonic the Hedgehog - Amiibo version.

I eventually got my own Sega, too. It was a present from my dad and it'd become my last home console until 2018, when I bought myself a Nintendo Switch as a Christmas present for myself, much to the chagrin of my wife, haha. So there I was, a proud owner of Sega and I'd rent the game cartridges from Asia Video. By the way, if you had been reading Roadblog101 for a while and you found that the name sounded familiar, you weren't wrong. Asia Video was the videos and games rental that almost singlehandedly changed our childhood forever. He should have had his own Wikipedia page for the cultural revolution that he was unknowingly responsible for in Pontianak!

Anyway, there's a good reason why Asia Video was mentioned again in this story. While Pontianak was a small town that many of you probably never heard of, we weren't far behind in term of new games. I first rented Sonic the Hedgehog 2 at Asia Video and I was immediately blown away by it. I never saw and played such a game before. Sonic was the fastest moving game character at that time, and that was even before he transformed into Super Sonic. The visual art was stunning. The background music was fantastic. The stages, called zones and each zone was comprised of two acts, were well-designed to showcase how fast and furious Sonic was. And Super Sonic was the cherry on top of an already delicious cake. With yellow coloured spikes that were pointing up and the starry, shadowy aura when he ran, Super Sonic had an uncanny resemblance to Super Saiyan from Dragon Ball. All those were the best things a teenage gamer could have ever wanted in his life!

Super Sonic in Sonia Mania Plus. 

And thus began one of the strangest episodes in my life. I was so obsessed by Sonic the Hedgehog 2 that I mustered up courage to ask Ah Sia if I could buy the game and how much it would cost me. There was this strange look in his eyes, probably because nobody had ever asked him this before, and then he said it was new and if I was keen, he was willing to sell it at IDR 90K. In early 90s, when my pocket money was only around IDR 500 per school day and a Sega Mega Drive was priced at around IDR 270K, the price Ah Sia asked for was a lot of money for a kid! I was surprised to hear such a steep price as I clearly didn't have that much, but I was determined to have the game. I told him I'd be back and true to my words, I returned to purchase it after I had saved such amount of money. It could be the first time I had ever spent so much money and I don't think I ever told my parents that.

Sonic the Hedgehog 2 was my first introduction to the series. It was only after this that I tried the first game. It turned out that it wasn't that good and my gaming experience would have been so different if I played the original Sonic the Hedgehog first. The next two entries, Sonic the Hedgehog 3 and Sonic & Knuckles, were both brilliant and felt somewhat similar. Years later, when Wikipedia existed, I finally learnt that these two were supposed to be one game and both games could be combined into one using a feature called lock-on. No wonder! Then, right after that, I remember Parno bringing Sonic 3D Blast to Endrico's house (we had this culture of playing game at friend's house back then). The gameplay was so different that it felt like it could have been any other game featuring Sonic. It just didn't feel like a proper Sonic game. Luckily it was Parno whom bought it, not me, haha.


Sonic CD was the only Sonic game from the original series that I didn't play at that time, simply because nobody I knew owned either the game or its player in Pontianak. Sonic Spinball was a rather forgettable game. Sonic Adventure, the next generation game that featured 3D gameplay, was released for Sega Dreamcast platform. I only played it once or twice at Cousin Andrew's house and I lost touch with Sonic for more than a decade after that. Then, when Sonic the Hedgehog 4 was released for iPad, of course I had to buy it. While the familiarity was there, the control on iPad's touch screen was horrible. Sonic Generations (I played the 3DS version), was a great way to reminisce about Sonic. Released to commemorate 20th Anniversary of Sonic, it brought us through Sonic's journey throughout the years, but it wasn't a great game. Sonic Boom that came later on was also not the right fit for an old school player like me.

And this is why Sonic Mania Plus mattered. Instead of trying too hard, it took what worked in the past and refurbished it. It even retained the original graphics, complete with the CRT display effect if you like! As a result, it felt as if I picked up where I left off. The speed, the excitement, the familiarity and the nostalgia worked seamlessly. 25 years might have passed since I first played Sonic the Hedgehog 2, but when I sat down playing my Nintendo Switch last Christmas, I was once again that kid who was in awe after plugging the game cartridge of Sonic the Hedgehog 2 into his Sega Mega Drive. After one big round that took many years to complete, I finally reached a full circle...

Sonic the Hedgehog and other Amiibos.


Satu Lingkaran Penuh

Saat saya menyukai sesuatu, biasanya sesuatu itu akan menjadi bagian dari hidup saya selamanya. Godzilla dari masa kecil saya, misalnya. Lebih dari 30 tahun sudah berlalu terhitung sejak saya menonton Godzilla vs. Hedorah untuk pertama kalinya dan saya masih menyukai sang Raja Monster. Sama halnya seperti Stephen Chow, sang Raja Komedi. Dia memiliki tempat istimewa di hati saya karena hal-hal lucu yang dikerjakannya dari akhir tahun 80an sampai sekarang. Kemudian masih ada lagi Beatles dan Zelda dari dunia musik dan game. Setelah puluhan tahun lamanya, saya masih begitu menyukai dua ikon ini sehingga mereka menjadi bagian dari hidup saya. 

Berikut ini adalah sebuah cerita yang bertema serupa. Kisah ini dimulai bertahun-tahun silam di awal tahun 90an, sewaktu Sega Mega Drive mulai menggeser posisi Nintendo di Pontianak. Sepupu saya memperkenalkan saya pada Sega dan game Michael Jackson's Moonwalker. Saya juga ingat betapa terkesannya saya pada game Castle of Illusion Starring Mickey Mouse sehingga saya bolak-balik ke Ligo Mitra, sebuah supermarket di dekat tempat tinggal saya, hanya untuk melihat anak pemilik supermarket itu bermain game tersebut. Grafiknya begitu hidup dan warnanya sangat menarik perhatian. Tiba-tiba saja Nintendo terlihat begitu ketinggalan zaman.

Sonic dan Tails.

Saya akhirnya mendapatkan Sega juga, hadiah dari ayah saya yang kemudian menjadi perangkat game terakhir yang pernah saya miliki di Pontianak. Semenjak itu saya tidak pernah lagi memiliki perangkat game di rumah sampai tahun 2018, tatkala saya membeli Nintendo Switch sebagai hadiah Natal bagi diri saya sendiri, haha. Setelah memiliki Sega, saya pun menyewa kasetnya di Asia Video. Oh ya, bagi anda yang sudah mengikuti Roadblog101 untuk beberapa lama, anda mungkin pernah membaca nama Asia Video sebelumnya. Sebagai info, toko penyewaan video dan game ini berperan besar dalam masa kecil anak-anak Pontianak di akhir era 80an dan awal 90an. A Sia, pemilik toko tersebut, seharusnya memiliki halaman sendiri di Wikipedia karena revolusi budaya di Pontianak yang terjadi secara tidak sengaja berkat bisnis yang ditekuninya! 

Ada alasan tersendiri kenapa Asia Video disebut lagi di dalam cerita ini. Ya, Pontianak adalah sebuah kota kecil yang mungkin tidak pernah anda dengar sebelumnya, tapi kami tidak ketinggalan dalam masalah game baru. Saya pertama kali menyewa Sonic the Hedgehog 2 di Asia Video dan saya pun langsung terkagum-kagum. Ini adalah sebuah game yang belum pernah saya lihat dan main sebelumnya. Sonic adalah karakter game paling cepat pada saat itu, bahkan sebelum dia berubah menjadi Super Sonic. Gambarnya bagus dan musiknya pun fantastis. Setiap zona yang harus dilalui Sonic terdiri dari dua ronde yang dirancang khusus untuk menampilkan betapa cepatnya Sonic berlari. Dan Super Sonic bagaikan buah ceri di atas kue yang sudah terbukti lezat. Dengan rambut/duri kuning yang berdiri dan aura yang berbintang dan berbayang-bayang yang muncul saat ia berlari, Super Sonic memiliki persamaan dengan Super Saiyan dari Dragon Ball. Singkat kata, ini adalah hal-hal terbaik yang diinginkan seorang remaja pemain game dalam hidupnya!

Sonic - Amiibo.

Dan setelah itu dimulailah satu episode yang aneh dalam hidup saya. Begitu terpesonanya saya dengan Sonic the Hedgehog 2, sampai-sampai saya memberanikan diri untuk bertanya pada A Sia, apakah dia menjual kasetnya dan berapa harganya kalau dijual. Dia mendelik saat menatap saya, mungkin karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu padanya, lalu dia menjawab bahwa ini game baru dan kalau saya berminat, dia akan jual seharga Rp. 90 ribu. Di awal tahun 90an, ketika uang saku saya hanya Rp. 500 per hari dan Sega Mega Drive dijual di Ligo seharga Rp. 270 ribu, harga yang disebut A Sia sangatlah mahal untuk seorang remaja SMP. Saya terkejut karena saya tidak punya uang sebanyak itu, tapi saya katakan padanya bahwa saya akan kembali dan membelinya. Setelah menabung cukup uang, game tersebut menjadi barang paling mahal yang pernah saya beli saat itu. Seingat saya, saya tidak memberitahu orang tua saya tentang investasi saya ini. 

Sonic the Hedgehog 2 menjadi awal perkenalan saya dengan serial ini. Setelah itu, barulah saya mencoba episode pertama. Ternyata tidak sebagus yang saya harapkan, jadi syukurlah saya mulai dengan Sonic the Hedgehog 2. Dua episode berikutnya, Sonic the Hedgehog 3 dan Sonic & Knuckles, adalah game yang luar biasa mantap, namun entah kenapa terasa seperti kembar. Bertahun-tahun kemudian, ketika internet memiliki Wikipedia, barulah saya ketahui bahwa bahwa dua game ini memang dirancang sebagai satu game tunggal dan bisa digabungkan dengan menancapkan kaset Sonic 3 di atas kaset Sonic & Knuckles. Pantas saja mirip! Setelah itu, saya ingat saat Parno membawa game Sonic 3D Blast ke rumah Endrico. Pola permainannya berbeda jauh dengan game sebelumnya, bagaikan sebuah game lain yang kebetulan menggunakan Sonic sebagai pemeran utama. Tidak terlalu bagus, tapi untung saja Parno yang beli, bukan saya, haha. 

Sonic CD adalah satu-satunya game Sonic dari serial orisinil yang tidak pernah saya coba pada saat itu karena tidak ada seorang pun kenalan saya yang memiliki CD dan perangkatnya. Sonic Spinball adalah game yang tidak berkesan dan layak untuk dilupakan. Sonic Adventure, game Sonic generasi terbaru yang bernuansa 3D, diluncurkan di platform Sega Dreamcast. Saya hanya sempat bermain satu atau dua kali di rumah Andrew, sepupu saya. Kemudian, ketika Sonic the Hedgehog 4 dirilis di iPad, tentu saja saya membelinya. Pola permainannya mirip dengan apa yang saya kenal baik, tapi kontrol di layar sentuh iPad sangat tidak cocok untuk bermain game. Sonic Generations (saya hanya memiliki versi 3DS), adalah game yang dirilis untuk merayakan ulang tahun Sonic yang ke-20. Game ini membawa pemain menembus waktu dan setiap level yang kita lalui diambil dari game Sonic sebelumnya. Menarik konsepnya, tapi versi 3DS tidak terlalu seru game-nya. Sonic Boom yang dirilis beberapa tahun yang lalu juga tidak terlalu cocok untuk pemain lama seperti saya.

Sonic Mania Plus, versi Nintendo Switch.

Dan karena alasan-alasan di atas inilah Sonic Mania Plus menjadi penting. Game yang satu ini menghindari apa yang tidak perlu dan menggabungkan elemen-elemen yang membuat Sonic sukses di masa lalu dalam kemasan baru. Bahkan grafiknya pun persis sama seperti dulu, lengkap dengan tampilan TV zaman dulu jika anda berminat untuk menggunakan filternya! Hasilnya terasa seperti melanjutkan apa yang saya hentikan sejenak. Aspek-aspek seperti kecepatan Sonic yang membuatnya terkenal, kegembiraan seorang remaja saat bermain game, pola permainan yang dikenal baik dan nostalgia masa lalu berpadu dengan baik lewat game ini. 25 tahun mungkin sudah berlalu sejak saya pertama kali bermain Sonic the Hedgehog 2, namun ketika saya duduk dan bermain Nintendo Switch di saat Natal 2018, saya sekali lagi menjadi remaja pemain game yang memasukkan kaset Sonic the Hedgehog 2 ke Sega Mega Drive. Rasanya seperti satu lingkaran penuh. Saya akhirnya melanjutkan apa yang sempat terhenti sebelumnya...

Saturday, January 12, 2019

My Dear Hometown

In our little chat group community of Generation '98 (that's the year we graduated from high school), I was well-known as the one who disliked going back to our hometown. The impression was so strong that after a while, they simply believed that I hated Pontianak (one even suggested that I must have a horrible childhood there). Whenever the topics of going back to our hometown cropped up and I resisted the idea, my friends would have a fields day and take their turn to bash me. Since they looked so happy in hurling verbal abuse, I just let them be, haha.

But what's with the mystery, actually? Do I really hate my hometown because I had a horrible childhood? Let's break the myth. First of all, I never hated my hometown, but I truly disliked the fact that the power plant was unreliable, there'd be brackish water during dry season and then came the hazy days when they started burning the forest. After 22 years of living in such conditions, I was pretty convinced that I had it enough. That's why I left and moved to Jakarta to start anew.

Now, how about the childhood? In all honesty, I had the most memorable childhood a kid could have asked for. I had a father who told me I was good and a mother who loved me all she could. I had a younger brother to grow up with, my first audience when I started storytelling using action figures, long before Roadblog101. I had close friends during my formative years, and as we turned from boys to men, I still called them friends. I played games from the conventional ones such as hide and seek or fish catching in the ditch. I played the state-of-the-art games, too, such as Nintendo and Sega at home or arcade games at Orbit Wonderland. I shared what I had with others and I visited them to play together as well. I had turtle pets and it was my favorite animal since then. I was driven around when we were well-to-do and I took the public transport when we were poor. I walked under the scorching sun with Parno and I rode the road bike that I loved under the heavy rain. Fluctuating at school, I'd been the number one and the lousy student. I'd been praised and I'd been punished, too. I got to know the Beatles and join a band. I had the best food money could buy and I had the simple meals cooked wholeheartedly by my friend's Mum. I had loved and been disappointed. I traveled and almost died. I had my happiest laughter and I cried my saddest tears there. Looking back, I had neither complaints nor regrets of growing up in Pontianak. It was meant to be. It took the whole journey to transform me into who I am today.

The last time I went to Pontianak.
From left: Harry, Anthony, Parno and Eday.
Photo by Eday Ng.

Now, Pontianak is not known as a tourist destination, but the town sure had a lot of cuisines sold at the road side or eateries. When my friends went back to Pontianak, the culinary tour was definitely in their agenda. The typical behavior they'd do was, they'd be doing the food hunting spree and post the local delicacies on Facebook. The same charm didn't really work for me, though. I always thought that Pontianak food was overrated. Yes, some were indeed delicious, but sentimental reason also played a big part in building the urge to eat them again. I loved the food mostly because I grew up with it, but I certainly could do without the cuisines. Some of my friends, such as Bakmi Alit, did a good job in replicating the taste of Pontianak and I could visit their stalls when I went to Jakarta. Since I didn't miss it that much, I wouldn't go back to Pontianak just for the food.

How about friends and family and traditions, such as Chinese New Year? Well, I chat with friends every day, so often that I must have used up the quota for the entire lifetime. As for family, sometimes they'd come to Singapore, too, and I loved playing host and tour guide when they were in town. Talk about traditions, I did went back once for Chinese New Year to show my wife and daughter how the celebration looked like down there. But after the initial visit, I realised that we weren't big fans of such tradition. For me personally, the enthusiasm simply wasn't there anymore, so no point doing it. I brought my parents to China during CNY before and to be frank, it was much more fun.

Up until here, you'd see that there was no reason or anything that was encouraging enough for me to go back. The main reason behind my reluctance, however, was the fact that the town had changed so much and not for the better. When I went back, there was always this lingering feeling that it wasn't Pontianak that I knew. It looked somewhat different and less friendly than it used to be. Remember when I mentioned about catching fish in the ditch? The water was stale and smelly now. That was just one small example of how my fondest memories of my hometown felt like taken away from me. Yes, you could see new development going on, but it seemed like not much thought was spent on it and the result looked mediocre. I felt like a stranger in my own hometown and it was just sad.

That was the real reason why I disliked the idea of going back to Pontianak. I'd rather preserve the good ol' memories about the place where I spent my childhood than became disillusioned by the fact that it had changed for the worse. I loved Pontianak still. Didn't I proudly bring foreign tourists to come and visit? I even thought of doing justice to my hometown by encouraging my friend to run for Mayor of Pontianak. If he did that and got elected, I'd go back to work with him in rebuilding our hometown. If it was our destiny, this would certainly happen in our lifetime...

Crab noodles by Bakmi Alit. 


Kampung Halaman Yang Tercinta

Di grup WhatsApp komunitas Angkatan '98 (ini adalah tahun kita lulus SMU), saya cukup tersohor sebagai orang yang paling tidak suka pulang ke kampung halaman. Kesan tersebut begitu kentara sehingga setelah beberapa lama, mereka beranggapan bahwa saya membenci Pontianak (setidaknya satu di antara mereka bahkan berasumsi bahwa masa kecil saya pastilah sangat buruk). Ketika topik pulang kampung mendadak muncul saat chatting dan saya menolak untuk pulang, teman-teman mendapatkan kesempatan emas untuk menyudutkan saya secara bergilir. Karena mereka terlihat bahagia dalam memberikan komentar pedas, saya biasanya rela jadi bulan-bulanan, haha.

Akan tetapi ada apa gerangan sebenarnya? Apakah benar saya membenci kampung halaman saya karena masa kecil saya yang tidak bahagia? Mari kita bedah kasus ini. Pertama-tama, saya perlu jelaskan bahwa saya tidak pernah membenci Pontianak, tapi saya tidak menyangkal bahwa saya tidak suka dengan listrik Pontianak yang sering padam. Saya juga tidak suka kondisi Pontianak yang payau airnya di musim panas dan juga kabut asap yang menutupi kota saat pembakaran hutan terjadi. Setelah 22 tahun hidup dalam kondisi seperti itu, saya yakin bahwa itu sudah lebih dari cukup. Karena inilah saya meninggalkan Pontianak dan pindah ke Jakarta begitu saya lulus kuliah.

Lantas bagaimana dengan masa kecil saya? Dengan jujur saya katakan bahwa saya memiliki masa kanak-kanak yang paling indah. Saya memiliki ayah yang selalu memberikan pujian dan ibu yang menyayangi saya. Saya juga memiliki seorang adik untuk tumbuh bersama. Dia adalah penggemar saya yang pertama ketika saya mulai bercerita lewat permainan action figures, jauh sebelum saya mulai menulis dan berpuluh-puluh tahun sebelum Roadblog101. Saya memiliki teman-teman dekat dan setelah kita tumbuh dari bocah menjadi pemuda, saya masih memanggil mereka teman dan rutin bertegur-sapa. Saya bermain sepuasnya, mulai dari yang tradisional seperti petak umpet dan menangkap ikan di parit, sampai permainan yang paling canggih di masa itu, baik Nintendo, Sega maupun game di Orbit Wonderland. Saya kadang mengajak teman ke rumah untuk bermain bersama dan di lain waktu, giliran saya yang mengunjungi mereka untuk bermain. Saya memiliki beraneka kura-kura dari sejak kelas 4 SD dan akhirnya satwa tersebut menjadi peliharaan favorit saya. Saya diantar sana-sini dengan menggunakan mobil saat keluarga berkecukupan dan saya naik oplet saat keluarga jatuh miskin. Saya berjalan kaki di bawah panas matahari bersama Parno dan saya mengengkol sepeda balap kebanggaan saya di bawah hujan. Saya adalah juara pertama dan saya juga murid yang buruk prestasinya selama di sekolah. Saya dipuji dan dihukum. Saya mengenal the Beatles sejak di Pontianak dan akhirnya turut serta dalam grup musik. Saya menikmati makanan paling enak yang bisa dibeli dengan uang dan saya juga menyantap masakan sederhana yang dimasak dengan sepenuh hati oleh orang tua teman. Saya mencintai dan dikecewakan. Saya berkelana dan nyaris tidak kembali. Saya tertawa keras karena terlampau senang dan meneteskan air mata paling sedih di Pontianak. Saat saya lihat kembali, saya tidak memiliki keluhan ataupun penyesalan karena lahir dan tumbuh dewasa di Pontianak. Saya memiliki kepribadian seperti hari ini karena menjalani semua yang saya paparkan di atas.

Kunjungan ke Bakmi Alit.

Perlu diketahui bahwa Pontianak bukanlah termasuk tempat tujuan wisata, tapi kota kecil ini menawarkan banyak makanan yang dijual di tepi jalan atau restoran. Tatkala teman-teman kembali ke kampung halaman, wisata kuliner pasti menjadi bagian dari agenda mereka. Apa yang biasa terjadi adalah, mereka akan berburu makanan untuk makan sepuasnya dan tidak lupa pula mereka akan memotret makanan-makanan tersebut untuk dipos di Facebook. Pesona kuliner Pontianak yang luar biasa itu ternyata tidak terlalu manjur bagi saya. Saya selalu berpikir bahwa kelezatan makanan Pontianak sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan. Ya, benar bahwa ada yang memang sedap, tapi rasa kangen makanan kampung halaman juga berperan besar dalam penilaian kita. Saya sendiri suka makanan Pontianak, tapi lebih cenderung karena saya menyantap makanan tersebut sedari kecil. Beberapa teman saya, misalnya Bakmi Alit, sukses dalam mengolah makanan dengan cita rasa Pontianak dan saya cukup mengunjungi kedai mereka jika saya kebetulan berada di Jakarta. Dengan demikian saya tidak perlu pulang ke kampung halaman hanya demi mencicipi makanan lokal Pontianak. 

Bagaimana pula dengan teman, keluarga atau tradisi seperti Tahun Baru Cina? Saya sudah berbincang dengan teman-teman lewat WhatsApp secara rutin tiap hari, begitu seringnya seakan-akan kita tidak pernah berpisah setelah lulus SMU. Akan halnya keluarga, terkadang mereka datang berkunjung ke Singapura dan saya senang menjadi tuan rumah sekaligus pemandu wisata bagi mereka. Bicara tentang tradisi, setelah berkeluarga, saya pernah pulang sekali pas Tahun Baru Cina untuk menunjukkan pada istri dan anak saya, seperti apa perayaan di sana. Seusai itu, saya menyadari bahwa kita bukan penggemar tradisi seperti itu. Bagi saya pribadi, antusiasme menyambut Tahun Baru Cina tidak lagi membara, jadi tidak ada gunanya bila dipaksakan. Saya pernah membawa orang tua saya merayakan tahun baru di Cina dan terus-terang saya merasa itu lebih praktis dan menyenangkan. 

Sampai di sini, anda pasti sudah melihat bahwa saya tidak memiliki motivasi apa pun yang mendorong saya untuk pulang. Kendati begitu, alasan utama di balik keengganan saya untuk pulang adalah fakta bahwa Pontianak telah berubah, namun tidak ke arah yang lebih baik. Ketika saya pulang, saya selalu merasa bahwa ini bukan lagi Pontianak yang saya kenal. Kota ini terlihat agak berbeda dan tidak lagi seramah dulu. Kalau anda lihat lagi di paragraf sebelumnya, anda akan melihat bahwa saya menulis tentang menangkap ikan di parit. Sekarang air di parit sangat bau dan tidak mengalir. Itu adalah contoh kecil kenapa saya merasa bahwa kenangan terindah saya tentang kampung halaman seperti direnggut begitu saja. Ya, pembangunan memang terjadi, tapi sepertinya tidak dipikirkan dengan baik dan hasilnya terlihat asal-asalan. Saya merasa seperti orang asing di kampung sendiri dan ini sangat menyedihkan. 

Itu alasannya kenapa saya tidak suka pulang. Saya lebih suka mengenang Pontianak tempat saya menghabiskan masa kecil saya dulu daripada melihat kenyataan bahwa kota itu telah berubah menjadi lebih buruk. Tapi saya tetap mencintai Pontianak. Bukankah saya dengan bangganya membawa turis luar negeri untuk datang berkunjung? Saya bahkan sering berpikir untuk melakukan sesuatu untuk Pontianak suatu hari kelak. Inilah alasannya kenapa saya sering meminta teman saya mencalonkan diri menjadi walikota. Kalau dia terpilih, saya tidak keberatan untuk pulang dan mengabdi sebagai bawahannya dalam membangun kota Pontianak. Jika kita memang ditakdirkan untuk itu, maka apa yang saya bayangkan ini mungkin terjadi dalam kehidupan ini...

Turis-turis Singapura di Bandara Supadio.

Friday, January 4, 2019

Cruise: Mariner Of The Seas

Liburan dengan cruise sama sekali tidak terlintas di pikiran saya. Ternyata ada rezeki berkesempatan naik cruise. Kapalnya bernama Mariner of the Seas dari Royal Caribbean Cruises. Dalam pikiran, sih, naik kapal lima hari kayaknya bosan banget, 'lah. Tapi tunggu dulu...

Tahun 2014 kapal mariner adalah kapal pesiar terbesar yang berlayar di perairan Asia Tenggara. Kapal ini punya ukuran sangat besar, lebih besar dari mal. Dimensinya seperti ini:
1. Panjang 311 m dan lebar 50 m. Terdiri dari 15 tingkat.
2. Lantai 0-1 untuk mesin, kru dan lain lain.
3. Lantai 2 ada bioskop dan ruang konferensi.
3. Lantai 3. ada teater savoy yang bisa menampung sekitar 1300 orang. Arena ice skating juga ada di sini. 
4. Lantai 4 ada bar Bolero, Dragon's Lair Club dan kasino.
5. Lantai 5 Promenade (tempat belanja dan kafe-kafe).
6. Lantai 6 sampai 10 adalah kamar tidur. Restoran bisa ditemukan di lantai 6, 7 dan 10.
7. Lantai 11 ada fitness centre, jacuzzi, spa dan windjammer (restoran buffet).
8. Lantai 12 dan 13 adalah sport area terdiri dari jogging track, mini golf, wall climbing dan lapangan basket. Di juga ada empat kolam air panas dan dua kolam renang besar. Di malam hari tempat ini juga difungsikan sebagai bioskop outdoor.
9. Lantai 14 diperuntukkan untuk wall climbing dan arena permainan (bisa main mahjong, monopoli dan lain-lain).
10. Lantai 15 adalah kapel (ayo, yang belum nikah bisa ikat janji di situ).

Nah, dari spesifikasi kapal di atas, tentunya anda sudah punya bayangan, seberapa besar kapal tersebut. Kapal bertolak dari Marina Bay Cruise Center jam 5 sore. Proses check-in dan naik kapal mirip seperti mau saat naik pesawat dan check-in buka jam 12. Setelah proses check-in selesai dan masuk kapal, kita bisa keliling lihat fasilitas atau makan di restoran yang disediakan secara gratis. Perlu diketahui bahwa ada dua restoran yang tidak gratis, yaitu Johnny Rockets yang menjual burger dan juga restoran Itali, tapi tidak perlu masuk 'lah karena makanan di Windjammer  dan Cafe Promenade sudah berlimpah dan enak.

Setiap penumpang diberikan kartu identitas yang tidak boleh hilang karena paspor kita diserahkan saat naik kapal (saya mendapatkan nomor D23). Jam 17.00 dilakukan safety drill peragaan cara mengunakan pelampung, titik kumpul dan sekoci.  Setelah itu kapal pun berlayar. Kita bisa keliling kapal, mencoba bermain ice skating atau belanja di toko-toko seperti di mal.

Kartu identitas untuk semua kegiatan transaksi dan keluar-masuk kapal.

Mal dan kafe.

Kasino bagi yang mau mencoba peruntungan.

Pool deck malam yang bisa dijadikan bioskop outdoor. 

Arena ice skating.

Cruise compass.

Koper kita sudah diantarkan langsung ke kamar. Ketika masuk ke kamar, kita akan menemukan cruise compass yang penting. Isinya adalah tentang jadwal acara dan pertunjukan yang bisa kita ikuti supaya lebih seru pelayarannya.

Makan malam disediakan mulai pukul delapan malam. Ada fine dining, menu-menu Eropa dan Amerika. Makanannya lezat-lezat, mulai dari creme brulee. escargot, tilapia steak dan lain-lain. Dijamin gemuk 2-3kg, deh. Ketika kapal sampai di perairan international, aktivitas kasino pun dimulai.

Pagi berikutnya, kapal berlabuh di Port Klang jam delapan pagi. Kita diberi waktu turun sampai jam lima sore. Kalau kita memilih untuk turun, kita bisa mengikuti tur yang disediakan oleh cruise, tapi mahal banget bayarnya, pakai USD, bok! Teman-teman, sih, sudah malas turun melihat Port Klang yang lumayan jauh dari mana-mana, tetapi karena saya dasarnya hobi jalan-jalan, saya ajak mereka patungan sewa taksi keliling Kuala Lumpur. Ternyata setelah dihitung, per orang cuman habisin 50 ringgit, padahal paket dari cruise seharga 108 USD.

Kembali ke cruise, kita makan dan malamnya nonton pertunjukan ice skating. Mereka yang tampil rata-rata juara ice skating kelas dunia. Pokoknya super bagus. Setelah pertunjukan, kita fine dining lagi. Menunya juga gaya Eropa. Oh ya, semua terbagi dalam dua shift. Kalo mau makan malam  jam 6 berarti nonton pertunjukan jam 8. Kalau dinner jam 8, berarti nonton pertunjukan jam 6. Jangan ketinggalan, ya. Sayang, coy.

Hari ke-3, kapal bersandar di Penang dan disambut dengan gambus Melayu. Di Penang kita menyewa mobil untuk keliling ke Kek Lok Si dan Reclining Temple. Es krim batok di depan pintu masuk kuil konon legendaris dan layak dicoba!

Wat Chayamangkalaram.

Kita makan siang di restoran seafood lokal. Di situ saya pertama kali makan kerang geoduck yang bentuknya, ehmm, mirip senjata pemilik blog ini.

Kerang geoduck.

Malam ini adalah captain dinner. Di malam ini, semua berpakaian resmi  Ada yang memakai jas, ada juga yang pakai baju negara masing-masing, misalnya batik atau hanbok Korea. Karena kapten kapal, manajer dan kru juga hadir, kita bisa berkenalan dengan mereka. Kapten menjamu semua peserta cruise dengan champagne. Show malam ini ala Broadway yang berkesan dan bagus sekali. Malam ini juga ada lomba karaoke dan main bingo.

Hari ke-4, begitu kapal merapat di Phuket, kita langsung ke Wat Chalong, kuil yang ada relik Budha dan terkenal dengan tradisi membakar petasan untuk membuat permohonan. Kuil ini juga terkenal dengan ramalannya. Saya iseng cobain ramalannya, namun ditulis dalam bahasa Thai. Akhirnya saya suruh sopirnya bacakan dan ternyata tepat sekali. Semua tepat sekali. Sampai perjalanan terjadwal pun bisa di prediksi. Dari situ, kita lanjut ke Big Buddha untuk melihat pemandangan Phuket dari atas.

Wat Chalong.

Setelah itu kita makan di restoran lokal. Ini pertama kalinya saya makan tomyam selatan kental kuahnya dan sangat enak. Kita lalu ke premium outlet phuket yang isinya biasa aja. Yang luar biasa justru toko oleh-oleh sebelah premium outlet. Nama tokonya PORN, hehehe. Setelah sekian tahun baru tau  bahwa PORN dalam bahasa Thai artinya berkat. Kita juga singgah ke Jungceylon Mall. Sementara yang lain sibuk belanja, saya sendiri sibuk cari orang yang bisa berbahasa Inggris untuk membaca surat ramalan dari Wat Chalong. Hasilnya pun sama. Memang akurat.

Kembali ke kapal, kita nonton show lagi. Kali puncaknya adalah kabaret show dengan gabungan digital mapping. Keren abis! Gak rugi naik cruise ini. Kita lantas ngopi-ngopi di Cafe Promenade sambil menikmati pizza gratis.

Di hari ke-5, kapal berlayar sepanjang hari dari Phuket langsung ke Singapore. Kita akhirnya berkesempatan untuk mencoba fasilitas lainnya, seperti mini golf, basket, tenis meja, panjat tebing dan diakhiri dengan jacuzzi. Malamnya ada pertunjukan opera lagi. Keren-keren, pokoknya anti bosan di kapal ini.

Hari ke-6, kita tiba di Singapura. Akhirnya selesai juga perjalanan cruise yang tidak terlupakan ini.