Total Pageviews

Translate

Tuesday, September 26, 2017

Padang Rice

When I was a primary school student, there were these two eateries that I always found intriguing. One was Rumah Makan Sahara, which I would pass by when I was on my way to school, and the other was Rumah Makan Barito, which I also passed by when I went home after school. They both had this mysterious display made of plates lined up side by side and stacked on top of each other. I never really figured out what that strange formation of plates really was for until I grew up and, much to my own amusement, I still never step into and eat at either one both eateries. May be I should do that one day, for the sake of having a closure. Anyway, by not understanding what I saw when I was younger, I actually missed out what was arguably the most famous food from Indonesia for easily the first 18 years of my life.

I first tried Nasi Padang with my friend and band mate Susanto Phang. It was late at night, perhaps around 11pm Pontianak time, after our high school graduation party at the public swimming pool. I didn't eat during the party as I was nervous about our upcoming band performance then (I remember doing Oasis on the top of the platform at the pool side where audience seats were located), so after the party was over, we went to Melda, to the one before Rumah Makan Barito (I was never aware of its existence, likely due to the fact that it was just an obscure tiny stall). What we had was, probably, the leftover for the day. It was rice with fried tofu, a bit of beef rendang, cassava leaves and the coconut milk gravy.

The dishes was served at Rumah Makan Sederhana in Tanjungpinang!

It was so simple and might not even sound tempting, but if there was any learning curve in life about how the look could be deceiving, this had to be the one! I was skeptical prior to my first bite, but I was a convert the moment I was done with my package of rice. Clearly satisfied that he was the one who introduced me to this life changing experience, Susanto reveled in his I-told-you-so moment.

I learnt later that Melda was actually one of the most popular joint for Nasi Padang in my hometown. As I grew to like it, I joined my Hotel Kartika colleagues whenever they opted for Nasi Padang (I think the name of the eatery was Darmias, but it no longer exists as it was burnt down during the fire incident). We always had the usual dishes, ie. the ones I named earlier plus others like perkedel (fried mashed potatoes), bakwan jagung (corn fritters) and fried or grilled chicken.

I thought that was it for Nasi Padang, but little did I know that my journey had just begun. It was when I moved to Jakarta that I got to know the real deal. I became aware of other menus such as fried beef lung, beef tendon and fish eggs. After that, I went for the national standard, Rumah Makan Sederhana, the franchise well-known for its irresistible green chilli and Ayam Pop (the light colored fried stewed chicken), and it became my favorite restaurant since then. By the way, sederhana means humble in Bahasa Indonesia, but when I got the bill, I often joked that the price was not humble at all, haha.

The dishes from the left: the beef tendon, the cassava leaves and the beef lung.
Location: Rumah Makan Sederhana, Kelapa Gading, Jakarta.

Nasi Padang is so popular and unique due to two main reasons. First, it has plenty of dishes that one can choose. If you count the menus I mentioned above, there are already 12 of them. There are still many more such as egg or prawn with gravy, beef jerky, fried fish, etc. The dishes have a rich taste as if they don't hold back in order to give you the best gourmet experience ever. Secondly, it is about how the food is presented. All the dishes are served until they fill up the whole table. I always love to see the reaction of the foreigners that come to a Padang restaurant for the first time, because they'll have this funny, confused look due to the unexpected element of surprise.

While we're still on this subject, another thing worth mentioning is when you ask for the bill. The waiter will come and note down what you have eaten, but sometimes the color of the gravy from different dishes can look pretty similar, so if you finish the whole dish, leaving only the gravy on the plates, only God knows whether the waiter actually lists down the correct dishes or not!

I always crave for Nasi Padang from time to time. In Singapore, Sari Ratu is the only restaurant that manages to achieve the quality that is almost as authentic as the one in Indonesia. However, when the temptation of having two plates of rice with my favorite dishes such as cassava leaves, green chilli, beef lung and tendon soaked on coconut milk curry was ever unbearable, that was when I would at least cross the sea and head to Batam. Oh yes, I would go the distance just for a taste of Indonesia...

All the happy faces, after the meal at Sari Ratu.

Nasi Padang

Ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, ada dua tempat makan yang selalu menarik perhatian saya. Yang pertama adalah Rumah Makan Sahara yang selalu saya lewati sewaktu saya menuju sekolah dan yang satu lagi, yang selalu saya lintasi saat pulang sekolah, adalah Rumah Makan Barito. Dua tempat makan ini memiliki etalase yang unik dimana piring-piring diletakkan berjejer dan saling bertumpukan sehingga membentuk dua atau tiga baris piring. Saya baru memahami formasi piring yang aneh ini bertahun-tahun kemudian. Lucunya, sampai sekarang saya belum pernah mampir untuk bersantap di dua rumah makan ini. Mungkin ada baiknya saya ke sana untuk mengakhiri rasa penasaran saya. Akan tetapi inti dari cerita singkat ini adalah, karena saya tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka jual, selama 18 tahun pertama dalam hidup saya, saya melewatkan apa yang rasanya layak disebut sebagai makanan paling terkenal dari Indonesia.

Rumah Makan Sahara, Pontianak.
Source: Google Maps.

Saya pertama kali mencoba Nasi Padang karena diajak oleh teman yang juga satu grup musik dengan saya, Susanto Phang. Saat itu sudah cukup malam, mungkin sekitar jam 11 waktu Pontianak, seusai acara pesta perpisahan sekolah di kolam renang Oevang Oeray. Saya tidak makan malam karena agak gugup sebelum tampil (sewaktu pentas, kita memainkan lagu Oasis di panggung yang terletak di tempat duduk penonton di samping kolam). Susanto lantas membonceng saya ke Melda, tempat makan yang letaknya beberapa blok sebelum Rumah Makan Barito (aneh juga bahwa sebelumnya saya tidak pernah menyadari keberadaan cabang Melda ini, mungkin karena tempatnya yang kecil mungil). Di sana kita membeli apa yang tersisa dari masakan hari tersebut: sebungkus nasi dengan tahu, sedikit rendang, daun singkong dan kuah kari. 

Kelihatannya sangat sederhana dan bahkan mungkin tidak mengundang selera makan, tapi jika di dalam hidup ini ada proses pembelajaran tentang bagaimana penampilan bisa mengecoh, maka ini adalah salah satunya! Saya sangat merasa ragu sebelum makan, tapi setelah saya tuntaskan satu bungkus nasi tersebut, wawasan saya langsung terbuka. Susanto tersenyum puas karena dia berhasil menjadi orang yang memperkenalkan saya dengan satu pengalaman yang mengubah hidup.

Belakangan baru saya ketahui bahwa Melda termasuk tempat makan yang populer di Pontianak. Karena saya mulai menyukainya, saya turut serta apabila teman-teman kantor saya di Hotel Kartika memilih Nasi Padang sebagai menu makan siang (kita biasanya membeli di Darmias. Kalau tidak salah ingat, tempat makan ini sudah tidak ada lagi semenjak kebakaran). Selain menu yang saya sebutkan sebelumnya, kadang kita juga memesan perkedel, bakwan jagung dan ayam bakar atau goreng.

Saya mengira itu adalah semua menu yang tersedia untuk Nasi Padang, tapi ternyata perjalanan kuliner saya baru dimulai. Ketika saya pindah ke Jakarta, barulah saya menyadari, apa sebenarnya yang dinamakan Nasi Padang itu. Saya jadi tahu bahwa ada menu-menu lain seperti paru, kikil dan telur ikan. Setelah itu, saya mencoba standar nasional, Rumah Makan Sederhana, yang terkenal dengan cabe hijau dan ayam pop-nya. Rumah Makan Sederhana akhirnya menjadi restoran favorit saya. Menarik untuk dicatat, meski namanya adalah Rumah Makan Sederhana, setiap kali saya melihat tagihannya, saya biasa bercanda bahwa harga yang tertera tidak terlihat sederhana, haha.

Sajian makanan di Restoran Garuda, Kelapa Gading, Jakarta.

Kalau saya amati, Nasi Padang itu populer dan unik karena dua alasan utama. Pertama, banyaknya sayur dan lauk-pauk yang bisa dipilih. Jika anda menghitung menu yang sudah saya sebutkan di atas, itu saja sudah ada 12 macam masakan. Masih ada lagi yang lain seperti telur, udang, dendeng, ikan dan masih banyak lagi. Yang terpenting dari beraneka macam masakan ini adalah kualitas rasanya yang gurih dan lezat sehingga memberikan kepuasan dalam bersantap yang tiada tara. Yang kedua adalah tentang bagaimana Nasi Padang ini disajikan. Semua masakan ini digelar sampai penuh di atas meja. Saya selalu senang melihat reaksi orang asing yang datang restoran Padang untuk pertama kalinya, sebab mereka akan terperangah karena belum pernah melihat cara penyajian yang seperti ini. 

Selagi kita masih di topik penyajian makanan ini, satu hal unik yang pantas disebut di sini adalah ketika anda memanggil bon tagihan. Seorang pelayan akan datang dan mencatat apa yang sudah dimakan, tapi terkadang warna dari kuah kari untuk beberapa makanan yang berbeda itu terlihat sama, jadi jika anda menghabiskan makanan dan hanya menyisakan kuahnya di piring, hanya Tuhan yang tahu apakah pelayan tersebut menuliskan menu yang benar di catatannya!

Dari waktu ke waktu, di dalam diri saya selalu muncul rasa ingin menyantap Nasi Padang. Di Singapura, Sari Ratu adalah satu-satunya restoran yang berhasil mencapai kualitas yang hampir sama otentiknya dengan Nasi Padang di Indonesia. Akan tetapi, jika godaan untuk menikmati dua piring nasi dengan lauk daun singkong, cabe hijau, paru dan kikil yang disajikan dengan kuahnya sudah di ubun-ubun, saya biasanya tidak sungkan untuk menyeberang laut menuju Batam atau bahkan berkelana lebih jauh lagi. Oh ya, demi kenikmatan citra rasa Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak pulang... 

Parno dan Ardian di Melda, Pontianak, 2014. 


No comments:

Post a Comment