Total Pageviews

Translate

Wednesday, August 30, 2017

Symphony Of The Goddesses

If it was entirely up to me, my younger daughter would have been named Zelda. As the elder one was called Linda, their names would have rhymed perfectly. The idea of the name Zelda, of course, came from the game. I fell in love with it at first sight and now, 30 years later, I still do. It is no ordinary game. It is, as the name says it all, a legend. Almost every game in the series was beautifully crafted, bringing us a brilliant adventure like no other.

Then there is the music, an important aspect and integral part of Zelda. The theme song is majestic, giving an impression that you are into something epic. When Link meets Zelda, the familiar background music is calm and gentle, convincing us it is one moment in time when a princess grants us an audience. The jingle that plays as Link discovers something sounds curiously satisfying. Then we have Link learning all sorts of tunes with his ocarina or flute, depends on which game you are playing.

In my case, the kid who played the Legend of Zelda, the Adventure of Link and a Link to the Past is the same person as the adult who played Phantom Hourglass, Spirit Tracks, Ocarina of Time, Majora's Mask, a Link Between Worlds and many more. When I said 30 years as I began writing this, I wasn't kidding. It has been that long and its music, too, has been an important aspect and integral part of my life.

So imagine how I felt when I found out that Symphony Of the Goddesses was coming to town. I was tempted, but at the same time hesitated. My one and only experience with the likes of concerto was, perhaps, 10 years ago, when I tried out Mozart, and it wasn't a pleasant experience. I mean, I read about Mozart and I always admire the man who is forever known as a musical genius, but when it comes to his art, I fail to appreciate it for I don't understand it at all. Classical music is no Rock n' Roll and when I attended the Mozart piece, I had no idea which song the musicians were playing.



As I was in doubt, I just posted the link on Facebook and wrote the word tempting as a status. Hady, a friend of mine, picked up the mixed signal, saying that he'd like to go, too, so it became a done deal. More than a month later, we were sitting inside the MasterCard Theatres at the Marina Bay Sands, waiting for the show to begin.

There was a short introduction from Shigeru Miyamoto before the music started. The man who spearheaded the creation of the game offered an insight that the theme song sounds like what we hear today due to the limitation of Nintendo sound chips at that time. It's amazing that the Nintendo team could come up with something this good even when the odds were not in their favor!

Then conductor Jessica Gethin came on stage. I'm no expert in music conducting and always puzzled by what conductors do (they seem to be just stand there and wave the baton with no specific pattern), but as this was a Zelda, it was as if she was holding the magical Windwaker baton. She moved seamlessly and at ease, enjoying the music as she prompted the musicians to play and the choir to sing. At the background, the screen showed the original Legend of Zelda in the glorious 8-bit format. As I listened to the theme song, I watched with an excitement of that kid who played the game many years ago. All those good times I had felt like coming back to me.

As the show progressed, the scenes on the screen were changing every time the music ended. As for the tunes, some were familiar enough for me to recognize it immediately, but for those from the games that I never played, that was where the visuals came handy. It went to show that Windwaker was one legendary adventure with phoenix and dragon, told in a cartoon style, whereas the Twilight Princess and Skyward Sword were more serious. During the encore, I was surprised that they'd do something obscure such as Link's Awakening. Then, as we're having the coolest thing going on with Nintendo Switch, of course they had to close it with Breath of the Wild.

A personal favorite? I was glad that Symphony of the Goddesses did a medley from a Link to the Past at the end of the show, before the encore. I was especially ecstatic when they played the theme from Dark World, an upbeat theme worthy of the adventure. It was great. I have the fondest memories of the game (believe me, it was the best game in the 90s) and the cherished moments were multiplied by the release of a Link Between Worlds. The whole performance was like a quick recap of the journey, started from the time Link woke up to his final battle with Ganon. It was perfect!

And as we left the theatre, I found myself whistling the tune. I just couldn't help it. This was Zelda we were talking about. It was irresistible, wasn't it?

Before the symphony began.

Simfoni Dewi-Dewi

Jika proses pemberian nama sepenuhnya bergantung pada saya, putri kedua kami pasti sudah bernama Zelda hari ini. Kakaknya bernama Linda, jadi nama mereka akan memiliki rima yang sama. Bagi yang bisa menerka, nama Zelda sudah pasti berasal dari game the Legend of Zelda. Game ini langsung menjadi favorit sejak saya memainkannya dan sekarang, setelah 30 tahun berlalu, saya masih menyukainya. Bagi saya, ini bukan game biasa, melainkan sebuah legenda. Hampir setiap game Zelda membawa kita ke sebuah petualangan yang tidak tertandingi oleh game lainnya. 

Berbicara tentang Zelda berarti juga berbicara tentang musiknya, bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari game itu sendiri. Lagu utamanya begitu menggugah, seakan-akan kita benar-benar sedang menjalani sebuah petualangan. Sewaktu Link bertemu Zelda, lagu yang mengiringi pertemuan tersebut bernuansa tenang, mengingatkan kembali bahwa ini adalah sebuah momen ketika seorang tuan putri sedang menerima tamunya. Lagu pendek yang terdengar tatkala Link menemukan rahasia memberikan kesan bahwa misteri telah terungkap. Lantas ada juga penggalan lagu-lagu pendek yang dipelajari Link dengan ocarina atau seruling, tergantung game apa yang kita sedang mainkan.

Bagi saya pribadi, bocah yang dulu bermain game the Legend of Zelda, the Adventure of Link dan a Link to the Past kebetulan adalah orang yang sama dengan pria dewasa yang bermain game Phantom Hourglass, Spirit Tracks, Ocarina of Time, Majora's Mask, a Link Between Worlds dan masih banyak lagi. Ketika saya menuliskan 30 tahun di paragraf pertama, saya tidak sedang bercanda. Sudah selama itu saya bertualang bersama Zelda dan tentu saja musiknya pun menjadi bagian yang penting dan tidak terpisahkan dari hidup saya.

Oleh karena itu, bisa dibayangkan bagaimana rasanya ketika saya tahu bahwa Symphony Of the Goddesses akan tampil di Singapura. Saya ingin menyaksikan pertunjukannya, tapi di satu sisi saya juga merasa ragu. Satu-satunya pengalaman saya dalam menonton konserto ada sekitar 10 tahun yang lalu, ketika saya menghadiri konser musik Mozart, dan itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Saya sering membaca dan selalu mengagumi Mozart yang jenius, tetapi saat mendengarkan gubahannya secara langsung, saya gagal paham. Musik klasik ternyata berbeda jauh dengan Rock n' Roll dan saat mendengarkannya, saya tidak ada ide sama sekali, ini sebenarnya lagu apa.



Saya tidak yakin dan iseng menuliskan kata tempting sebagai status di Facebook sekaligus menampilkan cuplikan konser di bawahnya. Rupanya Hady, teman saya, melihat status ini dan berkomentar bahwa dia juga berminat, maka kita pun membeli tiketnya. Satu bulan kemudian, kita duduk di MasterCard Theatres di Marina Bay Sands, menanti dimulainya pertunjukan. 

Acara dibuka oleh kata sambutan dari Shigeru Miyamoto. Orang yang menciptakan game ini membeberkan rahasia bahwa lagu utama yang terdengar gegap-gempita ini sebenarnya diciptakan seperti itu karena keterbatasan komponen suara di mesin Nintendo. Ini satu hal yang patut dikagumi dan dicontoh dari orang Jepang karena keterbatasan yang ada tidak membuat mereka mencari jalan pintas, tapi justru membuat yang terbaik dari keterbatasan tersebut.

Setelah itu, konduktor Jessica Gethin pun naik ke panggung. Saya tidak pernah mengerti apa sebenarnya peran seorang konduktor musik karena mereka sepertinya hanya melambai kiri-kanan secara sembarangan, tapi berhubung ini adalah Zelda, dia terlihat seperti sedang mengayunkan tongkat Windwaker, salah satu senjata utama di game dengan nama yang sama. Wanita tinggi berambut pirang ini terlihat begitu santai dan menikmati saat ia memimpin lagu, mengarahkan musisi untuk memainkan instrumen tertentu dan memberi isyarat bagi penyanyi kur untuk bernyanyi. Sementara itu, di layar yang ada di latar, game pertama dalam format 8-bit yang khas Nintendo itu pun ditampilkan. Saya menikmati pertunjukan itu dengan kegembiraan seorang anak kecil yang memainkan game tersebut puluhan tahun silam, bagaikan terbuai oleh kenangan masa lalu. 

Selama pertunjukan berlangsung, tampilan di layar senantiasa berubah setiap kali musik berakhir. Akan halnya musik yang dimainkan, beberapa di antaranya bisa langsung dikenal, tapi untuk musik yang berasal dari game yang tidak pernah saya mainkan sebelumnya, tampilan di layar menjadi sangat membantu. Dari situ juga bisa dilihat bahwa Windwaker adalah petualangan legendaris yang melibatkan naga dan phoenix, namun dikisahkan dalam animasi kartun yang lucu dan santai, sedangkan Twilight Princess dan Skyward Sword memiliki kesan yang lebih serius. Ketika konduktor kembali ke panggung untuk dua lagu terakhir, mereka memainkan lagu dari Link's Awakening, game Zelda dari era Game Boy yang tidak begitu dikenal. Sebagai penutup, karena sekarang Nintendo Switch sedang ramai dibicarakan, tentu saja mereka harus memainkan lagu dari Breath of the Wild.

Tentang momen favorit selama pertunjukan, saya senang mereka memainkan rangkaian musik a Link to the Past. Saya tersenyum ketika musik utama yang mengiringi perjalanan Link di Dark World melantun. Benar-benar luar biasa. Saya memiliki kenangan tersendiri tentang game ini (saya percaya ini adalah game terbaik di dekade 90an) dan kenangan ini seperti berlipat ganda ketika lanjutannya, Link Between Worlds, dirilis. Kembali ke pertunjukan di teater, rasanya seperti menyaksikan rangkuman singkat dari petualangan Link, mulai saat dia dipanggil Zelda dalam tidurnya sampai pada pertarungannya melawan Ganon. Sempurna! Dan musiknya masih terngiang-ngiang ketika saya meninggalkan aula, membuat saya bersiul tanpa sadar...

Symphony of the Goddesses
(Photo credit: Symphony of the Goddesses - Facebook page)

Sunday, August 27, 2017

The Salted Egg Fish Ball Saga

Nothing lasts forever, even cold November rain. Of all the people I know, nobody could relate to the lyrics more than this friend of mine. Hardy sang the song wholeheartedly when he was in the band and he knew what it meant when his was in such situation. The construction materials business that he had done for a decade went down the drain in a blink of an eye. Whatever work and effort that followed afterwards also failed. Suddenly his future looked bleak and uncertain, especially when he got a family to take care of. Then he thought of something that could be done within his means and fast depleting savings: food business. On October 2014, he opened his salted egg fish ball stall at Pasar Delapan Alam Sutera, making use of a small kiosk with the size of 2.5 x 2.5 meters.

At a glance, his foray into food and beverages world seemed like an odd choice, but apparently Hardy always had a lifelong culinary hobby. It also helped that he had a brother-in-law, Handoko, who ran this little-known salted egg fish ball eatery in Pontianak. At wit's end and with no better options in hand, Hardy went back home to learn the 18-year-old family recipe. Once he mastered it, he crossed the sea again to make good use of the skill. It was his last resort. He wasn't sure, but he knew he just got to try it.

Yours truly, enjoying salted egg fish balls soup and a bowl of noodles.

Back to Tangerang, his stomping ground, he did his survey. With no car as a mean of transport, it only made sense that he started somewhere nearby and familiar. He chose Pasar Delapan due to its close proximity and the fact that there was quite a significant number of West Kalimantan people there. As salted egg fish ball was a rather unusual cuisine for the locals, having some potential customers that might have heard about it was definitely a plus point.

As expected from the beginning of every good story, it was a rough ride. The early routine was punishing, but at least he didn't have to do it alone. Supported by his faithful wife, Henny, the couple would wake up at 3.30am to transport the homemade fish balls to the market and made sure that the broth was already boiling before 7am. Once he had finished selling for the day, they would spend their late afternoon at home to prepare the next batch of fish ball for tomorrow. Upon the task completion at around 10 pm, Hardy then rushed to Muara Angke fish market to buy his ingredients. He'd really call it a day at around 1am to catch few hours sleep before starting the next cycle of his daily routine. This monotonous activities would last for about six months.

He learnt the ropes afterwards. At the same time, his business was also picking up, therefore it was possible for him to improve. He rented a shop house and shifted his stall there, making it more presentable for him and comfortable for the customers. He also hired the staff to help him out at the eatery and at home, where he would prepare the fish paste for them to make the fish balls. He, too, had the permanent vendors for fish and other cooking ingredients now.

The man...

Hardy paid a special attention to the fish because it was the base of what he was selling. He used yellow tailed snapper because the meat was firm and it didn't or smell taste too fishy. In order to give the best for the customers, he used only the export grade quality, which meant the fish was skinned and frozen right away on the fishing boat after it was made into fillet, hence the fresh result. This was then made into fish balls, bitter gourd fish balls, stuffed tofu, fish stick and, of course, the special variant of fish ball that became the brand name.

The brand...

All these were combined to make up various dishes such as Pontianak fish porridge, fish soup, assorted noodles, kway teow, etc. Sitting on top of the menu list was the enigmatic salted egg fish balls. It was such a strange name that many food lovers would find it irresistible. As it started gaining an unprecedented popularity, Trans 7, a TV channel, sent their food detectives, Sasha Sylvia and Lolita, to investigate. Chef Adzan Budiman also tagged along for the mission. After that, Hardy was invited to a TV programme called Pagi Pagi by Net TV to discuss about the salted egg fish ball with the hosts Hesti and Andre Taulany. Since then, the particular menu had been enjoyed not only by regular customers, but also the likes of Vice Governor of West Kalimantan, Mayor of Singkawang and so forth.

The signature...

Nothing lasts forever, even cold November rain. And Hardy can finally take a breath and look back. All the hard work he had done definitely paid off. Nevertheless, what's next for the man? He is toying with an idea of a second stall to cater for the customers that are staying far from Alam Sutera. We will definitely hear from him via Facebook and Instagram (you can search using the keyword: bakso ikan telur asin Ahan), but until then, perhaps we can drop by and have a bowl of salted egg fish balls first. How about that, eh?

At the TV Programme, Pagi Pagi by Net TV

Sebuah Kisah Bakso Ikan Telur Asin

Nothing lasts forever, even cold November rain. Dari semua orang yang saya kenal, rasanya tidak ada yang lebih memahami lirik lagu Guns n' Roses ini selain teman saya yang satu ini. Hardy menyanyikan lagu ini dengan sepenuh hati ketika dia berada di band dan dia tahu apa artinya ketika hidupnya dirundung masalah. Bisnis bahan bangunan yang sudah digelutinya selama 10 tahun kandas begitu saja dalam sekejap mata karena sesuatu dan lain hal. Apa pun usaha yang ia lakukan setelah itu tetap tidak membuahkan hasil. Tiba-tiba saja masa depannya terasa suram, apalagi saat ia teringat dengan keluarga yang harus ia nafkahi. Setelah lama berpikir, ia merasa bisa melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemampuan dan modal yang tersisa: bisnis makanan. Pada bulan Oktober 2014, ia pun berjualan bakso ikan telur asin di Pasar Delapan Alam Sutera di kios mungil KV 12 yang berukuran 2,5 x 2,5 meter.

Menu-menu yang tersedia.

Sekilas pandang, terjunnya Hardy ke dunia makanan terasa janggal, tapi ternyata dia memang memiliki hobi memasak dari sejak dulu. Hardy pulang ke Pontianak untuk belajar dari adik iparnya, Handoko, yang telah mewarisi usaha ayahnya dalam berjualan bakso ikan telur asin. Setelah menguasai resep keluarga yang sudah hampir berusia 20 tahun, Hardy menggunakannya sebagai jurus pamungkas. Di kala itu ia tidak ada pilihan lain, jadi dia hanya bisa mencoba dengan sepenuh hati dan segenap upaya.

Sekembalinya ia ke Tangerang, Hardy lantas melakukan survei. Karena tidak memiliki mobil sebagai sarana transportasi, dia memutuskan untuk memulai dari tempat yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Selain dekat, Pasar Delapan juga merupakan tempat di mana banyak orang Kalimantan beraktivitas. Karena bakso ikan telur asin bukanlah menu yang dikenal baik oleh orang lokal, adanya calon pelanggan yang pernah mendengar tentang masakan ini tentunya layak dipertimbangkan sebagai nilai tambah.

Seperti yang bisa ditebak dari setiap permulaan cerita sukses, yang terjadi pada awalnya adalah kerja keras. Rutinitas Hardy benar-benar melelahkan, tapi syukurlah ia tidak perlu menjalaninya sendiri. Didukung oleh istrinya, pasangan ini bangun jam 3.30 pagi untuk mempersiapkan dan membawa bakso ke pasar. Setelah itu, kuah ikan harus dipastikan mendidih sebelum jam 7 pagi, sebab pelanggan pertama akan segera datang untuk sarapan. Seusai berjualan dari pagi hingga siang menjelang sore, Hardy dan Henny kemudian pulang ke rumah untuk membuat bakso yang akan dijual keesokan harinya. Setelah itu, Hardy akan bergegas ke pasar Muara Angke untuk membeli bahan-bahan masakannya. Biasanya ia baru bisa terlelap sekitar jam 1 pagi. Beberapa jam kemudian, mereka sudah harus bangun lagi untuk memulai aktivitas yang sama di hari berikutnya. Kegiatan yang monoton ini berlangsung kurang-lebih enam bulan lamanya.

Beraneka bakso dan tahu, siap untuk dimasak dan disajikan.

Lambat laun Hardy mulai mengerti seluk-beluk pekerjaan baru yang ditekuninya. Pada saat bersamaan, bisnisnya pun mulai membaik, karena itu ia bisa melaksanakan berbagai terobosan yang sudah dipikirkannya. Ia menyewa ruko yang lebih besar sebagai tempat yang lebih layak dan nyaman untuk berjualan. Selain itu, dia juga mempekerjakan karyawan, baik di toko maupun di rumah. Dengan demikian, Hardy cukup mempersiapkan adonan bakso dan karyawannya bisa lanjut membuat bakso sementara dia berjualan di toko. Dia kini berlangganan di suplier tetap untuk ikan, telur asin dan bahan-bahan lainnya.

Hardy sangat serius dengan mutu ikan yang ia pakai untuk membuat bakso. Dia menggunakan ikan ekor kuning karena dagingnya yang tidak terlalu lembek dan amis. Untuk kepuasan pelanggan, Hardy hanya memakai kualitas ekspor, dimana ikan yang ditangkap langsung diproses menjadi fillet dan dibekukan di kapal ikan untuk menjamin kesegaran ikan tersebut. Bahan dasar ini kemudian diolah menjadi bakso ikan polos, bakso pare, tahu isi ikan dan tentu saja bakso ikan telur asin.

Detektif Rasa, Sasha Sylvia dan Lolita.

Semua bahan-bahan makanan ini kemudian dikombinasikan menjadi berbagai menu, mulai dari bubur ikan Pontianak, sup ikan, yam mie, yam kwetiau dan yam bihun, lengkap dengan minum tradisional bernuansa segar seperti es jeruk nipis dan es cincau. Dari daftar menu, sudah bisa dipastikan bahwa yang paling menarik perhatian adalah bakso ikan telur asin. Nama hidangan yang tidak lazim ini menarik perhatian banyak pencinta makanan dan kian lama kian terkenal. TV swasta Trans 7 bahkan mengirimkan Detektif Rasa, Sasha Sylvia dan Lolita, untuk melakukan investigasi. Misi itu mereka emban bersama koki Adzan Budiman. Setelah itu, Hardy juga diundang untuk mengisi acara Pagi Pagi di Net TV untuk berdiskusi tentang bakso ikan telur asin bersama pembawa acara Hesti dan Andre Taulany. Sejak itu, menu laris ini bukan saja dinikmati oleh khalayak ramai, tetapi juga figur publik seperti Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Walikota Singkawang dan bos besar Ace Hardware/Living World Mall.

Foto bersama rombongan pejabat dan pengusaha. 

Nothing lasts forever, even cold November rain. Dan Hardy akhirnya bisa berhenti sejak untuk menoleh kembali apa yang telah dicapainya. Setelah pengalaman pahit yang menimpanya, ia tetap bisa bangkit dan berdiri tegak. Semua kerja kerasnya tidak sia-sia. Jadi apa rencana ke depannya? Hardy seringkali berpikir tentang untuk membuka cabang di tempat lain yang memudahkan para pelanggan yang sulit menghampiri Alam Sutera. Kita nantikan kabarnya lewat Facebook dan Instagram (bisa dicari dengan kata kunci: bakso ikan telur asin Ahan). Sambil menunggu, mungkin kita bisa mampir dan mencicipi semangkok bakso ikan telur asin dulu. Ya, nggak?

Oh ya, pakar bakso kita ini juga jagonya gitar, makanya sering pakai kaos the Rolling Stones atau John Lennon sewaktu berdagang. 




Thursday, August 24, 2017

Book Review: Hotel K

Hotel K is like Woodstock in the sense that it has sex, drugs and rock n' roll, except it's a prison, not a concert venue. I first heard of it when I had a drink with an Australian of Indian descent and, as we talked about life and culture, Bali was mentioned. While the two of us agreed that Bali is a paradise island, he told me the dark side of Bali that I never heard of. It was a notorious jail called Kerobokan. A few days later, he passed me the book about it.

It wasn't a kind of book that I would normally pick up, but when a book is crazy enough to open its story with something as extreme as sex night, then it must have enough materials that are engaging enough for one to keep on reading. That was when I learnt about the existence of such a sleazy, corrupt and evil place in Bali. Hotel K is a strange ecosystem where drugs and sex are thriving, where the inmates and their jailers are making use of each other as they co-exist and it's also a place where all sorts of shady characters were locked together.

The book wasted no time to get to the point. After a shocking opening, it went on to introduce who the inmates were, from drug dealers to murderers. It also spent some chapters giving us insight of how drug smuggling was done and how the drug mules were usually captured. It was beyond the sanest mind to ever think of inserting drugs into anus or vagina, or even swallowing them for that matter, only to excrete them out later on. What's more impressive is, these unthinkable methods are actually quite common for those drug dealers, whom could be men or women, locals or foreigners, from white to black and whatever skin colors in between.


Then it talked about the prison itself. It was a chaotic mad house that was over capacity, famous for its cell tikus and run by the sadistic but yet easily-bribed jail guards. It failed to anticipate a prison break back in 1999, but was still used as a prison for the most hated terrorist in Bali, whom successfully orchestrated the bombing in Jimbaran from behind the iron bars. It was also the jail where the inmates, especially those who had money, could check out and check in as they liked, hence the name, Hotel K. It was also the place where one could either ended up at the dirtiest and the most inhumane cell ever or getting what was like a five stars hotel room instead, when he or she was able to pay. It was actually amusing to read about how the guards would sell drugs to the inmates only to catch them using it some other day. It also had women's cell block that never lacked of not-so-girlie antics, especially during the time when the Black Monster was incarcerated. Rape and murder cases also happened from time to time.

It became more like a story, albeit a crazy one, when certain inmates were established as the so-called main characters. These were mainly the foreigners and they were interacting with the forces to reckon with at Hotel K, from likes of Saidin the cold blooded killer, Iwan Thalib who ran a furniture workshop as a camouflage of his drugs factory in prison, Arman the drug lord, the terrorists Amrozi and Imam Samudra, the Bali King, the infamous Bali Nine, the brother of Gordon Ramsay, to the fearsome Laskar Bali, who would rule the jail by overpowering the jail guards. The writer did a good job in making these characters fascinating that as a reader, I would almost care about them as I carry on reading.

Hotel K is an eye-opener and a reminder that a world full of vices and its vicious cycle actually exist. It's in Bali, our doorstep for the world to come in. As an Indonesian, it was a bitter pill for me to swallow (pun intended, I guess) when I read about our law and order. The whole system, from court to jail, can be so unbelievably twisted. The fact that a convict that carried hundreds of pills could be sentenced less severe than those who carried only two pills only goes to show how the justice in Indonesia can fail us sometimes. The moral of the story? Don't do drugs in Bali and don't do drugs ever!

Hotel K, the unusual book that turned out to be fantastic.


Hotel K

Apa yang terjadi di Hotel K boleh dikatakan mirip semboyan Woodstock: seks, obat-obatan dan rock n' roll. Yang membedakan keduanya adalah tempatnya, karena Hotel K adalah penjara, bukan panggung konser. Saya pertama kali mendengar tentang Hotel K saat saya minum dengan seorang Indian berbangsa Australia dan, sewaktu kita berbicara tentang kehidupan dan budaya, pulau Bali pun disebut. Kita berdua setuju bahwa Bali adalah Pulau Dewata, tetapi ternyata ada sisi lain yang tidak saya ketahui sebelumnya. Sisi kelam ini adalah penjara bernama Kerobokan. Beberapa hari kemudian, kolega saya ini pun meminjamkan bukunya kepada saya.

Topik seperti ini tidak pernah masuk dalam daftar buku yang ingin saya baca, tapi ketika sebuah buku cukup gila untuk memulai bab pertamanya dengan sesuatu yang ekstrim seperti pesta seks di malam hari, tentunya buku ini memiliki cukup bahan yang bisa membuat kita sibuk membaca. Dari sinilah saya mengetahui tentang keberadaan penjara yang korup dan penuh perzinahan serta kejahatan. Hotel K adalah sebuah ekosistem yang sangat aneh dimana obat-obatan dan seks merajalela. Berbagai macam pelaku kejahatan ditahan di sana, menjalani hidup bersama sipir penjara dan saling memanfaatkan satu sama lain. 

Buku ini tidak membuang-buang waktu dalam bercerita. Setelah bab pertama yang mengejutkan, bab berikutnya langsung membahas tentang para tahanan, mulai dari pengedar narkoba sampai pembunuh. Bagian selanjutnya memberikan gambaran tentang penyelundupan obat terlarang dan bagaimana para pengedar ini ditangkap. Sebelum ini, saya tidak pernah tahu bahwa obat-obat ini bahkan dimasukkan ke dalam lubang pantat atau vagina. Yang lebih dashyat lagi, kadang kurir narkoba ini bahkan menelan bawaannya yang telah dibungkus secara profesional dan baru dikeluarkan dengan cara buang air besar setelah tiba di tempat tujuan. Apa yang tidak pernah terpikirkan saya ini sebenarnya hal yang biasa di dunia narkoba. Karena teriming-iming oleh uang, banyak pria dan wanita, orang lokal atau asing, kulit putih, hitam atau apa saja, terjerumus menjadi pemakai dan penyelundup. 

Hal selanjutnya yang dideskripsikan dengan detil adalah penjara itu sendiri. Hotel K adalah sebuah tempat yang penuh dengan residivis dan kekacauan, terkenal dengan sel tikusnya yang kecil, sempit dan tidak manusiawi. Penjara terbesar di Bali ini dikelola para penjaga yang sadis tetapi gampang disogok. Penjara ini berhasil dibobol oleh tahanannya di tahun 1999, tapi masih juga digunakan untuk memenjarakan teroris pemboman Bali. Dari balik jeruji besi di penjara ini, para teroris berhasil mengorganisir pemboman di Jimbaran. Yang lebih unik lagi, para tahanan bisa keluar masuk penjara, terutama bila tahanan tersebut sanggup untuk membayar atau tergolong penjahat kelas kakap. Hotel K juga merupakan tempat dimana sel penjara bisa sedemikian kotornya sehingga tidak manusiawi, tapi di satu sisi memiliki sel semewah hotel bintang lima. Para sipir penjara biasa menjual obat bius kepada tahanan kemudian menangkap mereka karena menggunakannya. Hotel K juga memiliki blok penjara wanita dimana berbagai kasus bisa terjadi, terutama saat si Monster Hitam masih dipenjara. Pembunuhan dan pemerkosaan bisa dikatakan lumrah di situ.  

Memasuki pertengahan buku, alur ceritanya kian menyerupai fiksi, terutama karena beberapa tahanan yang sering ditampilkan berulang kali mulai terasa akrab di mata pembaca. Orang-orang ini kebanyakan adalah orang asing dari mancanegara, mulai dari Brazil, Nigeria, Amerika, Inggris, Perancis, Austria sampai Australia, dan mereka berinteraksi dengan para penguasa di penjara serta tokoh-tokoh lainnya, mulai dari Saidin si pembunuh berdarah dingin yang memenggal kepala korbannya, Iwan Thalib yang membuka pabrik mebel sebagai kamuflase dari pabrik obat terlarang, Arman si pengedar nomor satu yang brutal, teroris Amrozi dan Imam Samudra, Raja Bali, Bali Nine, adik dari koki terkenal Gordon Ramsay, sampai dengan Laskar Bali yang terkenal sangar dan akhirnya menguasai penjara. Penulis berhasil menampilkan para karakter ini dengan luar biasa sehingga sebagai pembaca, kita jadi terbawa untuk peduli bagaimana nasib mereka selanjutnya.

Kesimpulannya, Hotel K membuka mata pembaca dan mengingatkan kita kembali bahwa dunia kejahatan seperti ini sungguh nyata dan terjadi di Bali, gerbang pariwisata Indonesia bagi dunia luar. Sebagai orang Indonesia, rasanya pahit untuk membaca tentang sistem pengadilan di negara kita. Korupsinya luar biasa mengakar, mulai dari pengadilan sampai penjara. Fakta bahwa seorang pelaku yang membawa dua ratusan butir pil bisa dihukum lebih ringan dari mereka yang tertangkap membawa dua butir adalah peringatan bagi kita bahwa hukum di Indonesia kadang berpihak pada mereka yang memiliki uang. Moral dari kisah ini? Jangan mau membeli narkoba di Bali dan jangan pernah mau memakai narkoba!
  



Tuesday, August 22, 2017

The ASEAN Tour: Brunei

The visit to Brunei was part of my Malaysia-Brunei trip in 2009. Since we were heading to Sabah, I thought we could spare two days one night in Bandar Seri Begawan, too. Furthermore, my buddy Swee Hin and I had an ex-colleague who just returned to Brunei, so he could show us around. After a short stop in Kota Kinabalu to explore the city on foot, we headed back to airport and began what would be the shortest flight in my life thus far.

The flight duration from Kota Kinabalu to Bandar Seri Begawan was roughly around 45 minutes. It was as good as taking off, filling up your immigration card then the crew would immediately prepare the passengers for landing right after that. The first impression I had was, even though the country's currency was pegged to Singapore Dollar, the airport didn't look like Changi at all. Perhaps there wasn't a need for that.

At the airport, with Chian Kai (middle) and Swee Hin (right).

Our friend picked us up and drove us to some budget hotel nearby Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque. It was around BND 100 per night and we checked in there, a decision that I soon regretted because the Empire Hotel was only less than BND 300, but more to that later.

As we were on our way to the hotel, it dawned on me that the strong currency had not much to do with the country's development. In my opinion, Brunei looked more like any other place in Kalimantan than Singapore, but it had a profound Islamic influence that became part of its culture. And that was what made the trip more interesting, because I never saw anything like this before. Even in Indonesia, where we have the biggest Muslim population in the world, the culture is uniquely mixed. In Brunei, we could see the Jawi writing everywhere.

In front of Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque.

As we were waiting for Chian Kai, our local friend, to pick us up for dinner, we explored the surroundings and happened to see Teng Yun Temple on the riverside. From there, we walked to Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque and the mall nearby the landmark. We met our friend there and he brought us somewhere for a fancy dining that included ostrich meat in the menu. Exotic, eh? But I had actually tried it in Batam, though, haha.

From there we went to Jerudong Park, the venue where Michael Jackson performed a free concert in the celebration of the 50th birthday of the Sultan. For an amusement park, Jerudong Park was awfully quiet. I wasn't entirely sure if it was because it had been quite late when we went there. We didn't stay long and quickly made our way to the Imperial Hotel. This was one impressive hotel that directly faced the South China Sea on one side. It was so grand, a really fine architecture. If I remember correctly, it even had a cinema there. For the fact that it could have been our one and only visit to Brunei, we should have stayed there! Chian Kai then said we should hang out at the cafe. It was an interesting experience. Because alcohol was banned, we actually had coffee that night. I was told that if the locals would like to go for a drink, they would have to drive to Miri, Sarawak. That must be one helluva effort to get drunk!

The next day, I realized that the public transport was actually not well developed. I was wondering if that was because almost everyone had cars and petrol was quite cheap down there. As a result, it wasn't exactly tourist friendly. We had to wait for our friend to fetch us again, this time to Gadong for lunch. For the remaining time that we had, we went to have a look at Kampong Ayer from afar, then it was followed by another visit to another mosque, I think it was the one called Jame'Asr Hassanil Bolkiah. It had many glorious golden domes, easily one of the most modern looking mosque ever. Next, it was the airport and we flew back to Sabah...

Swee Hin and Chian Kai at the chicken rice shop, Gadong.


Tur ASEAN: Brunei

Kunjungan ke Brunei merupakan bagian dari perjalanan Malaysia-Brunei di tahun 2009. Karena kita sudah kepalang tanggung ke Sabah yang bersebelahan dengan Brunei, maka kita rencanakan pula wisata dua hari satu malam ke Bandar Seri Begawan. Keputusan ini masuk akal mengingat saya dan Swee Hin, teman seperjalanan saya, memiliki kolega dari Brunei yang baru berhenti kerja dan pulang ke tempat asalnya. Oleh karena itu, setelah eksplorasi singkat di Kota Kinabalu dengan berjalan kaki, kita langsung kembali ke bandara dan memulai penerbangan paling singkat yang pernah saya tempuh.

Penerbangan dari KK ke BSB berkisar 45 menit. Begitu kita lepas landas, pramugari langsung membagikan kartu imigrasi dan setelah selesai diisi, tidak lama kemudian langsung terdengar pengumuman untuk menegakkan sandaran kursi karena pesawat akan segera mendarat. Saat kita tiba, kesan pertama adalah, walaupun dolar Brunei memiliki nilai tukar satu banding satu dengan dolar Singapura, bandaranya sama sekali tidak semaju Changi.

Di Kompleks Yayasan Sultan Haji Hasannal Bokiah.

Chian Kai, tuan rumah kita, menjemput dan mengantarkan kita ke hotel murah di dekat mesjid Sultan Omar Ali Saifuddin. Harga per malam sekitar BND 100, sebenarnya tidak terlalu murah juga, dan saya langsung menyesalinya setelah saya tahu bahwa biaya per malam di Empire Hotel berada di kisaran kurang dari BND 300.

Berdasarkan apa yang saya lihat dari sepanjang perjalanan ke hotel, saya lambat laun menyadari bahwa mata uang yang kuat bukan berarti berjalan sebanding dengan pembangunannya. BSB lebih mirip kota di Kalimantan daripada metropolis seperti Singapura. Lebih dari itu, BSB memiliki nuansa Islam yang kental, yang menjadi bagian dari daya tarik negara tersebut. Bahkan Indonesia, dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, terasa majemuk budayanya, sedangkan di Brunei, kita benar-benar bisa melihat tulisan Jawi di mana-mana.

Selagi kita menunggu Chian Kai untuk santap malam bersama, kita berjalan-jalan di sekitar hotel. Ternyata ada kuil Teng Yun di tepi sungai. Dari situ, kita beranjak ke mesjid Sultan Omar Ali Saifuddin dan mal di sebelahnya. Chian Kai menjemput kita di situ dan membawa kita ke sebuah restoran yang menyajikan daging burung unta. Eksotis, tapi saya sudah pernah coba sebelumnya di Batam, haha.

Di Imperial Hotel.

Dari restoran, kita menuju ke Jerudong Park, tempat di mana Michael Jackson tampil di konser perayaan 50 tahun Sultan Brunei. Untuk taman hiburan, Jerudong Park tergolong sepi, entah karena sudah cukup malam tatkala kita bertandang ke sana atau memang kurang diminati. Kita tidak tinggal lama di sana dan bergegas ke Imperial Hotel. Bangunan ini benar-benar mengesankan dan satu sisinya langsung menghadap Laut Cina Selatan. Kalau tidak salah, bahkan ada bioskop di sana. Jika teringat kembali bahwa kunjungan ke BSB itu mungkin satu-satunya kunjungan kita ke Brunei, seharusnya kita tinggal semalam di hotel tersebut! 

Sewaktu kita berada di Imperial Hotel dan merencanakan tempat berikutnya yang hendak dituju, Chian Kai lantas mengusulkan bahwa kita bisa pergi ke kafe. Pengalaman di kafe menjadi unik karena alkohol dilarang di Brunei dan sebagai gantinya, kita justru minum kopi. Di situ baru dikisahkan oleh Chian Kai bahwa penduduk lokal yang hendak minum bir harus mengendarai mobil sampai ke Miri, Sarawak. 

Keesokan harinya, saat kita berkeliling di dekat hotel, saya mengamati bahwa transportasi umum tidak terlalu berkembang. Saya rasa itu karena hampir setiap orang di sana memiliki mobil. Lagi pula bahan bakar juga luar biasa murah di sana, kira-kira seharga 50 sen. Akibatnya, karena masalah transportasi, BSB tidak terlalu ramah bagi turis untuk bepergian. Saat Chian Kai datang menjemput, kita dibawa ke Gadong untuk makan siang. Setelah itu, kita melihat Kampong Ayer dari tepi jalan dan mengunjungi mesjid berkubah emas, Jame'Asr Hassanil Bolkiah. Dari situ, kita pun menuju ke bandara dan berpamitan dengan Brunei...

Di depan Kampong Ayer.


Sunday, August 20, 2017

Uniquely Pontianak

If you asked any Malay speaking foreigners from Southeast Asia, they would normally tell you that Pontianak is a female ghost rather than a city in Indonesia. The capital city of West Kalimantan is not exactly known as a tourist destination. When there was an overseas friend or two tagging along for a visit, apart from the Equator Monument, it was kind of hard for me to think of any other sightseeing spot in town.

For locals like us, eating is pretty much the only consolation that never fails us. Famous local delicacies include varieties of fried kway teow (beef, pork and economical), porridges (chicken, pork and fish) crab meat noodles (with vinegar as the integral part of the seasoning) or the so-called chicken rice, a messy affair with sticky soup poured on top of the rice that actually has more pork than chicken.

Do take note that while we'll tell you those dishes taste legendary, they may feel so-so only for foreign taste buds. I started to realize this when I worked in Jakarta and noticed that I could only find Pontianak cuisines at certain corners of the city. I was finally convinced when I moved to Singapore, where only Padang rice and East Javanese food are popular enough to represent Indonesia cuisines here.

I tend to think that, perhaps it was due to the fact that we grew up with Pontianak culinary, we ended up believing it as the greatest cuisines on earth. Others, unfortunately, may not think so. However, that's not to say that we don't have anything decent. We do have some, but none is worth mentioning more than this one. I've traveled the world far enough to recognize that the one cuisine that is uniquely Pontianak and easy enough to be imported (but sadly under promoted), one that can sit proudly on the table side by side with other domestic and foreign dishes, is the local delicacy called hekeng.

The name came from the Teochew dialect and the lack of English translation only goes to show that it must have been isolated for too long that it could have been an ancient art of cooking unknown by many, waiting to be reintroduced to the world again. Hekeng looks like its famous cousin, ngo hiang (and it even has a Wikipedia page while hekeng doesn't), but it has an elongated oval shape as it is usually sliced in such a manner before being served.

I had a chance to see how hekeng was made when I worked at Kartika Hotel in Pontianak. I was multitasking back then, so I would drive back the prawn (and other cooking ingredients) from the wet market and helped to peel off the prawn shell. A chef would grind the prawn at least twice. The output would be poured onto the chopping board, where the chef would chop it repeatedly with two cleavers, one on each hand (imagine a guy doing the drum rolls), resulting in a very fine minced meat. After that, the head chef would come in to finish the job. It'd be mixed together with salt and some other seasoning, eggs and flour until it looked like dough (no lard was used so that it could be served as halal food). He would fill the tofu skin with it and wrap it up, then his assistant would line them up for steaming process. The hekeng was steamed until half done, then it was ready to be deep fried. Alternatively, hekeng could be put into the freezer if it wasn't served immediately.

That's how hekeng is made. It doesn't look too difficult, though the preparation can be a nightmare. Some people from my generation have picked up this culinary skill. Wiwi made us proud by recreating the magic in Malaysia and sharing the good food with her friends. Agustini already went commercial some time back and I think bought from her once. For those who are keen but don't know where to find it, Ah Long has been selling it since, no pun intended, a long time ago.

How does it taste like? Hekeng is best eaten while it's hot, because the skin will be crispy and the meat is deliciously tender, especially when it is cut into smaller pieces with a proportional size. It tastes heavenly when it is eaten together with the condiment that is specially created for it: kit iu (directly translated as lime oil), a sweet sour sauce made of lime and sugar, boiled and stirred until it becomes sticky. For me, it is always as personal as a reminder of the place where I came from, with all the good times from childhood coming back every time I bite it. Love it!

Ngo Hiang vs. Hekeng
Photo credit: Yen Darren


Yang Unik Dari Pontianak

Jika anda bertanya kepada orang asing di kawasan Asia Tenggara yang bisa berbahasa Melayu, yang biasanya terpikirkan oleh mereka begitu nama Pontianak disebut adalah hantu wanita. Tidak banyak yang tahu tentang kota di Indonesia yang bernama Pontianak. Ibukota Kalimantan Barat ini memang tidak terkenal sebagai kota wisata. Ketika ada teman luar negeri yang ikut mengunjungi Pontianak, Tugu Khatulistiwa adalah satu-satunya tempat tujuan turis yang saya tahu. 

Bagi kebanyakan warga Pontianak, makan adalah satu-satunya hiburan. Menu favorit antara lain adalah aneka kwetiau goreng, mulai dari kwetiau ekonomis tanpa daging, kwetiau sapi atau kwetiau babi, beragam bubur (ayam, babi dan ikan), yammie (dengan cuka sebagai salah satu bumbu wajib) atau nasi ayam yang becek karena kuah kental yang disiramkan ke atas nasi yang sebenarnya memiliki lebih banyak daging babi daripada ayam. 

Menarik untuk dicatat bahwa meskipun orang Pontianak akan mengatakan bahwa makanan di sana tiada duanya, rasanya mungkin hanya biasa-biasa saja bagi orang asing. Saya mulai menyadari hal ini ketika saya bekerja di Jakarta, dimana masakan Pontianak hanya bisa ditemukan di beberapa sudut kota. Saya menjadi sepenuhnya yakin ketika saya pindah ke Singapura, karena hanya nasi Padang dan masakan Jawa Timur yang cukup populer untuk mewakili Indonesia di sini. 

Saya cenderung berpikir, mungkin karena kita tumbuh dewasa dengan kuliner Pontianak, sehingga kita akhirnya percaya itu adalah masakan terenak di dunia. Orang lain belum tentu berpikir seperti itu. Tapi itu tidak lantas berarti bahwa Pontianak tidak mempunyai sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Ada beberapa, tentunya, tapi hanya yang satu ini yang pantas untuk disebut dalam kesempatan ini. Saya sudah berkelana cukup jauh ke berbagai tempat di dunia ini untuk bisa menarik kesimpulan bahwa satu-satunya makanan yang unik dari Pontianak dan mudah untuk dibawa ke mana-mana (tapi sayangnya jarang dipromosikan) dan juga satu-satunya masakan yang layak dihidangkan berdampingan dengan masakan lain, baik domestik maupun negara lain, adalah hekeng

Nama hekeng berasal dari bahasa Tiociu. Absennya terjemahan dalam Bahasa Inggris menunjukkan bahwa menu ini sudah terisolir sekian lama, bahkan mungkin sudah menjadi resep kuno yang tidak banyak diketahui orang di luar Pontianak, dan hekeng menanti untuk diperkenalkan lagi pada dunia. Hekeng memiliki penampilan seperti ngo hiang, sepupunya yang lebih terkenal (dan memiliki halaman Wikipedia sedangkan hekeng tidak ada), namun hekeng memiliki bentuk lonjong yang agak memanjang karena pola irisannya sebelum disajikan. 

Ketika saya bekerja di Hotel Kartika Pontianak, saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan bagaimana hekeng dibuat. Sebagai sopir, saya membawa pulang udang dan bahan makanan yang dibeli di Pasar Flamboyan. Setelah itu, terutama di saat ada pesta pernikahan, saya kadang turut serta mengupas udang. Hasilnya kemudian akan digiling minimal dua kali oleh koki, kemudian diperhalus lagi dengan cincangan pisau daging. Begitu siap, koki utama akan mencampurkan bumbu, telur dan tepung dan mengaduknya dengan tangan sampai terlihat seperti adonan (minyak babi tidak dipakai di sini karena restoran menyajikannya sebagai menu halal). Daging udang ini kemudian dituangkan di atas kulit tahu dan dibentuk seperti batangan, kemudian dikukus sampai setengah matang. Sesudah ini, hekeng bisa digoreng atau dimasukkan ke kulkas bila tidak perlu dihidangkan langsung.  

Begitulah cara hekeng dibuat. Sepertinya tidak terlalu sulit, tetapi persiapannya cukup memakan waktu. Beberapa teman dari generasi saya telah berhasil menguasai teknik masakan ini. Wiwi membuat kita bangga dengan menciptakan kembali citra rasa ini di Malaysia dan membagikannya kepada teman-temannya. Agustini juga sudah berjualan hekeng sejak beberapa tahun silam dan saya pernah membeli darinya. Untuk mereka yang sempat mampir ke Pontianak tapi tidak tahu di mana membelinya, A Long telah menjual hekeng sejak lama dan yang berminat bisa mampir ke sana. 

Bagaimana sesungguhnya rasa dari hekeng? Gorengan ini paling enak dimakan selagi panas karena akan terasa renyah, terutama bila dipotong dalam ukuran yang tidak terlalu tipis. Hekeng akan terasa tiada duanya ketika dimakan bersama kit iu atau minyak jeruk nipis, saus asam manis yang terbuat dari jeruk nipis dan gula yang direbus dan diaduk sampai kental. Secara pribadi, hekeng terasa seperti mengingatkan saya kembali akan tempat di mana saya berasal, di mana masa kecil terasa terulang kembali di kala saya menikmatinya...

Setelah dikukus, sebelum digoreng.
Photo: Yen Darren

Wednesday, August 16, 2017

The King Of Comedy

There are people and things in life that have special places in your heart, thanks to the good times they brought. I, for one, have that imaginary pedestal for the pantheon of the all-time greats. Some, such as the Beatles and Bruce Lee, you already know. I had also written about the King of Monsters and the King of Pop. Then of course we, too, have the King of Comedy.

The name is Stephen Chow. I first saw him on TV3, a Malaysian TV channel, when I was in primary school. It was an old Cantonese drama series and Chow was portraying this underdog character. I liked him immediately, for he was unusually funny. Then I realized that he also acted in several movies that were shown in the cinema. That was when my Stephen Chow cinematic experience really began, and it started with All's Well, End's Well, where he acted as the youngest brother of Raymond Wong and Leslie Cheung.

Chow was funny in that movie, alright, but he had to share the screen time with others. It was the next one, Royal Tramp, that established him as my all time favorite. He was Wai Siu-bo and his character knew no kungfu, so what he did to survive the ancient China throughout the whole movie was to talk his way thru. His antics, his expression, his nonsense and the way he laughed were totally unseen in 1992, so it was extremely hilarious. I didn't really understand Chinese (yes, in Pontianak, it was screened in Chinese instead of Cantonese) and had to rely on subtitle, but Chow was so engaging that I couldn't help it but laughing all the way.

The Laser Disc era came not long afterwards and I had my chances to catch the movies that I missed or wasn't shown in theaters. I remember watching My Hero only to find out that it wasn't a comedy. It was weird to see the funny man acting seriously, like it was so out of character for him to do so. I eventually realized that he actually started as a quite serious film actor, so with the exception of some movies such as Dragon Fight (which was more of a Jet Li movie with Stephen Chow in it), I naturally skipped his earlier flicks.

From the left: CJ7; Tricky Brains; Justice, My Foot!; The Lucky Guy; Out of the Dark; The God of Cookery.

As the 90s was flooded with Stephen Chow movies, you either liked him or hated him. I was always fond of comedy, so with nonstop hits such as the God of Gamblers series, Flirting Scholar, King of Beggars and many more, Stephen Chow was my hero. It was actually an odd choice, considering that many of my friends would prefer the so-called good looking ones, such as Andy Lau or any of the Four Heavenly Kings, but to me, Chow was simply the best. I remember how happy I was when I managed to find Out of the Dark, a rather rare Stephen Chow movie, and I cycled back that night to my grandfather's house with one hand carrying the Laser Disc, a very bulky item for one who rode a racing bike! We also had good memories watching a couple of movies at Endrico's house, most notably the God of Cookery (the scenes where he was beaten up by 18 Luohans were classic!) and the Lucky Guy (the floor sweeper who transformed into an idiotic looking Bruce Lee was memorable).

Chow was also the main reason why I bought Tangan Dewa, a Hong Kong manhua series that was translated into Bahasa Indonesia. To be able to see all these stars appeared together was pretty much unthinkable, so the manhua was an absolute godsend, though as it progressed, the quality of the story actually deteriorated over time, haha. Nevertheless, I must have been inspired by it that I wrote my own fan fiction many years later. I called it Hong Kong Heroes, with Stephen Chow as one of the main leads (Andy Lau, Jackie Chan, Jet Li and Chow Yun Fat were also in the story). It was as good as compiling the best elements of their movies into a book, while pitting our heroes against the Hollywood actors, with Stephen Chow using his card rubbing technique in the final showdown. But of course I had to mention his famous sleight of hand, didn't I?

The admirable thing about Stephen Chow was, he didn't stay where he was. As I grew older, his movie grew deeper, too. I tend to think that the turning point was the God of Cookery. It actually had a rather dark theme, but it was cleverly sugarcoated with comedy. His next attempt as both director and screenwriter, the King of Comedy, went to show that he was halfway there. By the time Shaolin Soccer arrived, it felt like, for the first time, a Stephen Chow movie. The result was really something that only Stephen Chow could think of and do. The comical story that combined soccer and kungfu was a stroke of genius. The CGI was brought in, not to compete with Hollywood, but to enhance the storytelling. At the same time, he still played the naive loser that we all knew and loved, with jokes that made us laugh so hard that some could really end up crying those happy tears. Just when I thought that would be his best film ever, he brought it to another level with Kungfu Hustle. That would be his ultimate masterpiece. It didn't shy away from introducing everything Chinese to the world, but at the same time, it was universal enough to be accepted by the non-Asian audience.

Asian Hero 2003.
Image by: time.com

Sadly, that would be the last time he acted as the main character. The next one, CJ7, still featured Chow, but in a very much diminished role. The movie itself was quite alright, though. As I watched it at the Cathay, Singapore, I remember thinking that making this movie was actually a brilliant move. Kungfu Hustle reigned supreme that it was impossible to do anything to top that, so by switching to a different genre, there would be nothing to compare about. 

Chow totally quit acting afterwards. He did a full time behind-the-scene jobs instead, starting from producer, screenwriter to director. His last few entries had the look and feel of Stephen Chow, but having other people in his stead was just plain weird. He was so unique and original that his actors ended up looking like his wannabes, because you couldn't help thinking it should be him that played those roles. Let's just hope that he'll be back one day, because he's sorely missed!



Sang Raja Komedi

Di dalam hidup ini, terkadang ada orang atau hal tertentu yang benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Bagi saya pribadi, ada banyak tokoh-tokoh yang saya kagumi. Beberapa di antaranya, seperti Bruce Lee dan the Beatles, sudah menjadi rahasia umum. Saya juga telah menulis tentang Sang Raja Monster dan Sang Raja Pop. Kali ini akan kita bahas Sang Raja Komedi.

Namanya adalah Stephen Chow. Saya pertama kali melihatnya di TV3, saluran TV Malaysia, ketika saya masih di Sekolah Dasar. Saat itu ia tampil di drama bahasa Kanton, memainkan peran pembantu yang tidak terlalu penting. Karena gayanya yang tidak biasa dan lucu, saya langsung menyukainya. Kemudian saya sadari bahwa dia juga membintangi beberapa film yang ditayangkan di bioskop. Film pertama yang saya tonton adalah All's Well, End's Well, dimana ia berperan sebagai adik bungsu Raymond Wong dan Leslie Cheung.

Chow tampil menggelitik di film tersebut, tetapi dia hanyalah salah satu dari tiga tokoh utama. Film berikutnya, Royal Tramp, adalah film yang membuat saya mengidolakannya. Dia adalah Wai Siu-bo dan karakter Cino kuno yang ia perankan ini sama sekali tidak bisa kungfu, jadi dia hanya mengandalkan omong kosongnya untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Sikap dan ekspresinya yang kocak serta cara tertawanya yang khas adalah hal yang tidak pernah terlihat sebelumnya di tahun 1992, sungguh lucu dan konyol. Saya tidak begitu mengerti Mandarin (ya, di Pontianak, filmnya ditayangkan dalam bahasa Mandarin, bukan Kanton) dan harus bergantung pada terjemahan Bahasa Indonesia, tapi Chow berhasil membuat saya terpingkal-pingkal.

Era Laser Disc tiba tidak lama setelah itu, sehingga saya memiliki kesempatan untuk menyewa film-film yang tidak sempat saya tonton sebelumnya. Saya ingat betul film berjudul My Hero yang lucu gambar depannya, tetapi ternyata bukan film komedi. Agak janggal rasanya melihat pria yang seharusnya lucu malah berakting dengan serius. Saya lantas menyadari bahwa Chow memulai karirnya sebagai aktor film serius, jadi selain beberapa film seperti Dragon Fight (yang lebih terasa seperti film Jet Li karena Chow hanyalah pemeran sampingan), saya dengan sengaja melewatkan film-film yang diproduksi di awal karirnya.

Tahun 90an dibanjiri film Stephen Chow karena dia bisa merilis dua sampai tiga film per tahun. Karena saya menggemari komedi, dengan film-film seperti serial God of GamblersFlirting ScholarKing of Beggars dan masih banyak lagi, Stephen Chow jelas menjadi bintang favorit saya. Di masa itu, mengidolakan Stephen Chow mungkin terasa agak aneh, sebab biasanya teman-teman lebih mengagumi mereka yang lebih tampan, misalnya Andy Lau atau anggota Empat Raja Langit lainnya. Kendati begitu, bagi saya, Chow tetap yang terbaik. Saya ingat betapa girangnya hati ketika saya berhasil menemukan Out of the Dark di tempat penyewaan Laser Disc, film Chow yang tergolong langka, dan saya bersepeda di malam itu, pulang dengan satu tangan membawa piringan laser yang sebenarnya terlalu besar untuk pengendara sepeda balap. Selain itu, kita juga memiliki kenangan menonton beberapa film Chow di rumah Endrico, misalnya the God of Cookery (adegan dimana Chow dihajar berulang kali oleh 18 Lohan betul-betul klasik!) dan the Lucky Guy (penyapu lantai yang tiba-tiba berubah menjadi Bruce Lee bertampang idiot itu takkan pernah terlupakan).

Tangan Dewa.
Image credit: tokokomikantik.com

Chow juga merupakan alasan utama kenapa saya membeli Tangan Dewa, serial komik Hong Kong yang diterbitkan di Indonesia. Hanya di komik inilah kita bisa melihat para bintang tenar berkumpul, jadi ini komik wajib punya (walaupun kualitas ceritanya makin lama makin parah, wahaha). Bertahun-tahun kemudian, mungkin karena dipengaruhi oleh komik ini, saya juga menulis cerita fiksi yang bernama Hong Kong Heroes. Bintang utamanya tentu saja Stephen Chow dan empat bintang besar lainnya, Andy Lau, Jackie Chan, Jet Li dan Chow Yun Fat. Cerita ini boleh dikatakan kompilasi dari berbagai elemen terbaik dalam film masing-masing aktor. Lima tokoh ini pun diadu dengan para bintang Hollywood. Puncaknya adalah Chow melawan Al Pacino dalam pertandingan kartu, dimana ia menggunakan teknik menggosok kartunya. Sebagai penggemar, tentu saja saya harus menulis tentang teknik judinya yang tersohor ini, bukan?

Menarik untuk dicatat juga bahwa Stephen Chow adalah satu dari segelintir bintang yang selalu berusaha untuk maju. Seiring dengan bertambahnya umur, film Chow yang saya tonton pun terasa berubah alurnya. Saya cenderung berpikir bahwa semuanya bermula dari the God of Cookery. Tema ceritanya agak kelam, tapi dengan pintar dibungkus dengan komedi. Upaya berikutnya sebagai sutradara dan penulis naskah, the King of Comedy, terasa mulai agak matang, tetapi belum sempurna. Baru ketika Shaolin Soccer tiba, penggemar pun merasakan seperti apa rasanya menonton sebuah film Stephen Chow.

Karya monumental ini memiliki kesan yang kental bahwa hanya Stephen Chow yang bisa memproduksinya. Ya, hanya Chow yang bisa menggabungkan sepak bola dan kungfu menjadi sebuah cerita komedi. Efek yang dipakai di film tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Hollywood, tetapi pas untuk menguatkan kesan komedi yang ada. Di film tersebut, Chow berperan sebagai pecundang polos yang sudah kita kenal baik dan sukai, lengkap dengan leluconnya yang membuat kita terbahak-bahak sampai meneteskan air mata. Shaolin Soccer sudah bisa dikatakan sebagai karya terbaiknya, tetapi bukan Stephen Chow namanya kalau ia berhenti sampai di situ saja. Ketika Kungfu Hustle dirilis, kita disuguhi dengan tontonan yang tiada duanya. Film ini memiliki nuansa Cina tempo dulu, tetapi dibuat dengan memikirkan penonton asing sehingga orang non-Asia pun bisa menikmatinya.

Sangat disayangkan bahwa Kungfu Hustle menjadi film terakhir dimana ia menjadi bintang utama. Film selanjutnya, CJ7, masih menampilkan Chow, tetapi hanya sebatas pemeran pembantu. Film tersebut lumayan bagus. Ketika saya menyaksikannya di bioskop the Chatay di Singapura, saya sempat berpikir bahwa keputusan untuk membuat film ini sebenarnya sangat bijak. Kungfu Hustle boleh dikatakan sebagai sebuah adikarya sehingga sulit untuk melampauinya. Dengan beralih ke tema yang berbeda, kritik film pun tidak akan bisa membandingkannya.

Chow berhenti berakting setelah CJ7. Perannya pun kini sebatas produser, sutradara atau penulis naskah. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa karya terakhirnya masih memiliki kesan film Stephen Chow, tapi sepertinya ada yang kurang saat melihat orang lain memainkan peran yang seharusnya ia lakoni. Masalahnya adalah Chow sangat identik dengan komedinya yang khas, sehingga siapa pun yang kemudian membintanginya akan terlihat seperti penjiplak. Semoga saja suatu hari nanti dia akan kembali, sebab sudah hampir sepuluh tahun lamanya kita tidak melihat dia beraksi!

Hong Kong Heroes.