During our dinner and drinks last weekend, my friend Jimmy and I talked about traveling with old friends. He was right that when you had so much history with someone, you developed lingos that only both of you understood. That's exactly why I could be quite adamant about traveling with friends. As much as possible, I had a clean segregation among friends and colleagues so that all had the same frequency. Not even the spouse was allowed!
The night we hung out together. |
Case in point, the trip to Japan. Eday and I had known each other for so long that we had jokes that only both of us understood. However, friends who met for first time such as Taty and Gunawan could also interact seamlessly as if they had known each other since school days. That's the beauty of traveling with friends of the same origin. Oh yes, we grew up in Pontianak, we went to the same school and we speak the same language. The chemistry just worked.
But there were always times when such rules were broken. The earliest crossover was probably Soedjoko and my high school friends. This happened long ago, since life before Singapore. He was originally a vendor of mine, but quickly became a friend because I like funny people.
Jimmy (left) and Djoko (right) having a conversation in Jogja, 2019. |
An older but likeable guy, perhaps it was Djoko's fate to befriend most of my friends. From Parno, Junaidi, Endrico to Jimmy and many more, Djoko knew them all. And we traveled together quite a fair bit for the past two decades, from Bandung, Pontianak to Bangkok.
So such a crossover did happen when I was the mutual friend. Yani was with us in Cambodia and Vietnam trip back in 2009. Setia and Bernard came together for a trip to Medan and we would travel again to Tanjungpinang in 2015. Even Alfan also tagged along to Surabaya and was hosted by Jimmy in 2013.
Yani joining us in Phnom Penh. Photo by Endrico. |
The latest addition was Lawrence. A man with a great sense of humor, Lawrence was well received by my high school friends since his Pontianak trip on 2016. Not only he blended in very well with the rest during the China trip and made us laugh a lot, he was also very helpful as he can speak Chinese fluently, haha.
Also together with us on the same trip were Ezra and Angela. The two were in their early 20s and it was good to have them joining us. I learnt through them that young adults are fully functioning just like us, but with ideas and opinions of the future generation. And with these two, they'll always have Xi'An, if you know what I mean.
The time we were at Starbucks in Chengdu. |
The point is, while I love traveling with only my high school friends to preserve the memory of just us, having others crossing over into our midst is not necessarily a bad thing. Yes, I have my fear that, coming from different backgrounds, things could be less fun if they weren't compatible. However, I've been proven wrong in many occasions. So while it's still not my preference, I'll allow the crossover from time to time!
Persilangan
Tatkala kita makan dan minum di akhir pekan, teman saya Jimmy mengangkat topik berlibur bersama teman lama. Dia mengungkapkan pendapat bahwa akan beda rasanya bila kita berlibur dengan teman yang kita kenal sedari kecil. Saya setuju dengan pendapatnya. Kalau sudah kenal lama, tentunya kita ada bahasa dan isyarat yang hanya kita pahami sendiri. Ini alasannya kenapa saya kadang bersikeras tentang peserta liburan. Sebisa mungkin saya memisahkan teman dan kolega supaya yang ikut memiliki frekuensi yang sama. Bahkan pasangan pun tak boleh ikut!
Sebagai contoh, liburan ke Jepang. Eday dan saya sudah kenal satu sama lain dari sejak lama dan kita memiliki lelucon yang hanya dimengerti oleh kita berdua. Namun menarik untuk diketahui bahwa teman-teman yang baru bertatap muka untuk pertama kalinya, misalnya Taty dan Gunawan, juga bisa akrab seakan-akan mereka sudah saling kenal sejak sekolah. Inilah yang unik dari liburan bersama teman-teman yang sama asal-usulnya. Kita sama-sama dari Pontianak, belajar di sekolah yang sama dan sama pula bahasanya. Frekuensinya pas.
Kendati begitu, tidak cuma sekali prinsip ini diabaikan. Persilangan yang paling pertama mungkin terjadi pada saat Soedjoko dan bertemu dengan teman-teman SMA saya. Semua ini terjadi bertahun-tahun silam, jauh sebelum saya ke Singapura. Awalnya saya adalah klien Djoko, namun akhirnya jadi teman karena saya suka orang lucu yang becus.
Lebih tua tapi kocak orangnya, mungkin memang sudah suratan takdir bagi Djoko untuk bertemu dan berkawan dengan banyak teman SMA saya. Mulai dari Parno, Junaidi, Endrico sampai Jimmy dan masih banyak lagi, Djoko mengenal hampir semuanya. Dan kita berlibur bersama ke beberapa tempat dalam dua dekade terakhir, dari Bandung, Pontianak sampai Bangkok.
Persilangan semacam ini terjadi ketika saya dikenal dua sisi yang berbeda. Yani berlibur bersama kita di Kamboja dan Vietnam di tahun 2009. Setia dan Bernard berjumpa saat liburan ke Medan dan bersama-sama kita berpetualang lagi ke Tanjungpinang di tahun 2015. Bahkan Alfan pun turut serta ke Surabaya dan dijamu oleh Jimmy di tahun 2013.
Yang turut bergabung baru-baru ini adalah Lawrence. Seorang pria dengan selera humor yang gila-gilaan, Lawrence disukai teman-teman SMA sejak kunjungannya ke Pontianak pada tahun 2016. Dia bukan saja membaur dan membuat kita tertawa saat kunjungan ke Cina, namun dia juga sangat membantu karena lancar dalam bahasa Mandarin, haha.
Ezra dan Angela juga turut bersama kita pada waktu itu. Mereka masih muda belia, baru awal 20an umurnya, dan bagus juga ada mereka di tengah kita. Dari dua anak muda ini, saya belajar bahwa mereka cukup dewasa untuk berfungsi sepenuhnya seperti kita, tapi ide dan opini mereka mewakili generasi berikutnya. Dan mereka berdua akan selalu memiliki Xi'An, jika anda tahu apa yang saya maksudkan.
Jadi inti cerita kira-kira seperti ini: saya suka berlibur secara eksklusif dengan teman-teman SMA untuk menciptakan kenangan bersama, tapi bukan ide yang buruk pula kalau kenalan lain turut bergabung. Ya, bila itu terjadi, ada kalanya saya berpikir, bagaimana kalau mereka tidak cocok satu sama lain karena latar belakang yang berbeda? Namun tidak cuma sekali saya terbukti salah dalam hal ini. Jadi walaupun ini bukan pilihan ideal saya, sekali waktu boleh saja terjadi persilangan!