Total Pageviews

Translate

Wednesday, September 26, 2018

The Artist

When we see someone riding high, sometimes it's easy for us to neglect what they had gone through before they are at the top of their game. We admire the success and conveniently forget about their hard work to get there. To put things in perspective, that someone is my friend Eday Ng, a great man with seemingly endless talents. You might have seen him, you might have read about him, but I was there long before today. This is why I find the story worth telling. Here's a little known insight, told here for the first time ever.

Eday and I had known each other since we were secondary school students, but we became close friends only much later on, when we went to the same class again in high school. Throughout the years, his reputation preceded him. I always heard that he was good in art, but I saw none of that, though. In those days, we were more of partners in crime. I was Robin to his Batman and we did all those pranks, outrageous even by today's standard. But no, I won't tell you more about this, haha.

Eday was good in calligraphy then, but he's better than ever now!

My first recollection of Eday as an artist was the day he showed us his calligraphy skill. He would impress the girls by writing their names in Old English, the artistic font that was often found on certificates back then. When I asked him to teach me, he showed me how to do it and what should be used for best result. The brand of the pen that he used at that time was Pilot Hi-Tec-C and it would cost us students a fortune! Looking back, he'd been endorsing good products since then, perhaps before any of us knew what the word endorsement actually meant.

Eventually, under his tutelage, I could do the same thing, too. But when I saw our results, I could tell that they were worlds apart. His art was gracefully done whereas mine was stiff as I struggled to get it right. That's the thing with art. It comes naturally for the gifted ones. That's when I realised he was on a different league altogether. But still we had a chance to collaborate. We worked on our contribution for the so-called yearbook that was published to commemorate our high graduation. I did the writing, something that I was more comfortable with, and Eday did the illustration. The result was heavily censored because a certain creativity simply couldn't be appreciated, haha.

We went our separate ways after graduation and crossed paths from time to time. He already lived in Hong Kong when I went there in 2005 (didn't meet him, though, as he was on business trip to Guangzhou). By the way, do remember that this was back when Yahoo Messenger was something that you installed on your computer so, being guys, we didn't really spend time sitting in front of computer to chat or write email to each other. But I did hear about him and got a vague idea about what he did for living. I remember thinking he would do well because he was good in art.

Eday's bio on his gunpla profile. 

It was only after the dawn of Facebook and WhatsApp that I came to realise how good he was. He did extremely well in his work and more! I mean, he was the world champion of Gunpla Builders World Cup 2012! Can you even begin to fathom how significant this was? We are talking about the guy from a small town called Pontianak and the same person that sat next to me when we were in high school. I never had the slightest idea that one day I would be able to say, "hey, do you know that World Champion is my friend and his current gunpla work is being displayed at Gundam Base Tokyo in Japan?" Eday had come a long way and he definitely made us proud! I remember when we gathered and had a lunch last year in Jakarta. A son of our friend was staring at Eday in disbelief. That boy must be having a hard time in processing the fact that his idol is his father's friend, haha.

And the beauty of his story is, it doesn't just end there. It gets better instead. I had the privilege of helping him out with his latest work recently. It was through this opportunity that I learnt how visionary the man was. He saw things differently and his artistic side enabled him to do so. That explains how the one-off occasion of refining his window grill ended up becoming a lifelong interest in interior design. To make it even better, he sure knew how to express his passion through his work: he understood the importance of aesthetic; he paid attention to little things that were so ordinary, things that we might have taken for granted; and he knew when to draw from his childhood experience and recreate the memory.

The result was something astounding called Wood Soul (you can get your copy here: https://www.ver-ed.com/product-page/book-wood-soul). It's a book that offers us a glimpse of his unique vision and how he looks at the world. Very inspiring and revolutionary, really. To think that it took me years to finally understand just the surface of his talents, there's no telling to what extent he's going to surprise us with all his might. Just imagine...

Wood Soul - available now!



Sang Seniman

Ketika kita membaca tentang seseorang yang sedang berada di posisi puncak, ada kalanya perjuangan mereka dari awal hingga menjadi yang terbaik terabaikan oleh kita. Kita sering kali mengagumi sukses seseorang, namun lupa begitu saja dalam mencari tahu tentang kisah kerja keras mereka. Sehubungan dengan topik ini, seseorang yang saya maksudkan di sini adalah teman saya Eday Ng, seorang pria yang berlimpah bakatnya. Anda mungkin pernah mendengar atau membaca tentang Eday, tapi saya kenal langsung dan melewati berbagai hal bersamanya jauh sebelum hari ini tiba. Kisahnya menarik untuk diceritakan. Berikut ini adalah cerita tentang Eday yang hanya bisa ditulis oleh seorang teman. 

Eday dan saya berteman sejak SMP, namun baru menjadi karib sejak SMU. Reputasinya sebagai seorang yang berbakat seni senantiasa saya dengar, tapi saya hampir tidak pernah melihatnya secara langsung. Di masa itu, pertemanan kita lebih condong ke arah aktivitas yang iseng. Kita sering berulah dan membuat lelucon yang tergolong berlebihan, bahkan untuk standar zaman sekarang. Tapi tidak, kita tidak akan membahasnya di sini, haha.

Eday saat diwawancarai. 

Kenangan pertama saya tentang Eday sebagai seorang seniman adalah hari dimana dia menunjukkan keahliannya dalam bidang kaligrafi. Saat itu dia membuat teman-teman wanita terkesan dengan kemampuannya dalam menulis nama mereka dengan huruf Old English (ini adalah huruf-huruf artistik yang lazim ditemukan dalam nama seseorang di sertifikat). Ketika saya memintanya untuk mengajar saya, dia dengan senang hati memberikan contoh dan menunjukkan pena khusus yang dipakainya. Pena itu adalah Pilot Hi-Tech-C, sebuah merk yang cukup mahal untuk ukuran murid sekolah biasa yang pas-pasan uang sakunya seperti saya! Kalau saya kenang kembali, Eday sudah dari dulu memberikan pengabsahan untuk produk-produk berkualitas yang dipakainya jauh sebelum kita paham apa arti dari kata endorsement itu sebenarnya. 

Singkat cerita, di bawah bimbingannya, saya pun menguasai seni kaligrafi ini. Kendati begitu, begitu saya membandingkan karya kita berdua, saya bisa merasakan bahwa karya Eday lebih luwes dan elegan, sedangkan karya saya cenderung kaku. Karya seni tidaklah berbohong. Apa yang merupakan hobi baginya terasa bagaikan pekerjaan bagi saya, sehingga dengan bakatnya, hasil karyanya pun terlihat alami. Saat itulah saya sadar bahwa dalam hal ini, kemampuannya berada jauh di atas rata-rata. Meskipun demikian, kita masih berkesempatan untuk bekerja sama. Kontribusi kita berdua dimuat dalam buku kenangan yang diterbitkan saat perpisahan SMU. Di kala itu saya menulis dan Eday mengerjakan ilustrasinya. Dan hasilnya pun disensor habis-habisan karena kreativitas tertentu dianggap tidak cocok untuk lingkungan sekolah yang akademis dan berakhlak, haha.

Eday dan Gundam yang dirakitnya.

Setelah lulus, kita berpisah jalan dalam upaya menggapai masa depan masing-masing. Kita berjumpa sesekali waktu saat liburan kuliah, kemudian baru bertemu lagi setelah saya pindah ke Singapura. Saat saya berkunjung ke Hong Kong di tahun 2005, Eday sudah menetap di sana, namun kita tidak sempat bertemu karena dia sedang berada di Guangzhou dalam rangka bisnis. Oh ya, perlu diingat bahwa awal tahun 2000an adalah era dimana Yahoo Messenger adalah aplikasi yang masih anda instalasi di komputer, jadi tentu saja kita tidak duduk di depan komputer dan berkomunikasi setiap hari. Kendati begitu, saya selalu mendengar kabar tentang Eday dari waktu ke waktu. Sedikit-banyak saya tahu apa profesinya. Saya ingat bahwa saat itu saya berpikir kalau dia akan sukses dalam karirnya karena bakatnya di bidang seni. 

Setelah Facebook dan Whatsapp muncul, barulah saya sadari betapa suksesnya Eday. Dia bukan saja melonjak karirnya, tapi juga berhasil dalam hal-hal yang berkaitan dengan hobi dan kreativitas. Sebagai contoh, dia adalah juara dunia dalam merakit Gundam di tahun 2012! Anda bisa bayangkan betapa besar arti dari keberhasilannya itu? Jangan lupa bahwa dia adalah pria yang berasal dari Pontianak, sebuah kota kecil yang jarang dikenal orang. Lebih dari itu, dia adalah teman yang duduk di sebelah saya di masa SMU. Seumur-umur saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari saya akan bisa berkata, "hei, anda tahu kalau juara dunia ini adalah teman saya dan karya gunpla terbarunya sekarang dipajang di Museum Gundam di Tokyo?" Eday sudah melewati banyak hal dan kesuksesannya yang mendunia sungguh membuat semua yang mengenalnya turut merasa bangga. Saya ingat ketika kita berkumpul dan makan siang di Jakarta tahun lalu. Anak dari seorang teman kita memandang Eday dengan tatapan sulit untuk percaya. Bocah ini pasti serasa bermimpi karena idolanya adalah teman ayahnya, haha.

Eday di tengah teman-teman dan anak remaja yang mengaguminya. 

Dan indahnya cerita Eday ini adalah fakta bahwa menjadi juara dunia bukan berarti akhir dari cerita. Baru-baru ini saya mendapatkan kehormatan untuk membantunya dalam mengerjakan karya terbarunya. Lewat kesempatan ini, saya menyadari bahwa visinya dalam seni adalah teramat sangat unik. Dia melihat sesuatu dalam sudut pandang yang berbeda, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berjiwa seni. Ini alasannya kenapa upayanya dalam memperindah jeruji jendela apartemen akhirnya menjadi aktivitas rutin dalam merancang tata ruang. Lewat kegiatan ini, Eday menyalurkan visi yang ada di benaknya. Dia mengerti pentingnya estetika dalam tata ruang. Hal-hal kecil yang kita anggap biasa pun tidak luput dari perhatiannya. Selain itu, dia juga tahu kapan harus bercermin pada pengalaman masa lalunya di Indonesia dan menciptakannya kembali di saat ia mendekorasi rumahnya.  

Hasil dari hobi yang ditekuninya ini adalah sebuah koleksi yang menakjubkan dan diberi nama Wood Soul (anda bisa pesan di sini: https://www.ver-ed.com/product-page/book-wood-soul). Buku ini memberikan gambaran tentang visinya yang unik dan sangat memberikan inspirasi! Saat saya membacanya, saya jadi tersenyum sendiri. Puluhan tahun kita berteman, namun baru di saat itulah saya mengerti kenapa dia begitu berbakat dan istimewa. Yang lebih mencengangkan lagi, saya yakin apa yang saya pahami itu hanyalah sedikit dari potensi seorang Eday. Dengan talentanya, dia akan berkiprah lebih jauh lagi dan membuat kita terpana dengan karya-karya berikutnya. Nantikan saja tanggal mainnya!

Kata pengantar dari buku Wood Soul.

Sunday, September 23, 2018

The Exotic Delights

I sat on our bedroom floor the other night with my daughter in tow. As we were waiting for the sleepy feeling, I aimlessly glanced through the pictures of various dishes shown on my Swarm app. Before long, my daughter cheered if she saw something that she liked and she'd boo if she thought otherwise. It was kind of funny and it went on for a while (I had about 1000 pictures because I had checked in since 2014).

As we did that, it slowly dawned on me that Singapore really had a lot of cuisines to offer, from the Singapore delight to something exotic. Upon seeing the mouth-watering food, I was reminded again of the fact that Singapore is truly a melting pot. Even when we excluded the standard Indian, Malay and local Chinese culinary skills as well as the usual Thai, Korea and Japanese food, we still got plenty to eat here.

Enjoying the food at Inle Myanmar Restaurant with my old friend Taty.
Photo by Eday Ng.

First off, something that I never ate or tried before even after staying for a few years in Singapore was the Myanmar food. It took a lot of courage to get past the acquired taste (or strong odor in this case), but it was worth it. I remember the first time I tried it with my ex-housemates. We went to this restaurant called Inle Myanmar Restaurant at Peninsula Plaza. I didn't exactly know my way, so I ended up entering from the back door instead. The pungent smell was no joke, but I made it and we had a good time. Apparently Myanmar food is like the hybrid of Thai and Chinese food, which means it consists of salad, green curry, char kway teow and all the familiar cuisines. The unique dish, one that was often mentioned by my wife, was mohinga. It was tasty, but the most memorable one was, of course, the crispy eel. I had returned to the restaurant many times since the initial visit. Brought my parents, my brother-in-law, my colleagues and my friends there for a taste of Myanmar.

Next one that I'd like to share with you is the authentic Mainland Chinese food in Chinatown. I once tagged along with my colleagues and I was not exactly ecstatic when I heard about where our lunch destination was going to be. I mean, how different could it be with local Chinese food? I'd been to China and while the food was edible, I was not particularly fond of it. When we were at Dong Fang Mei Shi Fan Dian (东方美食饭店) and the Mainland Chinese colleague passed me the menu, I just smiled politely and muttered something like, "surprise me." I let them ordered and when I noticed that one of dishes was eggplants, I was skeptical. I disliked eggplants, but out of respect, I put on my brave face and gave it a bite. I was immediately blown away. It was good and crispy, unlike the gooey eggplants that I had before. And there were many more good stuff, but one that I would reorder myself time and again on my subsequent visits was gong bao chicken. The Northeastern style is good and delicious!

Gong bao chicken.

As for Western food, when I didn't feel like queuing for my lunch, I'd go for buritto bowl. The price was rather on a high side, which was probably the reason why there wasn't much queue, haha. Thanks to the tomato, cheese, black bean and avocado known as guacamole, the Mexican rice bowl tastes really fresh. It's totally different than other rice-based dishes such as nasi lemak or nasi uduk. When I had more time to spend in the evening, I'd go for German food. Beef goulash, a bowl of beef stew, was a nice appetiser before I went for German sausages and the tempting pork knuckle. After that, I'd wash them all down with Erdinger Weißbiers. Life could be that good, really!

Nevertheless, if those still weren't exotic enough for your taste, I guess this one would top the bill: the Lebanese cuisines, all came with the names that I couldn't even pronounce. There was this restaurant called Urban Bites on Telok Ayer Street, not very far from Amoy Street Food Centre. A French man introduced the place to me (oh yes, we Chinese were so careful we wouldn't dare to try it out ourselves) and I fell in love with the lunch set immediately. It was a plate of rice with two types of kebab, some flatbread and hummus. Very nice. But one day, the restaurant shifted the location a bit. It also changed the interior design and the menu, too. When I asked, I was informed that the previous owner, the father, had passed away. That explained why. Under the new management, the set lunch is now different from day to day and it's a good thing. Dawood basha is basically a bowl of meatballs with a very rich taste. Mloukhieyeh is meat cooked with vegetables, very unusual. Kousa mehshi is... I don't know, I'd forgotten what that was, but I reckoned it was also good, haha.

So there you go, a glimpse of exotic delight in Singapore. There are more, such as Filipino cuisines or Vietnamese (although it seems like Vietnamese food is a bit mainstream these days). Oh, there was even a Costa Rican food at Lau Pa Sat, but too bad, it'd been closed down recently. I have yet to find Cambodian and Laotian restaurants here, but I'm quite optimistic that we can find various food from Southeast Asia in Singapore. Until then, keep eating!

Dawood basha.



Masakan Eksotis

Suatu malam, saya duduk di lantai sementara putri saya tengkurap di atas ranjang yang berada di belakang saya, mengamati apa yang saya lakukan. Saat itu, selagi menantikan rasa kantuk, saya melihat kembali foto-foto makanan yang ada di aplikasi Swarm. Putri saya berseru riang saat melihat makanan yang disukainya. Dia juga mencemooh apa yang menurutnya tidak enak. Interaksi spontan yang lucu itu berlangsung cukup lama karena saya memiliki sekitar 1000 gambar (oh ya, ini adalah hasil check-in sejak tahun 2014). 

Saat kami melakukan hal tersebut, perlahan-lahan saya sadari bahwa Singapura benar-benar memiliki beraneka jenis makanan, mulai dari selera lokal sampai sesuatu yang eksotis. Sewaktu saya melihat makanan-makanan yang menggiurkan ini, saya teringat lagi bahwa Singapura adalah tempat bertemunya beragam budaya. Seandainya seorang turis dengan iseng mencoret makanan-makanan yang sudah lumrah dijumpai dari daftar menunya, misalnya masakan India, Melayu, Cina serta Thai, Korea dan Jepang, turis tersebut masih akan menemukan berbagai makanan lezat di Singapura.

Masakan pertama yang ingin saya ceritakan adalah masakan Myanmar. Saya ingat saat pertama kali mencobanya bersama teman-teman serumah saya. Kita berjanji untuk menikmati makan malam di restoran Inle Myanmar yang berada di Peninsula Plaza. Saya tidak begitu paham jalan menuju ke restoran tersebut, jadi saya akhirnya muncul di sana melalui pintu belakang. Aroma masakannya menyerupai bau rebung sangatlah menusuk, namun saya bertahan dan akhirnya bersantap malam di sana. Ternyata masakan Myanmar itu seperti kombinasi masakan Thai dan Cina. Menunya terdiri dari salad, kari hijau, kwetiau goreng dan masih banyak lagi. Satu yang unik, yang sering disebut oleh istri saya, adalah mohinga. Masakan yang berbahan dasar telur, daging dan mie putih ini lumayan enak, tapi yang paling berkesan dari masakan Myanmar adalah belut goreng yang garing. Saya kembali lagi ke restoran tersebut setelah kunjungan perdana itu. Saya membawa orang tua saya, adik ipar, rekan kerja dan teman-teman untuk mencicipi sedapnya masakan Myanmar yang jarang diketahui orang.

Kunjungan perdana ke restoran Cina Daratan. 

Yang menarik untuk dibahas berikutnya adalah masakan Cina Daratan yang otentik. Saya pertama kali ke sana bersama kolega saya dan ketika saya mendengar tentang restoran yang hendak kita tuju, saya terus-terang merasa tidak tertarik. Di dalam hati saya berpikir, apa bedanya masakan Cina lokal dan Cina Daratan? Lagi pula saya sudah pernah ke Cina dan masakannya biasa-biasa saja. Tatkala kita tiba di Dong Fang Mei Shi Fan Dian (东方美食饭店) dan kolega Cina Daratan menyodorkan menu restoran, saya hanya tersenyum sopan dan mempersilahkannya memilih. Ketika pelayan menyajikan terong, saya kian ragu. Saya tidak suka terong, namun saya mencicipinya karena sudah dipesan. Dan saya terkejut. Tidak seperti masakan terong yang biasanya lembek, gaya masakan Timur Laut Cina ini garing dan enak dikunyah. Menu-menu berikutnya juga nikmat, tapi yang saya ingat betul adalah gong bao chicken. Saya pasti memesannya kalau berkunjung ke sana! 

Bicara tentang masakan Barat, di kala saya hanya memiliki sedikit waktu dan tidak sempat untuk antri, biasanya saya akan membeli burrito bowl yang cepat-saji. Agak mahal sebetulnya, tapi itu mungkin alasannya kenapa antriannya tidak panjang, haha. Berkat bahan makanan seperti tomat, keju, kacang hitam dan alpukat yang dikenal sebagai guacamole, masakan Meksiko ini terasa segar dan mentah. Pokoknya sangat berbeda dengan masakan lainnya yang juga berbasis nasi, misalnya nasi lemak atau nasi uduk. Di saat saya memiliki waktu untuk bersantai di kala makan malam, saya suka menikmati makanan Jerman. Ada yang namanya beef goulash, daging sapi yang direbus secara perlahan sehingga empuk, cocok disantap sebagai hidangan pembuka. Setelah itu, saya biasanya lanjut dengan sosis Jerman dan kaki babi panggang, lalu membasuh dahaga saya dengan Erdinger Weißbiers. Hidup memang nikmat di kala kita makan enak!

Burrito bowl, menu masakan Meksiko.

Jikalau menu-menu di atas belum cukup eksotis untuk selera anda, saya rasa yang berikut ini akan menduduki peringkat puncak: masakan Lebanon yang bahkan tidak bisa saya baca namanya! Di Telok Ayer Street, tidak jauh dari pujasera Amoy Street, ada sebuah restoran bernama Urban Bites. Saya pertama kali ke sini bersama seorang berkebangsaan Perancis dan saya langsung suka menu makan siangnya: sepiring nasi dengan dua jenis kebab dan juga roti putih yang bulat-pipih dan disantap dengan cara diolesi humus. Akan tetapi, ketika saya ke sana lagi pada suatu hari, tiba-tiba saja restorannya pindah lokasi dan berbeda tata-ruang serta menunya. Ketika saya bertanya, saya diberitahu bahwa pemilik sebelumnya, sang ayah, telah meninggal. Restoran ini sekarang diurus oleh sang putri dan kini menu makan siangnya berbeda dari hari ke hari. Tidak terlalu buruk juga idenya, sebab sekarang saya bisa mencicipi lebih banyak jenis makanan Lebanon. Ada yang namanya dawood basha yang pada dasarnya adalah semangkok bakso. Ada juga yang disebut mloukhieyeh, daging yang dimasak dengan sayur. Selanjutnya ada kousa mehshi, tapi saya lupa apa sebenarnya masakan ini, haha. Yang saya ingat, rasanya cukup enak. 

Jadi demikianlah sekilas tentang makanan eksotis di Singapura. Masih ada lagi masakan lain seperti menu Filipina dan Vietnam (walaupun masakan Vietnam sebenarnya sudah cukup umum sekarang ini). Oh, dulu di Lau Pa Sat bahkan ada yang jualan masakan Costa Rica, tapi sayang sudah tutup. Saya belum menemukan restoran Kamboja dan Laos di sini, tapi saya rasa masakan Asia Tenggara harusnya bisa ditemukan di sini. Saya akan kabari kalau ketemu, tapi sementara anda menunggu, silahkan dicoba dulu rekomendasi di atas!

Menikmati makanan Jerman bersama teman-teman. 

Monday, September 17, 2018

The Oldies

I remember the time when music wasn't a big deal in my life. Back then, I only owned Michael's Thriller and Bad (it was almost impossible to grow up in the 80s and not be impressed by the King of Pop). Other than that, I listened to my cousin's collection of rock bands such as Roxette, Heart, Europe and Bon Jovi. Then the Beatles came along and changed my life forever. I was convinced that rock and roll was the best thing that ever happened on earth.

Around the same time, boy bands such as Take That or Boyzone were also busy covering songs that sounded familiar, as if I'd heard them before in the past (Dad had a massive collection of vinyls and cassettes that he'd play when I was a little boy). Through How Deep Is Your Love, I discovered the Bee Gees. I was amazed by how good the song was. It was a hit when it was released in 1977 and it was still as good as ever in 1996. Good songs were simply everlasting!

That's when I began to explore the Oldies. Since the Beatles were great, I reckoned that the songs from ex-Beatles should be a safe bet and a good starting point, haha. But unlike the Beatles, their albums were scarce in Pontianak. I could only find the cassette of John Lennon Collection and it was only much later on that I found Paul's All the Best! in Jakarta. Upon listening to the albums, I soon realised that what I thought earlier was not exactly true. John's songs were overrated mainly because of his legendary status. The fact is, while songs like Imagine are good, I couldn't help noticing that without Paul, John's songs became less melodic. Paul's compilation didn't suffer that much, though. Some, especially No More Lonely Nights, were actually very good, but they lack of a certain Beatlesque quality. With the Beatles, there is this sense of excitement and joy. Apparently it took the four of them to produce that feeling. It was their combined talents that made the Beatles' songs so loveable.


I also branched out from Bee Gees and found Andy Gibb's Greatest Hits. I think I bought the cassette together with Ringo's Time Takes Time when I visited Kuching. Just like Barry, he could do falsetto, too. When he didn't, his vocals were like a rougher version of Barry's. Because he was heavily supported by his brothers, his music was very Bee Gee-like. Stuff like Shadow Dancing or An Everlasting Love could have been something that was sung by the Bee Gees. A personal favorite? (Our Love) Don't Throw It All Away.

Now that I had exhausted the list of artists that were related to the Beatles and Bee Gees, I ventured out into the unknown territory. My next one was either Phil Collins or John Denver. I couldn't be too sure which one came first, but I probably started listening to John Denver when Armageddon was showing. The movie had a soundtrack called Leaving on a Jetplane. Just like what I did before with How Deep Is Your Love, I traced back and found John Denver. Much to my delight, I realised that he was also the same guy who wrote Take Me Home, Country Roads, an old song that I had heard long ago. John was a brilliant songwriter and a good singer. His music was my first exposure to country music. Love his greatest hits.

Same can't be said for Phil Collins, though. Here's a man who wrote Another Day in Paradise. A good song, he still got plenty of other hits such One More Night, Easy Lover, Separate Lives and many more, but yet not all songs in the compilation felt like greatest hits. Furthermore, there's something about his drumming that I somehow don't like. Don't get me wrong. He's one helluva drummer, but he's just not Ringo.

Just when I thought Phil Collins wasn't suitable for me, little did I know that my next choice was even more outrageous. I remember going to Queen, my favorite store that was located nearby the traffic light of Gajahmada road in Pontianak. I was in doubt and nervous about my next purchase of greatest hits (oh yeah, I always went for the greatest hits, because if the compilation was bad, then the original albums shouldn't be any better), then I just said to the storekeeper that I wanted the Doors. Then I got the look that always made me cringe: it was that inquisitive glance, silently prying why this youngster was looking for something obscure that nobody else asked for.

But the Doors was indeed an odd choice. I just didn't know it yet. The moment I played the cassette, I couldn't believe what I heard. Riders on the Storm was dark and brooding. The electric piano was haunting. And then came the deep and rich baritone voice of Jim Morrison. I never heard such vocals in any songs before. The next song, Light My Fire, was even more bizarre. Ray Manzarek's organ playing was too psychedelic for my taste. In all fairness, I don't think the Doors music is bad, it's just too far-out for me. 

The next one, still from Queen music store, was the Rolling Stones. Oh yes, I surely had to check out how their music was like, but apparently I got nothing to worry about. For a band often touted as the rival of the Beatles, I'm afraid they'd have to try harder, haha. The thing with Jump Back: the Best of the Rolling Stones was, some tracks such as It's Only Rock 'n Roll or Brown Sugar sounded rough and muddled. For a lead singer, Mick's vocals weren't as strong as I expected and it was even awful at times. Only Charlie's drumming and Keith's guitar playing were reliable. I like Keith's contribution especially in Angie and Between the Rock and a Hard Place

Then of course I had to check out the King of Rock and Roll. I had this cassette called Elvis the Essential Collection. The first song was Heartbreak Hotel, a very primitive song that was bluesy and full of echo. I didn't like it then, but appreciate it now. It's actually kind of cool, bringing out the emotion of the song with just so little instruments and Elvis' voice. However, it was Blue Suede Shoes that showed me why Elvis was the King. He was at his best for a short period of time, until he became just another crooner singing songs such as Wooden Heart or It's Now or Never. I had nothing against those songs, but Elvis was supposed to be the King of Rock and Roll and it felt like he gave it up when he sang those songs.


After the King, I think I tried out Queen. No pun intended, haha. Queen was a very charming band consisting of four talented people that were capable of writing hits. I mean, this was the band that churned out Bohemian Rhapsody (written by Freddie, We Will Rock You (Brian May), Another One Bites the Dust (John Deacon), Radio Ga Ga (Roger Taylor) and many more. You don't see band like this very often. On top of that, they were brilliant performers. I remember the time when I listened to Live at Wembley '86 and watched it on YouTube many years later. Freddie's vocals were solid. When they were on stage, they would definitely rock you. Queen is definitely one of few bands that'll impress you with their greatest hits collection. When We Are the Champions, the last track on the album, finished playing, I could only concur that they were indeed the champions. Oh, if I have to single out one song as my favourite, that'll be Don't Stop Me Now. It's wild. Love the guitar solo, too!

Another one from the 70s, this time from the disco era, was Boney M. It may be very hard to imagine now that such a band could be popular back then, but apart from the repetitive Sunny or Daddy Cool, their songs were actually fun. I like Rasputin and only Boney M could bring us an upbeat Mary's Boy Child (you should try Harry Belafonte's version if you don't believe me). I think I bought the greatest hits in Jakarta. It was called 20th Century Hits. 

And the next one was, perhaps, the one you are waiting for. Oh yes, I'm not immune to ABBA, too. My story with ABBA started with this unforgettable piano piece that I heard when I was a kid. I later discovered that it was the signature intro from Gimme! Gimme! Gimme! (A Man After Midnight). The greatest hits album, ABBA Gold, was aptly named. Started with Dancing Queen and ended with Waterloo, the songs were all killers, no fillers. That's why I immediately jumped at the chance to watch their musical, haha. Less known to many is, perhaps, the fact that ABBA wwas a great performing act as well. Just listen to the album Live at Wembley Arena (or watch it on YouTube) and you'll know what I mean.

My adventure, of course, wouldn't be complete if I didn't check out My Way. It was solely for this song that I bought the Best of Frank Sinatra. It didn't disappoint. Frank's voice and the way he sang were simply inimitable. As a comparison, Elvis sang the same song, too, but Frank definitely owned it. The song was his signature, not Elvis. The rest of songs in the album, ranging from Something Stupid, Moon River, to Strangers in the Night were alright, they broadened my horizon about how traditional pop songs sounded like.


I think Frank Sinatra was the last collection I had during the cassettes era. Soon after that, I was working in Jakarta and a colleague of mine introduced Kazaa to me. It was the beginning of MP3 era and peer-to-peer file sharing was rampant at that time. Everything you searched could be found there (although half of the contents might be virus, haha). I built up my Oldies inventory during this period. I listened to the Beatles' rock and roll heroes, from Chuck Berry, Little Richard to Buddy Holly. I found legendary stuff such as Don McLean's American Pie. I even got hold of one hit wonders like Robert John's Sad Eyes. Sudarman, a friend of mine who's also a music fan, helped me out with long lost gems such as Chirpy Chirpy Cheep Cheep by Middle of the Road. By the time I left Jakarta, I had immersed myself into all sort of genres, from something as ancient as Doris Day's Que Sera Sera to rock music like Bon Jovi's It's My Life. I think I skipped only jazz, haha.

I listen to only a handful of selected artists these days. The Beatles, the all four ex-Beatles, Bee Gees, ABBA, Simon & Garfunkel, Eric Clapton as well as some other bands that were from my time like Michael Learns to Rock, Oasis and Guns N' Roses. I had quit iPod years ago and no Spotify for me, too. I stick with CD instead, the good old-fashioned way of listening to an album. I guess that's the beauty of being older than before. If life is ever an adventure, may be the old songs will bring back the good memories...

John Lennon Signature Box. 


Tembang Lawas

Saya ingat masa-masa ketika musik bukanlah bagian penting dari hidup saya. Kala itu, saya hanya memiliki kaset Thriller dan CD Bad (perlu diingat bahwa nyaris mustahil bagi mereka yang tumbuh di tahun 80an untuk tidak terpesona oleh Michael Jackson). Selain itu, saya hanya mendengar lagu-lagu koleksi sepupu saya, mulai dari Roxette, Heart, Europe dan Bon Jovi. Kemudian the Beatles muncul dan mengubah hidup saya. Sejak saat itu saya percaya bahwa rock and roll adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi di muka bumi ini.

Pada saat bersamaan, grup vokal seperti Take That atau Boyzone juga menyanyikan lagu-lagu yang entah kenapa sepertinya pernah saya dengar sebelumnya (dulu ayah saya memiliki koleksi piringan hitam dan kaset yang cukup banyak dan dia sering memutarnya kalau sedang berada di rumah). Lewat How Deep Is Your Love, saya menemukan Bee Gees. Saya sungguh terkagum-kagum dengan lagu ini. Versi the Bee Gees dirilis tahun 1977 dan lagu yang sama masih terdengar bagus di tahun 1996. Lagu bagus ternyata memang abadi!

Dari situlah saya mulai mencoba tembang lawas. The Beatles adalah grup musik terbaik, jadi saya mengira bahwa memulai dari lagu-lagu yang ditulis oleh mantan anggota the Beatles adalah langkah yang paling aman, haha. Akan tetapi, berbeda halnya dengan the Beatles, rekaman mereka sulit ditemukan. Saya hanya bisa mendapatkan kaset the John Lennon Collection. Beberapa tahun kemudian di Jakarta, saya baru mendapatkan kaset All the Best! yang berisi lagu-lagu populer Paul McCartney. Ketika saya mendengarkan dua album ini, saya menyadari bahwa pemikiran saya sebelumnya tidaklah tepat. Lagu-lagu John cenderung populer karena nama besarnya. Kenyataannya adalah, walau lagu seperti Imagine tergolong bagus, saya merasa bahwa tanpa Paul, lagu John menjadi lebih sederhana dan miskin melodi. Di sisi lain, lagu Paul tidak mengalami kemunduran yang sama. Beberapa karyanya, misalnya No More Lonely Nights, menjadi favorit saya. Meskipun begitu, tetap saja rasanya ada kurang jika dibandingkan dengan lagu the Beatles. Ternyata sensasi yang riang dan penuh suka-cita dari lagu the Beatles adalah hasil dari kombinasi talenta mereka berempat. Ketika mereka berpisah, mereka tidak pernah mencapai hasil yang serupa lagi.

John Lennon Anthology. 

Saya juga melakukan eksplorasi dari Bee Gees ke Andy Gibb, adik bungsu dari kakak beradik marga Gibb ini. Seingat saya, kasetnya saya temukan di Kuching, bersamaan dengan album Ringo yang berjudul Time Takes Time. Seperti halnya Barry, Andy juga bisa bernyanyi dalam suara falsetto. Ketika ia menggunakan nada biasa, suaranya mirip dengan suara Barry. Karena ia mendapat dukungan penuh dari saudara-saudaranya, lagu-lagunya pun mirip dengan irama lagu Bee Gees. Lagu seperti Shadow Dancing atau An Everlasting Love terdengar persis seperti sesuatu yang dinyanyikan oleh Bee Gees. Lagu favorit saya? (Our Love) Don't Throw It All Away.

Dari the Beatles dan Bee Gees, saya melanglang ke dunia musik yang sama sekali tidak saya pahami. Pilihan saya yang berikutnya adalah antara Phil Collins dan John Denver. Saya tidak ingat lagi yang mana yang saya dengar lebih dulu, tapi sepertinya saya mulai menyimak John Denver ketika film Armageddon ditayangkan. Film tersebut menampilkan lagu berjudul Leaving on a Jetplane. Seperti halnya How Deep Is Your Love, saya menelusuri asal-usul lagu ini dan menemukan John Denver. Di saat yang sama, saya juga baru menyadari bahwa dia adalah penulis lagu Take Me Home, Country Roads, sebuah lagu lama yang pernah saya dengar bertahun-tahun silam. Lagu-lagu John Denver merupakan koleksi lagu country pertama saya. Bagus albumnya.

Hal serupa sayangnya tidak bisa diucapkan untuk Phil Collins. Ya, saya tahu bahwa ini adalah orang yang menulis Another Day in Paradise, sebuah lagu bagus, dan dia masih memiliki banyak lagi lagu-lagu berkualitas seperti One More NightEasy LoverSeparate Lives dan lainnya, namun tidak semua lagu dalam kompilasinya terdengar seperti lagu populer. Di samping itu, ada sesuatu yang tidak saya sukai dengan permainan drumnya. Saya akui bahwa Phil adalah seorang pemain drum handal, hanya saja bukan selera saya. Singkat kata, dia bukan Ringo, hehe. 

Ketika saya mengira bahwa Phil Collins tidak cocok untuk saya, ternyata pilihan saya yang berikutnya lebih parah lagi. Saya ingat bagaimana saya mengayuh sepeda saya ke Queen, toko kaset di persimpangan jalan Gajahmada Pontianak. Saya sempat ragu dan gugup dengan kompilasi yang akan saya beli ini (oh ya, saya selalu membeli kompilasi lagu-lagu terbaik karena jika kompilasinya tidak bagus, maka album orisinilnya bisa lebih buruk lagi), namun akhirnya saya berujar kepada penjaga toko bahwa saya mau koleksi lagu the Doors. Kemudian saya mendapat tatapan yang senantiasa membuat saya risih: tatapan yang penuh tanda tanya, seakan menyelidiki kenapa anak muda ini mencari sesuatu yang lawas dan jarang dicari orang lain.

George Harrison - The Apple Years. 

Untuk sekali ini, tatapan tersebut tidak berlebihan. The Doors sungguh merupakan pilihan yang aneh. Sewaktu saya putar kasetnya di rumah, saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Riders on the Storm terasa gelap dan mencekam. Piano elektrik yang membuka lagu tersebut menambah kesan sangar. Lantas terdengarlah suara Jim Morrison yang bernada bariton dan dalam. Saya belum pernah mendengar suara seperti ini sebelumnya. Lagu berikutnya, Light My Fire, bahkan lebih tidak lazim lagi.  Permainan orgen Ray Manzarek terdengar seperti irama lagu yang dipakai untuk berhalusinasi. Secara keseluruhan, the Doors tidak buruk sebenarnya, hanya saja itu bukan musik yang cocok untuk saya. 

Kompilasi berikutnya, masih dari toko musik Queen, adalah the Rolling Stones. Oh ya, tentu saja saya harus mendengarkan musik dari kelompok yang sering disebut sebagai tandingan the Beatles. Kendati begitu, saya rasa mereka harus berusaha lebih keras lagi, haha. Album Jump Back: the Best of the Rolling Stones berisi lagu-lagu seperti It's Only Rock 'n Roll or Brown Sugar yang terdengar redup dan ricuh rekamannya. Sebagai penyanyi utama, suara Mick tidak semantap yang saya bayangkan, bahkan ada kalanya terdengar lemah. Hanya permainan drum Charlie dan gitar Keith yang stabil dan bisa diandalkan. Saya suka kontribusi Keith dalam Angie dan Between the Rock and a Hard Place

Setelah itu, tentu saja saya juga harus mencari tahu tentang Raja Rock and Roll. Saya memiliki kaset yang berjudul Elvis the Essential Collection. Lagu pertamanya adalah Heartbreak Hotel, sebuah lagu primitif yang berkesan blues dan bergema. Saya tidak menyukainya dulu, tapi saya bisa menikmatinya sekarang. Lagu ini tidaklah seburuk yang saya kira. Di dalam kesederhanaannya, suara Elvis, gitar, bas dan drum yang ada bisa melantunkan kepedihan lagu tersebut. Gelar Raja Rock and Roll baru bisa saya pahami setelah saya mendengarkan lagu kedua, Blue Suede Shoes. Elvis di periode tersebut menunjukkan kelasnya, namun dia kemudian berbalik arah dan menjadi penyanyi biasa saat ia mulai membawakan lagu-lagu seperti Wooden Heart or It's Now or Never. Saya bukannya tidak menyukai lagu-lagu tersebut, tapi Elvis adalah Raja Rock and Roll. Ada rasa kecewa ketika dia beralih dari apa yang membuatnya hebat. 

Setelah sang Raja, saya mencoba Queen. Suatu kebetulan? Haha. Queen adalah grup musik yang mempesona dengan anggota-anggota yang memiliki talenta untuk menulis lagu yang sukses. Ini adalah grup yang menelurkan lagu-lagu seperti Bohemian Rhapsody (ditulis oleh Freddie), We Will Rock You (Brian May), Another One Bites the Dust (John Deacon), Radio Ga Ga (Roger Taylor) dan masih banyak lagi. Tidak banyak grup yang bisa sesukses Queen. Lebih dahsyat lagi, mereka berempat juga memiliki aksi panggung yang memukau. Saya ingat ketika mendengarkan album Live at Wembley '86 dan menonton pertunjukkanya di YouTube bertahun-tahun kemudian. Vokal Freddie terasa membahana saat bernyanyi di atas panggung. Koleksi lagu-lagu terbaik mereka tidak bisa dipungkiri kehebatannya. Ketika We Are the Champions, lagu terakhir dari album tersebut berhenti, saya percaya bahwa mereka adalah para juara. Jika saya harus memilih satu lagu yang paling saya sukai, saya rasa lagu tersebut adalah Don't Stop Me Now. Liar lagunya dan bagus pula solo gitarnya! 

Satu lagi dari tahun 70an, yang sukses di era disko, adalah Boney M. Dengan formasinya yang unik, mungkin sulit untuk dibayangkan bahwa grup seperti ini bisa popular di dekade tersebut. Tapi kalau anda dengarkan lagu-lagu mereka, anda bisa mengerti kenapa mereka bisa digemari. Selain lagu Sunny atau Daddy Cool yang terdengar seperti berulang-ulang, karya Boney M memiliki irama yang membuat anda ingin berjingkrak dan menari. Saya sendiri suka Rasputin. Di samping itu, hanya Boney M yang bisa membawakan lagu Mary's Boy Child dengan riang (anda bisa coba versi Harry Belafonte jika ingin tahu bedanya). Saya membeli kompilasi lagu-lagu mereka di Jakarta. Albumnya berjudul 20th Century Hits.

ABBA - Live at Wembley Arena. 

Yang berikutnya, yang mungkin saja telah anda tunggu-tunggu, adalah ABBA. Cerita saya bermula dari penggalan piano yang saya dengar di masa lalu. Setelah saya dengar kompilasinya, barulah saya tahu bahwa itu ada lah permainan piano yang membuka lagu Gimme! Gimme! Gimme! (A Man After Midnight). Koleksi lagu-lagu terbaik mereka diberi judul ABBA Gold, sebuah judul yang sepadan dengan kualitasnya. Dimulai dari Dancing Queen dan diakhiri dengan Waterloo, tidak ada satu pun lagu yang mengecewakan. Oleh karena inilah saya langsung membeli tiket pertunjukan mereka ketika musikal Mamma Mia! tampil di Singapura. Yang mungkin jarang diketahui orang adalah betapa ABBA juga memukau di atas panggung. Anda bisa dengar album Live at Wembley Arena (atau tonton di YouTube) dan anda akan mengerti apa yang saya maksudkan.

Petualangan saya tentunya tidak akan komplit jika saya tidak mencari tahu tentang lagu My Way. Untuk lagu inilah saya membeli album the Best of Frank Sinatra. Setelah saya dengar, saya menyadari bahwa suara Frank dan caranya bernyanyi tidak bisa ditiru oleh siapa pun. Sebagai perbandingan, Elvis juga menyanyikan lagu yang sama, namun My Way lebih identik dengan Sinatra. Bicara tentang My Way berarti bicara tentang Frank Sinatra. Lagu-lagu lainnya seperti Something Stupid, Moon River dan Strangers in the Night bisa saya nikmati juga. Ternyata lagu seperti inilah yang disebut sebagai lagu pop tradisional.

Frank Sinatra menjadi koleksi terakhir saya di era kaset. Saya menetap di Jakarta setelah itu dan seorang kolega memperkenalkan aplikasi bernama Kazaa kepada saya. Saat itu adalah permulaan era MP3 dan Kazaa dipergunakan secara luas. Anda bisa temukan apa pun yang anda cari di Kazaa (walau setengah dari isinya mungkin virus, hehe). Pengetahuan saya tentang tembang lawas berkembang pesat pada periode tersebut. Saya akhirnya memiliki kesempatan untuk mendengarkan para pahlawan The Beatles, mulai dari Chuck Berry, Little Richard sampai dengan Buddy Holly. Saya juga menemukan karya-karya legendaris seperti American Pie yang ditulis oleh Don McLean. Saya bahkan mendapatkan sesuatu yang langka seperti Sad Eyes dari Robert John. Sudarman, seorang teman yang juga merupakan penggemar musik, turut menyumbangkan judul seperti Chirpy Chirpy Cheep Cheep yang dimainkan oleh Middle of the Road. Ketika saya meninggalkan Jakarta, saya sudah mencoba beraneka jenis musik, mulai dari lagu lama seperti Que Sera Sera yang dilantunkan oleh Doris Day sampai musik rock seperti It's My Life yang merupakan karya Bon Jovi. Saya rasa hanya aliran jazz yang saya hindari, haha.

Sekarang ini, saya hanya mendengarkan lagu-lagu di kala santai. Koleksi saya mencakup the Beatles, empat mantan anggota the Beatles, Bee Gees, ABBA, Simon & Garfunkel, Eric Clapton serta musik dari grup yang berasal dari zaman saya, misalnya Michael Learns to Rock, Oasis dan Guns N' Roses. Saya sudah berhenti menggunakan iPod sejak beberapa tahun yang lalu dan saya juga tidak berlangganan Spotify. Saya memilih CD, cara lama untuk mendengarkan album-album favorit saya. Saya rasa mungkin ini adalah salah satu keuntungan dari bertambahnya usia. Jika hidup adalah sebuah petualangan, maka tembang lawas ini membawa kembali kenangan-kenangan indah di kala muda...

Simon & Garfunkel - The Collection. 

Sunday, September 9, 2018

Life Before High School

These were the years of transition. I was no longer wearing the red shorts of primary school, but I was three years away from donning grey trousers of high school, so what I got at that time were the dark blue, knee-length pants. The student uniform was a dead giveaway that I wasn't a boy but not yet a man. When I put on the uniform for the first time ever, it was as if life itself grinned and said to me, "welcome to the very confusing of teenage years."

It did feel like that. After spending my childhood at Gembala Baik kindergarten and primary school, I moved on to Santu Petrus secondary school. Everything there was virtually new to me. New cultures, new friends. Looking back, Rudy Santyoso was likely to be the reason why I went to a different school. We were close friends in primary six and just like me, he went to Santu Petrus, too. In our naivety as kids, perhaps we had made a pact that we'd be best friends forever, then we embraced the unknown by registering to this new school. We drifted apart from here onwards, but never lost touch for the past 30 odd years. For the fact that we still meet and talk, I believe we're still good friends.

Rudy Santyoso, an old friend of mine, years after we left secondary school.

As we went separate ways, I made new friends. I got to know Parno and Sugendar through Budi Hendra. The former was a hilarious person possessing neither obvious talents nor capabilities. He soon joined the same boy scout team, the team of the unwanted bunch, haha. The latter was a good gamer, always bumped into him at mini Orbit Wonderland, our regular hangout after school. They came to my house quite often to play Sega Mega Drive and, now that I think of it, both Parno and Sugendar could have just did the firecracker transaction at my house, but no, they'd rather talk about it while playing Sega and did it at school instead. That's how they were caught red-handed and got their mouth stuffed with firecrackers while being displayed in front of teachers' office, haha.

By the way, talk about the unwanted bunch, these were either losers or nerds. I guess I was somewhere in between. Since I was also new and had nothing to brag about, I mingled with these mild-mannered people and steered clear from the rowdy boys with raging hormones. Getting out of their sight was a safer way to be, but one couldn't always be that lucky. There was this gang of bullies led by the fearsome Jimmy Lim and I must have stepped on his toes during recess time. Just when I thought I was doomed, another teenager came to my rescue. I immediately recognised him as the son of fried kway teow vendor near my house, the same guy that I often saw in mini Orbit Wonderland. His name was Sunarto and from then on, sometimes we rode home together on my little red bike with rear seat.
 
A bit of a history lesson here, bicycles were hot commodities then. I used to have a cool racing bike, but it was stolen in front of my house right after I washed it! If I have to say it truthfully, it was very embarrassing to ride that little red bike, especially when friends such as Budi Hendra or Lai Ci Liong were riding a very grand bicycle called Federal. But it wasn't without good memories, though. I remember one particular rainy day, when Sunarto rode it like mad and we sped ahead, leaving others behind. We laughed hysterically when we managed to pull the stunt. My white shirt was wet and full of dirt splattered from the rear wheel of the bike, but it was worth it.

Other commodity that was the in thing back then was Tamiya, the mini 4WD. That's how I got to know Eday. He was the one that sold me the upper body of Dash-4 Cannonball. I remember him riding to my home after school and, after convincing me that it was a very rare, he demanded a hefty sum of IDR 6K. In 1992, that was  a lot of money for a secondary one student! I guess I was both impulsive and intimidated by him (he was a much bigger boy than me at that time), so I gave him the money that I had saved for quite some time, haha.

Between 1992-1995, I seem to recall that I went to Singapore for one last time (and I wouldn't go to Singapore again until 2005). We were staying at People's Park Centre then and I went across the street to the newly opened Chinatown Point. There was a gaming arcade there and that's where I saw the so-called Desperation Attacks in Art of Fighting. When I saw it the first time, I thought I saw it wrongly! But it was real, because it seemed like anybody at the gaming arcade could do it. I spread the news when I went back to Pontianak and it became a myth that nobody at mini Orbit Wonderland would believe. It remained that way until one day, when Leo Layardi, a privileged friend of mine in the pre-internet era, got hold of the secret and showed it off. He quickly became the master of the game for like thirty minutes. Once he relented and showed them how to do it, he was beaten by the real masters there in no time, haha.

After trying to blend in for the first two years, my last year in secondary school was quite memorable. I was in the same class as Parno and Endrico for the first and only time. Our homeroom teacher, Pak Mauludi, was very fun and he was perhaps the only teacher that got away unscathed after slapping the whole class using the textbook he was teaching, haha. Then there was this girl called Ira, pretty and brave, a character way ahead of her time. And the highlight of the year was Pak Mauludi's birthday celebration, featuring his then-girlfriend and fellow teacher, Ibu Puspa. For once, we had a glimpse of teachers as normal human beings. They were just very much in love. It was a very beautiful life lesson.

Yes, life before high school might be the very confusing teenage years. It felt alienating in the beginning, but I was at home by the time I reached the end of it. I actually didn't attend the school graduation because the schedule clashed with my holiday in Jakarta. When I went back, Mum told me that I missed the registration for SMU Taruna, a new school for all the brilliant students. I couldn't care less (and I was never that brilliant anyway, haha). The way I looked at it, I was just in time for high school registration. I was referring to SMU Santu Petrus and the rest, as they say, is history...



Kehidupan Sebelum SMU

Masa SMP adalah tahun-tahun transisi. Saya tidak lagi memakai celana pendek merah Sekolah Dasar, namun masih tiga tahun lamanya sebelum saya memakai celana panjang abu-abu khas SMU, jadi apa yang saya pakai adalah celana biru tua yang hampir sepanjang lutut. Seragam ini menandakan bahwa saya bukan lagi seorang anak kecil, tapi juga masih jauh dari dewasa. Ketika saya mengenakan seragam SMP untuk pertama kalinya, hidup ini bagaikan tersenyum dan berbisik pada saya, "selamat datang di masa remaja yang membingungkan." 

Kesannya terasa seperti itu. Setelah melewati masa kecil saya di TK dan SD Gembala Baik, saya pindah ke SMP Santu Petrus. Baik budaya maupun teman-teman sekolah, semuanya terasa baru bagi saya. Kalau saya lihat kembali, saya mungkin pindah sekolah karena Rudy Santyoso. Kita adalah teman dekat di kelas enam SD dan seperti halnya saya, dia juga pindah ke Petrus. Mungkin saat itu kita pernah berjanji bahwa kita akan berteman selamanya, lalu memberanikan diri untuk pindah ke sekolah dengan lingkungan yang sama sekali baru. Agak ironis rasanya bahwa persahabatan kita justru mulai menjadi renggang sejak memasuki SMP, tapi syukurlah kita tidak pernah putus berteman. Selama 34 tahun terakhir ini, kita masih bertemu dan berbincang, jadi cukup aman untuk disimpulkan bahwa kita masih berteman dengan baik. 

Ketika jalan hidup membawa kita ke arah yang berbeda, saya pun mulai memiliki teman-teman baru. Dari Budi Hendra, saya berkenalan dengan Parno dan Sugendar. Parno ini merupakan sosok jenaka yang uniknya tidak disertai oleh talenta atau kemampuan apa pun. Dia lucu dan ceria, sesederhana itu. Karena itulah dia satu regu pramuka dengan saya, regu orang-orang tidak populer yang terpaksa berkumpul menjadi satu, haha. Akan halnya Sugendar, dia adalah seorang pemain game yang handal dan saya sering berjumpa dengannya di Orbit Wonderland mini, tempat bermain game di Jalan Dokter Setiabudi. Bersama dengan Budi Hendra, Parno dan Sugendar juga acap kali mampir ke rumah saya untuk bermain Sega Mega Drive. Kalau dipikirkan kembali, sebenarnya mereka bisa saja bertransaksi petasan di rumah saya, tapi mereka malah memilih untuk berjual-beli di sekolah. Mereka akhirnya tertangkap basah dan digiring ke kantor guru, lantas disuruh berdiri sambil mengulum petasan, haha.

Oh ya, bicara tentang kelompok orang-orang buangan, yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang hanya dipandang sebelah mata atau mereka yang pintar tapi tidak mempunyai teman. Saya sendiri adalah murid baru yang tidak menonjol, jadi saya otomatis bergabung bersama mereka dan menjauhi murid-murid yang bergaya berandalan. Kalau mau selamat, memang lebih aman begitu, tapi tidak selamanya saya bisa seberuntung itu. Suatu ketika, di saat istirahat, saya dipojokkan oleh gerombolan murid nakal yang diketuai oleh Jimmy Lim. Saya sempat pucat pasi saat dimaki, namun di saat genting, seorang teman muncul membela. Dia adalah Sunarto, anak pemilik kedai kwetiau yang tidak jauh letaknya dari rumah saya. Saya juga sering berpapasan dengannya di Orbit Wonderland mini. Setelah kejadian tersebut, tidak jarang kita pulang sekolah bersama, berboncengan menggunakan sepeda merah kecil saya yang memiliki tempat duduk di belakang. 

Menarik untuk dicatat bahwa sepeda adalah sesuatu yang bergengsi pada saat itu. Saya pernah memiliki sepeda balap, tapi hilang dicuri setelah saya cuci dan jemur di halaman rumah. Sepeda kecil berwarna merah itu adalah gantinya. Jujur saja, sebenarnya saya malu bersepeda berdampingan dengan teman-teman seperti Budi Hendra dan Lai Ci Liong yang memiliki sepeda Federal yang bagus. Kendati begitu, sepeda kecil itu bukannya tidak memiliki kenangan indah. Pada suatu hari, di kala hujan lebat, Sunarto membonceng saya dan mengayuh pedal seperti orang kalap sehingga kita melaju dari belakang. Kita tertawa saat melesat melewati mereka yang bersepeda bagus. Baju seragam saya yang putih akhirnya basah dan kotor oleh cipratan lumpur dari roda sepeda, tapi kegembiraan sesaat itu sepadan harganya. 

Komoditas lain yang trendi pada zaman itu adalah Tamiya yang juga terkenal dengan sebutan mini 4WD. Dari sinilah saya kenal dengan Eday. Dia adalah teman yang menjual bodi atas Dash-4 Cannonball pada saya. Saya ingat bahwa dia bersepeda ke rumah saya tidak lama setelah kita pulang sekolah dan setelah menjelaskan bahwa ini adalah barang yang sangat langka, dia menjualnya seharga 6000 rupiah, sebuah nominal yang tergolong tinggi untuk anak SMP kelas satu. Saya jadi gelisah. Di satu sisi, saya memang ingin memiliki koleksi ini. Di sisi lain, saya takut untuk berkata tidak pada Eday yang saat itu berbadan jauh lebih besar dari saya. Akhirnya saya serahkan uang yang telah saya tabung cukup lama itu kepadanya, hehe.

Pada kisaran tahun 1992-1995, saya masih sempat berlibur ke Singapura untuk satu kali terakhir (dan saya baru menginjakkan kaki di Singapura lagi di tahun 2005). Waktu itu kita tinggal di People's Park Centre dan saya iseng menyeberang jalan mengunjungi Chinatown Point yang baru dibuka. Ada sebuah tempat bermain game di sana dan di situlah saya melihat orang mengeluarkan jurus Desperation Attack di game Art of Fighting. Saya sempat mengira bahwa saya salah lihat, tapi jurus tersebut diulang beberapa kali sehingga saya menjadi yakin. Setelah pulang ke Pontianak, saya lantas bercerita pada teman-teman di Orbit Wonderland mini. Mereka baru percaya setelah Leo Layardi saya undang ke Orbit untuk memperagakannya. Saya sendiri tidak tahu dari mana Leo mendapatkan informasinya di era sebelum internet, tapi yang jelas dia membuat banyak orang terpukau. Setelah dipanggil dengan sebutan master dan dibujuk-rayu, akhirnya Leo pun bersedia membeberkan rahasianya. Begitu rahasia berpindah tangan, dia pun dibantai oleh mereka yang sebenarnya lebih jago dalam game ini, haha. 

Sesudah menyesuaikan diri selama dua tahun pertama, tahun terakhir di SMP terasa sangat berkesan. Di kelas tiga inilah saya sekelas dengan Parno dan Endrico untuk pertama dan terakhir kalinya. Wali kelas kita, Pak Mauludi, adalah guru yang menyenangkan dan juga mungkin satu-satunya guru yang lolos dari skandal setelah menampar satu kelas dengan buku pelajaran (di kala itu, hukuman fisik terhadap murid masih dianggap lumrah). Kemudian ada lagi murid wanita bernama Ira yang cantik dan pemberani, sebuah karakter unik yang heboh dan melampaui zamannya. Dan kenangan yang paling istimewa di tahun terakhir itu adalah perayaan ulang tahun Pak Mauludi yang juga menghadirkan pujaan hatinya, sesama rekan guru, Ibu Puspa. Itu adalah satu-satunya peristiwa dimana dua guru melepaskan atributnya dan tampil di depan murid-muridnya sebagai sepasang anak manusia yang sedang dilanda cinta. Bagi saya pribadi, itu adalah sebuah pelajaran hidup yang indah.

Ya, masa SMP adalah tahun-tahun yang membingungkan bagi seorang remaja yang sedang tumbuh dan mencari identitasnya. Pada awalnya terasa begitu asing, namun sangat berkesan pada akhirnya. Saya tidak hadir di acara perpisahan SMP karena saya sedang berlibur di Jakarta pada saat itu. Ketika saya kembali untuk mengambil rapor dan ijazah, ibu saya berkata bahwa sudah terlambat bagi saya untuk mendaftarkan diri ke SMU Taruna, sebuah sekolah unggulan yang baru dibuka. Akan tetapi, bagi saya sendiri, saya pulang tepat pada waktu pendaftaran sekolah dibuka. Sekolah yang saya maksudkan, sebagaimana yang kita ketahui, tentu saja SMU Santu Petrus...

Satu dari sedikit foto yang dari zaman SMP yang berhasil ditemukan.

Wednesday, September 5, 2018

The Perfect Image

As far as I could remember, Pontianak was a nice place for a kid to grow up, but I'm afraid it can be a tough place to grow old. We have this Teochew phrase tio ci tio heng, which can be roughly translated as annoying pretender. The phrase is used to refer to people who think highly of themselves and look down on others. To make it worse, in a small town where everyone knows everybody, the gossip down there travels faster than the internet. This is what makes Pontianak an unbearable and unforgiving place. 

Sometimes we discussed about this cultural phenomenon. For us who live elsewhere, it was baffling. We couldn't figure out why, but almost all of us agreed that people in Pontianak must be having too much spare time that they ended up speaking ill of someone else to kill time. At the same time, it's safe to say that we're glad we don't live there anymore. Outside Pontianak, people mind their own business. They tend to be less nosy plus we're not exactly world famous that they'll leave us alone. 

Things are rather different for those who live in Pontianak. They had to adjust their lives with such a deep-rooted culture. For example, a friend complained about how miserable her life was, but she couldn't do anything about it because what would other people say? 

The way she put it, it was as if what other people said was what mattered most. One would rather maintain the perfect image for others to see when the truth was he or she continued to suffer. It was very odd, not to mention irrational, but perhaps living for so long in such a judgemental environment would make you think that was the only way. 

That's when friendship made a difference. If she expected sympathy after sharing her story, she clearly didn't get that from us. We said things she didn't want to hear, but we meant well. Eventually one of us spoke of the hard truth: "whatever things that other people said, were they helping? If not, why bother listening?"

And that, I hope, was a wake up call. The moral of the story is, we often tried so hard to please others we ended up becoming what they said, even if it meant we had to go through an unnecessary hardship at the expense of our happiness. If that's the case, is it worth it? Why on earth we'd like to be what they think we are when we can simply be who we are? Furthermore, those that really care about us, those that we can really call friends and family, they can't be bothered with what people think we are, because they love us just the way we are. That's what counts. 

We can't control what people will say about us, but there's a fine line between constructive feedback and comments made out of jealousy. There were times when we felt like people were not being supportive, but if there was a certain level of truth in it that we couldn't deny, then be encouraged by it to change ourselves. On the other hand, when the remark was unfounded and made simply to hurt you, then it's not worth entertaining it. Life must be very tiring if we always have to explain ourselves and win every argument, therefore just let it go. Keep calm and carry on.

Lisan, a great example of one who enjoys to be herself. 


Citra Diri Yang Sempurna

Saya selalu merasa bahwa Pontianak adalah tempat yang menyenangkan bagi seorang anak untuk tumbuh dewasa, tetapi mungkin tidak demikian halnya bagi mereka menghabiskan hidupnya di sana. Sering kali saya dengar pepatah tio ci tio heng terucapkan. Ungkapan dalam bahasa Tiociu ini artinya sikap berpura-pura yang menjengkelkan. Orang-orang yang mendapat gelar ini biasanya adalah mereka yang terlalu mengagungkan diri mereka dan memandang remeh orang lain. Lebih buruk lagi, di kota kecil dimana banyak orang saling mengenali satu sama lain, gosip menyebar lebih laju dari internet. Hal-hal berikut inilah yang kadang membuat hidup di Pontianak terasa tidak menyenangkan. 

Terkadang kita berdiskusi tentang fenomena yang telah menjadi budaya lokal di kota Pontianak ini. Bagi kita yang tinggal di luar kota, hal ini tidak mudah untuk dimengerti. Walau kita tidak berhasil menemukan apa alasannya, bisa dikatakan kita sepakat bahwa kehidupan di Pontianak itu tergolong santai sehingga orang memiliki banyak waktu luang untuk bergosip-ria. Dari sudut pandang ini, kita merasa cukup bersyukur bahwa kita tidak lagi tinggal di sana. Kehidupan di luar Pontianak jelas berbeda karena orang cenderung lebih sibuk dan tidak memiliki waktu untuk mengurusi orang lain. 

Akan halnya mereka yang bertempat tinggal di Pontianak, mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang sudah mengakar itu, sebab kesalahan sepele dalam bersikap atau berbicara bisa menjalar dan dibesar-besarkan dari mulut ke mulut sehingga seseorang bisa terkucil dari pergaulan atau terganggu bisnisnya. Sebagai contoh, seorang teman mengeluh tentang penderitaan hidupnya, tapi dia harus tetap menjalaninya, sebab apa kata orang kalau dia mengambil tindakan drastis untuk mengubah hidupnya? 

Dari cara penyampaiannya, ada kesan bahwa yang paling penting itu adalah penilaian orang terhadap dirinya. Aneh rasanya jika kita harus menjalani hidup penuh derita hanya demi menampilkan citra diri yang sempurna kepada orang lain. Sungguh tidak rasional, tetapi mungkin hidup dalam lingkungan yang suka menghakimi orang lain bisa membuat kita berpikir bahwa inilah satu-satunya pilihan.  

Di sinilah peran persahabatan dalam membuat perubahan. Jika dia mengira akan mendapat simpati setelah berbagi cerita, maka itu tidak ia dapatkan dari kita. Justru sebaliknya, kita memberikan pendapat yang tidak ingin ia dengar, tapi sebenarnya baik maksudnya untuk dia. Pada akhirnya satu dari kita berkomentar dengan lugas, "apakah pendapat orang-orang ini membantu dan membuat hidupmu lebih baik? Kalau sebenarnya tidak penting, lantas kenapa harus dipikirkan?"

Dan itu, saya harap, menjadi komentar yang membuatnya sadar. Moral dari cerita adalah, terkadang kita berusaha terlalu keras untuk terlihat baik di depan orang sehingga tanpa sadar kita menjadi persis seperti yang mereka katakan, meskipun itu berarti kita harus menjalani penderitaan yang tidak perlu dan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri. Kalau begitu, apakah sepadan harganya? Kenapa kita mau-maunya menjadi apa kata orang kalau kita bisa menjadi diri kita sendiri? Lagipula, bagi mereka yang sungguh peduli pada kita, mereka yang bisa kita panggil sebagai keluarga dan teman, tentunya mereka tidak peduli komentar sinis tentang diri kita karena mereka menerima kita apa adanya. Itulah sebenarnya yang lebih penting.  

Kita tidak akan pernah bisa mengendalikan apa yang akan diucapkan orang lain tentang kita, tapi perlu disadari bahwa ada perbedaan menyolok antara saran yang membangun dan komentar yang muncul dari kedengkian. Ada kalanya kita berpikir kenapa orang-orang tidak mendukung kita, tapi jika ada nilai kebenaran yang tidak bisa disangkal dari ucapan mereka, mungkin kita perlu mengakuinya dan terpicu untuk mengubah diri kita. Di sisi lain, ketika sebuah komentar itu tidak berdasar dan diucapkan untuk melukai perasaan kita, maka ucapan seperti itu tidak perlu dihiraukan. Hidup kita pastilah sangat melelahkan kalau hanya dihabiskan untuk terus-terusan menjelaskan siapa kita kepada orang lain, oleh karena itu, biarkanlah. Tidak semua komentar perlu didengarkan, apalagi ditanggapi. Seperti slogan Inggris, tetaplah tenang dan jalani hidup anda.

Parno, pria yang senantiasa apa adanya dalam menikmati hidup.